PT Berdikari adalah bagian dari ID FOOD yang bergerak di bidang peternakanayam dan sapi. Selain itu, perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta ini juga memproduksi furnitur dan menyediakan jasa logistik.
Sejarah
Cikal-bakal bisnis perusahaan ini ada pada tiga bisnis milik pengusaha asal Aceh dan Sumatera Utara, yaitu Teuku Markam, Abdul Rachman Aslam dan Ibrahim Tambunan. Setelah peristiwa Gerakan 30 September yang mengakibatkan tergerusnya kekuasaan Presiden Sukarno, penggantinya, Soeharto dan para jenderalnya menuduh ketiga pengusaha tersebut menyokong gerakan G30S karena kedekatan mereka dengan Sukarno. Tanpa proses pengadilan yang sahih, pada 14 Agustus 1966 pemerintah memutuskan menasionalisasi seluruh aset ketiganya dengan total lebih dari US$ 460 juta.[4][5] Dari aset tiga pengusaha itulah didirikan perusahaan ini, yang saat itu bernama PT Pilot Proyek Berdikari. Perusahaan ini awalnya berbisnis di bidang peternakan sapi dengan modal berupa bekas aset milik Teuku Markam, yakni PT Karkam/Aslam dan PT Sinar Pagi.[6]
Secara resmi perusahaan ini merupakan badan usaha milik negara,[7] meskipun dalam praktiknya status dan bisnisnya dijalankan secara abu-abu.[8] PP Berdikari seperti menjadi perusahaan semi-pribadi Soeharto yang dikelola dengan seizin dan kepentingan sang presiden baru. Seperti misalnya pengelolaannya yang dijalankan oleh tiga yayasan di bawah pimpinannya, yaitu Yayasan Dharmais, Yayasan Dakab dan Yayasan Supersemar.[9] Pimpinannya pun ada pada tiga jenderal kepercayaan Soeharto, yaitu Suhardiman, Amran Zamzami dan yang terutama, Bustanil Arifin.[4][10] Menurut George Junus Aditjondro, keuntungan dari PP Berdikari dialirkan bukan untuk negara, melainkan untuk kepentingan politis penguasa saat itu.[4]
Dari awalnya hanya berbisnis di bidang perdagangan dan peternakan, Bustanil kemudian memperluas cakupan bisnis Berdikari, menjadikannya sebuah konglomerasi. Bisnisnya meliputi keuangan (Bank Duta Ekonomi, Asuransi Timur Jauh), perdagangan (PT Wotraco), perkebunan (PT Kapas Indah Indonesia), pelayaran (PT Ujung Jauh), pangan (PT Berdikari Sari Utama Flour Mills), peternakan (PT Berdikari United Livestock), dan manufaktur (pabrik sabun, minyak, batik dan tenun).[11] Bisnisnya juga disinergikan dengan perusahaan negara lain, seperti Badan Urusan Logistik pimpinan Bustanil.[12] Hal ini membuat munculnya anggapan bahwa PP Berdikari kini, selain "dimiliki" Soeharto, juga kini "dimiliki" Bustanil.[13]
Setelah tersingkirnya Bustanil di awal 1990-an,[9] dan selanjutnya perubahan pemerintahan, kinerja PP Berdikari mulai tersendat. Dari awalnya memegang status BUMN yang kurang jelas,[14] di tanggal 7 April 2000, nama perusahaan ini dan statusnya diubah menjadi "PT Berdikari (Persero)".[15] Masalah-masalah yang menimpa Berdikari pada era selanjutnya seperti dugaan korupsi,[16] kondisi perusahaan yang merugi,[17] tata kelola yang tidak efisien, adanya gagal bayar pada usaha-usahanya,[18] fokus bisnis yang tidak jelas (seperti ikut terjun ke bisnis mebel dan pupuk), dan kurang diperhatikannya bisnis utamanya selama ini, yaitu di bidang peternakan.[19][20]
Untuk memperbaiki kondisinya, maka sejak 2016 pemerintah memutuskan memfokuskan bisnis perusahaan ke usaha peternakan dan merevitalisasi manajemen maupun pengelolaan perusahaan.[18] Di bulan Maret 2018, perusahaan ini berekspansi ke bisnis peternakan ayam dengan mengimpor bibit induk ayam sebanyak 36.000 ekor.[15] Pada tahun 2020, perusahaan ini juga mulai memproduksi berbagai olahan daging, seperti sosis, bakso, nugget, dan kornet dengan merek “Be-Best”.[3] Pada tanggal 7 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menyerahkan mayoritas saham perusahaan ini ke Rajawali Nusantara Indonesia sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di bidang pangan,[21] sehingga perusahaan ini tidak lagi menyandang status persero.
Referensi
^"Dewan Direksi". Berdikari (Persero). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-10. Diakses tanggal 10 September 2021.