Maksimus Pengaku Iman (bahasa Yunani: Μάξιμος ὁ Ὁμολογητής, Maksimos ho Homologetes), yang juga dikenal dengan nama Maksimus Teolog dan Maksimus dari Konstantinopel (Sekitar 580 – 13 Agustus 662), adalah seorang rahib sekaligus teolog dan sarjana Kristen.
Sebelum menjadi rahib, Maksimus adalah seorang pegawai aparatur sipil negara, bahkan terbilang salah seorang tangan kanan KaisarHeraklius, tetapi akhirnya meninggalkan hiruk-pikuk dunia politik dan berkhalwat di biara. Maksimus menguasai ilmu filsafat dari berbagai aliran, dan sebagaimana yang lazim pada zamannya, mengenal baik karya-karya tulis dialog filsafat Plato maupun ulasan-ulasan aliran filsafat Plato tentang gagasan-gagasan Aristoteles dan Plato, misalnya karya-karya tulis Plotinus, Porfirius, Yamblikus, dan Proklus.
Ketika salah seorang sahabatnya mulai menyiarkan paham kristologisMonotelitisme, Maksimus ikut terseret ke dalam kontroversi yang timbul akibat paham tersebut, dan mengusung salah satu tafsir rumusan Kristologi Kalsedon yang mendasari penegasan bahwa Yesus memiliki kehendak insani maupun kehendak ilahi. Lantaran berpendirian seperti inilah Maksimus akhirnya dianiaya. Sesudah diadili, lidah dan tangan kanannya dimutilasi. Maksimus selanjutnya menjalani pengasingan sampai akhir hayatnya pada tanggal 13 Agustus 662 di Tsageri (sekarang di Georgia). Meskipun demikian, pendirian teologisnya dibenarkan Konsili Konstantinopel III, dan Maksimus sendiri dihormati sebagai orang kudus tidak lama sesudah wafat.
Sedikit sekali informasi yang tersedia mengenai riwayat hidup Maksimus sebelum terlibat dalam konflik-konflik teologis dan politik yang dipicu kontroversi Monotelitisme.[2] Banyak sarjana yang mendalami riwayat hidup dan karya-karya tulis Maksimus mempertanyakan banyak sekali keterangan tentang dirinya yang tersaji di dalam biografi Maronit, antara lain keterangan bahwa "Maksimus lahir di Palestina", ungkapan yang lazim dipakai pada abad ke-7 untuk menjatuhkan citra lawan. Selain itu, taraf pendidikan Maksimus yang nyata-nyata sangat tinggi mustahil dicapai lewat bangku pendidikan di daerah mana pun di Kekaisaran Romawi Timur selain Konstantinopel, dan mungkin sekali Kaisarea serta Aleksandria. Mustahil pula "orang dari kalangan bawah", yakni gambaran tentang Maksimus di dalam biografi Maronit, saat baru berumur tiga puluh tahun sudah berhasil menjabat sebagai protoasekretis (panitera utama) majelis istana Kaisar Heraklius, salah satu jabatan dengan kewenangan yang sangat besar di Kekaisaran Romawi Timur. Lebih mungkin Maksimus berasal dari keluarga ningrat, dan mengenyam pendidikan terbaik pada zamannya di bidang filsafat, matematika, astronomi, dan sebagainya. Meskipun demikian, Maksimus memang tidak belajar ilmu retorika, sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam karya tulisnya yang pertama, Ambigua ad Iohannem,[3] karena kelemahannya dalam mengungkapkan gagasan dengan gaya bahasa yang berbunga-bunga sesuai kaidah-kaidah baku dalam berbudi bahasa di Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun demikian, karena alasan-alasan yang tidak terungkap di dalam segelintir fakta otobiografis yang dapat dihimpun dari karya-karya tulisnya, Maksimus meninggalkan gegap gempita kehidupan duniawi dan mengikrarkan kaul zahid di biara tempat Panglima Filipikus pernah dipaksa berkhalwat, tepatnya di kota Krisopolis (sekarang Üsküdar, Turki). Kemudian hari Maksimus menjadi abas di biara itu.[4]
