Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Dirgantara Indonesia

PT Dirgantara Indonesia
Sebelumnya
PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (Persero)(1976-1985)
PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (Persero)(1985-2000)
Perseroan terbatas
IndustriDirgantara dan Pertahanan
Didirikan26 April 1976
Kantor pusat,
Indonesia
Tokoh kunci
Gita Amperiawan
ProdukPesawat terbang komersial
Pesawat terbang militer
Komponen pesawat terbang
Pemeliharaan dan perbaikan pesawat terbang
Pertahanan
Karyawan
3.689 (2021)
IndukLen Industri
Anak usahaIPTN North America, Inc
PT Nusantara Turbin dan Propulsi
PT General Electric Turbine Service
Situs webindonesian-aerospace.com

PT Dirgantara Indonesia (atau biasa disingkat menjadi PTDI) adalah produsen pesawat terbang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai jenis pesawat terbang, tetapi juga memproduksi helikopter dan senjata, serta menyediakan pelatihan dan pemeliharaan untuk mesin-mesin pesawat. Dirgantara Indonesia pun menjadi subkontraktor untuk sejumlah produsen pesawat terbang besar di dunia, seperti Boeing, Airbus, General Dynamics, Fokker dsb.

Perusahaan ini memiliki fasilitas manufaktur yang modern dan lengkap, serta tim yang terdiri dari para ahli dan profesional yang berpengalaman dalam industri dirgantara.[1]

Sikumbang, pesawat era Nurtanio

Sejarah

BJ Habibie, Bapak Industri Pesawat Modern Indonesia
Nurtanio, Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia

Lipnur

Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) memulai sejarahnya pada tanggal 16 Desember 1961 saat TNI Angkatan Udara mendirikan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) guna mempersiapkan pendirian industri penerbangan untuk mendukung kegiatan penerbangan di Indonesia. Pada tahun yang sama, LAPIP pun meneken perjanjian kerja sama dengan Centrali Eksportu Kompletnych Obiektów Przemysłowych (CEKOP), lembaga pemerintah Republik Rakyat Polandia yang memegang monopoli perdagangan luar negeri. Perjanjian tersebut meliputi pembangunan pabrik pesawat terbang serta pelatihan sumber daya manusia dan produksi, guna memproduksi pesawat terbang PZL-104 Wilga di bawah lisensi dari CEKOP. Pesawat terbang yang kemudian dikenal di Indonesia dengan nama Gelatik tersebut akhirnya berhasil diproduksi sebanyak 44 unit. Pada tahun 1965, melalui sebuah keputusan presiden, Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Terbang (Kopelapip) dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari pun resmi didirikan. Pada bulan Maret 1966, Nurtanio Pringgoadisuryo meninggal akibat mengalami kecelakaan saat melakukan uji terbang, dan untuk menghormati kontribusinya, Kopelapip dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari kemudian digabung ke dalam Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur). Lipnur lalu memproduksi pesawat latih dasar yang diberi nama LT-200 dan membangun bengkel untuk menyediakan layanan purna jual.

B.J. Habibie

Sementara itu, upaya untuk merintis pendirian industri pesawat terbang juga terus dilakukan oleh B.J. Habibie yang sejak tahun 1965 bekerja di Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB), sebuah produsen pesawat terbang asal Jerman. Pada awal Desember 1973, Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo pun menemui Habibie di Dusseldorf guna menjelaskan impian Pertamina untuk mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia. Habibie kemudian diangkat sebagai Penasehat Direktur Utama Pertamina dan diminta untuk segera kembali ke Indonesia. Pada awal bulan Januari 1974, Pertamina pun membentuk divisi baru untuk fokus pada teknologi mutakhir dan teknologi penerbangan (ATTP). Pada tanggal 26 Januari 1974, Habibie dipanggil oleh Presiden Soeharto dan kemudian diangkat sebagai Penasehat Presiden di bidang teknologi. Pada bulan September 1974, ATTP meneken perjanjian dasar untuk kerjasama lisensi dengan MBB asal Jerman dan CASA asal Spanyol untuk memproduksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap NC-212. Karena Pertamina kemudian menghadapi sejumlah masalah, pada tanggal 26 April 1976, semua aset milik divisi ATTP, Lipnur, dan TNI Angkatan Udara yang berkaitan dengan industri pesawat terbang kemudian dijadikan modal untuk mendirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). B.J. Habibie lalu ditunjuk sebagai direktur utama IPTN. Setelah semua fasilitas fisik selesai dibangun, IPTN pun diresmikan oleh Presiden Soeharto pada bulan Agustus 1976. Pada tanggal 11 Oktober 1985, nama perusahaan ini diubah menjadi "PT Industri Pesawat Terbang Nusantara", dan pada tanggal 24 Agustus 2000, nama perusahaan ini kembali diubah menjadi seperti sekarang.[2]

2000 - sekarang

Pada awal tahun 2012, Dirgantara Indonesia berhasil mengirimkan 4 unit pesawat CN235 pesanan Korea Selatan. Selain itu, Dirgantara Indonesia juga sedang menyelesaikan 3 unit pesawat CN235 pesanan TNI AL dan 24 unit Heli Super Puma dari Eurocopter. Dirgantara Indonesia juga sedang menjajaki untuk memproduksi pesawat C295 (CN235 versi jumbo) dan N219, serta bekerja sama dengan Korea Selatan untuk memproduksi pesawat tempur siluman KFX. Pada tanggal 12 Januari 2022, pemerintah resmi menyerahkan mayoritas saham perusahaan ini ke Len Industri, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di bidang industri pertahanan.[3]

Produksi

Pesawat Sayap Tetap

Komponen pesawat

Perusahaan ini memproduksi sejumlah komponen untuk digunakan oleh produsen pesawat terbang lain, yakni:

Helikopter

Lainnya

Rencana

Direktur Utama

Berikut adalah daftar Direktur Utama IPTN/Dirgantara Indonesia:

Rencana Bisnis

PT Dirgantara Indonesia akan memasuki bisnis pesawat komersial dengan memproduksi N219, jika N219 sudah beroperasi dan sudah mendapatkan sertifikasi Dirgantara Indonesia akan mengembangkan dan memproduksi pesawat berpenumpang 50 orang.[13]

PT Dirgantara Indonesia akan mengirimkan sekitar 300 tenaga ahli ke Korea Selatan dalam kerjasama pembuatan pesawat tempur KAI KF-21 Boramae grade 4.5. Rencananya pesawat tempur tipe 4.5 ini akan setingkat di atas F16 yang masih pada tipe 4. Nantinya lima prototype yang menjadi buatan bersama salah satunya akan dibuat di PT Dirgantara Indonesia, Bandung.[14]

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya