RCTI
RCTI (singkatan dari Rajawali Citra Televisi Indonesia) adalah salah satu jaringan televisi swasta di Indonesia yang dimiliki oleh Media Nusantara Citra (MNC). RCTI merupakan televisi swasta pertama di Indonesia. Didirikan awalnya sebagai perusahaan patungan antara Bimantara Citra dan Rajawali Wira Bhakti Utama,[1] RCTI pertama mengudara pada 13 November 1988 dan diresmikan 24 Agustus 1989 pukul 13.30 WIB. Saat itu, siaran RCTI hanya dapat ditangkap oleh pelanggan yang memiliki dekoder dan membayar iuran setiap bulannya di Jakarta. RCTI melepas dekodernya pada 24 Agustus 1990, setahun setelah mulai mengudara secara resmi, yang menandakan dimulainya siarannya secara free-to-air walaupun masih berstatus stasiun televisi lokal. Tiga tahun kemudian, pada 24 Agustus 1993, RCTI resmi bersiaran secara nasional. Sejak Oktober 2003, RCTI dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok perusahaan media yang juga memiliki GTV, MNCTV, dan iNews. SejarahKemunculan dan siaran awalTerdapat tiga tokoh utama yang berperan dalam kelahiran RCTI, yaitu Peter Sondakh, Peter F. Gontha dan Bambang Trihatmodjo. Dalam hal ini, Sondakh-lah yang mengusulkan ide kehadiran televisi swasta di Indonesia, namun selalu ditolak saat diajukan proposalnya ke Departemen Penerangan (Deppen). Sondakh baru sukses setelah berhasil mendekati Bambang Tri lewat bantuan Gontha. Ide Sondakh tersebut kemudian disetujui oleh Bambang dan selanjutnya Presiden Soeharto pada tahun 1986. Namun, butuh hampir dua tahun agar ide berdirinya televisi swasta pertama di Indonesia ini bisa direalisasikan. Lewat konsultasi dan perundingan bersama sejumlah pihak, termasuk Deppen, DPR dan TVRI, pemerintah akhirnya memberikan landasan bagi kehadiran RCTI. Aturan itu adalah SK Menpen No. 190A/Kep/Menpen/1987 (20 Oktober 1987) yang membolehkan masuknya swasta dalam industri penyiaran, meskipun dengan cakupan siar yang terbatas dalam wadah "Siaran Saluran Terbatas" (SST).[2][3] Setelah aturan itu keluar, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia yang didirikan pada 21 Agustus 1987[4] mengajukan izin TV swasta SST lewat TVRI di tanggal 28 Oktober 1987.[5] Di hari yang sama, TVRI resmi menunjuk RCTI sebagai calon "pelaksana SST" pertama (lewat SK Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI No. 557/Dir/TV/1987), dan di tanggal 22 Februari 1988, RCTI resmi mendapat izin siarannya lewat penandatanganan kerjasama dengan TVRI (bernomor 12/SP/DIR/TV/1988 dan RCTI.BI. 027/1988).[3][6] Menurut pemerintah, RCTI saat itu diberikan izin, dikarenakan perusahaan ini merupakan satu-satunya yang mengajukan izin SST,[7] pertimbangan perusahaan tersebut mampu menyediakan investasi yang besar (lebih dari Rp 20 miliar) dan memiliki modal yang kuat, serta karena pertimbangan faktor pengamanan baik teknologi maupun fungsi dan peranan televisi sebagai alat penerangan yang strategis.[8][9] Dalam izin siaran dari TVRI tersebut, RCTI diberi hak selama 20 tahun untuk beroperasi dengan batasan waktu siar 18 jam perhari.[10] Status SST yang melekat pada RCTI saat itu membuatnya hanya bisa diterima secara terbatas. RCTI memang disiarkan secara terestrial di kanal 43 UHF/647,25 MHz (yang dijatah oleh Telkom pada Februari 1988), tetapi tidak bisa ditangkap oleh semua kalangan melainkan hanya yang memiliki perangkat berupa dekoder secara berlangganan.