Sejarah kepausan, sebuah lembaga yang dipegang oleh Paus sebagai kepala Gereja Katolik Roma, yang menurut doktrin Katolik, berjalan dari zaman Petrus sampai saat ini.
Dari 1048 sampai 1257, kepausan mengalami peningkatan konflik dengan para pemimpin dan gereja Kekaisaran Romawi Suci dan Kekaisaran Bizantium. Konflik tersebut berujung pada Skisma Timur-Barat, yang memperpecah Gereja Barat dan Gereja Timur. Dari 1257–1377, seorang Paus, melalui uskup Roma, tinggal di Viterbo, Orvieto, dan Perugia, dan kemudian Avignon. Kembalinya para Paus ke Roma setelah Kepausan Avignon disusul oleh Skisma Barat: perpecahan gereja barat antara dua dan, untuk sebuah masa, tiga pengklaim kepausan yang bersaing.
Institusi kepausan diawali pada awal Abad Pertengahan. Struktur organisasi dari Gereja Katolik Roma mulai terbentuk secara baik pada masa kepausan Paus Gregorius I yang menjabat sejak tahun 590 hingga 604 Masehi. Paus Gregorius I menjadi Paus pertama yang membentuk birokrasi kepausan. Selain itu, dia juga memperkuat kekuasaan yang dimiliki oleh kepausan. Ia dikenal sebagai penyusun kekuatan politik kepausan. Kekayaan gereja diorganisirnya menggunakan metode administrasi Kekaisaran Romawi. Hal ini diterapkan di wilayah Italia, Sisilia, Sardinia, Galia dan wilayah di sekitarnya. Paus Gregorius I juga memperkuat ototritas kepausan atas para uskup dan pastor lainnya. Paus Gregorius I juga menjalin aliansi dengan negeri Franka dan mengirimkan para misionaris ke Inggris untuk menaklukkan Anglo-Saxon. Para prajurit Kekaisaran Romawi diberinya makan dengan mengadakan ekspor gandum sebagai kegiatan ekonomi. Pasukan ini kemudian dikirimnya untuk melawan kelompok dari ajaran sesat di Lombardia.[1]
Masa Paus Stefanus III
Berkat usaha awal dari Paus Gregorius I, Kerajaan Kepausan dibentuk pada abad ke-8 Masehi. Pembentukan ini sebagai hasil aliansi kepausan dengan raja negeri Franka, Pippin I dari Aquitaine. Kerja sama tersebut dilakukan oleh kepausan dengan memberikan legitimasi atas keluarga Pippin I dari Aquitaine. Sebuah perjanjian juga ditetapkan oleh Pippin I dari Aquitaine pada tahun 754 yang isinya berupa pengembalian teritori patrimoni dari masa Simon Petrus. Lalu pada masa Paus Stefanus III, dibuat perjanjian balasan bahwa kepausan akan memberikan hukuman berupa pengucilan kepada raja-raja dari negeri Franka yang tidak berasal dari keluarga Pippin.[1]
Masa Paus Leo III
Politik kepausan berubah secara drastis pada masa Paus Leo III. Ia mengambil keputusan untuk menyerahkan mahkota Kerajaan Romawi kepada anak dari Pippin I pada tahun 800 Masehi, yaitu Karel yang Agung. Kepausan kemudina menyebutnya sebagai Kaisar Romawi. Tindakan ini membuat gelar kekaisaran beralih dari Kekaisaran Romawi Timur ke Kekaisaran Romawi Barat dan membentuk Kekaisaran Romawi Suci. Pengesahan kekuasaan kepada Karel yang Agung ini kemudian membentuk pola hubungan baru antara gereja dan negara. Hubungan ini kemudian memicu terjadinya konflik politik kegamaan pada Abad Pertengahan.[2]
Masa Paus Gregorius VII
Masa Paus Gregorius VII diliputi oleh konflik dengan raja Kekaisaran Romawi Suci saat itu, Heinrich IV. Konflik ini berlangsung pada abad ke-11 Masehi. Konflik ini diawali oleh pelarangan keterlibatan raja dalam pengangkatan pejabat gereja. Argumen yang diberikan oleh Paus Gregorius VII adalah bahwa tradisi pengangkatan pejabat gereja yang bersifat monarki telah berlangsung sejak masa Kekaisaran Romawi. Pejabat gereja hanya dapat dilantik dan diberhentikan oleh Paus. Konflik juga terjadi karena Paus Gregorius VII menyatakan bahwa hanya kepausan yang berhak mengeluarkan doktrin tentang aturan moral dan keagamaan. Seorang penguasa yang dikucilkan oleh Paus telah dianggap bukan lagi bagian dari penganut Kristen sehingga tidak lagi dapat berkuasa di wilayah Kristen. Pernyataan tersebut ditolak oleh Heinrich IV. Ia menyatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh raja juga langsung berasal dari Tuhan. Karena hal ini, Paus Gregorius VII mengusahakan kepatuhan dari Heinrich IV. Pada akhirnya, Heinrich IV kalah dalam konflik politik tersebut. Ia kemudian dipaksa menemui Paus Gregorius VII pada tahun 1077 di Canossa. Paus hanya memberikan keringanan hukuman tetapi tidak membiarkan kekuasaannya dikembalikan.[2]
Husaini, Adian (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal. Jakarta: Gema Insani. ISBN978-602-250-517-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)