Halaman ini berisi artikel tentang konsili ekumene yang diselenggarakan pada tahun 431. Untuk dua konsili lain yang juga diselenggarakan di kota Efesus, lihat Konsili Efesus (disambiguasi).
Ajaran Nestorius atau Nestorianisme, yang menitikberatkan perbedaan antara kodrat insani dan kodrat ilahi Kristus, lagi berwacana bahwa Maria boleh disebut Kristotokos tetapi tidak boleh disebut Teotokos, telah menimbulkan ketidaksepahaman antara Nestorius dan para pemimpin Gereja selebihnya, teristimewa SirilusBatrik Aleksandria. Nestorius sendiri yang meminta kaisar menyelenggarakan konsili guna membuktikan bahwa dirinya bukan ahli bidah. Konsili Efesus justru membidahkan ajaran-ajarannya, dan mengumumkan bahwa Maria adalah Teotokos, Sang Walidatullah.[3]
Sengketa dengan Nestorius mendorong Sirilus meminta pembenaran dari Paus Selestinus I. Sri Paus memberi kuasa kepada Sirilus untuk menuntut Nestorius menarik kembali pernyataan sikapnya dengan ancaman pengucilan. Nestorius malah meminta Kaisar Teodosius II menyelenggarakan konsili sebagai ajang terbuka bagi semua pihak untuk menyuarakan ketidakpuasan masing-masing, dengan harapan dirinya akan terbukti benar dan Siriluslah yang akan diputuskan bersalah.
Muktamar yang dihadiri sekitar 250 orang uskup ini berlangsung panas, penuh konfrontasi serta saling tuding, dan menimbulkan ketegangan antara Sirilos dan Kaisar Teodosius II. Nestorius kalah telak dari Sirilus, dicopot dari jabatannya selaku Batrik Konstantinopel, dan ajaran-ajarannya secara resmi dianatema. Kekalahan Nestorius menjadi pangkal skisma Nestorian, yakni keluarnya Gereja-Gereja pendukung Nestorius, khususnya Gereja-Gereja di Kekaisaran Persia, dari persekutuan paripurna Gereja sedunia. Gereja-Gereja tersebut dikenal dengan sebutan Gereja Nestorian atau Gereja di Timur, dan kini sudah pecah menjadi Gereja Asyur di Timur, Gereja Purba di Timur, Gereja Suryani Kaldea, dan Gereja Katolik Kaldea. Nestorius sendiri menyepi ke sebuah biara, dan kemudian hari menyangkal bidah yang menjadi alasan pengucilannya.[4]
Sejarah
Konteks politik
John Anthony McGuckin mengemukakan "persaingan lama" antara Aleksandria dan Konstantinopel sebagai faktor penting di dalam sengketa Sirilus-Nestorius.[5] Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa mengingat kompetisi politik turut berperan menciptakan suatu "iklim ketidaksepahaman yang meluas", sengketa tersebut tidak dapat begitu saja disederhanakan menjadi sekadar "bentrok antarpribadi" atau "perseteruan politik" belaka. Menurut McGuckin, Sirilus memandang urusan "adu pendapat intelek tingkat tinggi mengenai kristologi" pada hakikatnya sama saja dengan urusan "keabsahan dan ketenteraman dalam menjalani hidup selaku orang Kristen secara sederhana".[6]
Di kota Konstantinopel pun ada pihak-pihak yang mendukung kubu Roma-Aleksandria dan pihak-pihak yang mendukung Nestorius. Sebagai contoh, Putri Pulkeria mendukung kubu Roma-Aleksandria, sementara kaisar beserta permaisuri justru mendukung Nestorius.[7]
Silang pendapat terkait ajaran-ajaran Nestorius, buah pemikirannya selama menuntut ilmu di Perguruan Antiokhia, kebanyakan berkisar di seputar penolakannya terhadap gelar Teotokos yang sudah lama disandangkan pada Perawan Maria. Tak lama setelah tiba di Konstantinopel, Nestorius sudah terlibat dalam perdebatan dua mazhab teologi yang berbeda pandangan kristologi.