Tatkala bangsa Persia menduduki Anatolia, Maksimus terpaksa mengungsi ke sebuah biara di dekat kota Kartago. Di biara inilah ia menerima bimbingan langsung dari Santo Sofronius, dan bersama-sama pembimbingnya mempelajari dengan cermat karya-karya tulis kristologis Gregorius dari Nazianzus dan Dionisius Ahli Areopagus. Menurut I.P. Sheldon-Williams, pencapaian Maksimus adalah berhasil menata doktrin-doktrin yang dikemukakan karya-karya tulis tersebut di dalam suatu kerangka logika filsafat Aristoteles, sehingga menjadi selaras dengan semangat zamannya sekaligus semakin sukar disalahtafsirkan.[5] Selama berdiam di Kartago, Maksimus terus berkiprah sebagai teolog maupun pujangga rohani,[6] bahkan menjadi tokoh yang disegani EksarkusGregorius (Wali Negeri Afrika) dan Eparkus Georgius (Wali Kota Kartago).[7]
Terlibat kontroversi Monotelitisme
Sewaktu Maksimus tinggal di Kartago, timbul kontroversi seputar upaya memahami interaksi antara kodrat insani dan kodrat ilahi di dalam pribadiYesus. Debat kristologis ini adalah buntut dari selisih paham yang timbul seusai penyelenggaraan Konsili Nikea I tahun 325, dan kian meruncing seusai penyelenggaraan Konsili Kalsedon tahun 451. Monotelitisme (ajaran tentang satu kehendak) digagas sebagai jalan tengah yang diharapkan mampu merukunkan golongan pengusung Diofisitisme dengan golongan pengusung Miafisitisme yang yakin bahwa Diofisitisme secara konseptual tidak dapat dibedakan dari Nestorianisme. Pengusung Monotelitisme menganut ajaran Konsili Kalsedon tentang kemanunggalan hipostatis, yakni ajaran bahwa kodrat ilahi dan kodrat insani manunggal di dalam pribadi Kristus. Meskipun demikian, pengusung Monotelitisme melangkah lebih jauh lagi dengan mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki kehendak ilahi, dan tidak memiliki kehendak insani.
Monotelitisme dipromulgasi Batrik Konstantinopel Sergius I bersama Pirus, sahabat sekaligus pengganti Maksimus selaku abas biara Krisopolis.[8] Sesudah Batrik Sergius mangkat pada tahun 638, Pirus menjadi Batrik Konstantinopel menggantikannya, tetapi dipecat tidak lama kemudian lantaran alasan politik. Semasa Pirus menjalani hukuman pengasingannya dari Konstantinopel, Maksimus menantangnya berdebat secara terbuka mengenai Monotelistisme. Di dalam acara debat yang disaksikan uskup-uskup Afrika Utara itu, Maksimus mempertahankan pendiriannya bahwa Yesus memiliki kehendak ilahi maupun kehendak insani. Pirus akhirnya insyaf serta mengakui kekeliruan Monotelitisme di ujung debat, dan Maksimus menemaninya berkunjung ke Roma pada tahun 645.[9]
Maksimus mungkin tetap tinggal di Roma, karena ia hadir saat Paus Martinus I yang baru saja terpilih menggelar Konsili Lateran tahun 649 di Basilika Lateran, Roma.[10] Dengan suara bulat, 105 orang uskup yang hadir mengutuk Monotelitisme di dalam akta resmi persidangan, yang diyakini sebagian pihak ditulis Maksimus.[11] Di kota Roma pula Paus Martinus dan Maksimus ditangkap pada tahun 653 atas titah Kaisar Konstans II yang mendukung Monotelitisme. Sri Paus diputuskan bersalah tanpa diadili, dan wafat sebelum diberangkatkan ke ibu kota kekaisaran.[12]
Pengadilan dan pengasingan
Lantaran tidak bersedia menerima Monotelitisme, Maksimus diberangkatkan ke ibu kota Konstantinopel untuk diadili dengan dakwaan bidat pada tahun 658. Di Konstantinopel, Monotelitisme sudah mendapatkan dukungan kaisar maupun Batrik Konstantinopel. Maksimus dengan setia berpegang teguh kepada paham Diotelitisme (ajaran tentang dua kehendak), akibatnya ia dijatuhi pidana pengasingan selama empat tahun lagi. Dalam persidangan, Maksimus didakwa membantu usaha penaklukan kaum Muslim di Mesir dan Afrika Utara. Dakwaan ini ia tolak mentah-mentah, dan ia sebut sebagai fitnah yang keji.[13][14]
