Setelah adanya tugas pelayanan dan pewartaan dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ kepada Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ, maka didirikanlah gereja, sekolah, dan asrama bagi orang-orang Tionghoa perantauan. Sebagai awal, dipilihlah Pater Antonius Loew SJ dari Austria sebagai kepala paroki dan Pater Leitenbauer sebagai pengelola sekolah yang pertama. Sekolah itu dinamakan Sekolah Ricci, berasal dari nama imam missionaries Yesuit, Matteo Ricci.[1]
Usaha Pater Leitenbauer, yang dibantu oleh Pater Braunmandl, Pater Loew, dan Pater Tcheng, berjalan dengan lancar, dan mereka juga membuka kursus bahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin, yang dikenal dengan sebutan Ricci Evening School, dan asrama yang dikelola oleh Pater Tcheng diberi nama Ricci Youth Center.[1]
Kemudian tahun 1953 dibelilah sebidang tanah seluas 1 hektare, untuk digunakan sebagai kompleks gereja dan sekolah, dari seorang kapitan (lurah keturunan Tionghoa pada Zaman Penjajahan Belanda) bermarga Tjioe, dan pada tahun 1954, tanah dan bangunan itu resmi menjadi milik Gereja. Di atas tanah itu berdiri sebuah bangunan utama dengan 2 bangunan mengapit bangunan utama, yang memiliki 2 buah patung singa yang merupakan lambang kemegahan bangsawan Tiongkok.[1]
Pada tahun 1954, Perayaan Ekaristi pertama dilaksanakan di dalam gereja dan dipimpin oleh 4 orang imam dan diikuti oleh 16 orang umat. Minggu-minggu berikutnya jumlah umat semakin bertambah dan misa dimajukan menjadi pukul 06.00 sedangkan pada pukul 07.30 digunakan untuk misa berbahasa Mandarin.
Semakin lama umat semakin bertambah, maka pada tahun 1968, Perayaan Ekaristi diadakan di dalam ruang kelas di kompleks sekolah Ricci, dan diberkati oleh Mgr. Salvatore Pappalardo, Nunsius Apostolik Takhta Suci (Duta Besar Vatikan) waktu itu, sementara kapel lama direkonstruksi ulang menjadi gereja yang lebih besar. Gereja baru mampu menampung 600 orang umat, bangunan kanan digunakan untuk pastoran dan kirinya dialihkan fungsi dari ruangan kelas, menjadi ruangan seksi organisasi.
Setelah kedatangan Pater Otello, gereja direnovasi secara besar-besaran, pergantian lantai dan langit-langit. Penataan tempat untuk patung Maria de Fatima, yang berasal dari Urtijëi, Italia Utara, dan Hati Kudus Yesus, yang diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto SJ. Lalu dipasang pula ukiran kayu Yesus yang disalib bersama 2 orang penjahat yang dikirim dari Italia pada zaman Pater Liliano. Selain itu lahirlah organisasi-organisasi seperti koor paroki, Legio Mariae, Putra Altar, kelompok-kelompok katekumen baru, Sekolah Minggu, dan pertemuan-pertemuan di lingkungan.
Lalu Pater Guido memisahkan sekolah Ricci dari Yayasan Strada dengan menambah 1 gedung baru. Saat ini gedung itu digunakan oleh SMP, dan jumlah siswanya saat itu mencapai 1.000 orang.[1]
Kedatangan Pater Ettore membawa perkembagan baru bagi gereja khususnya pada kegiatan Legio Mariae. Legio Mariae berkembang pesat menjadi 4 presidium. Setelah Pater Ettore pindah, tugasnya digantikan oleh Pater Vincenzo Barravalle SX. Pada saat itu diresmikanlah gedung olahraga sekolah Ricci. Untuk membantu pelaksanaan sekolah, dimintalah suster dari Kongregasi SND untuk membantu SMP dan SMA. Tugas suster kongregasi SND kemudian dilanjutkan kepada Kongregasi Fransiskan Pringsewu dan sekarang menjadi kongregasi FSGM (Fransiskanes Santo Georgius Martir).
Pada tahun 1989, Pater Yosef Bagnara diangkat menjadi Kepala Paroki menggantikan Pater Vincenzo yang ditugaskan di Pulau Nias. Selain jumlah umat yang semakin bertambah, terjadi pula pemekaran di wilayah yang ada di Paroki menjadi 8 wilayah dan 25 lingkungan. Selain itu muncul pula seksi-seksi baru seperti Sant' Egidio, HAK dan KKMK. Selanjutnya jabatan kepala paroki dipegang oleh Pastor Guido Paolucci, dan pada tahun 2011 oleh Pastor Germano Framarin.[1]
Peribadatan
Gereja ini menyelenggarakan misa harian dan misa mingguan pada hari Sabtu dan Minggu. Selain dalam bahasa Indonesia, salah satu misa pada hari Minggu sore diselenggarakan dalam bahasa Mandarin.