John Anthony McGuckin berpendapat bahwa Nestorius menonjol karena menjadi wakil mazhab Antiokhia, dan menyifatkannya sebagai pribadi yang "konsisten mengusung, jika bukan seorang penganjur, tradisi panjang mazhab pemikiran Antiokhia." Nestorius terkejut mendapati kenyataan bahwa hal yang selalu diajarkannya di Antiokhia tanpa menimbulkan kontroversi sama sekali bisa sedemikian ditentang oleh umat Kristen di Konstantinopel. Nestorius menitikberatkan kodrat ganda Kristus, serta berusaha mencari titik temu di antara pihak yang mengagung-agungkan fakta penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri Kristus melalui tindakan pemberian gelar Teotokos (Yang Melahirkan Allah) kepada Perawan Maria, dan pihak yang menentang gelar ini karena percaya bahwa Allah adalah zat yang kekal sehingga mustahil dilahirkan. Nestorius mengusulkan gelar Kristotokos (Yang Melahirkan Kristus), namun tidak disambut baik oleh kedua belah pihak.
Nestorius berusaha menjawab soal yang dianggap mustahil terjawab, yakni "bagaimana mungkin Yesus Kristus selaku manusia bukan seorang pendosa, sementara berdosa sudah menjadi fitrah umat manusia semenjak manusia pertama berbuat dosa". Untuk menjawab soal ini, Nestorius mengajarkan bahwa Maria, ibu Yesus, melahirkan Kristus, insan jelmaan Sang Logos, bukan Sang Logos ilahi itu sendiri, yang sudah wujud sebelum Maria ada, bahkan sebelum segala zaman. Sang Logos hadir dalam diri Kristus sebagai ganti jiwa manusia, yakni bagian diri manusia yang telah dicemari dosa manusia pertama. Tetapi bukankah tanpa jiwa manusia, Kristus bukanlah manusia yang seutuhnya? Nestorius menolak preposisi ini dengan menjawab bahwa jiwa manusia diciptakan menurut arketipe Sang Logos meskipun akhirnya tercemar akibat perbuatan dosa manusia pertama, dengan demikian Yesus justru menjadi "lebih" insani dengan kehadiran Sang Logos dalam dirinya, alih-alih menjadi "kurang" insani. Oleh karena itu Nestorius menyimpulkan bahwa Perawan Maria semestinya digelari Kristotokos, Sang Walidatulmasih, bukan Teotokos, Sang Walidatullah.
Nestorius percaya bahwa kodrat insani dan kodrat ilahi mustahil dapat bersatu, dan andaikata penyatuan semacam itu memang terjadi, maka Kristus tidak mungkin sungguh-sungguh sehakikat dengan Allah sekaligus sehakikat dengan umat manusia, karena Kristus tumbuh besar, menjadi dewasa, menderita, dan wafat, sehingga membuatnya tidak setara dengan Allah, namun juga memiliki kuasa ilahi yang membuatnya tidak setara dengan umat manusia.
Menurut John Anthony McGuckin, sejumlah karya tulis dari pertengahan abad ke-20 cenderung "meromantisasi" sosok Nestorius. Bertolak belakang dengan pandangan semacam ini, ia berpendapat bahwa Nestorius tidak kurang dogmatis, yakni tidak kurang enggannya berkompromi, dibanding Sirilus. Nestorius juga sudah siap sedia untuk memanfaatkan kuasa politik dan kanoniknya sebagaimana Sirilus maupun uskup-uskup lain kala itu.[8]
Lawan-lawan Nestorius mendakwanya telah menceraikan keilahian dan kemanusiaan Kristus menjadi dua pribadi dalam satu raga, dan dengan demikian menafikan realitas inkarnasi. Eusebios, tokoh awam yang kelak menjadi Uskup Dorileon, kota tetangga Efesus, adalah orang pertama yang menuding Nestorius sebagai ahli bidah, tetapi lawan tertangguh Nestorius adalah Sirilus Batrik Aleksandria. Sirilus berpendapat bahwa doktrin Nestorius membagi Yesus menjadi dua, dan menafikan bahwa Yesus adalah manusia sekaligus Allah.
