Berbagai penghargaan telah diraih oleh Pemerintah Kota Payakumbuh sejak beberapa tahun terakhir. Dengan pertumbuhan ekonomi 6,38 % dan meningkat menjadi 6,79% pada tahun 2011. Payakumbuh merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Sumatera Barat dan juga dikenal dengan branding Kota Randang (Payakumbuh City of Randang)[6]. Inovasi dalam bidang sanitasi, pengelolaan sampah, pasar tradisional sehat, pembinaan pedagang kaki lima dan drainase perkotaan mengantarkan kota ini meraih penghargaan Inovasi Managemen Perkotaan (IMP) pada 2012, Indonesia Green Regional Award (IGRA), Kota Sehat Wistara dan sederet pengharaan lainnya.
Geografi
Kota Payakumbuh[7] terletak di daerah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan. Berada pada hamparan kaki Gunung Sago, bentang alam kota ini memiliki ketinggian yang bervariasi. Topografi daerah kota ini terdiri dari perbukitan dengan rata-rata ketinggian 514 m di atas permukaan laut. Wilayahnya dilalui oleh tiga sungai, yaitu Batang Agam, Batang Lampasi dan Batang Sinama. Suhu udaranya rata-rata berkisar antara 26 °C dengan kelembapan udara antara 45–50%.
Payakumbuh berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukittinggi atau 120 km dari Kota Padang dan 188 km dari Kota Pekanbaru. Wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Lima Puluh Kota. Dengan luas wilayah 80,43 km² atau setara dengan 0,19% dari luas wilayah Sumatera Barat, Payakumbuh merupakan kota terluas ketiga di Sumatera Barat. Kota ini pernah menjadi kota terluas pada tahun 1970, sebelum perluasan wilayah administratif Kota Padang dan Kota Sawahlunto. Kota Sawahlunto yang pada tahun 1970 merupakan kota yang paling kecil dengan luas 6,3 km² diperluas menjadi 273,45 km² atau meningkat sebesar 43,4 kali dari sebelumnya, sementara Kota Padang diperluas menjadi 694,96 km² dan sekaligus menjadi kota yang terluas di Sumatera Barat. Perluasan ini menyebabkan Sawahlunto menjadi kota terluas kedua dan Payakumbuh turun menjadi terluas ketiga di Sumatera Barat.
Sejarah
Kota Payakumbuh[8] terutama pusat kotanya dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda[9][10]. Sejak keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, kawasan ini berkembang menjadi depot atau kawasan gudang penyimpanan dari hasil tanam kopi dan terus berkembang menjadi salah satu daerah administrasi distrik pemerintahan kolonial Hindia Belanda waktu itu.[11]
Menurut tambo setempat, dari salah satu kawasan di dalam kota ini terdapat suatu nagari tertua yaitu nagari Aie Tabik dan pada tahun 1840, Belanda membangun jembatan batu untuk menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat kota sekarang.[12] Jembatan itu sekarang dikenal juga dengan nama Jembatan Ratapan Ibu.
Payakumbuh sejak zaman sebelum kemerdekaan telah menjadi pusat pelayanan pemerintahan, perdagangan dan pendidikan terutama bagi Luhak Limo Puluah. Pada zaman pemerintahan Belanda, Payakumbuh adalah tempat kedudukan asisten residen yang menguasai wilayah Luhak Limo Puluah, dan pada zaman pemerintahan Jepang, Payakumbuh menjadi pusat kedudukan pemerintah Luhak Limo Puluah[13].
Pemerintahan
Kota Payakumbuh sebagai pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1956 tanggal 19 Maret1956, yang menetapkan kota ini sebagai kota kecil.[14] Kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1970 tanggal 17 Desember1970 menetapkan kota ini menjadi daerah otonom pemerintah daerah tingkat II Kotamadya Payakumbuh. Disusul Radiogram Mendagri nomor SDP.9/6/181 menegaskan, hari peresmian Kota Payakumbuh dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 1970 dan saban tahun diperingati sebagai Hari Jadi Kota Payakumbuh. Selanjutnya wilayah administrasi pemerintahan terdiri atas 3 wilayah kecamatan dengan 73 kelurahan yang berasal dari 7 jorong dan terdapat di 7 kanagarian yang ada waktu itu, dengan pembagian kecamatan Payakumbuh Barat dengan 31 Kelurahan, kecamatan Payakumbuh Timur dengan 14 kelurahan dan kecamatan Payakumbuh Utara dengan 28 kelurahan.