[2][8] Dalam persiapannya, RCTI kemudian melakukan pembangunan studio di Kebon Jeruk di atas tanah seluas 10,4 hektar yang dimulai sejak 23 Juni 1988. Peresmian peletakan batu pertama studio ini dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto dan beberapa pejabat lainnya.[11][12][13] Kemudian, di tanggal 23 Juli 1988, pemasangan perangkat siaran RCTI dimulai yang selanjutnya selesai dalam waktu 6 bulan.[6] Untuk membantu pengembangannya, RCTI merekrut beberapa orang yang akan menjadi manajemen kuncinya di awal bersiaran, seperti Peter Langlois, Stephen Mathis (dan kawan-kawannya yang berasal dari Amerika Serikat), Alex Kumara dan Zsa Zsa Yusharyahya.[14] Khusus Langlois, pria yang sebelumnya bekerja di sebuah stasiun TV di California, AS bernama KCRA ini, kemudian berperan besar dalam membentuk pemograman RCTI yang didesain seperti sistem televisi swasta di negara asalnya.[2] Modalnya juga disiapkan sebesar US$ 100 juta.[8] Awalnya, RCTI ditargetkan bersiaran mulai September 1988 selama 2-3 jam[15] dengan program hiburan (terutama film impor) dan pendidikan,[14] tetapi baru pada 13 November 1988, siaran percobaannya di Jakarta dimulai dari jam 17.30 WIB-22.30 WIB dengan awalnya masih membuka siarannya (free-to air).[9][16] Kemudian, di tanggal 21 November 1988, RCTI memulai siarannya dengan dekoder, dengan pelanggan awal berjumlah 43.000 pengguna.[17] Awalnya direncanakan bahwa baru pada 1 Maret 1989 RCTI akan mulai mensyaratkan penggunaan dekoder dan bersiaran resmi,[8] namun kemudian tampak kebijakan ini dijalankan tidak tetap dengan buka-tutup siaran, di mana penutupan siaran justru dilakukan lebih awal yaitu pada 21 November 1988 dan 2 Januari 1989. Sebelum dua waktu itu, siaran RCTI dibuka (bisa diterima tanpa dekoder) yang dimaksudkan agar publik bisa melihat contoh acaranya.[8] Kemudian pada 5 Maret 1989, RCTI memperpanjang siarannya menjadi 16 jam, dari 08.30-24.30 WIB.[18] Meskipun demikian, mengingat status siarannya pada saat itu masih percobaan, tercatat RCTI sempat beberapa kali mengalami gangguan dalam operasionalnya.[19][20] Pada tanggal 24 Agustus 1989 RCTI memulai siarannya secara komersial yang diresmikan oleh Presiden Soeharto di Studio RCTI Kebon Jeruk, Jakarta Barat dengan status sudah bersiaran dengan dekoder berbayar. Biaya berlangganan RCTI saat itu dipatok sebesar Rp 131.000 untuk menyewa dekoder (secara spesifik Rp 75.000 untuk dekoder ditambah Rp 56.000 untuk PPN dan biaya materai),[12] serta Rp 15.000-30.000 per bulan untuk jenis layanan yang diberikan.[21] Meski pada saat itu masih berstatus televisi berlangganan Jakarta, RCTI sempat menayangkan iklan-iklan produk terkemuka. Pada saat awal siaran, RCTI hanya menayangkan acara-acara luar negeri (terutama dari AS), karena modalnya lebih murah jika dibandingkan dengan memproduksi sendiri yang biayanya jauh lebih mahal, dan juga merespon kebutuhan pasar pada saat itu yang memang sedang menggandrungi kaset video film/serial Barat.[2] Namun, di samping banjir program impor tersebut, RCTI sebenarnya sudah berusaha memulai produksi program lokal lewat acara Jakarta Masa Kini pada Juli 1989.