Sirilus meminta pembenaran dari Paus Selestinus I untuk membidahkan Nestorius. Sri Paus setuju dan memberi kuasa kepada Sirilus untuk menuntut Nestorius menarik kembali pandangan-pandangannya dalam jangka waktu 10 hari dengan ancaman pengucilan. Sebelum menjalankan amanat dari Sri Paus, Sirilus menyelenggarakan sinode uskup-uskup se-Mesir dengan hasil yang juga membidahkan Nestorius. Sirilus selanjutnya mengutus empat orang uskup sufragannya untuk menyampaikan amanat Sri Paus maupun surat keputusan sinode Mesir kepada Nestorius. Sirilus menulis sepucuk surat resmi kepada Nestorius yang kelak terkenal dengan judul "Surat Ketiga Santo Sirilus kepada Nestorius." Surat resmi ini banyak mengutip berbagai ketetapan bapa-bapa Gereja dan memuat pasal yang paling masyhur dari ajaran Kristen Ortodoks Aleksandria, yakni "Dua Belas Anatema Santo Sirilus." Dalam rangkaian kalimat anatema ini, Sirilus mengucilkan siapa saja yang menganut ajaran-ajaran Nestorius. Sebagai contoh, Sirilus menegaskan dalam suratnya bahwa "barang siapa yang berani menafikan gelar Teotokos dari Sang Perawan Suci, anatema!" Kendati demikian, Nestorius tidak menarik kembali ajaran-ajarannya. John Anthony McGuckin mengemukakan bahwa wakil-wakil lain dari mazhab Antiokhia seperti Yohanes, Batrik Antiokhia, maupun Teodoretos, Uskup Kiros, dan Andreas, Uskup Samosata, mampu menyadari "pokok perdebatan menyangkut integritas Kristus" serta menyesali "kekeliruan sikap Nestorius yang enggan mengalah."[9] Karena khawatir hasil konsili akan berdampak buruk bagi Nestorius, mereka mendesaknya agar mengalah dan menyetujui penggunaan istilah Teotokos sebagai gelar Perawan Maria.[10]
Batrik Yohanes menyurati Nestorius, memintanya untuk tunduk pada pertimbangan Sri Paus dan berhenti memicu kontroversi seputar kata yang tidak disukainya (yakni Teotokos) tetapi yang sesungguhnya dapat ditafsirkan mengandung makna yang ortodoks, apalagi banyak orang kudus dan Pujangga Gereja membenarkan penggunaan kata itu dengan cara turut menggunakannya. Batrik Yohanes memperingatkan Nestorius, "jangan sampai engkau kehilangan kepala. Sepuluh hari! Tidak sampai dua puluh empat jam engkau sudah bisa memberi jawaban yang dikehendaki.... Mintalah nasihat dari orang-orang yang dapat engkau percaya. Minta mereka untuk mengutarakan fakta-fakta, bukan sekadar kata-kata yang mereka sangka akan menyenangkan hatimu.... Seantero Dunia Timur menentang dirimu, demikian pula Mesir." Meskipun sudah dinasihati rekan-rekan sejawatnya, Nestorius tetap teguh pada pendiriannya dengan keyakinan bahwa dirinya adalah pihak yang benar.
Penyelenggaraan
Pada tanggal 19 November, guna mengantisipasi ultimatum yang tidak lama lagi akan diumumkan, Nestorius meyakinkan Kaisar Teodosius II untuk menyelenggarakan sebuah konsili umum yang ia harapkan dapat dimanfaatkan untuk membidahkan Sirilus, dan dengan demikian membenarkan ajaran-ajarannya sendiri. Kaisar Teodosius II mengeluarkan imbauan suci kepada uskup-uskup metropolia untuk bersidang di kota Efesus, kota yang dikhususkan bagi penghormatan terhadap Maria, tempat gelar Theotokos sangat populer. Tiap-tiap uskup metropolia diharapkan hanya membawa serta uskup-uskup sufragannya yang terkemuka. Kaisar telah menetapkan bahwa konsili akan dibuka pada hari raya Pentakosta (tanggal 7 Juni) tahun 431.[11]
