Reformasi Inggris adalah serangkaian peristiwa yang terjadi di Inggris pada abad ke-16 ketika Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus dan Gereja Katolik Roma. Peristiwa ini terkait dengan Reformasi Protestan yang menyebar luas di seluruh Eropa, menjadi gerakan keagamaan dan politik yang memengaruhi praktik Kekristenan di sebagian besar Eropa selama periode ini.
Secara ideologis, landasan bagi Reformasi diletakkan oleh para humanis Renaisans yang memercayai bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber iman Kristen dan mengkritik praktik-praktik keagamaan yang mereka nilai sebagai takhayul. Pada tahun 1520, ide-ide baru Martin Luther diperkenalkan dan diperdebatkan di Inggris, tetapi kaum Protestan merupakan minoritas agama dan bidat menurut hukum. Reformasi Inggris dimulai lebih sebagai peristiwa politik daripada perselisihan teologis.[note 1] Pada tahun 1527, Henry VIII meminta agar pernikahannya dianulir, tetapi Paus Klemens VII menolak. Sebagai tanggapan, Parlemen Reformasi (1529-1536) mengesahkan undang-undang yang menghapuskan otoritas kepausan di Inggris dan menyatakan Henry sebagai kepala Gereja Inggris. Otoritas terakhir dalam perselisihan doktrinal sekarang berada di tangan raja. Meskipun ia sendiri adalah seorang tradisionalis religius, Henry mengandalkan kaum Protestan untuk mendukung dan melaksanakan agenda keagamaannya.
Teologi dan liturgi Gereja Inggris menjadi sangat Protestan pada masa pemerintahan anak Henry, Edward VI (1547-1553), sebagian besar mengikuti arahan dari Uskup Agung Thomas Cranmer. Pada masa pemerintahan Mary I dari Inggris (1553-1558), agama Katolik Roma dipulihkan dan Inggris secara singkat berada di bawah yurisdiksi kepausan. Penyelesaian Keagamaan Elizabeth memperkenalkan kembali agama Protestan tetapi dengan gaya yang lebih moderat. Meskipun demikian, perselisihan mengenai struktur, teologi, dan peribadatan Gereja Inggris terus berlanjut selama beberapa generasi.
Reformasi Inggris umumnya dianggap berakhir pada masa pemerintahan Elizabeth I (1558-1603), tetapi para sarjana juga membicarakan sebuah "Reformasi Panjang" yang berlangsung hingga abad ke-17 dan ke-18. Kurun waktu ini meliputi perselisihan mengenai agama yang diwarnai dengan kekerasan selama periode Stuart, yang paling terkenal adalah Perang Saudara Inggris yang berujung pada pemerintahan Oliver Cromwell yang adalah seorang Puritan. Setelah Restorasi Stuart dan Revolusi Agung, Gereja Inggris tetap menjadi agama negara, tetapi sejumlah gereja nonkonformis yang anggotanya mengalami berbagai kecacatan hak-hak sipil hingga akhirnya hal ini dihapus beberapa tahun kemudian. Sebuah minoritas yang substansial namun terus berkurang dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-19 tetap beragama Katolik Roma – organisasi gereja mereka tetap ilegal hingga Undang-Undang Bantuan Katolik Roma 1829.
