Radio Republik Indonesia (RRI, digayakan dengan huruf kecil semua) adalah jaringan radio dan televisipublik berskala nasional di Indonesia. RRI didirikan pada tanggal 11 September 1945 dan diperingati sebagai Hari Radio. RRI, bersama dengan TVRI (Televisi Republik Indonesia), berstatus sebagai lembaga penyiaran publik. RRI merupakan jaringan radio tertua di Indonesia, sekaligus perusahaan/lembaga khusus media tertua kedua yang masih beroperasi di negara itu setelah LKBN Antara. RRI kini menjalankan 5 jaringan radio dengan stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia, siaran radio internasional, saluran televisi, serta portal daring.
Sejarah
Radio era Hindia Belanda dan pendudukan Jepang
Radio Republik Indonesia sebenarnya bukanlah stasiun radio pertama di Indonesia. Adapun stasiun radio terawal yang mulai bersiaran di daerah yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda adalah Bataviase Radio Vereniging (BRV), yaitu pada tanggal 16 Juni 1925.[1] Saat itu BRV memiliki dua kanal yaitu Stadzender (Programa Lokal) dan Archipelzender (Programa Nasional). BRV bersiaran dari daerah Harmoni Jakarta (Batavia) dan menggunakan Bahasa Belanda dalam mata acaranya.
Kelahiran BRV disusul sejumlah stasiun radio lainnya di sejumlah wilayah, seperti Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM, Jakarta); Solosche Radio Vereniging (SRV, Surakarta); Vereniging Oosterse Radio Luisteraars (VORO, Bandung); Eerste Madioense Radio Omroep (ERVO, Madiun); dan Meyers Omroep voor Allen (MOVA, Medan). Hampir keseluruhannya saat itu dimiliki pihak swasta, terkecuali NIROM. NIROM kemudian berkembang menjadi stasiun radio terbesar, dengan membangun jalur komunikasi lewat telepon dengan sejumlah kota, memiliki siaran sentral yang dipancarkan dari kota-kota lain seperti Semarang, Bandung, Surabaya, Surakarta dan Yogyakarta, plus memiliki mata acara yang ditujukan bagi masyarakat lokal. NIROM lahir sebagai akibat dikeluarkannya Radiowet oleh pemerintah kolonial di tahun 1934 dan mendapat pendanaan dari skema pajak radio (luisterbijdrage).[2]
Stasiun radio lain yang patut disebutkan adalah SRV, yang mulai beroperasi sejak 1 April 1933 dan merupakan siaran radio pertama milik masyarakat pribumi Hindia-Belanda. SRV lahir sebagai kerjasama bangsawan Surakarta, Mangkunegara VII dan Sarsito Mangunkusumo. Setelah SRV muncul kemudian siaran radio lain milik masyarakat pribumi seperti MARVO, VORL, CIRVO, EMRO dan Radio Semarang. Mulanya antara NIROM dan stasiun radio tersebut terjadi simbiosis mutualisme, namun kemudian NIROM menjadi khawatir dengan ancaman lewat siaran radio-radio nasional. Akibat upaya NIROM memutuskan kerjasama tersebut, anggota VolksraadSutardjo Kartohadikusumo dan Sarsito Mangunkusumo (perintis SRV) kemudian mengumpulkan pengurus stasiun radio milik pribumi pada 29 Maret 1937 di Bandung. Pertemuan ini menyepakati terbentuknya forum bernama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPPK) sebagai wadah kerjasama mereka. Meskipun kemudian antara PPPK dan NIROM disepakati kerjasama dimana radio-radio di bawah PPPK akan menyediakan mata acara sedangkan NIROM akan memberi bantuan teknis, upaya terus dilakukan agar anggota PPPK dapat melangsungkan siarannya secara mandiri. Program PPPK pertama yang dipancarkan lewat siaran NIROM disiarkan pada 1 November 1940.[1]
Dengan jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Kekaisaran Jepang pada Maret 1942, Jepang membubarkan radio-radio swasta dan menerapkan siaran secara terpusat lewat pendirian Pusat Jawatan Radio (放送管理局code: ja is deprecated , Hoso Kanri Kyoku). Cabangnya masing-masing meliputi Jawatan Radio (放送局code: ja is deprecated , Hoso Kyoku), yang mencakup 8 kota dan Shodanso yang bertugas mengawasi penggunaan radio agar masyarakat tidak mendengarkan siaran radio luar negeri. Jepang jelas melihat pentingnya radio sebagai alat propaganda, berdasar pengalaman lewat siaran Radio Tokyo (kini NHK) yang pada sekitar jam 22.00 begitu diterima oleh masyarakat Indonesia. Radio pun benar-benar dijadikan alat propaganda dengan berisi berita-berita perang maupun larangan memperdengarkan bahasa maupun lagu berbahasa asing.[1]