[22] Menurut pihak RCTI saat itu, mereka berusaha menampilkan acara yang dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat luas, dengan tetap mengandung unsur pendidikan dan penerangan meskipun didominasi hiburan.[11] Televisi FTA dan perluasan siaranBagaimanapun, status RCTI sebagai SST dirasa menghalangi geraknya dikarenakan jumlah pemirsa yang akan terbatas yang akhirnya memengaruhi pendapatan iklannya. Memang pada awalnya diproyeksikan RCTI akan menggaet 200.000 pelanggan pada tahun 1990, namun kemudian hanya 125.000 pelanggan yang tercatat menjadi pemirsanya.[23] Kekurangberhasilan meraih target pelanggan ini disebabkan karena berbagai faktor, seperti adanya dekoder palsu atau curian yang beredar di pasaran.[2] Selain itu, sempat muncul juga keluhan dari sebagian masyarakat karena kewajiban berlangganan ini,[24] yang akhirnya berbuah pembatalan langganan.[25] Akibatnya, meskipun saat itu bisa meraup sekitar Rp 2,25 miliar dari pendapatan dekoder dan Rp 12 miliar dari iklan, RCTI tercatat masih merugi pada tahun pertama operasionalnya.[21][23] Hal diatas membuat RCTI kemudian melobi pemerintah untuk mengubah statusnya dari televisi berlangganan SST menjadi bisa diterima secara bebas (free-to-air/FTA).[2][26] Akhirnya, pada 11 Juli 1990, Menteri Penerangan Harmoko resmi mengumumkan rencana penghapusan kewajiban penggunaan dekoder untuk menerima siaran RCTI (dan televisi swasta), suatu keputusan yang kemudian disetujui oleh Presiden Soeharto pada 14 Juli 1990.[21] Di tanggal 1 Agustus 1990, pemerintah memberikan izin siaran tanpa dekoder lewat surat Dirjen RTF No. 1271D/RTF/K/VIII/1990,[27] dan pada 24 Agustus 1990 pukul 13.30 WIB, RCTI resmi menghapuskan kewajiban penggunaan dekodernya (mengudara secara bebas/FTA) di kanal yang sama, 43 UHF. Statusnya pun berubah, dari awalnya Siaran Saluran Terbatas (SST) menjadi Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum (SPTSU)[28] yang memiliki jam siaran tidak terbatas.[10] Khusus eks-pelanggannya sendiri, kemudian dapat mengembalikan dekodernya mulai 3 September 1990.[29] Meskipun dengan bersiaran secara bebas RCTI merugi karena dekodernya menjadi tidak terpakai (totalnya Rp 65 miliar/US$ 400 per unit) dan harus mengembalikan uang jaminan dekoder senilai Rp 75.000 ke 125.000 eks-pelanggannya (totalnya Rp 9 miliar), namun mereka juga mendapat keuntungan lain yang lebih besar: jumlah pemirsanya yang awalnya hanya ratusan ribu, menjadi sekitar 6-8,5 juta orang di seluruh Jabotabek. Tarif iklannya pun tercatat naik setelah penghapusan kewajiban menggunakan dekoder dikeluarkan oleh pemerintah.[21][23] Dengan penghapusan dekoder ini diharapkan RCTI mampu "memantapkan penggerak roda ekonomi sebagai media audiovisual",[29] serta membantu mengembangkan dan meratakan informasi dengan memberikan kesempatan menonton program televisi swasta bagi masyarakat luas.[30] Pemerintah juga berharap RCTI mampu meningkatkan persentase program buatan sendiri/lokalnya dan mutu siarannya pasca dikeluarkannya kebijakan ini.[23][31] Pada tahun 1991, RCTI merealisasikan perluasan siarannya setelah mengudara di Bandung pada 1 Mei 1991, dengan nama RCTI Bandung. RCTI Bandung merupakan stasiun afiliasi/jaringan (bukan sekedar stasiun relai, karena belum boleh bersiaran nasional)[32] yang menyiarkan beberapa program yang sama dengan RCTI (Jakarta), walaupun tidak semuanya karena ada siaran lokal seperti wayang golek.