Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilihan kepala daerah) di Indonesia adalah dilakukan secara langsung oleh pendudukdaerah administratif lokal yang memenuhi syarat calon. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup:
dahulu sebelum tahun 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.[1]
Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.[2]
Keputusan ini mengecewakan sejumlah pihak. Keputusan ini dipandang sebagai langkah mundur dalam bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicari cara untuk menggagalkan putusan tersebut melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Bagi sebagian partai yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Sedangkan pencabutan hak rakyat merupakan tindakan pemberontakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia, Bab 1 Bentuk dan Kedaulatan pasal 1. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi.
Penyelenggaraan
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab I pasal I ayat 1 sampai dengan ayat 3. Dengan mengedepankan prinsip Pancasila
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal
Ketentuan mengenai syarat ikut serta dalam pemilihan kepada daerah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota yang didukung direkomendasikan oleh partai politik kepada penyelenggara pilkada adalah sebagai berikut:
Bertakwa kepada tuhan yang maha esa.
Setia dan mengedepankan ideologi Pancasila serta Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, berpartisipasi demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berpendidikan tingkat teratas yang terakreditasi telah memenuhi kreteria mutu ditetapkan oleh BAN-PT.
Berusia paling rendah 40 tahun untuk Gubernur dan wakil gubernur serta 30 tahun untuk calon Bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil Wali Kota.
Memiliki riwayat pekerjaan jenjang Provinsi yang membawahi seluruh Kabupaten dan kota.
Tidak sebagai pengguna atau pemakai narkoba.
Tidak pernah di penjara selama waktu tertentu sesuai pasal 68 ayat (3) UU 1/2023 KUHP.
Tidak sedang dicabut hak pilihnya.
Tidak memiliki sipat tercela.
Menyerahkan daftar kekayaan pribadi atau hibah waris.
Tidak sedang mempunyai kewajiban utang di atas 1.000.000.000,00 sebagai badan hukum atau tidak.
Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Belum pernah menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil walikota selama dua kali masa jabatan.
Tidak pernah menjabat sebagai gubernur bagi calon wakil gubernur, bupati/walikota bagi calon wakil bupati/wakil walikota di daerah yang sama.
Mengundurkan diri dari jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak dilantik sebagai calon.
Tidak berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati, atau penjabat walikota.
Menyatakan secara tertulis dalam pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Nasional Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil serta kepala desa sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan.
Mengundurkan diri dari jabatan di perusahaan milik negara atau perusahaan milik pemerintah daerah provinsi dan kabupaten sejak di tetapkan sebagai calon.[3]
Pemilihan umum (Pemilu) ini merupakan pemilihan umum legislatif daerah (Pemiluda) yang digelar secara serentak di beberapa daerah di Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi/DPRP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota/DPRK). Pada saat itu, UU Pemilihan Kepala Daerah masih dalam proses penyusunan, untuk sementara waktu kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Meskipun dibayang-bayangi kondisi politik yang tidak menentu sebagai akibat menguatnya konflik kedaerahan dan darurat militer, secara umum pemilihan umum legislatif daerah dapat terselenggara dengan baik.
Pemungutan suara dilaksanakan secara bertahap antara Juni 1957 hingga Januari 1958. Daerah yang melaksanakan pemilihan DPRD Kabupaten/Kota/DPRK adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Riau di tahun 1957 dan Kalimantan di tahun 1958. Sedangkan daerah yang melaksanakan pemilihan DPRD Provinsi/DPRP adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di tahun 1957 dan Kalimantan di tahun 1958. Hasil akhir dari keseluruhan rangkaian pemilihan umum legislatif daerah itu mendapuk Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai tersukses. Sebagaimana dicatat Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2009, hlm. 257) PKI dengan mengesankan berhasil menambah perolehan suaranya hingga 27 persen dibanding dengan perolehan Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955 yang sebesar 16,4 persen.
Berbanding terbalik dengan PKI, perolehan suara tiga partai besar lainnya justru turun. Greg Fealy mencatat, suara Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU)—di Pemilu 1955 masing-masing meraup suara 20,9 persen dan 18,4 persen—turun dengan persentase hampir sama, 7 persen. Sementara Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebelumnya meraup 22,3 persen justru terpuruk dengan persentase penurunan suara hingga 20,8 persen. Sesuai dengan ketentuan UU No. 1/1957, DPRD Tingkat I (DPRD Provinsi/DPRP) dan DPRD Tingkat II (DPRD Kabupaten/Kota/DPRK) yang terbentuk kemudian berwenang memilih kepala daerahnya masing-masing.[4]
Pemerintah eksekutif dan legislatif telah menyepakati pilkada serentak untuk daerah-daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2015 dan semuanya diselenggarakan pada 9 Desember 2015.[5] Daftar wilayah yang akan menjalankan pilkada serentak yaitu:[6][7]
Pilkada tingkat provinsi
Ada 9 Provinsi yang menggelar pilkada serentak, yaitu:[5]
Sumatera Barat (berakhir masa jabatan gubernur pada 15-08-2015),
Pemerintah eksekutif dan legislatif telah menyepakati pilkada serentak untuk daerah-daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2015 dan semuanya diselenggarakan pada 15 Februari 2017. Daftar wilayah yang akan menjalankan pilkada serentak yaitu:[8]
Pilkada tingkat provinsi
Ada 7 Provinsi yang akan menggelar pilkada serentak, yaitu:[8]
Aceh (berakhir masa jabatan gubernur pada (25-06-2017),
Adapun provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada tanggal 10 Oktober 2017 tidak melaksanakan pemilihan gubernur sesuai UU No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang keempat kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.[13] Berikut ini adalah daftar daerah yang melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada tahun 2020.[14]
Pilkada serentak tahun 2015 sempat membuat polemik karena di beberapa wilayah hanya terdapat satu pasang calon kepala daerah, atau calon tunggal. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memperbolehkan pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Mahkamah Konstitusi beralasan, jika pilkada ditunda karena kurangnya calon, maka akan menghapus hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Mahkamah juga menilai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada juga tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat-syarat calon tidak terpenuhi.[15]
Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal, surat suara akan dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu pasangan calon kepala daerah, dengan pilihan "Setuju" atau "Tidak Setuju" di bagian bawahnya. Apabila pilihan "Setuju" memperoleh suara terbanyak, maka calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah yang sah. Namun jika pilihan "Tidak Setuju" memperoleh suara terbayak, maka pemilihan ditunda hingga pilkada selanjutnya.[16]
Berbagai analis menyatakan bahwa pilkada serentak memiliki manfaat, diantaranya:
Sarana menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar.
Mencegah kutu loncat (gagal di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain) seperti Rieke Dyah Pitaloka (gagal di Jakarta dan Jawa Barat, jadi bakal calon di Depok)[18] dan Andre Taulany (gagal di Tangerang Selatan, jadi bakal calon di Depok)[19]
Perencanaan pembangunan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota lebih sinergis.