Lahirnya RRI
Seperti ketika Belanda menyerah di tahun 1942, radio kembali memainkan peran penting di tengah prosesi proklamasi kemerdekaan di tahun 1945. Misalnya, berita kekalahan Jepang berhasil didapat dari radio BBC pada 14 Agustus 1945 secara sembunyi-sembunyi oleh para pemuda. Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 membuat para pemuda berkeinginan merebut sarana komunikasi yang penting ini, dengan tujuan memperluas berita proklamasi. Di Bandung, cabang Hoso Kyoku di sana direbut meskipun dengan pertumpahan darah, dengan radio penggantinya bernama Siaran Radio Republik Indonesia Bandung digunakan untuk membacakan berita proklamasi oleh tiga pemuda bernama Sakti Alamsyah, Odas Sumadilaga dan R.A. Darya. Di Surabaya, untuk mengelabui pemerintah pendudukan, siaran proklamasi dibacakan dalam Bahasa Madura, sedangkan di Jakarta, Jusuf Ronodipuro muncul sebagai pahlawan dengan upayanya membacakan siaran tersebut pukul 19.00 meskipun harus disiksa tentara Jepang. Mengetahui hal tersebut, pemerintah pendudukan lalu menyegel siaran-siaran radio yang ada sejak 19 Agustus 1945. Siasat pun dilakukan tokoh-tokoh kemerdekaan untuk tetap menyiarkan berita penting ini, seperti lewat adanya siaran gelap yang berhasil digunakan Presiden Soekarno untuk berpidato pada 25 Agustus 1945.[1]
Para pejuang radio menyadari betapa pentingnya sarana radio tersebut dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk, yaitu datangnya tentara Inggris dan Belanda kembali ke Indonesia. Seiring waktu, pemerintah pendudukan Jepang dan tentaranya tidak lagi berminat mempertahankan radio-radio tersebut. Para pemuda mulai merencanakan merebut dan mengoperasikan stasiun radio yang ada, berkat usulan Ronodipuro kepada Abdulrahman Saleh. Pada 10 September 1945, pimpinan-pimpinan radio daerah dari Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang dan Purwokerto mengadakan pertemuan yang menyepakati rencana memaksa tentara Jepang segera menyerahkan stasiun Hoso Kyoku kepada para pejuang. Mereka juga berniat memberitahukan hal ini kepada pemerintah, lewat rapat pada 11 September pukul 17.00 di daerah Pejambon Jakarta atas usulan salah satu tokoh radio, Oetojo Ramelan. Namun, respon Menteri Sekretaris NegaraA.G. Pringgodigdo justru menolak usulan perebutan radio-radio Jepang tersebut demi membuat siaran radio persatuan karena khawatir akan berkonflik dengan Sekutu.[1]
Para perintis RRI kemudian jalan terus dengan rencana mereka karena melihat peluang konflik yang akan muncul. Di dini hari (24.00) pada 11 September, dalam sebuah rapat yang dihadiri 17 orang bertajuk "Perjuangan Kita" di rumah Adang Kadarusman, Menteng Dalam Jakarta, RRI resmi didirikan dengan Abdulrahman Saleh ditunjuk sebagai pimpinannya yang pertama. Rapat tersebut juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11 September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian dikenal dengan Tri Prasetya RRI. Rencana pengambilalihan stasiun radio tersebut kemudian berjalan dengan baik, kecuali di Surabaya dimana baru berhasil dilakukan per 29 September 1945, dan di Surakarta, penyerahan berlangsung pada 1 Oktober 1945. Dengan munculnya Revolusi Nasional Indonesia RRI dengan cepat mendapat penerimaan masyarakat luas. RRI kemudian juga mulai mengemban tugas penting yaitu untuk membawakan kondisi Indonesia ke seluruh dunia yang saat itu didominasi siaran dari pihak Belanda.