[33][34] Sebelumnya pada April 1991, RCTI juga sudah mulai bersiaran secara "nasional" (walaupun belum resmi dan hanya bisa ditangkap oleh pengguna parabola)[2] dengan satelit Palapa B2. Walaupun sempat menuai kontroversi sehingga dihentikan oleh Deppen pada 22 April 1991,[35] namun kemudian Dirjen RTF (Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film) memberikan izin pada RCTI untuk bersiaran lewat satelit lewat SK Dirjen RTF No. 1286/RTF/K/VI/1991.[2] Sesungguhnya, "perluasan siaran" secara nonformal juga sudah dilakukan lewat kerja sama programming dengan SCTV, sebuah stasiun TV lokal yang bersiaran di Surabaya. Program keduanya sama namun disiarkan di waktu berbeda.[23][36] Bentuk perluasan siaran lain yang nonformal juga diwujudkan dengan sejumlah pihak swasta yang membuka siaran ilegal pada 1991-1992 seperti di Garut dan Yogyakarta.[37][38] Pada tanggal 24 sampai 25 Agustus 1991, RCTI bersama SCTV membuat sebuah gebrakan baru dalam sejarah pertelevisian Indonesia, dalam rangka hari ulang tahunnya yang kedua dan SCTV yang pertama dengan "24 Jam di 24 Agustus", yaitu rangkaian acara-acara terbaik RCTI dan SCTV yang disiarkan selama 24 jam sampai hari berikutnya. Ini menjadi kejadian pertama di Indonesia, dimana stasiun televisi swasta bisa mengudara selama 24 jam pada saat-saat khusus. Empat tahun kemudian, Indosiar melakukan hal yang serupa dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-50, tapi dalam waktu sepekan, tanggal 12 sampai 20 Agustus 1995. Perkembangan selanjutnyaSeiring waktu, RCTI kemudian mulai menampilkan hal-hal baru walaupun baru sekadar bersiaran resmi di Jakarta dan Bandung. Pada awal 1991, RCTI memperkenalkan siaran stereo (Zweiton).[39] Lalu, juga sejak 1989 RCTI sudah menyiarkan program sejenis berita bernama Seputar Jakarta (pada 1990 diubah menjadi Seputar Indonesia). Seputar Indonesia, menjadi dikenal karena pembawaannya yang cenderung tidak monolitik seperti menggunakan Pemirsa bukan Saudara.[40] Siaran Seputar Indonesia juga merupakan program terawal yang memberikan penerjemah bahasa isyarat bagi pemirsa.[37] Lalu, di April 1994, RCTI memunculkan sistem teleteks pertama.[41] Di tahun 1994 juga, diperkenalkan siaran dual sound dan pada 3 Juni 1995 diperkenalkan siaran 3 dimensi lewat kartun Remi.[42][43] Keberhasilan lainnya adalah, hanya dalam waktu beberapa tahun setelah bersiaran (1992), RCTI telah mencapai titik impas-nya.[44] Bertepatan dengan ulang tahun ke-4, tepatnya tanggal 24 Agustus 1993, RCTI akhirnya baru bisa melakukan siarannya secara nasional. Izin siaran nasional (bernomor 205/RTF/K/I/1993)[45] yang didapatkan pada 30 Januari 1993 ini muncul sebagai akibat dari SK Menpen 04A/1993 pada 18 Januari 1993. Setelah izin siaran nasional itu didapatkan, RCTI cepat berekspansi dengan membangun puluhan stasiun transmisi di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Jayapura, Surakarta, Semarang, Banjarmasin, Batam, Ujung Pandang, Manado, Pontianak dan berbagai kota lainnya di Indonesia selama beberapa tahun ke depan.[2][46] Program-programnya pun kemudian terus berkembang, dari yang awalnya didominasi acara impor, menjadi program lokal, terutama sinetron yang sampai saat ini masih menjadi andalan RCTI (ditambah acara lain seperti kuis, olahraga, serial animasi anak-anak, dan lainnya).