Sebelum tahun 1970, Payakumbuh adalah bahagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota dan sekaligus ibu kota kabupaten tersebut. Pada tahun 2008, sesuai dengan perkembangannya maka dilakukan pemekaran wilayah kecamatan, sehingga kota Payakumbuh memiliki 5 wilayah kecamatan, dengan 8 kanagarian dan 76 wilayah kelurahan[15]. Pada tahun 2014 dan 2016 terjadi penggabungan beberapa kelurahan yang wilayahnya kecil dengan sedikit penduduk, sehingga jumlah kelurahan menyusut menjadi 48 kelurahan.
Kota Payakumbuh memiliki 5 kecamatan dan 47 kelurahan. Luas wilayahnya mencapai 85,22 km² dan penduduk 129.751 jiwa (2017) dengan sebaran 1.522 jiwa/km².[34][35]
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kota Payakumbuh, adalah sebagai berikut:
Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Tamil, Jawa dan Batak, dengan jumlah angkatan kerja 50.492 orang dan sekitar 3.483 orang diantaranya merupakan pengangguran.[36] Pada tahun 1943 etnis Tionghoa di kota ini pernah mencapai 2.000 jiwa dari 10.000 jiwa total populasi masa itu.[37]
Dari segi jumlah penduduk, pada tahun 1970 Payakumbuh berada pada peringkat ketiga sesudah Padang dan Bukittinggi. Akan tetapi perbedaan jumlah penduduk Payakumbuh dengan Bukittinggi relatif kecil yaitu hanya 784 orang. Pada tahun 2009 atau 40 tahun kemudian, jumlah penduduk Payakumbuh meningkat pesat menjadi 106 726 jiwa. Akan tetapi masih tetap berada pada peringkat ketiga sesudah Bukittinggi dengan perbedaan jumlah 894 orang.
Walaupun demikian, peningkatan jumlah penduduk ini meningkatkan status Kota Payakumbuh dari kota kecil (jumlah penduduk < 100.000 orang), menjadi kota menengah (jumlah penduduk > 100.000 orang)
Pendidikan
Pada tahun 1954 di Payakumbuh[38] didirikan perguruan tinggi pertanian dan merupakan perguruan tinggi negeri yang tertua di luar Jawa. PTN inilah yang kemudian berkembang menjadi Universitas Andalas. Pada tahun 1960-an berdiri pula salah satu fakultas dari IAIN Imam Bonjol.
Untuk meningkatkan taraf kesehatan, pemerintah kota Payakumbuh telah membangun sebuah rumah sakit yang bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Adnaan WD dan juga mendirikan 6 buah puskesmas dan 23 puskesmas pembantu.[40] Selain itu di kota ini juga terdapat sebuah rumah sakit swasta yang bernama Rumah Sakit Yarsi.
Perhubungan
Kota ini termasuk kota penghubung antara kota Padang dengan kota Pekanbaru, dari kota ini dapat juga terhubung ke jalur lintas tengah Sumatra tanpa mesti melewati kota Bukittinggi. Terminal Koto Nan Ompek merupakan terminal angkutan darat yang terdapat di kota ini. Sebagai pusat pelayanan, Payakumbuh dulu juga mempunyai lapangan terbang, yaitu Lapangan Terbang Piobang.
Saat ini sudah dibangun jalan lingkar luar bagian utara (10,45 km) dan selatan (15,34 km) dikenal dengan Payakumbuh Bypass untuk memudahkan akses transportasi tanpa harus melalui pusat kota dan untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Pembangunan jalan ini berasal dari dan pinjaman pemerintah pusat kepada Bank Pembangunan Asia (ADB).[41]
Perekonomian
Kota Payakumbuh sebagai kota persinggahan, menjadikan sektor jasa dan perdagangan menjadi sektor andalan[42]. Namun sektor lain seperti pertanian, peternakan dan perikanan masih menjanjikan bagi masyarakat kota ini[43] karena didukung oleh keadaan tanahnya juga terbilang subur.
Untuk menjadikan kota ini sebagai sentral perdagangan selain dengan meningkatkan pasar-pasar tradisional[44] yang ada selama ini, pemerintah setempat bersama masyarakatnya mencoba membangun sistem pergudangan untuk mendukung aktivitas perdagangan yang modern. Saat ini kota Payakumbuh telah memiliki sebuah pasar modern yang terletak di jantung kotanya.
Sementara industri-industri yang ada di kota ini baru berskala kecil[45], namun telah mampu berproduksi untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri, diantaranya sulaman bordir dan songkok/peci.[46]
Olahraga pacu kuda juga merupakan pertunjukan yang paling diminati oleh masyarakat kota ini dan biasa setiap tahunnya diselenggarakan pada gelanggang pacuan kuda yang bernama Kubu Gadang yang sekarang menjadi bahagian dari komplek GOR M.Yamin.