Pada 12-13 Januari 1946 diadakan pertemuan di Surakarta untuk membahas perkembangan radio di Indonesia pada kondisi perang yang terus berkecamuk. Dalam rapat ini diambil beberapa kesimpulan seperti RRI Jakarta diserahkan kepada Departemen Penerangan; Bandung dan Purwokerto sempat digabungkan ke dalam PTT (kini Pos Indonesia); Semarang berada di bawah pendanaan Gubernur Jawa TengahWongsonegoro; Surakarta mendapat pendanaan pemerintah daerah; Yogyakarta dan Surabaya didanai pajak radio lokal; dan Malang didanai oleh PTT. Rapat itu juga sempat merundingkan topik mengenai RRI sebagai organ pemerintah atau lembaga yang otonom, dimana pemerintah sempat mengusulkan agar RRI dipecah menjadi badan teknik dan siaran serta pimpinannya ditunjuk oleh pemerintah. Usulan pemecahan RRI ditolak, sedangkan rencana menjadikan RRI sebagai jawatan pemerintah kemudian diterima setelah melalui perundingan yang alot. Akhirnya, pada 1 April 1946, pemerintah meresmikan RRI dengan status barunya sebagai lembaga pemerintah yang kemudian ada di bawah kendali Departemen Penerangan.[1] Sejak itulah, RRI menjadi suara resmi pemerintah yang baru berdiri saat itu.[3]
RRI kemudian memperluas jaringannya lewat penggabungan sejumlah radio lokal "Badan Siaran Radio" yang terbentuk pada 1946-1947 oleh masyarakat, di sejumlah kota seperti Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Magelang, Cilacap, Madiun, Kediri dan Jember. Meskipun demikian, instabilitas akibat konflik juga sempat membuat operasional sejumlah RRI daerah terganggu dan berpindah-pindah, seperti di Surabaya yang sempat terpecah menjadi 3 di Mojokerto, Bondowoso, dan Madiun, maupun Semarang yang dipecah di tiga lokasi yaitu Pekalongan, Pati dan Salatiga. Totalnya pada tahun 1948 RRI sudah memiliki 32 stasiun yang berlokasi di 29 tempat.[1] Pada saat bersamaan, siaran radio lain non-RRI yang kemudian muncul juga berperan dalam membantu perang seperti Radio Perjuangan di Kota Serang, Radio Gelora Pemuda di Madiun, Radio Internasional di Kediri dan Radio Pemberontakan di Surakarta.[1]
RRI pasca 1949
Dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949, dibentuk lembaga gabungan antara RRI dan stasiun radio ROIO (Radio Omroep in Overgangstijd, sebuah radio bentukan Belanda) bernama Radio Republik Indonesia Serikat (RRIS). Pada periode ini diberlakukan penyatuan call sign dan sentralisasi siaran RRI daerah dengan RRI pusat yang saat itu ada di wilayah Yogyakarta. RRIS kemudian kembali RRI setelah RIS bubar di tahun 1950. Perkembangan RRI kemudian sangat dipengaruhi perkembangan politik; di era Demokrasi Liberal, ketua RRI banyak diganti menurut preferensi politik partai yang penguasa, sedangkan di era Demokrasi Terpimpin, siaran RRI kembali menjadi alat propaganda dengan didominasi pidato-pidato yang panjang.[1]
Stasiun pusat RRI di Jakarta menjadi salah satu objek vital yang direbut oleh Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965. Pada pagi harinya, RRI mengabarkan mengenai Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah, serta mengumumkan terbentuknya “Dewan Revolusi” yang dipimpin oleh Letkol. Untung Sutopo.
Pada masa Orde Baru, stasiun-stasiun radio swasta mulai berjamuran dan secara langsung mengakhiri monopoli RRI pada siaran radio. Walau demikian, siaran berita RRI menjadi program yang wajib direlai oleh stasiun-stasiun tersebut. Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran menetapkan RRI sebagai satu dari empat "Lembaga Penyiaran Pemerintah", status yang disandang hingga awal dekade 2000-an.[4] Sepanjang era berkuasa Orde Baru, RRI mengalami pembenahan dalam bidang infrastruktur, dengan kemudian memiliki 45 jaringan yang bersiaran total 73 jam (1979). Sejak tahun 1983 RRI telah bersiaran 24 jam nonstop dengan titik berat pada program penerangan, khususnya siaran pedesaan, pembangunan dan luar negeri.[1]
Likuidasi Departemen Penerangan oleh pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid pada tahun 2000 dijadikan momentum dari sebuah proses perubahan dari media pemerintah ke arah media publik dengan didasari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2000 yang ditandatangani Presiden tanggal 7 Juni 2000. Pembenahan organisasi dan manajemen dilakukan seiring dengan upaya penyamaan visi (shared vision) di kalangan pegawai RRI yang berjumlah sekitar 8.500 orang yang semula berorientasi pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas yang cenderung birokratis. Dengan PP tersebut, RRI kemudian berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) yang tidak mencari untung. Perjan dapat dikatakan sebagai status transisi dari "Lembaga Penyiaran Pemerintah" menuju "Lembaga Penyiaran Publik" pada masa reformasi.