John Anthony McGuckin mencermati bahwa ketaksaan imbauan suci membuat imbauan itu ditafsirkan berbeda-beda oleh para uskup. Yohanes, Batrik Antiokhia, membawahi wilayah gerejawi yang sangat luas, sehingga perlu waktu yang lama untuk menyebarluaskan pemberitahuan dan mengumpulkan rombongan delegasi Kebatrikan Antiokhia. Karena perjalanan darat dari Antiokhia ke Efesus sangat panjang dan menguras tenaga, Batrik Yohanes memerintahkan agar masing-masing uskup metropolia hanya membawa serta dua orang uskup sufragan, dan dengan demikian meminimalkan jumlah anggota rombongan yang akan berangkat ke Efesus. Kaisar sendiri tidak akan menghadiri sidang konsili, tetapi menunjuk Komes Kandidianus selaku kepala pasukan pengawal istana kekaisaran untuk mewakilinya. Sang Komes (kepala pasukan 200) ditugaskan mengawasi jalannya sidang serta memelihara keamanan dan ketertiban kota Efesus. Sekalipun diselenggarakan dengan agenda memperkarakan Sirilus, Kaisar Teodosius II menghendaki agar perhatian konsili semata-mata terarah pada kontroversi kristologi. Oleh karena itu, ia memberi amanat tegas kepada Kandidianus agar bersikap netral dan tidak ikut campur dalam pembahasan perkara-perkara teologi. Pada umumnya orang menduga bahwa Kandidianus mula-mula bersikap netral sesuai amanat kaisar, barulah lambat laun semakin condong memihak Nestorius, tetapi John Anthony McGuckin menduga bahwa Kandidianos mungkin saja sejak semula sudah berpihak pada Nestorius.[12][13]
Persidangan
Paus Selestinus mengutus Arkadius dan Proyektus untuk mewakili dirinya dan sinode uskup-uskup Gereja Barat yang telah diselenggarakan di Roma. Sri Paus juga mengutus Filipus, salah seorang imam Keuskupan Roma, sebagai wakil pribadinya. Sidang konsili dipimpin oleh Sirilus Batrik Aleksandria. Sri Paus sudah mewanti-wanti para utusannya untuk tidak melibatkan diri dalam pembahasan, dan hanya mengeluarkan keputusan terkait pembahasan.[14]
Para uskup berdatangan ke Efesus dalam jangka waktu beberapa minggu. Sambil menunggu kedatangan rekan-rekan sejawatnya yang lain, mereka menggelar diskusi-diskusi informal yang cenderung "mempersengit, alih-alih merukunkan silang pendapat di antara mereka".[15] Memnon, Uskup Metropolia Efesus, selaku tuan rumah, sudah bersiap sedia di Efesus bersama 52 orang uskup sufragannya. Batrik Nestorius bersama 16 orang uskup sufragannya merupakan rombongan pertama yang tiba di Efesus, tak lama seusai hari raya Paskah. Selaku uskup agung kota kekaisaran Konstantinopel, ia berangkat dengan kawalan satu detasemen prajurit di bawah pimpinan Komes Kandidianus. John Anthony McGuckin mencermati bahwa kehadiran pasukan tersebut bukan untuk mengawal Nestorius melainkan mengawal Kandidianus selaku wakil kaisar. Kendati demikian, John Anthony McGuckin mencetuskan teori bahwa pudarnya sikap netral Kandidianus dan keberpihakannya kepada Nestorius mungkin telah menimbulkan persepsi bahwa pasukan yang dipimpinnya memang sengaja disiapkan untuk mengawal Nestorius.[16] Kandidianus memerintahkan agar seluruh rahib dan semua orang asing yang bukan rohaniwan untuk meninggalkan kota Efesus, serta melarang para uskup untuk meninggalkan kota itu dengan alasan apa pun sampai dengan penutupan konsili.[15] Menurut beberapa sumber, larangan ini bertujuan mencegah para uskup meninggalkan sidang konsili untuk berurusan langsung dengan kaisar.[17]
Menurut John Anthony McGuckin, Memnon, selaku Uskup Efesus, "sangat disegani dan dijunjung tinggi" oleh warga kota, sehingga dapat mengandalkan dukungan mereka guna mengimbangi kekuatan militer yang dibawa Kandidianus.[18] Dengan berpedoman pada keputusan Roma yang membidahkan Nestorius, Memnon menolak menjalin komunikasi dengan Nestorius, dan menutup semua gedung gereja di kota Efesus baginya.[19]
