Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang berbasis Islam.[2][3][5][6][7][13][14] Partai ini bercikal bakal dari penentangan sejumlah tokoh Islam terhadap kebijakan Presiden RI ke-2, Soeharto yang mengharuskan agar tiap-tiap ormas menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mereka.[15][16] Dari penentangan ini lahirlah Gerakan Tarbiyah. Gerakan Tarbiyah ini lalu membentuk lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi asal usul berdirinya Partai Keadilan pada 20 Juli 1998 pasca lengsernya pemerintahan Suharto.[2] Partai Keadilan kemudian bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera pada tanggal 20 April 2002 akibat gagal memenuhi ambang batas parlemen sebesar 2%.[15][16]
PKS menjadi bagian koalisi dari pemerintahan SBY di periode tahun 2004-2009 dan 2009-2014, dan menjabat beberapa kursi menteri. Sikap PKS yang tidak keluar-keluar dari koalisi SBY meskipun kerap berlainan sikap dan melontarkan kritikan kepada pemerintahan SBY, telah membuat beberapa kalangan menilai PKS sebagai partai yang oportunis dan memanfaatkan situasi.[17][18] Dalam pemilu legislatif 2019, PKS berakhir di urutan ke-7 dengan raihan suara 8,21% dan memperoleh 50 kursi.[19] PKS menjadi oposisi selama pemerintahan Joko Widodo.
Dalam menangani pandemi Covid-19, demi meringankan kesulitan ekonomi masyarakat, PKS menganjurkan para kader laki-lakinya yang mampu untuk berpoligami dengan memprioritaskan janda; namun anjuran ini kemudian dicabut setelah menuai polemik di masyarakat.[20][21] Meski mendukung langkah Joko Widodo yang menolak kembalinya anggota organisasi teror, ISIS, ke Indonesia,[22] PKS meminta agar anak-anak dari para anggota ISIS dipulangkan supaya mereka dapat dibina di Indonesia.[23]
Pada 1985, rezim Orde Baru mewajibkan seluruh organisasi massa menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Ini membuat sejumlah tokoh Islamis berang dan menyebut rezim Soeharto telah memperlakukan politik Islam sebagai kutjing kurap.[16] Pada saat yang sama, Jamaah Tarbiyah meraih momentumnya di kalangan mahasiswa kader Rohis dan aktivis dakwah di kampus-kampus.[26] Pada tahun 1993, Mustafa Kamal, seorang kader Jamaah Tarbiyah, memenangi pemilihan mahasiswa untuk Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, kader Jamaah pertama yang memegang kekuasaan di level universitas. Setahun kemudian, Zulkieflimansyah, juga kader Jamaah Tarbiyah, menjadi Ketua Senat Mahasiswa di universitas yang sama.[26]
Para anggota Jamaah Tarbiyah kemudian mendirikan Lembaga Dakwah Kampus, yang kemudian menjadi unit-unit kegiatan mahasiswa yang resmi di berbagai kampus sekuler di Indonesia, seperti di Universitas Indonesia, terutama oleh para aktivis Forum Studi Islam.
Saat itu, kata usrah yang sering dipakai untuk menyebut kelompok-kelompok kecil pengajian di LDK mulai diasosiasikan, dengan menggunakan sistem sel ala Ikhwanul Muslimin untuk merekrut kader.[27]
KAMMI muncul sebagai salah satu organisasi yang paling vokal menyuarakan tuntutan reformasi melawan Soeharto, dipimpin oleh Fahri Hamzah.[26] Sejurus setelah mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, para tokoh KAMMI telah mempertimbangkan berdirinya sebuah partai Islam. Partai tersebut kemudian diberi nama Partai Keadilan (disingkat PK). Kendati tokoh elit KAMMI memiliki kontribusi dalam pembentukan PK, KAMMI dan PK secara tegas menyatakan bahwa tidak memiliki hubungan formal.[16]
Karena kegagalan PK memenuhi ambang batas parlemen di pemilihan umum selanjutnya, menurut regulasi pemerintah, mereka harus mengganti nama. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Hukum dan HAM di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat provinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat kabupaten dan kota). Sehari kemudian, PK resmi berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera.[32]
Partai Keadilan Sejahtera
Dengan bergantinya PK menjadi PKS, partai ini kembali bertanding di pemilihan umum legislatif Indonesia 2004. PKS meraih total 8,325,020 suara, sekitar 7.34% dari total perolehan suara nasional. PKS berhak mendudukkan 45 wakilnya di DPR dan menduduki peringkat keenam partai dengan suara terbanyak, setelah Partai Demokrat.[33] Presiden partai, Hidayat Nur Wahid, terpilih sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan 326 suara, mengalahkan Sutjipto dari PDIP dengan 324 suara.[34] Hidayat menyerahkan jabatan presiden kepada Tifatul Sembiring, juga seorang mantan aktivis kampus dan pendiri PKS.[26]
Seleksi dan pola rekrutmen kader PKS unik dalam perpolitikan Indonesia. Kader PKS dipilih dan diajukan tidak dengan mengajukan diri tetapi diajukan oleh sekelompok individu dan atau oleh murabbi (guru pembimbing) menggunakan metode Tarbiyah (pendikan) berkesinambungan dan terjadwal (halaqah). PKS memakai dua strategi dalam merekrut kader. Yang pertama adalah pola rekrutmen individual (al-da'wah al-fardhiyyah), atau bentuk pendekatan orang per orang, meliputi komunikasi personal secara langsung.[16] Calon kader yang akan direkrut diajak berpartisipasi dalam forum-forum pembinaan rohani yang diorganisir PKS seperti usrah (keluarga), halaqah (kelompok studi), liqa (pertemuan mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam (perkemahan), daurah (pelatihan intelektual) dan nadwah (seminar).[16] Sistem yang digunakan PKS ini mirip dengan sistem rekrutmen gerakan Islamis di Mesir.[36] Yang kedua adalah pola rekrutmen institusional (al-da'wah al'amma). PKS berafiliasi dengan berbagai organisasi sayap yang berstatus formal atau tidak formal, sehingga partai dapat mencari individu potensial untuk dijadikan kader partai.
PKS mewajibkan kadernya terlibat aktif dalam pelatihan hierarkis yang disebut marhalah. Pelatihan ini mencakup proses pembelajaran (ta'lim), pelatihan keorganisasian (tandzim), pembinaan karakter (taqwin) dan evaluasi (taqwim).[37]
Dalam sumpahnya sebagai anggota PKS, kader harus mengucapkan baiat secara lengkap dengan membaca dua kalimat syahadat. Dengan demikian, sistem sumpah ini tidak memungkinkan non-Muslim menjadi kader PKS.[16] Namun sesuai hasil Munas 2010 di Jakarta, PKS membedakan antara kader dan anggota. Kader adalah anggota yang terikat oleh sistem kaderisasi, sehingga sudah pasti seorang Muslim. Sementara anggota adalah siapa saja yang terikat kepada organisasi dan bersifat lebih umum dan terbuka.
Internasional
Kader PKS di luar negeri tercatat sebanyak 7,000 orang dan 22 Pusat Informasi dan Pelayanan (PIP) yang tersebar di 22 negara. Jumlah ini merupakan jumlah kader partai politik Indonesia terbesar yang berada di luar negeri. Banyaknya jumlah kader di luar Indonesia ini dimanfaatkan partai untuk menyasar satu kursi DPR.[38]
Mesir
PK dan PKS telah lama dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin yang berbasis di Mesir, disebabkan beberapa pendirinya bersekolah di sekolah-sekolah Ikhwan[39] Beberapa indikasi yang terlihat adalah saat Mardani Ali Sera, juru bicara PKS, membenarkan bahwa beberapa karya pendiri Ikhwan, Hasan al-Banna, menjadi bacaan dan juga rujukan dalam proses pengkaderan partai.[40] PKS juga diklaim ikut serta dalam Revolusi Mesir 2011, meskipun kabar tersebut kemudian dibantah dan menegaskan bahwa para kader partai (yang diberitakan sebanyak 600 orang, sebagian besar berstatus mahasiswa) di Mesir hanya berperan menyalurkan logistik kepada warga negara Indonesia yang terjebak di Mesir.[41] Namun, PKS menyatakan "berduka" atas penggulingan presiden Mesir dari Ikhwanul Muslimin, Muhammad Mursi pada Juli 2013 oleh militer Mesir, sekaligus menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menekan militer Mesir.[42]
Hubungan PKS dan Ikhwanul Muslimin juga dibenarkan oleh Yusuf al-Qaradawi, salah satu tokoh Ikhwan yang berpengaruh,[43] dan juga oleh pendiri PK, Yusuf Supendi (eks. Kader PKS),[44] yang mengatakan bahwa 90% pendanaan PK untuk pemilihan umum pada 1999 didanai oleh partai-partai seideologi di Timur Tengah.[45] Namun, Ketua Dewan Syariah PKS, Surahman Hidayat, menegaskan bahwa mereka hanya mempunyai "hubungan cita-cita" dengan Ikhwanul Muslimin dan menolak klaim bahwa PKS adalah perwujudan lain dari organisasi tersebut. Surahman justru menyatakan bahwa PKS secara substantif adalah pelanjut perjuangan Masyumi.[46]
Turkiye
PKS juga disebut mempunyai kemiripan dengan Partai Keadilan dan Pembangunan yang pada saat itu pimpinan Abdullah Gül yang berkuasa di Turkiye. Surahman Hidayat juga membenarkan bahwa mereka juga sering mengunjungi kader AKP di Turkiye "untuk perbandingan".[47] Kedekatan ini juga diperkuat dengan banyaknya seminar dan silaturahim antara PKS dan AKP, salah satunya seperti saat para petinggi AKP berkunjung ke Jakarta pada Februari 2012.[48] PKS juga menggelar pertemuan kader sedunia di Istanbul pada April 2013. Meskipun presiden Anis Matta menyatakan bahwa pemilihan Istanbul adalah karena posisi strategik kota tersebut di tengah-tengah Asia, Eropa dan Afrika, Anis juga menjadwalkan pertemuan dengan petinggi AKP dan mengharapkan agar kader-kader dapat belajar dari kesuksesan AKP di Turki.[49]
Palestina