Butir Tri Prasetya yang ketiga merefleksikan komitmen RRI untuk bersikap netral dan tidak memihak kepada salah satu aliran/keyakinan partai atau golongan. Hal ini memberikan dorongan serta semangat kepada penyiar RRI pada era Reformasi untuk menjadikan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang independen, netral dan mandiri serta senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Pada tahun 2016, RRI meluncurkan siaran radio digital untuk wilayah Jakarta, yang merupakan siaran sejenis yang pertama di Indonesia. Siaran tersebut, dengan sistem Digital Audio Broadcasting+ (DAB+), menawarkan empat kanal radio.[5][6]
Struktur
Status RRI sebagai lembaga penyiaran publik ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 dan 12 Tahun 2005, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. RRI saat ini menjadi lembaga tersendiri dan tidak berada di bawah kementerian mana pun.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 menyatakan bahwa RRI adalah lembaga penyiaran yang berbentuk "badan hukum yang didirikan oleh negara; (bersifat) independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat". Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 menetapkan bahwa tugas RRI adalah "memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Berbeda dengan lembaga penyiaran publik lainnya seperti TVRI dan lembaga penyiaran publik lokal, RRI telah lama memiliki ikrar siaran yang disebut Tri Prasetya RRI, yang berbunyi sebagai berikut:
Kita harus menyelamatkan segala alat siaran radio dari siapapun yang hendak menggunakan alat tersebut untuk menghancurkan negara kita, dan membela alat itu dengan segala jiwa raga, dalam keadaan bagaimanapun dan dengan akibat apapun juga.
Kita harus mengemudikan siaran RRI sebagai alat perjuangan dan alat revolusi seluruh bangsa Indonesia dengan jiwa kebangsaan yang murni, hati yang bersih dan jujur, serta budi yang penuh kecintaan dan kesetiaan kepada tanah air dan bangsa.
Kita harus berdiri di atas segala aliran dan keyakinan partai atau golongan dengan mengutamakan persatuan bangsa dan keselamatan negara, serta berpegang pada jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945.
Organisasi
RRI terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang terdiri dari unsur publik, pemerintah dan RRI.
Adapun Dewan Pengawas LPP RRI untuk Periode 2021-2026 yang disahkan oleh DPR, disusun sebagai berikut [7]:
Jabatan
Nama (2021-2026)
Ketua Dewan Pengawas
Anwar Mujahid Adhy Trisnanto (unsur masyarakat)
Anggota Dewan Pengawas
Ederiman Butar Butar (unsur pemerintah)
Anggota Dewan Pengawas
M Rini Purwandari (unsur masyarakat)
Anggota Dewan Pengawas
Mohamad Kusnaeni (unsur masyarakat)
Anggota Dewan Pengawas
Mohammad Rohanudin (unsur RRI)
Dewan Pengawas yang merupakan wujud representasi dan supervisi publik memilih Dewan Direksi yang berjumlah 6 orang yang bertugas melaksanakan kebijakan penyiaran dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penyiaran.
Adapun Dewan Direksi LPP RRI untuk Periode 2021-2026 disusun sebagai berikut [8]:
Jabatan
Nama (2021-2026)
Direktur Utama
I Hendrasmo
Direktur Program dan Produksi
Mistam
Direktur Teknologi dan Media Baru
Muhamad Sujai
Direktur Layanan dan Pengembangan Usaha
Yonas Markus Tuhuleruw
Direktur SDM dan Umum
Dedi Suparman
Direktur Keuangan
Muhammad Fauzan
Selain dari dua dewan tersebut, adapula kepala Satuan Pengawasan Intern, Kepala Puslitbangdiklat, Kepala Pusat Pemberitaan, Kepala Stasiun Siaran Luar Negeri, Kepala Stasiun Penyiaran Tipe A, Kepala Stasiun Penyiaran Tipe B, dan Kepala Stasiun Penyiaran Tipe C.[9]
Pendanaan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, sumber pendanaan RRI dapat berasal dari iuran penyiaran, APBN, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Usaha lain tersebut, yang saat ini digabungkan dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti diatur dalam PP Nomor 68 Tahun 2020, meliputi jasa digitalisasi penyiaran (iklan di situs web), jasa sertifikasi wartawan radio, jasa penggunaan sarana dan prasarana (sewa tempat di pemancar dan lahan aset), jasa produksi acara, dan royalti produksi acara.[10] Meskipun demikian, iuran penyiaran dan sumbangan masyarakat belum diatur secara spesifik.