Sirilus tiba beberapa hari menjelang hari raya Pentakosta dengan membawa serta 50 orang uskup.[20] Sangat sedikit uskup Gereja Barat yang hadir, karena rombongan utusan Sri Paus baru tiba pada bulan Juli.[21] Delegasi Palestina yang terdiri atas 16 orang uskup di bawah pimpinan Flavianus, Uskup Metropolia Filipi, tiba lima hari lebih lambat dari tanggal yang telah ditetapkan sebagai hari pembukaan konsili, dan langsung berpihak pada Sirilus.[21]
Setelah kedatangan delegasi Palestina, Sirilus memaklumkan niatnya untuk membuka konsili, namun tidak dikabulkan oleh Kandidianus dengan alasan delegasi Roma dan delegasi Antiokhia belum hadir.[10] Mula-mula Sirilus menuruti larangan Kandidianus karena insyaf bahwa konsili mustahil terselenggara secara sah tanpa pembacaan imbauan suci kaisar.[22]
Sejumlah uskup, yang belum menentukan keberpihakannya, tidak membenarkan Sirilus memimpin sidang dan memutuskan agenda persidangan karena Sirilus adalah salah satu pihak yang berperkara,[23] tetapi akhirnya berpihak pada Sirilus karena satu dan lain hal.[24]
Berbagai hambatan, antara lain pengalihan rute perjalanan akibat banjir serta sakit dan kematian beberapa anggota delegasi, memperlambat waktu kedatangan Batrik Yohanes beserta uskup-uskup dari Antiokhia.[25] Tersiar desas-desus bahwa Batrik Yohanes sengaja menunda-nunda kedatangannya karena enggan menghadiri konsili yang sudah diduga akan membidahkan Nestorius.[14]
Sidang pertama, 22 Juni
Dua minggu dari tanggal yang telah ditetapkan sebagai hari pembukaan konsili, Batrik Yohanes beserta serombongan besar uskup-uskup Suriah (42 orang) tidak kunjung tampak batang hidungnya, sehingga Sirilus akhirnya membuka sidang konsili secara resmi pada hari Minggu, tanggal 22 Juni, dengan meletakkan Kitab Injil di atas mimbar khusus yang ditempatkan di tengah-tengah gedung gereja sebagai lambang kehadiran Kristus di tengah-tengah para peserta konsili.[26]
Meskipun sudah dipanggil menghadap sebanyak tiga kali, Nestorius menolak mengakui kewenangan Sirilus untuk menghakiminya, dan menganggap tindakan pembukaan konsili sebelum kedatangan delegasi Antiokhia sebagai "ketidakadilan yang mencolok".[10][14] 68 orang uskup yang menentang pembukaan konsili memasuki gedung gereja bersama-sama dengan Komes Kandidianus yang menyatakan sidang tidak sah dan harus dibubarkan.[27] Ia mendesak Sirilus untuk bersabar selama empat hari lagi, menanti kedatangan delegasi Suriah.[28] Kendati demikian, berhubung para uskup penentang pembukaan konsili telah hadir di ruang sidang, Sirilus dengan cerdik memperdaya Kandidianus untuk membacakan imbauan suci kaisar yang kemudian disambut dengan sorakan para hadirin sebagai pengakuan akan keabsahannya.[29]
Kedatangan delegasi Antiokhia
Batrik Yohanes dan rombongan uskup Suriah menggelar tatap muka dengan Kandidianus, sesampainya mereka di kota Efesus lima hari kemudian. Kandidianus memberitahukan kepada mereka bahwa Sirilus telah membuka sidang konsili tanpa kehadiran mereka, dan telah meratifikasi putusan Paus Selestinus untuk membidahkan Nestorius. Batrik Yohanes dan rombongan uskup Suriah, yang gusar karena sudah jauh-jauh datang hanya untuk mendapati kenyataan bahwa Sirilus telah melangkahi mereka, akhirnya menggelar sidang konsili sendiri yang dipimpin oleh Kandidianus.[30][31] Konsili ini mengutuk Sirilus karena mengusung bidah Arianisme, Apolinarisme, dan Eunomianisme, serta mengutuk Memnon karena memicu tindak kekerasan. Sidang konsili versi Batrik Yohanes ini memakzulkan Sirilus maupun Memnon.[10] Mula-mula kaisar membenarkan persidangan konsili versi Batrik Yohanes, tetapi akhirnya menarik kembali pembenarannya.