Pada tahun 662, Maksimus sekali lagi diadili dengan dakwaan bidat, dan sekali lagi diputuskan bersalah. Usai disidang, lidahnya dipotong supaya tidak lagi dapat menyuarakan penentangannya, dan tangan kanannya dipotong agar tidak lagi dapat menyurati orang lain.[15] Maksimus selanjutnya diasingkan ke daerah Lazika atau Kolkhis yang sekarang termasuk wilayah negara Georgia, dan ditahan di benteng Skemarum, mungkin Muris-Tsikhe, dekat kota Tsageri sekarang.[16] Ia wafat tidak lama kemudian, pada tanggal 13 Agustus 662.[17][18] Pengadilan dan pengasingan yang dijalani Maksimus dicatat Anastasius Pustakawan, kepala arsiparis Gereja Roma.[19]
Warisan sejarah
Pendirian teologis Maksimus dan Paus Martinus I dibenarkan Konsili Konstantinopel III tahun 680–681, yang menegaskan bahwa Kristus memiliki kehendak insani maupun kehendak ilahi. Dengan dikeluarkannya penegasan ini, Monotelitisme dianggap bidat, dan Maksimus secara anumerta dinyatakan tidak bersalah.[20]
Maksimus termasuk salah seorang tokoh Kristen yang dihormati sebagai orang kudus tidak lama sesudah wafat. Pembenaran terhadap pendirian teologisnya menjadikan Maksimus sangat populer satu generasi sesudah ia wafat, apalagi tersiar kabar tentang terjadinya berbagai mukjizat di makamnya.[21]
Maksimus adalah salah seorang tokoh terakhir yang diakui sebagai Bapa Gereja oleh Gereja Ortodoks maupun Gereja Katolik. Di dalam ensiklik Spe Salvi tahun 2007, Paus Benediktus XVI menyebut Maksimus sebagai 'Doktor Besar Gereja Yunani', kendati tidak jelas apakah Sri Paus bermaksud menominasikan Maksimus sebagai salah seorang Doktor Gereja atau sekadar menandaskan bahwa Maksimus memang adalah seorang Doktor Gereja.[22]
Teologi
Selaku pengikut ajaran Pseudo-Dionisius Ahli Areopagus, Maksimus adalah salah seorang di antara banyak teolog Kristen yang melestarikan dan menafsirkan filsafat Neoplatonisme terdahulu, termasuk gagasan-gagasan para filsuf seperti Plotinus dan Proklus. Karya tulis Maksimus mengenai ketokohan dan ajaran Pseudo-Dionisius Ahli Aeropagus diteruskan Yohanes Skotus Eriugena atas permintaan Kaisar Karel Bulus.[23]
Pengaruh filsafat Plato terhadap penalaran Maksimus jelas sekali tampak pada antropologi teologisnya. Dalam hal ini, Maksimus mengadopsi pola exitus-reditus (ulang-alik) filsafat Plato, dengan mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah, dan tujuan keselamatan adalah untuk memulihkan persatuan manusia dengan Allah.[24] Penitikberatan pengilahian atau teosis ini mempermudah Maksimus mendapatkan tempat di dalam ruang lingkup teologi Kristen Timur, karena konsep-konsep tersebut senantiasa dijunjung tinggi di lingkungan Kristen Timur.[25]
Di ranah Kristologi, Maksimus menganut Diofisitisme garis keras, yang dapat dipandang sebagai korolarium (imbas) dari penitikberatan teosis. Dalam kaitannya dengan keselamatan, manusia dimaksudkan untuk bersatu secara paripurna dengan Allah. Bagi Maksimus, persatuan yang demikian sangat tidak mustahil terwujud, karena Allah yang pertama-tama bersatu secara paripurna dengan manusia di dalam inkarnasi.[23] Jika Kristus tidak menjadi manusia secara paripurna (misalnya, andaikata Kristus hanya memiliki kehendak ilahi dan tidak memiliki kehendak insani), maka keselamatan tidak lagi mungkin terwujud, karena manusia tidak dapat menjadi ilahi secara paripurna.[26] Selain itu, Maksimus Pengaku Iman mendalilkan ketidakbersyaratan inkarnasi ilahi di dalam karya-karya tulisnya.[27]
