Penerimaan Negara Bukan Pajak (disingkat PNBP) adalah istilah dari bentuk pendapatan negara di Indonesia yang tidak bersumber dari pajak. PNBP merupakan salah satu unsur yang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), selain penerimaan perpajakan dan penerimaan hibah (baik dalam dan luar negeri).
PNBP merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).[1]
Menyadari pentingnya PNBP, maka kemudian dilakukan pengaturan dalam ragam peraturan perundang-undangan, beberapa di antaranya yang saat ini masih berlaku adalah:
UU Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
PP Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
PP Nomor 59 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak;
PP Nomor 69 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak;
PP Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
PP Nomor 47 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Semua Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pengertian, Subjek, dan Objek
Pengertian
UU Nomor 9 Tahun 2018 menguraikan pengertian PNBP dengan unsur sebagai berikut:
Pungutan;
yang dibayar oleh Orang Pribadi atau Badan;
dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung;
manfaat tersebut atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara;
Adapun UU Nomor 9 Tahun 2018 mendefinisikan Badan sebagai sekumpulan orang yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Termasuk dalam pengertian Badan menurut UU ini adalah Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN dan BUMD, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, kumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, lembaga, bentuk usaha tetap, badan hukum publik, serta bentuk badan lain yang melakukan kegiatan di dalam maupun luar negeri.[b]
Dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan bahwa subjek PNBP tersebut memiliki kewajiban membayar PNBP, maka subjek tersebut disebut sebagai Wajib Bayar.[c]
Objek
Objek PNBP mencakup seluruh aktivitas, hal, dan/atau benda yang menjadi penerimaan negara selain pajak dan hibah.[d] UU Nomor 9 Tahun 2018 beserta aturan pelaksananya, PP Nomor 69 Tahun 2020, mengklasifikasikan objek PNBP ke dalam 6 kelompok.[e] Atas keenam kelompok ini kemudian dirinci ragam jenis PNBP melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan/atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK).[f]
imbal jasa atas pengelolaan uang negara dalam pelaksanaan konsolidasi rekening bendahara satuan kerja secara virtual dan penerapan rekening tunggal perbendaharaan;
pungutan sebagai akibat putusan atau ketetapan Pengadilan atau Badan yang memiliki kewenangan berdasarkan peraturnn perundang-undangan; dan
pungutan atau penerimaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[m]
Tarif
UU Nomor 9 Tahun 2018 mengklasifikasikan tarif atas PNBP ke dalam 2 bentuk: tarif spesifik dan tarif ad valorem.[n] Tarif spesifik ditetapkan dengan nominal uang, sementara tarif ad valorem antara lain ditetapkan dengan persentase dan formula.[o]. Tarif ini, dengan pertimbangan tertentu dapat ditetapkan sebesar Rp0 atau 0%.[p]
Produk hukum yang digunakan untuk menetapkan tarif PNBP bergantung pada jenis objek PNBP tersebut, yaitu sebagai berikut:
Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pemanfaatan SDA diatur dalam undang-undang (UU), kontrak pengelolaan sumber daya alam, dan/atau Peraturan Pemerintah (PP).[q] Adapun kontrak pengelolaan sumber daya alam yang dimaksud meliputi Kontrak Kerja Sama (KKS) kegiatan usaha hulu migas, Kontrak Karya (KK) mineral, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).[r] Kontrak tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh UU atau PP yang mengatur mengenai jenis PNBP tersebut.[s]
Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan diatur dalam PP dan/atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK).[t]
Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan diatur dalam UU dan/atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).[u] Pengaturan dalam RUPS diperuntukkan untuk PNBP berupa dividen bagian Pemerintah pada Perseroan Terbatas (PT).[v]
Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) diatur dalam PP dan/atau PMK.[w]
Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Dana diatur dalam PMK.[x]
Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Hak Negara Lainnya diatur dalam UU, PP, dan/atau PMK.[y]
Adapun pengaturan melalui PMK pada jenis PNBP Pelayanan, jenis PNBP Pengelolaan BMN sehubungan dengan penggunaan BMN, dan jenis PNBP Hak Negara lainnya diperuntukkan bagi tarif PNBP yang bersifat volatil (membutuhkan perubahan minimal sekali dalam setahun) dan/atau apabila terjadi kebutuhan mendesak.[z]
Tarif PNBP dapat pula diatur oleh Peraturan Menteri atau Pimpinan Lembaga lain selain Menteri Keuangan dengan syarat telah diperintahkan demikian oleh UU dan/atau PP, serta Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan atas besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan tarif tersebut.[aa]
Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Mengenai Jenis dan Tarif PNBP
Berikut adalah beberapa produk hukum yang mengatur jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada instansi atau kegiatan tertentu:
Layanan Sertifikasi Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Farmasi dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Program Studi Diploma 3 Pengawasan Epidemiologi Politeknik Kesehatan:
Penjualan Buku Pengetahuan, Pendaftaran International Forum of Independent Audit Regulatory Inspection Workshop, dan Penyediaan Ruang Promosi pada Sistem Elektronik di Lingkungan Kementerian Keuangan:
Penerbitan Rekomendasi Importir dan Eksportir Terdaftar PrekursorNarkotika Non Farmasi:
PMK No. 125/PMK.02/2021
Sejarah
Pra 1997
Sebelum 1997, PNBP belum memiliki landasan penyelenggaraan dan pengelolaan yang jelas. Pengaturannya masih terpencar pada berbagai ragam dan tingkatan peraturan perundang-undangan sehingga belum mencerminkan kepastian hukum.
Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1997
Pengaturan terpadu atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pertama kali dilakukan melalui UU Nomor 22 Tahun 1997. Beleid tersebut mendefinisikan PNBP sebagai seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang berasal dari penerimaan perpajakan.[ab] Dengan demikian, pada undang-undang ini, Hibah yang diterima Pemerintah ikut digolongkan sebagai PNBP. Subjek dan klasifikasi tarif PNBP belum dijabarkan dalam UU ini.
Pada masa ini, PNBP diklasifikasikan ke dalam tujuh kelompok:[ac]
penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;
penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;
penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Adapun jenis[ad] dan tarif[ae] PNBP pada tiap kelompok tersebut (termasuk yang belum tercakup ke dalam satupun kelompok[af]) ditetapkan dengan undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP). Dalam hal ditetapkan dengan PP, Pemerintah harus terlebih dahulu mengemukakan hal tersebut ke DPR pada saat pembahasan dan penyusunan RUU APBN.[ag]
UU Nomor 9 Tahun 2018
Pengelolan PNBP
PNBP dipungut atau ditagih oleh Instansi Pemerintah dengan perintah UU atau PP atau penunjukan dari Menteri Keuangan, berdasarkan Rencana PNBP yang
dibuat oleh Pejabat Instansi Pemerintah tersebut. PNBP yang telah dipungut atau ditagih tersebut kemudian disetorkan ke kas negara dan wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pejabat Instansi Pemerintah kepada Menteri Keuangan dalam bentuk Laporan Realisasi PNBP Triwulan yang disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan tersebut berakhir. Untuk satker yang berstatus Badan Layanan Umum, tidak seluruh PNBP harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh satuan kerja yang bersangkutan dengan catatan siap dan sanggup diaudit.[2]