Pada awal abad ke-16, Inggris adalah sebuah negara Roma Katolik. Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa orang yang menyesal dapat bekerja sama dengan Allah menuju keselamatan mereka dengan melakukan perbuatan baik (lihat sinergisme).[1]Anugerah Allah diberikan melalui tujuh sakramen—Pembaptisan, Penguatan, Perkawinan, Imamat, Pengurapan Orang Sakit, Tobat, dan Ekaristi.[2] Ekaristi dirayakan dalam Misa, yang merupakan inti dari ibadah Katolik. Dalam ibadah ini, seorang imam menguduskan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus melalui transubstansiasi. Gereja mengajarkan bahwa, atas nama kongregasi, imam mempersembahkan kepada Allah pengorbanan yang sama dengan yang Kristus lakukan di kayu salib yang menyediakan penebusan untuk dosa umat manusia.[3][4] Misa juga merupakan persembahan doa yang dengannya orang yang masih hidup dapat membantu jiwa di api penyucian.[5] Meskipun sakramen tobat menghapus kebersalahan (guilt) yang melekat pada dosa, Gereja Katolik mengajarkan bahwa masih ada hukuman yang harus ditanggung. Mereka percaya bahwa kebanyakan orang akan mengakhiri hidup mereka tanpa menyelesaikan hukuman ini sehingga mereka harus menghabiskan waktu di api penyucian. Waktu di api penyucian dapat dikurangi melalui indulgensi dan doa untuk orang mati, yang dimungkinkan oleh persekutuan orang-orang kudus.[6]
Lollardy mengantisipasi beberapa ajaran Protestan. Berasal dari tulisan-tulisan John Wycliffe, seorang teolog abad ke-14 dan penerjemah Alkitab, Lollardy menekankan keutamaan kitab suci dan mengutamakan khotbah di atas Perjamuan Kudus, dan menganggap Perjamuan Kudus sebagai sebuah peringatan.[7][8] Meskipun dianiaya dan jumlah serta pengaruhnya jauh berkurang pada abad ke-15,[9] kaum Lollard menerima ide-ide Protestan.[10][halaman dibutuhkan]
Para humanis Renaisans, seperti Erasmus (yang tinggal di Inggris untuk sementara waktu), John Colet dan Thomas More, menyerukan untuk kembali ad fontes ("kembali kepada sumber-sumber") iman Kristen—kitab suci sebagaimana dipahami melalui kesarjanaan tekstual dan linguistik[11]—dan ingin membuat Alkitab tersedia dalam bahasa sehari-hari. Kaum humanis mengkritik apa yang mereka sebut sebagai praktik-praktik takhayul dan korupsi oleh klerus, sambil lebih mementingkan kesalehan spiritual daripada ritual keagamaan. Beberapa pemimpin Protestan awal melewati fase humanis sebelum menerima gerakan baru ini.[12]
Reformasi Protestan dimulai oleh biarawan Jerman Martin Luther. Pada awal tahun 1520-an, pandangan Luther diperkenalkan dan diperdebatkan di Inggris.[13] Papan utama dari teologi Martin Luther adalah pembenaran hanya oleh iman dan bukan oleh perbuatan baik. Dalam pandangan ini, kemurahan Tuhan yang tidak layak diterima adalah satu-satunya cara bagi manusia untuk bisa dibenarkan—tidak dapat dicapai atau diperoleh melalui hidup yang benar. Dengan kata lain, pembenaran adalah anugerah dari Allah yang diterima melalui iman.[14]
Jika Luther benar, maka Misa, sakramen-sakramen, perbuatan-perbuatan amal, doa kepada orang-orang kudus, doa-doa untuk orang mati, peziarahan, dan penghormatan terhadap relikui tidak memperantarai kemurahan ilahi. Mempercayai hal yang sebaliknya adalah takhayul dan penyembahan berhala.[15][16] Kaum Protestan awal menggambarkan praktik-praktik Katolik seperti pengakuan dosa kepada para imam, selibasi klerus, dan persyaratan untuk puasa dan menepati kaul religius sebagai hal yang memberatkan dan penindasan secara spiritual. Menurut kaum Protestan, api penyucian tidak hanya tidak memiliki dasar alkitabiah, tetapi para klerus juga dituduh memanfaatkan rasa takut akan api penyucian untuk menghasilkan uang dari doa dan misa. Umat Katolik membalas bahwa pembenaran hanya dengan iman adalah "surat izin untuk berbuat dosa".[17]