Kota Payakumbuh memiliki beberapa pertunjukan tradisional, diantaranya tarian-tarian daerah yang bercampur dengan gerakan silat serta diiringi dengan nyanyian dan biasa ditampilkan pada waktu acara adat atau pergelaran seni yang disebut dengan randai.[47] Salah satu kelompok randai yang terkenal diantaranya dari daerah Padang Alai, yang bernama Randai Cindua Mato. Selain itu, Kota Payakumbuh terus bergiat menetapkan Objek-objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) sebagai Cagar Budaya[48].
Masyarakat kota Payakumbuh juga terkenal dengan alat musik jenis Talempong, yaitu sama dengan alat musik gamelan di pulau jawa, yang biasa ditampilkan dalam upacara adat, majlis perkawinan dan lain sebagainya. Selain itu alat musik lain yang masih dijumpai di kota ini adalah Saluang, yaitu sejenis alat musik tiup atau sama dengan seruling.
Adapun kuliner yang paling terkenal di Payakumbuh yaitu rendang[49] yang sudah memiliki lebih dari 30 varian. Sedangkan pindik dari Tiakar juga telah menjadi makanan khas daerah ini. Begitupun gulai hijau itiak dari Air Tabit juga menjadi buruan pelancong jika datang ke Payakumbuh.
Pariwisata
Kota Payakumbuh memiliki alam yang indah dikelilingi oleh perbukitan. Selain sebagai kota yang dikenal dengan beragam kuliner, Payakumbuh juga memiliki berbagai objek wisata menarik seperti Ngalau Indah, Puncak Marajo, Panorama Ampangan, Jembatan Ratapan Ibu, dan Kawasan Taman Batang Agam[50]. Sedangkan atraksi budaya yang paling dikenal dari Payakumbuh di antaranya Pacu Itiak, Pacu Jawi, Pacu Kuda, Payakumbuh Botuang Festival, Payakumbuh Bagodang.
^Efendi, Feni (2021). Pajacombo : Literatur Tentang Tanah Payau. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-96797-1-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Susanti, Ipil; Weriantoni (2024). Pajacombo: Varian Rendang di Kota Payakumbuh dan Potensi Ekonomi Pembangunan. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-8646-04-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Hazmi, Nahdatul; Weriantoni; Wendra Yunaldi (2024). Pajacombo: Imajinasi Tentang Perencanaan Kota dan Ruang Publik Masa Depan di Kota Payakumbuh. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-88775-7-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Weriantoni (2024). Pajacombo: Potensi Wisata Genealogi di Payakumbuh untuk Menelusuri Jejak Leluhur dalam Sudut Pandang Ekonomi, Sosial, dan Memori Kolektif. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-8646-12-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Yanuarita, Prima (2023). Pajacombo: dalam Album Foto Djoesa Anas. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-88775-2-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni (2023). Pajacombo: Potret di Zaman Hindia Belanda. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-96797-7-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Abdullah, Taufik, (2009), Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-50-6.
^Reimar Schefold, P. Nas, Gaudenz Domenig, (2004), Indonesian Houses: Tradition and transformation in vernacular architecture, Vol. 1, Illustrated, ISBN 978-9971-69-292-6.
^Efendi, Feni; Weriantoni (2024). Pajacombo: Keberadaan Tugu-Tugu di Kota Payakumbuh sebagai Simbol Ekonomi, Perjuangan, Sosial, dan Pembangunan. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-8646-03-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni (2022). Pajacombo: dalam Catatan dan Ingatan. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-99418-1-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Depdagri
^Yoon-wah Wong, (1988), Essays on Chinese literature: a comparative approach, NUS Press, ISBN 978-9971-69-109-7.
^Efendi, Feni; Susanti, Ipil; Weriantoni (2024). Pajacombo: Dampak Berdirinya Pusat-Pusat Pendidikan Terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi, Pembangunan, dan Budaya Berkota di Payakumbuh. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-8646-09-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Weriantoni (2023). Pajacombo: Potensi Ekonomi Kota dan Daya Saing. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-88538-5-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Weriantoni (2024). Pajacombo: Potensi Ekonomi Pasar-Pasar di Payakumbuh dan Juga Dampak Sosialnya. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-89016-9-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni (2023). Pajacombo: Sentral Ekonomi, Sosial, dan Pembangunan. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-88538-3-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Phillips, Nigel, (1981), Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-23737-6.
^Efendi, Feni (2023). Pajacombo: dalam Narasi Cagar Budaya. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-99418-6-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ardy, Novit (2023). Marandang: Wisata Gastronomi Kampung Rendang Payakumbuh. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-96797-0-5.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Efendi, Feni; Weriantoni (2024). Pajacombo: Pengembangan dan Daya Tarik Pariwisata di Kota Payakumbuh serta Dampak Ekonomi dan Sosialnya. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN978-623-8646-02-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)