Di tahun 2020, menurut Lampiran Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Anggaran Kementerian dan Lembaga Pemerintah, semula anggaran LPP Radio Republik Indonesia sebesar 1,313 triliun rupiah. Namun, karena ada penyesuaian anggaran akibat pandemi Covid-19, maka anggaran diubah menjadi 1,075 triliun rupiah [9]
Tulisan "RRI" pada bekas parabola RRI Dili, sekarang digunakan oleh RTTL untuk bersiaran. RRI pernah menjalankan stasiun di Timor Timur (kini Timor Leste) saat masih menjadi salah satu provinsi Indonesia.
Dewasa ini, RRI mempunyai kurang lebih 90 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke luar negeri. RRI menyelenggarakan nanti siaran dalam maksimal 5 programa pada frekuensi AM dan FM, dengan ketersediaan masing-masing programa bervariasi di setiap daerah.[11]
Pro 1: stasiun daerah yang melayani pendengar umum, berisikan berita, gelar wicara, informasi, dan hiburan.
Pro 2: stasiun daerah yang melayani pendengar remaja dan anak muda, dengan penekanan pada konten hiburan.
Pro 3: stasiun nasional yang dipancarluaskan secara relai oleh stasiun-stasiun daerah sepanjang hari selama 24 jam, menyajikan berita, gelar wicara, dan informasi baik dari dalam maupun luar negeri.
Pro 4: stasiun daerah yang menyajikan konten musik daerah, budaya daerah, serta hal-hal yang mengandung unsur keindonesiaan termasuk musik dangdut, pendidikan dan hiburan di daerahnya.
Pada radio digital di Indonesia, di samping 4 programa utama dan Voice of Indonesia, RRI juga menyiarkan 3 saluran radio khusus digital, yakni Classic Channel (musik klasik), Jazz Channel (jaz), dan Keroncong Channel (keroncong). Ketiganya mengudara dalam format Digital Audio Broadcast (DAB) pada frekuensi 229.072 (12D).[butuh rujukan]
Pada saat Provinsi Timor Timur (kini Timor Leste) masih berintegrasi dengan Indonesia, RRI mempunyai stasiun lokal bernama RRI Dili yang berpusat di kota Dili. Stasiun tersebut hanya mulai beroperasi sejak 16 Agustus 1976[12] hingga ditutup pada 23 September 1999, setelah provinsi tersebut lepas dari Indonesia. Sebagai gantinya, stasiun penyiaran nasional Timor Leste RTTL saat ini beroperasi.
Variasi
Logo RRI IKN di Ibu Kota Nusantara (dipakai dari 17 Januari 2024 hingga bulan Juli 2024).
Logo RRI Early Warning System (RRI EWS).
Di Surabaya dan Makassar, selain ada 3 programa daerah dan Pro 3, RRI juga mengudarakan RRI Programa 5 (atau RRI Pro 5) yang fokus menyiarkan lagu-lagu selama 24 jam nonstop. Stasiun ini masing-masing mengudara di frekuensi 91.7 FM (Surabaya) dan 90.9 FM (Makassar).
Di Ibu Kota Nusantara, RRI meluncurkan stasiun RRI IKN yang secara resmi mengudara sejak 17 Januari 2024, melalui frekuensi 98.3 FM.[13]
Daftar stasiun
Semua stasiun yang ada pada daftar merupakan saluran lokal, kecuali Pro 3 RRI.
Pro 5 Jakarta (DAB), Voice of Indonesia (DAB dan RRI Digital), Kanal Kenangan (DAB dan RRI Digital), Jazz Channel (DAB dan RRI Digital), Kanal Musik Keroncong (DAB), Suara Dangdut (RRI Digital) serta EWS (RRI Digital).
Pada saat Provinsi Timor Timur (kini Timor Leste) masih berintegrasi dengan Indonesia, RRI mempunyai stasiun lokalnya bernama RRI Dili yang berpusat di kota Dili dengan frekuensi siaran FM 88.2 Mhz. Stasiun tersebut hanya mulai beroperasi sejak 16 Agustus 1976 hingga ditutup pada 23 September 1999 (23 tahun, 38 hari), setelah provinsi tersebut lepas dari Indonesia. Stasiun penyiaran nasional Timor Leste RTTL saat ini beroperasi.