Sidang ke-2, 10 Juli
Sidang ke-2 berlangsung di kediaman Uskup Memnon. Filipus, selaku wakil pribadi Sri Paus, mengawali persidangan dengan mengemukakan bahwa perkara Nestorius sudah diputuskan oleh Paus Selestinus sebagaimana yang ditunjukkan oleh isi suratnya, yakni surat yang telah dibacakan di hadapan sidang para uskup dalam sesi pertama. Ia mengaku membawa surat kedua dari Sri Paus yang selanjutnya ia bacakan di hadapan sidang. Surat itu berisi taklimat umum yang ditujukan bagi sidang, dan diakhiri dengan pernyataan bahwa para utusan telah diberi petunjuk pelaksanaan putusan Sri Paus terkait perkara Nestorius serta keyakinan Sri Paus bahwa sidang akan menyetujuinya. Para uskup menunjukkan persetujuan mereka dengan mengelu-elukan nama Selestinus dan Sirilus. Proyektus memaklumkan bahwa surat ini merupakan imbauan kepada sidang untuk melaksanakan putusan yang telah ditetapkan oleh Paus Selestinus. Firmus, Eksarkos (wakil batrik) untuk Kaisarea di Kapadokia, menanggapi maklumat Proyektus dengan pernyataan bahwa putusan Sri Paus telah dilaksanakan pada sesi pertama. Sesi kedua ditutup dengan pembacaan surat Sri Paus kepada kaisar.[14]
Sidang ke-3, 11 Juli
Setelah membaca berita acara sidang pertama, rombongan utusan paus hanya meminta sidang untuk membacakan secara resmi pernyataan pembidahan Nestorius di hadapan mereka. Setelah sidang melakukannya, ketiga utusan Sri Paus membenarkan langkah-langkah yang telah diambil sidang dengan membubuhkan tanda tangan masing-masing pada lembaran-lembaran berita acara sesi pertama, sesi ke-2, dan sesi ke-3. Sidang mengirimkan sepucuk surat kepada kaisar berisi pemberitahuan bahwa pembidahan terhadap Nestorius telah disetujui bukan hanya oleh uskup-uskup Gereja Timur yang bersidang di Efesus melainkan juga oleh uskup-uskup Gereja Barat yang telah bersidang di kota Roma dalam sinode yang diselenggarakan oleh Paus Selestinus. Para uskup memohon Kaisar Teodosius II untuk mengizinkan mereka membubarkan diri karena banyak dari antara mereka yang menderita lantaran diharuskan tinggal di Efesus.[14]
Sidang ke-4, 16 Juli
Dalam sidang ke-4, Sirilus dan Memnon mengajukan protes resmi terhadap Batrik Yohanes, karena telah menggelar sidang sendiri. Majelis uskup mengeluarkan surat panggilan menghadap kepada Batrik Yohanes, tetapi yang bersangkutan tidak berkenan untuk dijumpai petugas pengantar surat.[14]
Sidang ke-5, 17 Juli
Sidang ke-5 digelar di dalam gereja yang sama. Batrik Yohanes, telah membentangkan selebaran di kota yang menuding para peserta sidang sebagai sekumpulan ahli bidah Apolinarisme. Sidang sekali lagi mengeluarkan surat panggilan menghadap yang diperhitungkan sebagai panggilan resmi ke-3. Karena tidak kunjung digubris, sidang mencabut keikutsertaan Batrik Yohanes dan mengucilkannya bersama 34 orang uskup pendukungnya, tetapi tidak memakzulkan mereka. Sejumlah pendukung Batrik Yohanes sudah lebih dahulu beralih haluan, dan hanya sejumlah kecil yang masih setia berpihak padanya. Dalam surat-surat kepada kaisar dan Sri Paus, sidang mengabarkan bahwa keanggotaannya kini hanya terdiri atas 210 orang uskup. Dalam sepucuk surat panjang kepada Sri Paus, sidang menjabarkan seluruh berita acara persidangan konsili dan mengabarkan bahwa maklumat pembidahan kaum Pelagian yang dikeluarkan Sri Paus telah dibacakan dan dibenarkan.[14]
Sidang ke-6, 22 Juli
Dalam sidang yang ke-6, para uskup menyetujui kanon nomor 7 yang membidahkan segala bentuk penyimpangan dari syahadat yang telah ditetapkan oleh Konsili Nikea I, khususnya terhadap penjabaran syahadat Kristen yang disusun oleh seorang imam bernama Karisius. Dalam laporan tertulisnya kepada Paus Selestinus, Sirilus mengabarkan bahwa Yubenalios, Uskup Yerusalem, berusaha tetapi gagal memperjuangkan pembentukan sebuah kebatrikan tersendiri, lepas dari yurisdiksi Kebatrikan Antiokhia. Cita-cita Yubenalios akhirnya terwujud bertahun-tahun kemudian dalam Konsili Kalsedon.[14]
Sidang ke-7, 31 Juli
Sidang ke-7 mengesahkan klaim para uskup Siprus bahwa takhta Keuskupan Siprus dahulu kala dan selayaknya lepas dari yurisdiksi Antiokhia. Majelis uskup juga meloloskan lima kanon pembidahan terhadap Nestorius dan Selestius beserta pengikut-pengikut mereka, dan satu kanon pemakzulan dari jabatan gerejawi atau pengucilan terhadap pihak-pihak yang tidak menerima keputusan-keputusan konsili.