Penerbitan Perjanjian Baru Bahasa Inggris karya William Tyndale pada tahun 1526 membantu menyebarkan ide-ide Protestan. Diterbitkan di luar negeri dan diselundupkan ke dalam Inggris, Alkitab Tyndale adalah Alkitab bahasa Inggris pertama yang diproduksi secara massal; mungkin ada 16.000 eksemplar di Inggris pada tahun 1536. Terjemahan Tyndale sangat berpengaruh, menjadi dasar dari semua terjemahan-terjemahan bahasa Inggris setelahnya.[18] Sebagai serangan terhadap agama tradisional, terjemahan Tyndale menyertakan sebuah epilog yang menjelaskan teologi pembenaran oleh iman Luther, dan banyak pilihan terjemahan yang dirancang untuk merendahkan ajaran-ajaran Katolik tradisional. Tyndale menerjemahkan kata Yunani charis sebagai kasih karunia (favor) dan bukannya anugerah (grace) untuk menghilangkan penekanan pada peran sakramen-sakramen pemberi anugerah. Pilihannya untuk menggunakan kata kasih dan bukannya "amal" untuk menerjemahkan kata agape menghilangkan penekanan pada perbuatan baik. Ketika menerjemahkan kata kerja Yunani metanoeite ke dalam bahasa Inggris, Tyndale menggunakan bertobat (repent) dan bukan melakukan penitensi (do penance). Kata "bertobatan" menunjukkan sebuah pembalikan internal kepada Allah, sementara terjemahan "melakukan penitensi" mendukung sakramen pengakuan dosa.[19]
Ide-ide Protestan sangat populer di sebagian masyarakat Inggris, terutama di kalangan akademisi dan pedagang yang memiliki hubungan dengan Eropa daratan.[20] Pemikiran Protestan lebih diterima di Universitas Cambridge daripada di Universitas Oxford.[12] Sekelompok mahasiswa Cambridge yang berpikiran reformasi (dikenal dengan julukan "Jerman Kecil") bertemu di kedai minuman White Horse pada pertengahan tahun 1520-an. Anggotanya termasuk Robert Barnes, Hugh Latimer, John Frith, Thomas Bilney, George Joye, dan Thomas Arthur.[21]
Meski demikian, agama Katolik Inggris sangat kuat dan populer di awal tahun 1500-an, dan mereka yang bersimpati pada Protestan tetap menjadi minoritas agama hingga peristiwa politik mengintervensi.[22] Sebagai bidat di mata gereja dan negara, kaum Protestan awal dianiaya. Antara tahun 1530 dan 1533, Thomas Hitton (martir Protestan pertama di Inggris), Thomas Bilney, Richard Bayfield, John Tewkesbury, James Bainham, Thomas Benet, Thomas Harding, John Frith, dan Andrew Hewet dibakar hingga mati.[23]William Tracy secara anumerta dihukum atas tuduhan bidat karena menyangkal api penyucian dan menegaskan pembenaran oleh iman, dan tubuhnya digali dan dibakar.[24]
Reformasi Henrician
Kontroversi anulasi
Henry VIII naik takhta sebagai raja Inggris pada tahun 1509 saat berusia 17 tahun. Ia menikah dengan Katherine dari Aragon, janda kakaknya, Arthur, pada bulan Juni 1509, tepat sebelum upacara penobatannya pada hari pertengahan musim panas. Tidak seperti ayahnya yang penuh rahasia dan konservatif, Henry muda memiliki sifat yang kesatria dan penuh keramahan. Sebagai seorang Katolik Roma yang taat, ia mengikuti misa hingga lima kali sehari (kecuali saat musim berburu). Dengan "pikiran yang kuat tetapi tidak orisinal", ia membiarkan dirinya dipengaruhi oleh para penasihatnya yang tidak pernah berpisah darinya, baik siang maupun malam. Oleh karena itu, ia mudah terpengaruh oleh siapa pun yang ia dengar.[note 2]