Selain radio, RRI juga menjalankan sejumlah "saluran televisi" yang difungsikan sebagai radio visual. Di antara saluran tersebut ialah RRI NET yang bersiaran melalui televisi satelit dan daring, serta versi visual dari Voice of Indonesia yang disiarkan secara daring.
RRI menjalankan portal berita pada situs web resminya (RRI.co.id). Portal tersebut dibagi lebih lanjut menurut stasiun-stasiun RRI nasional dan daerah; masing-masing dengan segmen berita teks, foto, dan video. Selain menyajikan berita, portal itu juga menyajikan streaming langsung siaran stasiun-stasiun RRI se-Indonesia dan RRI NET.
Riwayat RRI di internet setidaknya sudah terlacak sejak tahun 2001, menurut rekaman Wayback Machine, dengan dua alamat berbeda: www.rrionline.com dan www.rri-online.com. Situs www.rrionline.com terbilang hidup sangat singkat karena terakhir terlihat aktif pada tahun 2003, sementara www.rri-online.com masih berjalan hingga tahun 2007.
Portal dengan alamat saat ini telah ada setidaknya sejak tahun 2008.[14] Pada tahun 2011, portal RRI.co.id diluncurkan dengan nama Kantor Berita Radio Nasional (KBRN).[15] Meskipun pada tahun-tahun berikutnya istilah tersebut tidak tertulis secara formal pada situs web, singkatan "KBRN" masih digunakan di awal tulisan-tulisan beritanya hingga kini.
Berbeda dengan lembaga milik negara lainnya, informasi terbaru dari LPP RRI tidak ditampilkan secara menonjol di situs web resminya, melainkan di situs Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) LPP RRI yang terpisah.
Daring
RRI pernah menjalankan BeYoung.id, sebuah portal berisi koleksi lagu indie dari para musisi di seluruh Indonesia, yang kini sudah tidak aktif.
Selain itu, RRI – bersama Antara dan TVRI – juga mengelola Redaksi Nasional, sebuah portal berita bersama yang digunakan sebagai pusat berita tentang agenda-agenda nasional tertentu, seperti Pekan Olahraga Nasional dan Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun 2022 lalu.[16]
RRI juga mengoperasikan RRI Digital (sebelumnya bernama RRI Play dan RRI PlayGo), aplikasi seluler yang menawarkan layanan-layanan RRI dalam satu aplikasi; di antaranya streaming seluruh stasiun RRI, portal berita, dan lainnya. Hingga 2023, terdapat sejumlah saluran radio daring yang hanya terdapat di aplikasi ini, yakni RRI Jazz Channel, RRI EWS - Kanal Informasi Kebencanaan (informasi bencana),[17] dan RRI Kanal Kenangan (musik lawas).[18] Sebelumnya aplikasi ini pernah menawarkan layanan RRI 30" (jurnalisme warga) dan BeYoung.
Dalam rangka memperkuat RRI sebagai media multiplatform, pada tahun 2024 LPP RRI meluncurkan lima pilar dalam bisnisnya, yaitu radio, RRI Digital, RRI News, media sosial, dan komunitas.[19] Hal ini, salah satunya, dibuktikan dengan diluncurkannya aplikasi RRI News, di mana fiturnya meliputi pembaruan berita dan pemberitahuan berita terkini, laporan eksklusif dan analisis mendalam, konten multimedia berkualitas tinggi termasuk video, foto, dan infografis.[20] Seluruh materi dalam aplikasi ini berasal dari portal web RRI.co.id.
State Media Monitor, situs web dari lembaga riset asal Eropa Media and Journalism Research Center yang menilai media-media terafiliasi negara, pada tahun 2023 menempatkan RRI sebagai State-Controlled (media yang dikendalikan negara). Menurut lembaga tersebut, meskipun pemerintah mengadopsi ketentuan hukum yang diklaim akan mengarah pada transformasi RRI menjadi lembaga penyiaran publik modern dengan jaminan independensi editorial, RRI "tetap bertindak sebagai media negara, mendukung tindakan dan kebijakan pemerintah dalam liputannya". Selain itu, lembaga itu menilai "belum ada" undang-undang, badan, atau mekanisme yang secara independen memvalidasi independensi kebijakan editorial RRI.[21]
Konflik tanah kompleks pemancar RRI Cimanggis
Konflik ini berawal ketika adanya berita acara serah terima (BAST) barang milik negara berupa tanah dari LPP RRI kepada Kementerian Agama RI (Kemenag) Nomor 774/DU/05/2017 tanggal 9 Mei 2017, di mana LPP RRI menyerahkan sebidang tanah di Cimanggis, Depok, Jawa Barat seluas 1.425.889 meter persegi (lebih dari 142 hektar) ke Kemenag untuk pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Sesuai pasal 6 BAST, untuk menjamin keberlangsungan operasional siaran RRI, maka pihak kedua (yaitu Kemenag) harus memindahkan atau membangun gedung, bangunan, dan peralatan serta prasarana lainnya secara bertahap di tempat yang baru.