Di ranah gagasan tentang keselamatan, Maksimus dianggap sebagai penganjur apokatastasis atau rekonsiliasi universal, yakni gagasan bahwa segala jiwa berakal budi pada akhirnya akan ditebus, sama seperti Origenes dan Santo Gregorius dari Nisa.[28] Meskipun anggapan ini sudah disanggah,[29] sebagian pihak berkilah bahwa Maksimus mengajarkan keyakinan akan rekonsiliasi universal ini kepada murid-muridnya yang sudah betul-betul dewasa secara rohani.[30]
Penerimaan
Di lingkungan Kristen Timur, Maksimus senantiasa berpengaruh.[31] Sejumlah karya tulisnya diikutsertakan di dalam Filokalia, bunga rampai karya tulis para pujangga Kristen Ortodoks yang paling berpengaruh.[31]
Scholia – ulasan tentang karya-karya tulis Pseudo-Dionisius yang terdahulu. Di dalam edisi asli bahasa Latin yang diterbitkan Balthasar Corderius (Antwerpen, 1634), keseluruhan isi Scholia dinisbatkan kepada Maksimus, tetapi penisbatan semacam ini sudah disanggah Hans Urs von Balthasar (1940, 1961), yang menisbatkan sebagian isi Scholia kepada Yohanes dari Skitopolis.[34]
Riwayat Hidup Sang Perawan – biografi lengkap tertua Maria, ibunda Yesus.[35] Salah satu karya tulis yang dinisbatkan kepada Maksimus tetapi sekarang sudah diyakini bukan karya tulis Maksimus Pengaku Iman. Jankowiak dan Booth berpendapat bahwa "tidak ada ciri khas Maksimus yang muncul di dalam Riwayat Hidup Sang Perawan, dan sebaliknya tidak ada tema utama Riwayat Hidup Sang Perawan yang muncul pada renungan-renungan sekilas tentang Maria di dalam karya-karya tulis Maksimus". Jankowiak dan Booth juga mengemukakan di dalam karya tulis mereka bahwa tidak ada naskah Yunani yang membuktikan keaslian karya tulis tersebut, tidak ada bukti bahwa para pemikir terkemuka yang menimba pengetahuan dari karya-karya tulis Maksimus menyadari keberadaan Riwayat Hidup Sang Perawan, dan tidak ada catatan dari separuh akhir abad ke-10 yang menyebut-nyebut Riwayat Hidup Sang Perawan sebagai sebuah karya tulis.[36]
Bunga rampai
Maximus Confessor: Selected Writings (Classics of Western Spirituality), George C. Berthold (penyunting), Paulist Press, 1985 (ISBN0-8091-2659-1)
On the Cosmic Mystery of Jesus Christ: Selected Writings from St. Maximus the Confessor (St. Vladimir's Seminary Press "Popular Patristics" Series), Paul M. Blowers, Robert Louis Wilken (penyunting & penerjemah), St. Vladimir's Seminary Press, 2004 (ISBN0-88141-249-X)
St. Maximus the Confessor: The Ascetic Life, The Four Centuries on Charity (Ancient Christian Writers), Polycarp Sherwood (penyunting), Paulist Press, 1955 (ISBN0-8091-0258-7)
Maximus the Confessor (The Early Church Fathers), Andrew Louth (pemberi kata pengantar & penerjemah), Routledge, 1996 (ISBN0-415-11846-8)
Maximus the Confessor and his Companions (Documents from Exile) (Oxford Early Christian Texts) Pauline Allen, Bronwen Neil (penyunting & penerjemah), Oxford University Press, 2004 (ISBN0-19-829991-5)
On Difficulties in the Church Fathers: The Ambigua: Volume I, Maximos the Confessor, Nicholas Constas (penyunting & penerjemah), London, Harvard University Press, 2014 (ISBN978-0-674-72666-6)
On Difficulties in the Church Fathers: The Ambigua: Volume II, Maximos the Confessor, Nicholas Constas (penyunting & penerjemah), London, Harvard University Press, 2014 (ISBN978-0-674-73083-0)
The Philokalia: The Complete Text compiled by St Nikodimos of the Holy Mountain and St Makarios of Corinth: Volume II, G.E.H. Palmer, Philip Sherrard, Kallistos Ware (penyunting & penerjemah), London, Faber and Faber, 1981 (ISBN978-0-571-15466-1)
Rujukan
^Allen, Pauline; Neil, Bronwen (2015). The Oxford Handbook of Maximus the Confessor. Oxford University Press. hlm. 20. ISBN978-0-19-967383-4.