[47] Target pasarnya menargetkan segala kelompok (meskipun lebih condong ke kelas atas), dan cukup sering menjadi televisi No. 1 di Indonesia dalam soal rating.[48][49] Sempat tercatat mengalami kerugian hingga Rp 90 miliar akibat krisis ekonomi di akhir 1990-an yang memaksanya melakukan perubahan manajemen, konsolidasi dan restrukturisasi,[50] RCTI berhasil memperbaiki kondisinya, dan di tanggal 24 Agustus 2000 yang menandai usianya yang ke-11, RCTI resmi berganti logo baru yang menggambarkan penampilan dan semangat baru. Perubahan logo ini juga diiringi dengan penempatan logo yang diubah dari posisi semula di pojok kanan atas menjadi di pojok kiri atas seperti yang diterapkan oleh TPI, ANTV dan Indosiar. Sejak 1 Februari 2000 juga, RCTI telah mengganti sistem penyiarannya dari analog menjadi digital. Hingga awal tahun 2001, RCTI memiliki 47 stasiun transmisi di seluruh Indonesia, setelah transmisi di Kotabaru, Kalimantan Selatan diresmikan pada 10 Februari di tahun tersebut.[51] Belakangan, agar dapat memenuhi kewajiban siaran lokal sesuai UU Nomor 32 Tahun 2002, pada tahun 2010 RCTI membentuk setidaknya 14 'anak' perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjalankan transmisi daerahnya tersebut.[52] Mulai 1 April 2018, RCTI beralih ke aspek rasio 16:9 (dengan safe area 4:3) dan kualitas high-definition (HD). Mulai 1 November 2021, Siaran aspek rasio 16:9 (dengan safe area 4:3) RCTI berubah menjadi siaran aspek rasio 16:9 (tanpa safe area). Mulai 7 November 2021, siaran RCTI resmi dihapus dari platform streaming lain selain yang berafiliasi (RCTI+ dan Vision+) dengan maksud untuk harmonisasi konten maupun pengembangan aset digital yang dimiliki oleh grup.[53] Akan tetapi, hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor kesuksesan Ikatan Cinta dan acara tersebut mampu meraup lebih banyak penonton di platform pesaing yaitu Vidio dan sejenisnya sehingga penutupan tersebut dilakukan. Tidak hanya kali ini saja RCTI berupaya untuk "menjegal" pesaingnya, sebelumnya RCTI juga menggugat televisi berlangganan lain yang menayangkan konten secara ilegal seperti Ninmedia (sekarang Kugosky) dan Matrix TV (sekarang bergabung dengan Nex Parabola). KepemilikanHingga 2003, RCTI dimiliki secara patungan antara Bimantara Citra (69,82%) dan Rajawali Wira Bhakti Utama (sekarang Rajawali Corpora) (30,18%) yang masing-masing dikendalikan oleh Bambang Trihatmodjo dan Peter Sondakh.[1] Salah satu komisarisnya pada saat itu Indra Rukmana adalah suami dari Tutut Soeharto, pendiri dan mantan pemilik TPI yang sejak tahun 2003 hingga sekarang menjadi saluran seinduk dengan RCTI dan Global TV. Keadaan berubah ketika munculnya krisis ekonomi 1997-1998 dan kejatuhan Orde Baru. Dalam hal ini, struktur kepemilikan di Bimantara, pengendali saham mayoritas RCTI pun berubah. Bambang perlahan-lahan melepas kepemilikannya (via PT Asriland) di PT Bimantara yang pada saat itu terlilit hutang, dari 36,51% pada 2000 menjadi 14,32% pada 2003. Di tengah situasi itu, hadir orang yang kini menjadi penguasa RCTI, yaitu Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Hary Tanoe atau HT). Hary sebenarnya bukanlah pemain di industri media atau seorang konglomerat besar dari