Hal ini berkontribusi pada kondisi permusuhan antara pemuda sezamannya dengan Lord Chancellor, Kardinal Thomas Wolsey. Selama ia mendengarkan Wolsey, agama Katolik Roma Henry aman: pada tahun 1521, ia telah membela Gereja Katolik Roma dari tuduhan bidat Martin Luther dalam sebuah buku yang ditulisnya—mungkin dengan bantuan yang cukup besar dari Uskup Rochester yang konservatif John Fisher[25]—berjudul Pembelaan atas Tujuh Sakramen, di mana ia dianugerahi gelar Pembela Iman (Fidei Defensor) oleh Paus Leo X.[26] (Raja-raja Inggris dan Inggris berturut-turut telah mempertahankan gelar ini hingga saat ini, bahkan setelah Gereja Anglikan memisahkan diri dari Katolik Roma, sebagian karena gelar tersebut dianugerahkan kembali oleh Parlemen pada tahun 1544, setelah perpecahan.) Musuh-musuh Wolsey di istana termasuk mereka yang telah dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Lutheran, [27] di antaranya adalah Anne Boleyn yang menarik dan berkharisma.[butuh rujukan]
Anne tiba di istana pada tahun 1522 sebagai dayang kehormatan bagi Ratu Katherine, setelah menghabiskan beberapa tahun di Prancis untuk dididik oleh Ratu Claude dari Prancis. Ia adalah wanita yang memiliki "pesona, gaya, dan kecerdasan, dengan keinginan dan kebuasan yang membuatnya cocok dengan Henry".[note 3] Anne adalah seorang pembicara, penyanyi, dan penari Prancis yang terkemuka. Ia adalah wanita yang berbudaya dan mungkin adalah penulis beberapa lagu dan puisi, tetapi hal ini masih diperdebatkan.[28] Pada tahun 1527, Henry ingin pernikahannya dengan Katherine dianulasi.[note 4] Katherine belum menghasilkan pewaris laki-laki yang bertahan hidup lebih dari dua bulan, dan Henry menginginkan seorang putra untuk mengamankan keberlangsungan dinasti Tudor. Sebelum ayah Henry (Henry VII) naik takhta, Inggris telah dilanda perang saudara dalam memperebutkan klaim atas mahkota Inggris. Henry ingin menghindari ketidakpastian yang sama dengan cara memiliki ahli waris yang sah.[29] Satu-satunya anak Katherine dari Aragon yang masih bertahan hidup hingga dewasa adalah Putri Mary.[butuh rujukan]
Henry mengklaim bahwa tidak adanya ahli waris laki-laki ini disebabkan karena pernikahannya "cacat di mata Allah."[30] Catherine adalah istri mendiang saudaranya. Oleh karena itu, dengan menikahi Katherine, Henry telah melakukan tindakan yang bertentangan terhadap ajaran Alkitab (Imamat 20:21). Sejak awal, dispensasi khusus dari Paus Yulius II diperlukan agar pernikahan tersebut diizinkan.[31] Henry berargumen bahwa pernikahan tersebut tidak pernah sah karena larangan Alkitab adalah bagian dari hukum ilahi yang tidak dapat dilanggar, dan bahkan para paus pun tidak dapat memberikan dispensasi.[note 5] Pada tahun 1527, Henry meminta Paus Klemens VII untuk menganulir pernikahan tersebut, tetapi Paus menolak. Menurut hukum kanonik, paus tidak dapat menganulir pernikahan atas dasar halangan kanonik yang telah didispensasi sebelumnya. Klemens juga takut akan murka keponakan Katherine, Kaisar Romawi SuciKarl V, yang pasukannya pada awal tahun itu telah menjarah Roma dan secara singkat menawan Sri Paus.[32]
Perpaduan antara "keraguan hati nurani" Henry dan hatinya yang terpikat oleh Anne Boleyn membuat keinginannya untuk menyingkirkan ratunya semakin kuat.[33] Pada tahun 1529, kanselirnya, Kardinal Wolsey, didakwa atas tuduhan praemunire (mengutamakan otoritas kepausan di atas Mahkota) dan kemudian Wolsey meninggal pada bulan November 1530 dalam perjalanan ke London untuk menjawab tuduhan pengkhianatan besar. Kedua hal ini membuat Henry terbuka terhadap pengaruh para pendukung ratu dan pengaruh yang berlawanan dari mereka yang setuju untuk meninggalkan kesetiaan kepada Gereja Roma, yang bagi mereka anulasi hanyalah sebuah kesempatan.[34]
Tindakan melawan kaum klerus
Pada tahun 1529, Raja memanggil Parlemen untuk membahas anulasi pernikhan dan keluhan-keluhan lain terhadap gereja. Gereja Katolik merupakan institusi yang berkuasa di Inggris dengan sejumlah hak istimewa. Raja tidak dapat mengenakan pajak atau menuntut para klerus di pengadilan sipil. Gereja juga dapat memberikan suaka bagi para buronan, dan banyak bidang hukum―seperti hukum keluarga―dikendalikan oleh gereja. Selama berabad-abad, para raja telah berusaha membatasi kekuasaan gereja, dan Reformasi Inggris merupakan kelanjutan dari perebutan kekuasaan ini.[35]
Parlemen Reformasi bersidang pada tahun 1529 hingga 1536 dan mempertemukan mereka yang menginginkan reformasi namun tidak setuju dengan bagaimana bentuknya. Ada ahli hukum umum yang membenci hak istimewa kaum klerus untuk memanggil orang awam ke pengadilan gerejawi mereka, [36] dan ada juga yang dipengaruhi oleh Lutheranisme dan menentang teologi Roma. Kanselir Henry, Thomas More, penerus Wolsey, juga menginginkan reformasi: ia menginginkan undang-undang baru yang menentang ajaran bidat.[37]Thomas Cromwell, seorang ahli hukum dan anggota Parlemen, melihat bahwa Parlemen dapat digunakan untuk mendukung supremasi kerajaan atas gereja dan memajukan kepercayaan Protestan.[38]
Ia juga mendorong Henry untuk memilih Protestan sebagai agama negara.[39]Thomas Cranmer, anggota Parlemen lainnya yang beragama Protestan, diangkat sebagai Uskup Agung setelah reformasi. Sedangkan mengenai masalah pembatalan pernikahan, kesepakatan masih belum tercapai. Paus sepertinya lebih takut pada Karl V ketimbang Henry. Anne Boleyn dan Cromwell bersikeras bahwa mereka bisa mengabaikan wewenang Paus, tetapi pada Oktober 1530, para rohaniwan berunding dan sepakat bahwa Parlemen tidak berhak untuk menentang wewenang Paus. Henry kemudian memutuskan untuk mengintimidasi para pendeta yang menolak keputusannya.[40]
Henry yang geram memutuskan untuk menghukum para pendeta atas tuduhan melanggar praemunire. Undang-Undang Praemunire, yang melarang ketaatan kepada Paus dan penguasa asing dan telah diberlakukan sejak tahun 1392, telah diterapkan terhadap individu dalam sejumlah proses pengadilan. Henry juga menjatuhi hukuman terhadap para pendukung Ratu Catharina, termasuk UskupJohn Fisher, Nicholas West dan Henry Standish, serta diakonAdam Travers, atas tuduhan yang sama.[41] Henry menuntut denda sebesar £100.000 sebagai syarat pembebasan mereka, yang akhirnya diberikan oleh Konvokasi pada 24 Januari 1531. Para pendeta menuntut pembayaran tersebut dilakukan selama lima tahun. Henry setuju dan mengeluarkan lima keputusan yang menyatakan bahwa:
Para rohaniwan mengakui Henry sebagai "pelindung tunggal dan Pemimpin Agung Gereja dan rohaniwan di Inggris."[42]
Ketika Henry meninggal pada tahun 1547, putranya yang berusia sembilan tahun, Edward VI, mewarisi takhta. Karena Edward dididik sebagai seorang humanis Protestan, kaum Protestan menaruh harapan yang tinggi dan berharap ia akan menjadi seperti Yosia, raja Yehuda dalam Alkitab yang menghancurkan mezbah-mezbah dan patung-patung Baal.[note 6] Selama tujuh tahun masa pemerintahan Edward, kaum Protestan secara bertahap menerapkan perubahan keagamaan yang "dirancang untuk menghancurkan satu Gereja dan membangun Gereja lainnya, dalam sebuah revolusi keagamaan dengan ketelitian yang kejam".[43]
Namun, pada awalnya, Edward tidak terlalu diperhitungkan secara politis.[44] Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan dewan perwalian, yang memilih Edward Seymour, Adipati ke-1 Somerset, untuk menjadi Lord Protector. Somerset yang beragama Protestan pada awalnya melakukan reformasi dengan ragu-ragu, sebagian karena kekuasaannya bukan tanpa perlawanan.[45] Enam Pasal tetap menjadi hukum negara, dan sebuah proklamasi dikeluarkan pada tanggal 24 Mei untuk meyakinkan rakyat agar tidak melakukan "inovasi dan perubahan dalam agama".[46]
Meskipun demikian, Seymour dan Cranmer berencana untuk melanjutkan reformasi agama. Pada bulan Juli, sebuah Buku Homili diterbitkan, yang menjadi sumber khotbah semua pendeta pada hari Minggu.[47] Homili-homili tersebut memiliki isi yang secara eksplisit Protestan, mengecam relikui, gambar-gambar, rosario, air suci, ranting palma, dan "takhayul-takhayul kepausan" lainnya. Hal ini juga secara langsung bertentangan dengan Buku Raja dengan mengajarkan "kita dibenarkan hanya oleh iman, secara cuma-cuma, dan tanpa perbuatan". Meskipun ada keberatan dari Gardiner, yang mempertanyakan legalitas dari melangkahi Parlemen dan Konvokasi, pembenaran oleh iman telah menjadi ajaran utama Gereja Inggris.[48]
Ikonoklasme dan pembubaran chantry
Pada bulan Agustus 1547, tiga puluh komisaris—hampir semuanya Protestan—ditunjuk untuk melaksanakan kunjungan kanonik kerajaan terhadap gereja-gereja di Inggris.[49]Perintah Kerajaan tahun 1547 (bahasa Inggris: Royal Injunctions of 1547) yang dikeluarkan untuk mengarahkan para komisaris dipinjam dari perintah Cromwell tahun 1538, namun direvisi menjadi lebih radikal. Sejarawan Eamon Duffy menyebutnya sebagai "pergeseran signifikan ke arah Protestanisme penuh".[50]Prosesi gereja—salah satu aspek yang paling dramatis dan terbuka dalam liturgi tradisional—dilarang.[51] Perintah tersebut juga menyerang penggunaan sakramental, seperti air suci. Mereka menegaskan bahwa air suci tidak memberikan berkat maupun kesembuhan, tetapi hanya mengingatkan kita akan Kristus.[52] Menyalakan lilin nazar di depan gambar-gambar orang kudus telah dilarang pada tahun 1538, dan perintah tahun 1547 melangkah lebih jauh dengan melarang lilin-lilin tersebut diletakkan di layar altar.[53] Mendaraskan rosario juga dikutuk.[50]
Perintah tersebut memicu gelombang ikonoklasme pada musim gugur 1547.[54] Meskipun perintah tersebut hanya mengutuk gambar yang disalahgunakan sebagai objek penyembahan atau devosi, definisi penyalahgunaan diperluas untuk membenarkan penghancuran semua gambar dan relikui.[55]Kaca patri, tempat suci, patung, dan rood dirusak atau dihancurkan. Tembok-tembok gereja dikapur sehingga putih dan ditutupi dengan teks-teks Alkitab yang mengutuk penyembahan berhala.[56]
Uskup-uskup konservatif seperti Edmund Bonner dan Gardiner memprotes kunjungan tersebut, dan keduanya ditangkap. Bonner menghabiskan hampir dua minggu di Penjara Fleet sebelum akhirnya dibebaskan.[57] Gardiner dikirim ke Penjara Fleet pada bulan September dan tetap berada di sana hingga Januari 1548. Namun, ia terus menolak untuk memberlakukan kebijakan-kebijakan agama yang baru dan ditangkap sekali lagi pada bulan Juni dan dikirim ke Menara London selama sisa masa pemerintahan Edward.[58]
Ketika Parlemen baru bersidang pada bulan November 1547, parlemen mulai menghapus undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Henry VIII untuk melindungi agama tradisional.[59] Undang-Undang Enam Pasal dicabut—mendekriminalisasi penyangkalan terhadap kehadiran nyata dan fisik Kristus dalam Ekaristi.[60] Hukum mengenai ajaran bidat yang lama juga dicabut, sehingga memungkinkan perdebatan bebas tentang pertanyaan-pertanyaan agama.[61] Pada bulan Desember, Undang-Undang Sakramen mengizinkan kaum awam untuk menerima perjamuan dalam kedua rupa, baik anggur maupun roti. Hal ini ditentang oleh kaum konservatif namun disambut baik oleh kaum Protestan.[62]
^Menurut (Scruton 1996, hlm. 470), "Reformasi tidak boleh disamakan dengan perubahan-perubahan yang diperkenalkan ke dalam Gereja Inggris selama 'Parlemen Reformasi' pada tahun 1529-36, yang lebih bersifat politis daripada religius, yang dirancang untuk mempersatukan sumber-sumber kekuasaan sekuler dan religius di bawah satu kekuasaan yang berdaulat: Gereja Anglikan hingga saat berikutnya tidak melakukan perubahan substansial dalam hal doktrin."