^Keterangan berikut ini bersumber dari biografi panjang Maksimus dari abad ke-10 yang dikatalogkan dengan kode BHG 1234 dan tercetak di dalam Patrologia Graeca karya Migne (90, 68A1-109B9). Belakangan Meskipun demikian, keterangan tersebut belakangan ini sudah dipertanyakan berdasarkan penelitian ilmiah mutakhir. Pengarang atau tepatnya penyusun BHG 1234 ternyata menyadur isi salah satu biografi Teodorus Rahib Studium (BHG 1755) guna mengisi kekosongan informasi tentang Maksimus di dalam karya tulisnya (Lih. W. Lackner, Zu Quellen und Datierung der Maximosvita (BHG3 1234), dalam Analecta Bollandiana 85 [1967], hlmn. 285-316). Informasi penyusun BHG 1234 memang disadur dari kisah-kisah sengsara orang-orang kudus yang ada pada zamannya, yang sama sekali tidak memuat keterangan tentang masa muda Maksimus (Lih. B. Roosen, Maximi Confessoris Vitae et Passiones Graecae. The Development of a Hagiographic Dossier, dalam Byzantion 80 [2010], menyusul). Berdasarkan bukti-bukti yang sebagian besar bersifat internal dari karya-karya tulis Maksimus sendiri, C. Boudignon mengemukakan pendapatnya bahwa Maksimus adalah tokoh kelahiran Palestina (Lih. C. Boudignon, Maxime le Confesseur était-il constantinopolitain?, dalam B. Janssens – B. Roosen – P. Van Deun [penyunting], Philomathestatos. Studies in Greek and Byzantine Texts Presented to Jacques Noret for his Sixty-Fifth Birthday [= Orientalia Lovaniensia Analecta 137], Leuven – Paris – Dudley, MA, 2004, hlmn. 11-43; dan id., Le pouvoir de l'anathème ou Maxime le Confesseur et les moines palestiniens du VIIe siècle, dalam A. Camplani – G. Filoramo, Foundations of Power and Conflicts of Authority in Late-Antique Monasticism. Proceedings of the International Seminar, Turin, 2–4 December 2004 [= Orientalia Lovaniensia Analecta, 157], Leuven – Paris – Dudley, MA, 2007, hlmn. 245-274). Jika benar demikian, maka pendapat tersebut mengukuhkan keandalan biografi Maronit, sekalipun biografi Maronit jelas-jelas anti-Maksimus.
^Constas, Nicholas (2014). Nicholas Constas, ed. On Difficulties in the Church Fathers: The Ambigua, Jilid 1. Cambridge, MA: Harvard University Press, Dumbarton Oaks Medieval Library Series, Jilid 28. ISBN978-0-674-72666-6.
^ M. Gildas (1913). "St. Maximus of Constantinople". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company."Tokoh besar ini berasal dari sebuah keluarga ningrat di Konstantinopel."
^The Cambridge History of Later Greek and Early Medieval Philosophy, A.H. Armstrong Cambridge (penyunting), 1967, hlm. 492
^Berthold, George C. (1997). "Maximus Confessor". Dalam Everett Ferguson. Encyclopedia of Early Christianity. New York: Garland Publishing. ISBN0-8153-1663-1.
^ Herbermann, Charles, ed. (1913). "St. Maximus of Constantinople". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.: "Tindakan pertama Santo Maksimus yang kita ketahui dalam perkara ini adalah mengirim sepucuk surat kepada Pirus, yang ketika itu adalah seorang abas di Krisopolis ..."
^Philip Schaff, History of the Christian Church, Jilid IV: Mediaeval Christianity. A.D. 590–1073 (edisi daring)§111, diakses tanggal 15 Januari 2007.
^"Maximus the Confessor", dalam The Westminster Dictionary of Church History, Jerald Brauer (penyunting), Philadelphia, Westminster Press, 1971 (ISBN0-664-21285-9). Pada umumnya konsili dikenal dengan sebutan Sinode Lateran yang pertama atau yang kedua, dan tidak diakui sebagai sebuah Konsili Ekumenis.
^Sebagai contoh, Gerald Berthold, "Maximus Confessor" dalam Encyclopedia of Early Christianity, (New York:Garland, 1997) (ISBN0-8153-1663-1).
^David Hughes Farmer, The Oxford Dictionary of the Saints, Oxford, Oxford University Press, 1987, hlm. 288 (ISBN0-19-869149-1). Akibat kejadian ini, Paus Martinus I menjadi Uskup Roma terakhir yang dihormati sebagai martir.
^Walter Kaegi (2010). Muslim Expansion and Byzantine Collapse in North Africa (edisi ke-berilustrasi). Cambridge University Press. hlm. 87. ISBN9780521196772.
^Gerald Berthold, "Maximus Confessor" dalam Encyclopedia of Early Christianity, New York, Garland, 1997 (ISBN0-8153-1663-1).
^George C. Berthold (1985), Maximus Confessor: Selected Writings, hlm. 31, Paulist Press, ISBN0-8091-2659-1.
^Sebagai contoh, lih. Catholic ForumDiarsipkan 2007-06-25 di Wayback Machine.. Baik luka-luka penyiksaan maupun kesukaran hidup di pengasingan merupakan sebab kematiannya, sehingga banyak orang menganggap Maksimus sebagai seorang martir.
^Sebagai contoh, dari biografi yang disajikan Gereja Ortodoks di Amerika: "Tiga batang lilin tampak di atas kubur Santo Maksimus dan menyala secara ajaib, tanda bahwa Santo Maksimus adalah suar pandu ajaran yang lurus semasa hidupnya, dan terus memancarkan sinarnya sebagai suri teladan bagi semua orang. Banyak terjadi kesembuhan di makamnya."
^Kongregasi Suci untuk Penganugerahan Gelar Orang Kudus (Prot. Num. VAR. 7479/14) menganggap pernyataan Sri Paus di dalam Spe Salvi bersifat tidak resmi.
^"Maximos, St., Confessor" dalam Oxford Dictionary of the Christian Church, F.L. Cross (penyunting), London, Oxford Press, 1958 (ISBN0-19-211522-7). Ajaran ini teristimewa tampak di dalam Mystagogia dan Ambigua yang ditulisnya.
^"Maximus the Confessor" dalam Michael O'Carroll, Trinitas: A Theological Encyclopedia of the Holy Trinity, Delaware, Michael Glazier, Inc, 1987 (ISBN0-8146-5595-5).
^"Maximos, St., Confessor" dalam Oxford Dictionary of the Christian Church, F.L. Cross (penyunting), London, Oxford Press, 1958 (ISBN0-19-211522-7).
^Jankowiak, M.; Booth, P. (2015). "A New Date-List of the Works of Maximus the Confessor" in The Oxford Handbook of Maximus the Confessor. Oxford: Oxford University Press. hlm. 72–3. ISBN978-0-19-967383-4.
Cooper, Adam G, The body in St Maximus Confessor: Holy Flesh, Wholly Deified, Oxford Early Christian Studies, Oxford University Press, 2005 ISBN0-19-927570-X
Lauritzen, Frederick, Pagan energies in Maximus the Confessor: the influence of Proclus on the Ad Thomam 5, dalam Greek Roman and Byzantine Studies 52.2 (2012)[1]
Loudovikos, Nikolaos, Protopresbiter, He Eucharistiake Ontologia: Ta Eucharistiaka Themelia Tou Einai, Hos En Koinonia Ginnesthai, Sten Eschatologike Ontologia Tou Hagiou Maximou Tou Homologete, diterbitkan dalam bahasa Yunani, terjemahan judul: Eucharistic Ontology: The Eucharistic Fundaments of Being as Becoming in Communion, in the Eschatological Ontology of St. Maximus the Confessor, Ekdoseis Domos, Atena, Yunani, 1992 ISBN960-7217-72-1
Thunberg, Lars, Microcosm and Mediator: The Theological Anthropology of Maximus the Confessor, edisi ke-2, Open Court, 1995 ISBN0-8126-9211-X
Tollefsen, Torstein Theodor, The Christocentric Cosmology of St Maximus the Confessor, Oxford Early Christian Studies, Oxford University Press, 2008 ISBN978-0-19-923714-2
Törönen, Melchisedec, Union and Distinction in the Thought of Maximus the Confessor, Oxford Early Christian Studies, Oxford University Press, 2007 ISBN978-0199296118
Tympas, G. C. (2014). Carl Jung and Maximus the Confessor on Psychic Development. Routledge. ISBN978-0-415-62517-3.