PKS dikenal sebagai salah satu partai yang paling vokal memperjuangkan kemerdekaan Palestina.[50] Beberapa aksi PKS untuk kemerdekaan Palestina antara lain dengan menempuh jalur demonstrasi, seperti yang dilakukan pada Maret 2010 di kompleks Monas.[51] Tak jarang pula PKS mengecam negara yang tidak mendukung upaya kemerdekaan Palestina, seperti pada November 2012, saat Amerika Serikat tidak menyetujui masuknya Palestina sebagai negara pemantau di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[52] Demonstrasi PKS dikenal dengan mengorganisir puluhan ribu kader dan tak jarang pula umat non-Muslim ikut di dalamnya, seperti politisi PDI Perjuangan, Sabam Sirait, yang ikut berdemonstrasi bersama massa PKS pada Maret 2010.[53] Selain itu, PKS juga memanfaatkan massa kadernya yang besar untuk menggalang dana dalam jumlah yang besar, dan sering kali sumbangan tersebut disampaikan langsung lewat utusan khusus PKS ke Palestina, seperti saat penggalangan dana serentak seluruh DPW PKS di Indonesia pada bulan November 2012.[54][55]
Pada tahun 2010, muncul sebuah situs blog bernama PKSWatch yang mengkritik kebijakan-kebijakan PKS dan menuai reaksi keras dari simpatisan PKS, yang kemudian mendorong terbentuknya blog PKSWatch Watch. Situs ini bukanlah situs resmi PKS. Namun belakangan situs ini tidak kembali muncul ke publik karena merasa adanya perbedaan pandangan dengan PKS.[61]
Forum Kader Peduli
Forum Kader Peduli, berdiri pada September 2008 dan berpusat di Masjid Al Hikmah Mampang Prapatan, tempat PKS pertama kali dideklarasikan. Tokoh penting yang jadi pentolan di forum ini antara lain Yusuf Supendi, salah satu deklarator Partai Keadilan. Namun di balik Yusuf, ada lagi tokoh yang lebih berpengaruh yakni Syamsul Balda, mantan wakil presiden Partai Keadilan. Forum ini ditujukan untuk "membeberkan" "borok" para petinggi PKS saat itu.[62]
Buku Ilusi Negara Islam
Pada 16 Mei 2009, sebuah buku bertajuk Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia diterbitkan oleh The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall Foundation.[63] Peluncuran buku ini dihadiri oleh mantan presiden, Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif dan tokoh Nahdlatul Ulama, Mustofa Bisri.
Buku ini menuai kontroversi baik di dalam maupun luar negeri[64] karena melukiskan PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia[65] sebagal kelompok garis keras Islam transnasional. Dalam buku ini, PKS dilukiskan melakukan infiltrasi ke sekolah dan perguruan tinggi negeri dan berbagai institusi yang mencakup pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan Islam, antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[66] Buku ini diklaim telah melanggar kode etik penelitian dan beberapa informasi yang sulit dipercaya, seperti dicantumkannya Gus Dur sebagai editor, padahal saat itu dia sedang mengalami gangguan penglihatan,[67] sampai gugatan tiga orang dosen IAIN Sunan Kalijaga karena merasa namanya dicatut sebagai tim peneliti.[68]
Keterbukaan
PKS menggelar musyawarah kerja nasional 2008 mereka di Hotel Inna Grand Beach, Sanur, Denpasar, Bali, pada 1 Februari 2008.[69] Sebagian elite partai mendeklarasikan PKS sebagai partai terbuka, yang berarti PKS akan menerima calon non-Muslim bertanding atas tiket partai tersebut.[70][71] Namun, pernyataan tersebut memicu konflik internal antara kalangan petinggi partai. Ketua Dewan Syariah Pusat, Surahman Hidayat menyatakan mendukung langkah tersebut.[72]
Keputusan ini ditentang habis-habisan oleh salah satu pendiri PK, Yusuf Supendi. Ia menuding Ketua Majelis Syuro, Hilmi Aminuddin, dan sekretaris jenderal saat itu, Anis Matta (kemudian menjadi presiden) sebagai kalangan yang menginginkan PKS sebagai sebuah partai terbuka.[16][73]
Pada 30 Januari 2013, presiden PKS dan anggota DPR, Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka kasus impor daging sapi[77][78] di Kementerian Pertanian, di mana menterinya, Suswono, merupakan kader PKS.[79] Kasus ini turut menyeret Ahmad Fathanah, seorang teman dekat Luthfi yang awalnya diduga juga seorang kader PKS, tetapi kemudian segera dibantah[80] oleh Anis Matta, saat itu sekretaris jenderal dan kemudian naik ke posisi presiden partai. Bantahan ini diulangi lagi oleh Fathanah sendiri di hadapan pengadilan.[81] Luthfi menjadi politikus PKS pertama yang menjadi tersangka KPK.[82] dan kemudian menjadi terpidana.