Kanon dan maklumat
Sidang Konsili Efesus mengecam ajaran-ajaran Nestorius sebagai ajaran-ajaran yang keliru, serta memaklumkan bahwa Yesus bukanlah dua pribadi (hipostasis) yang terpisah melainkan satu pribadi utuh yang memiliki kodrat insani maupun kodrat ilahi, dan Perawan Maria sepatutnya digelari Teotokos, Sang Walidatullah (Yang Melahirkan Allah).
Sidang "melarang siapa saja untuk mengutarakan, menulis, maupun mereka-reka keyakinan lain (bahasa Yunani: ἑτέραν, heteran) sebagai tandingan ketetapan bapa-bapa suci yang berhimpun dalam persekutuan dengan Roh Kudus di Nikea".[2] Sidang mengutip versi Syahadat Nikea yang diterima oleh Konsili Nikea I pada tahun 325, bukan versi yang sudah ditambah-tambahi dan dimodifikasi oleh Konsili Konstantinopel I pada tahun 381.[32][33][34][35]
Selain membidahkan Nestorianisme, sidang juga membidahkan Pelagianisme.[2]
Delapan kanon yang diloloskan adalah sebagai berikut:
Kanon 1-5, pengutukan terhadap Nestorius dan Selestius beserta para pengikut mereka sebagai ahli bidah
Kanon 6, pemakzulan dari jabatan gerejawi atau pengucilan terhadap siapa saja yang tidak menerima keputusan-keputusan sidang Konsili Efesus
Kanon 7, pengutukan terhadap segala bentuk penyimpangan dari syahadat yang ditetapkan oleh Konsili Nikea I pada tahun 325, khususnya penjabaran iman Kristen yang disusun oleh Presbiter Karisius.
Kanon 8, pengutukan terhadap campur tangan Uskup Antiokhia dalam urusan-urusan Gereja di Siprus, dan pemakluman bahwa tidak seorang uskup pun dibenarkan "membawahi suatu provinsi yang sejak semula sampai dengan saat ini tidak dibawahi olehnya maupun para pendahulunya ... jika tidak ingin melanggar kanon-kanon yang ditetapkan oleh bapa-bapa suci".[2]
Pengukuhan keputusan
Jumlah uskup peserta sidang konsili versi Sirilus jauh lebih besar daripada jumlah uskup peserta sidang konsili versi Batrik Yohanes, mendekati empat banding satu. Lagi pula Sirilus mengantongi persetujuan utusan-utusan Sri Paus dan dukungan warga Efesus yang sangat menghormati Memnon, uskup mereka.
Kendati demikian, Kandidianus beserta pasukannya tetap berpihak pada Nestorius, demikian pula halnya dengan Komes Ireneus. Kaisar memang seorang pendukung Nestorius, tetapi pendiriannya mulai goyah setelah menerima laporan-laporan konsili. Kubu Sirilus tidak dapat berkomunikasi dengan kaisar karena sengaja dihalang-halangi oleh para pendukung Nestorius di Konstantinopel maupun di Efesus. Sidang konsili versi Sirilus akhirnya dapat menyampaikan sepucuk surat kepada kaisar dengan cara menyembunyikannya di dalam sebatang tongkat berongga lalu diselundupkan ke dalam kota Konstantinopel oleh juru warta yang menyamar sebagai seorang pengemis.
Mekipun sudah lama menjadi pendukung setia Nestorius, Kaisar Teodosius II menjadi bimbang setelah menerima laporan sidang konsili yang dipimpin Sirilus. Sikap bimbang ini mendorong Kaisar mengambil keputusan yang luar biasa, yakni mengesahkan keputusan pemakzulan yang dikeluarkan oleh kedua-dua sidang konsili. Kaisar mengeluarkan pernyataan bahwa Sirilus, Memnon, dan Yohanes sama-sama dimakzulkan dari jabatannya. Memnon dan Sirilus ditempatkan di bawah penjagaan ketat. Sekalipun kubu Antiokhia sudah berusaha mencegah dengan berbagai cara, rombongan utusan konsili dari kubu Sirilus yang akhirnya diperkenankan menghadap ke istana bersama-sama dengan Filipus, utusan Sri Paus, dapat membujuk kaisar untuk mengakui sidang konsili versi Sirilus sebagai sidang Konsili Efesus yang sesungguhnya. Nestorius, yang sudah menginsafi ke arah mana angin kini bertiup dan sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan, meminta izin untuk undur diri ke biara asalnya. Sidang dibubarkan pada permulaan bulan Oktober, dan kepulangan Sirilus disambut dengan penuh sukacita di Aleksandria pada tanggal 30 Oktober. Paus Selestinus telah wafat pada tanggal 27 Juli, tetapi penggantinya, Paus Sistus III, mengukuhkan keputusan-keputusan Konsili Efesus.