Namun pada praktiknya, ketika pemindahan atau pembangunan tersebut belum dilakukan, justru proses pembangunan UIII di Cimanggis telah dimulai; yang mengakibatkan kerusakan terhadap fider line pemancar gelombang pendek RRI yang berlangsung sejak akhir tahun lalu. Tanggal 20 Desember 2018, Direktur Utama RRI 2016-2021, Muhammad Rohanudin telah mengirimkan surat kepada Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin terkait hal ini yang tidak sesuai dengan janji dan komitmen yang telah disepakati dalam pasal 3 dan pasal 6 BAST.
RRI telah menempati tanah di Cimanggis sejak 1958. Sejak 2002 hingga 2012, berturut-turut RRI mengalami gugatan perdata dari pihak luar terkait tanah tersebut. Namun demikian, putusan pengadilan berkali-kali memenangkan RRI. Hingga putusan Nomor 99/Pdt/2012/PT. Bandung diterima oleh LPP RRI, pihak penggugat tidak mengajukan upaya hukum lain.[22]
Kasus direktur utama 2021, tudingan bias
Pada awal 2021, Direktur Utama RRI 2016-2021 Muhammad Rohanudin mendaftarkan diri menjadi Dewan Pengawas RRI 2021-2026 dan dinyatakan lolos seleksi awal.[7] Rohanudin dituding oleh sebagian pihak yang mengatasnamakan karyawan RRI memiliki "rekam jejak yang buruk" selama menjabat, seperti dugaan nepotisme, mismanajemen, dan penyalahgunaan wewenang.[23] Hal itu seirama dengan pernyataan Irawan Ronodipoero, anak pendiri RRI Joesoef Ronodipoero, yang mengatakan telah terjadi "disharmoni" di tubuh RRI akibat kepemimpinannya.[24]
Tudingan ini diperkuat oleh hasil penelitian Sapta Pratala pada bulan yang sama yang menemukan bahwa portal berita rri.co.id memberi porsi berita dengan subjek anggota DPR yang sangat besar untuk Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dibandingkan fraksi-fraksi lain. Selain itu, riset Sapta Pratala menilai rri.co.id melakukan bias dengan lebih banyak mengabarkan komentar yang menolak pembubaran Front Pembela Islam (FPI) setelah pemerintah membubarkan organisasi tersebut pada 30 Desember 2020.[25] Sapta Pratala hanya dideskripsikan di media berita sebagai "pengamat media penyiaran publik", namun belum ada keterangan lebih lanjut tentang identitasnya.
Pada 13 Mei, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Satia Chandra Wiguna sempat meminta Komisi I DPR memecat Rohanudin karena dianggap "bertolak belakang dengan posisi ideal RRI sebagai lembaga pemberitaan yang netral" dan "membela kaum intoleran",[25] meskipun menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 DPR tidak berhak memberhentikan Dewan Direksi RRI. Namun, Dewan Pengawas RRI telah memberhentikan Rohanudin lebih dahulu pada 8 Mei.[23]
Tudingan-tudingan yang muncul dan langkah Dewan Pengawas mendapat kritik oleh pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga. Menurutnya, tudingan tersebut tidak boleh serta merta dijadikan dasar untuk menghakimi RRI, oleh karena statusnya sebagai media publik. RRI, menurut Ritonga, harus "mengayomi semua elemen masyarakat" dan "tidak boleh seperti pada zaman Orde Baru, yang jelas-jelas menjadi corong pemerintah".[26][27]
Pada tanggal 20 Mei2021, Komisi I DPR menetapkan Rohanudin sebagai salah satu anggota Dewan Pengawas RRI 2021-2026 dari unsur RRI.[28]
Identitas
Hingga tahun 2023, RRI setidaknya sudah empat kali mengganti logo. Logo awal RRI terdiri dari tiga elemen, yakni siluet Candi Borobudur, peta Indonesia, serta visual menara pemancar beserta gelombang radio yang dipancarkan. Logo ini digunakan hingga tahun 1998.[29]
Logo ketiga RRI yang diluncurkan pada 11 September 2006,[30] setahun pasca statusnya berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) pada tahun 2005 memiliki makna antara lain sebagai berikut:[31]
Bentuk persegi panjang tanpa sudut dan tanpa garis tepi: Bentuk ini menggambarkan kekokohan dan solidaritas. Sudut yang membulat (tidak runcing) melambangkan fleksibilitas RRI. Tidak adanya garis tepi atau bingkai menunjukkan indepedensi RRI, serta keterbukaan RRI untuk dapat bekerjasama dengan berbagai pihak.