^(Brigden 2000, hlm. 103) menulis, " Ia ... percaya bahwa ia dapat menyimpan rahasianya sendiri ... tetapi ia sering tertipu dan ia menipu dirinya sendiri."
^(Brigden 2000, hlm. 111) mencatat bahwa buku musik Anne berisi ilustrasi seekor elang yang sedang mematuk delima: elang adalah lambangnya, sedangkan delima adalah lambang Granada, lambang Katherine.
^Menurut (Marshall 2017, hlm. 164), "Henry menginginkan anulasi—sebuah pernyataan resmi dan legal tentang ketidakabsahan pernikahan tersebut. Namun, kata yang digunakan orang-orang sezamannya, perceraian, lebih tepat untuk menggambarkan kekacauan hukum dan emosional."
^(Marshall 2017, hlm. 166–167) menunjukkan bahwa "tidak menguntungkan bagi Henry, ayat Perjanjian Lama yang lain (Ul. 25:5) tampaknya memenuhi syarat larangan Lewi, yang memerintahkan seorang pria untuk mengambil janda saudaranya yang telah meninggal untuk dijadikan istri, jika tidak ada anak."
^T. A. Morris, Europe and England in the Sixteenth century, (Routledge, 1998), hlm. 172.
^Tanner Tudor Constitutional Documents (CUP) hlm. 17 gives this as "their singular protector, only and supreme lord, and, as far as the law of Christ allows, even Supreme Head"
Hargrave, O. T. (March 1982). "Bloody Mary's Victims: The Iconography of John Foxe's Book of Martyrs". Historical Magazine of the Protestant Episcopal Church. Historical Society of the Episcopal Church. 51 (1): 7–21. JSTOR42973872.
Loades, David (Winter 1989). "The Reign of Mary Tudor: Historiography and Research". Albion: A Quarterly Journal Concerned with British Studies. The North American Conference on British Studies. 21 (4): 547–558. doi:10.2307/4049536. JSTOR4049536.
—— (December 2005). "Putting the English Reformation on the Map". Transactions of the Royal Historical Society. Cambridge University Press. 15: 75–95. doi:10.1017/S0080440105000319. JSTOR3679363.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Roddy, Kate (Winter 2016). "Recasting Recantation in 1540s England: Thomas Becon, Robert Wisdom, and Robert Crowley". Renaissance and Reformation. 39 (1): 63–90. doi:10.33137/rr.v39i1.26543. JSTOR43918982.
Shagan, Ethan H. (2017). "The Emergence of the Church of England, c. 1520–1553". Dalam Milton, Anthony. The Oxford History of Anglicanism. 1: Reformation and Identity, c. 1520–1662. Oxford University Press. hlm. 28–44. ISBN9780199639731.
Slavin, Arthur J. (1990). "G. R. Elton: On Reformation and Revolution". The History Teacher. 23 (4): 405–431. doi:10.2307/494396. JSTOR494396.
Tanner, J. R. (1930). Tudor Constitutional Documents A.D. 1485–1603: With an Historical Commentary (edisi ke-2nd). Cambridge University Press. ISBN978-1107679405.
Vidmar, John (2005). English Catholic Historians and the English Reformation: 1585–1954. Brighton: Sussex Academic Press. OCLC54966133.
Ward, Cedric (Autumn 1981). "The House of Commons and the Marian Reaction 1553–1558"(PDF). Andrews University Seminary Studies. Andrews University Press. 19 (3): 227–241. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 28 September 2015.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)