Penyelenggaraan Konsili Efesus menimbulkan skisma besar di antara para peserta kedua sidang yang digelar terpisah. Kedua kubu baru dapat dirukunkan setelah melewati perundingan yang berbelit-belit. Sidang yang dipimpin Batrik Yohanes dengan berat hati membenarkan pembidahan Nestorius, dan menerima keputusan-keputusan sidang yang dipimpin Sirilus setelah diberi penjelasan lebih lanjut. Meskipun demikian, keretakan hubungan di antara kedua kubu kembali menganga dalam perdebatan-perdebatan yang bermuara pada penyelenggaraan Konsili Kalsedon.
Agama Kristen sudah lama hadir di Kekaisaran Persia, kendati umatnya sering kali ditindas oleh warga mayoritas Majusi karena dicurigai sebagai simpatisan Romawi. Pada tahun 424, Gereja Persia menyatakan kemandiriannya, lepas dari Gereja Bizantin dan semua Gereja lain, demi menghindari tuduhan-tuduhan sebagai antek asing. Selepas skisma Nestorian, Gereja Persia kian lama kian mengeratkan hubungan dengan kaum bidah Nestorian. Langkah ini didukung oleh golongan penguasa Persia yang beragama Majusi. Doktrin Gereja Persia menjadi semakin berhaluan Nestorian pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya, sehingga semakin memperlebar jurang pemisah antara umat Kristen di Kekaisaran Persia dan umat Kristen di Kekaisaran Romawi. Pada tahun 486, Barsauma, Uskup Metropolia Nisibis, di hadapan umum menerima pembimbing Nestorius, yakni Teodoros, Uskup Mopsuestia, sebagai pemimpin rohani. Ketika Perguruan Edesa di Mesopotamia ditutup pada tahun 489 oleh Kaisar Zeno karena ajaran-ajarannya yang berhaluan Nestorian, lokasinya dipindahkan ke kota Nisibis, tempat perguruan itu pertama kali berdiri. Perpindahan lokasi ini membuat perguruan ini sekali lagi dikenal dengan nama Perguruan Nisibis, dan mendorong kaum Nestorian untuk beramai-ramai hijrah ke Persia. Batrik Persia, Mar Babai I (497–502), mengukuhkan penerimaan Gereja Persia terhadap paham Nestorianisme yang kembali marak lantaran tingginya rasa hormat umat Kristen Persia pada Uskup Teodoros.[36]
Usaha rujuk
Deklarasi Kristologi Bersama Antara Gereja Katolik dan Gereja Asiria dari Timur tahun 1994 menandai resolusi sengketa di antara kedua Gereja yang telah berlangsung semenjak Konsili Efesus. Kedua belah pihak mengungkapkan kesepahaman mereka atas doktrin keilahian dan kemanusiaan Kristus, serta mengakui keabsahan dan kebenaran penyebutan Maria sebagai "Bunda Kristus, Allah dan Juru Selamat kita" oleh pihak Asiria maupun sebagai "Bunda Allah" sekaligus "Bunda Kristus" oleh pihak Katolik.[37]
^McGuckin, hlm. 78; Kendati demikian, tentunya ia sepenuhnya menyadari bahwa sinodenya mustahil dinyatakan sah menurut hukum kekaisaran sebelum maklumat suci kaisar dibacakan secara resmi.
^Gibbon. The Decline and Fall of the Roman Empire. hlm. 115.
^McGuckin, hlm. 79; Kandidianus baru sadar sudah terkecoh seusai membacakan imbauan suci kaisar. Para uskup bersorak "hidup kaisar" untuk menunjukkan kesetiaan mereka pada negara, tetapi dengan dibacakannya imbauan suci kaisar di hadapan sidang para uskup, sinode Efesus dianggap sudah resmi bersidang, sah menurut hukum kekaisaran maupun hukum kanon.