Tulisan (font type) “RRI”: Huruf tulisan yang dirancang khusus menunjukkan RRI yang kokoh, tegas, dinamis dan selalu bergerak maju.
Gambar pancaran radio: Sebuah image yang menggambarkan kuatnya pancaran siaran radio RRI yang makin meluas. Tiga lapis pancaran yang terlihat pada logo juga melambangkan Tri Prasetya RRI.
Warna Biru, Biru langit dan putih untuk mempertahankan tradisi, yang mana komponennya terdiri dari:
Warna biru yang dipilih sebagai warna korporat RRI.
Warna Biru dan biru langit yang melambangkan universalitas RRI, sifat mengayomi, teduh dan dapat dipercaya, dan
Warna putih pada tulisan RRI yang melambangkan kejujuran, kebenaran, keberimbangan dan akurasi.
Perubahan terakhir dilakukan pada 11 September 2023, bertepatan dengan hari ulang tahun RRI ke-78.[32] Berbeda dengan pergantian logo sebelumnya, pergantian logo keempat ini dilakukan dengan bantuan sebuah agensi penjenamaan, DMID Group dan dibuat dalam dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.[33] Menurut Direktur Layanan dan Pengembangan Usaha LPP RRI, Yonas Markus, bulatan pada huruf "r" yang berbentuk seperempat lingkaran dan lingkaran memberikan makna bahwa RRI "melayani publik", dan ragam bentuk elemen adalah gambaran keragaman masyarakat yang dilayani RRI. Saat dihubungkan dengan simbol-simbol digital, maka RRI, "satu nol satu nol", adalah simbol multiplatform atau digitalisasi.[34] Selain itu, sebagai bagian dari rebranding, RRI mengadopsi Albert Sans beserta turunannya sebagai font resmi utama dengan Manrope beserta turunannya sebagai font sekundernya.
Pada 11 Juli 2024 (dua bulan sebelum HUT RRI ke-79), dalam rangka penyeragaman branding Programa RRI, RRI merombak logo kelima programa yang ada di berbagai stasiun RRI pusat dan daerah.[35] Perubahan terbesar terjadi pada implementasi adanya angka dalam bentuk persegi pada kelima programa serta perubahan warna logo RRI Programa 2 yang sebelumnya berwarna ungu, berubah menjadi warna biru kehijauan.[36]
Berbeda dengan logo, RRI telah mengusung slogan "Sekali di Udara, Tetap di Udara" sejak awal pendiriannya dan bertahan hingga saat ini. Pada tahun 2023 RRI meluncurkan slogan "Kita Indonesia Sesungguhnya" dalam rangka peluncuran logo baru,[37] namun tidak digunakan sebagai slogan utama.
Logo ketiga RRI (2006–2023). Logo ini pertama kali diperkenalkan pada peringatan HUT RRI ke-61 di Jakarta, dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 11 September 2006.[30]
Logo sekunder lama RRI (2018–2023)
Logo keempat RRI (variasi, 2023–sekarang)
Logo keempat RRI dengan nama lengkap berbahasa Inggris
Logo keempat RRI dengan nama lengkap "Radio Republik Indonesia" dalam versi vertikal
Logo keempat RRI tanpa nama lengkap
Logo keempat RRI dengan slogan "Sekali di Udara Tetap di Udara"
Logo PPID RRI
Slogan
Sekali di Udara, Tetap di Udara (1945-sekarang; slogan primer)
Kita Indonesia Sesungguhnya (2023-sekarang; slogan sekunder)
40 Tahun Indonesia Merdeka (11 September 1945 sampai dengan 11 September 1985) Direktorat Jenderal Radio Televisi dan Film Departemen Penerangan Republik Indonesia;
Radio Siaran (Teori dan Praktik)Onong Uchyana Effendy, MA. Bandung. Tahun 1978;
Sedjarah Radio Republik Indonesia, Kementerian Penerangan RI. Tahun 1953.
Siliwangi Dari Masa ke Masa ,TNI AD, Pusjarah TNI, 1979.