Tuduhan Wahabi
Pada April 2013, Yenny Wahid, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid, melarang kader partainya, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru, yang gagal lolos verifikasi KPU untuk pemilihan umum 2014, untuk bergabung dengan PKS atau PKB. Yenny menyatakan bahwa PKBIB mengusung visi ahlus sunnah wal jamaah, dan menyatakan bahwa kadernya tidak boleh bergabung ke partai yang tidak mengusung ideologi tersebut.[83] Menanggapi pernyataan tersebut, presiden Anis Matta juga menyatakan PKS mengusung ideologi ahlus sunnah,[84] dan ketua fraksi PKS di DPR, Hidayat Nur Wahid memprotes pernyataan tersebut.[85]
PKS sering mendapat tuduhan aliran Wahabi, sebuah gerakan pembaharuan Islam yang tidak mengenal sistem demokrasi dan kepartaian demokrasi. Isu ini dibantah langsung oleh presiden Anis Matta, yang mengklaim bahwa PKS tidak menganut aliran tertentu dan membuka pintu keanggotaan selebar-lebarnya bagi anggota-anggota ormas Islam lain.[86]
Munculnya Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI)
Menjelang Pemilu 2019, muncul sebuah Gerakan yang bernama Gerakan Arah Baru Indonesia atau biasa disingkat dengan GARBI. Mulanya, gerakan ini diinisiasi oleh mantan Presiden PKS periode 2013-2015, Anis Matta bersama Mahfuz Siddiq, Mahfuz Abdurrahman, Taufik Ridlo, Fahri Hamzah, Jazuli Juwaini, dan Sukamta dengan mensosialisasikan Gerakan ini sebagai arah perjuangan politik PKS ke pimpinan Wilayah PKS pasca-Pemilu 2014. Namun, gerakan ini dituding sebagai "Pengkhianatan" bahkan upaya "Kudeta" PKS kepemimpinan Mohamad Sohibul Iman pada 2015. Imbas dari gerakan itu, banyak kader dan pimpinan PKS yang diberhentikan akibat mengikuti diskusi-diskusi yang digelar oleh Garbi.[87] Pada 2016, Fahri Hamzah yang pada masa itu juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI dipecat oleh PKS yang membuat 'konflik' PKS dengan Garbi semakin memanas. Puncaknya, Pada 30 September 2018 terjadi pengunduran diri Massal Kader PKS di Bali.[88] Yang pada akhirnya mantan Kader PKS yang mundur secara massal ini menyatakan dan mendeklarasikan untuk bergabung dengan Garbi pada 6 Oktober [89] Kejadian ini juga diikuti mundurnya beberapa kader PKS yang merasa tidak setuju dengan PKS kepemimpinan Sohibul Iman. Tidak sampai disitu, banyak juga mantan Kader PKS yang lebih memilih bergabung dengan Garbi kendati tidak memiliki masalah apapun dengan PKS dibawah kepemimpinan Sohibul Iman. Akhirnya, pada 28 Oktober 2019 Partai Gelora Indonesia dideklarasikan sebagai buntut dari konflik PKS dengan Garbi
^Hamayotsu, Kikue (September 2011). "The Political Rise of the Prosperous Justice Party in Post-Authoritarian Indonesia: Examining the Political Economy of Islamist Mobilization in a Muslim Democracy". Asian Survey. 51 (5): 971–992. doi:10.1525/as.2011.51.5.971. JSTOR10.1525/as.2011.51.5.971.
^Nainggolan, Bestian; Wahyu, Yohan, ed. (2016). Kompaspedia: Partai Politik 1999–2019, Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa. Jakarta: Buku Kompas. ISBN978-602-412-005-4.
^Wickham, Carrie Rosefsky. 2002. Mobilizing Islam: Religion, Activism and Political Change in Egypt. New York: Columbia University Press. ISBN 0-231-12573-9.