awal, melainkan hanya seorang pemain di industri keuangan dan pasar modal lewat PT Bhakti Investama. HT lewat PT Bhakti meningkatkan kepemilikannya di PT Bimantara secara bertahap: dari 10,72% pada 2001 hingga mencapai 37,60% pada 2003. Pada 30 April 2002, HT dikukuhkan sebagai Presdir Bimantara. Masuknya HT dalam PT Bimantara ini memang mengagetkan karena dia dianggap pada saat itu tidak punya kekuatan modal besar untuk menguasai "raksasa" bisnis Cendana tersebut. Ada yang menganggap upaya HT ini mendapatkan "backing-an" dari keluarga Cendana sehingga ia hanya sebagai operator, ada rumor yang menuduhnya merupakan kepanjangan tangan Salim Group,[54] rumor lain mengatakan ia diberi modal oleh investor rahasia, bahkan ada juga yang menuduhnya dibantu oleh investor kawakan George Soros.[55] Namun, HT membantah semua itu dalam wawancara tahun 2007 dan menyatakan keberhasilannya lebih disebabkan prestasinya menyehatkan Bimantara dengan meningkatkan kinerjanya dan menjual aset-asetnya yang potensial.[56] Yang pasti, kemudian kepemilikan Bimantara (yang kemudian berganti menjadi Global Mediacom) menjadi berada di bawah pengendalian HT sedangkan saham Bambang Tri (lewat PT Asriland) semakin merosot dan akhirnya lenyap pada awal 2012, yang diperkuat dengan mundurnya Bambang Tri dan Mohammad Tachril Sapi'ie dari jajaran manajemen Global Mediacom pada akhir April 2012. Pada intinya, sejak 2001, praktis kendali atas RCTI (via Bimantara) telah beralih dari Bambang kepada HT. Sementara itu, sisa 30,18% saham yang dimiliki oleh Rajawali Wira Bhakti Utama (Peter Sondakh), kemudian dilepas ke PT Bukit Cahaya Makmur (BCM) pada 26 Agustus 2003. Banyak yang menganggap, PT BCM merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Bimantara.[2][57] Dengan hal tersebut, maka sejak saat itu 100% kepemilikan RCTI ada di bawah HT. HT kemudian melakukan restrukturisasi lagi dengan menempatkan perusahaan penyiarannya (termasuk RCTI) dalam PT Media Nusantara Citra (MNC) sebagai induk. Saham PT BCM kemudian juga dijual pada MNC di tanggal 19 Februari 2004,[58] sehingga kepemilikan MNC pada RCTI mencapai 100% sampai saat ini.[1] RCTI sampai saat ini tercatat tidak pernah dimiliki pemodal asing, namun tercatat pernah ada isu yang menyatakan bahwa beberapa investor akan membeli sahamnya atau bekerja sama. Pada tahun 1994 dan 2000, RCTI sempat dikabarkan akan dibeli sahamnya atau bekerja sama dengan konglomerat media Rupert Murdoch (News Corporation). Namun, rencana masuknya Murdoch gagal karena tidak ada kesepakatan tentang siapa yang akan menjadi pengendali. Selain itu, sempat beredar kabar bahwa Columbia Tristar berencana masuk ke RCTI pada awal 2000-an.[59][60] Pada pertengahan 1990-an juga muncul kabar RCTI sempat merencanakan akan mencatatkan sahamnya di bursa saham (saat itu diperkirakan pada 1994 dengan presentase saham publik 20-30%),[44] tetapi dilarang pemerintah karena larangan akan kepemilikan asing di televisi swasta pada saat itu.[61] PenjenamaanNamaNama Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) berasal dari dua perusahaan pendirinya, yaitu Rajawali Wira Bhakti Utama dan Bimantara Citra.[59] Kemungkinan penetapan Rajawali sebagai nama utama walaupun bukan pemegang saham mayoritas, disebabkan perusahaan ini diinisiasi oleh Peter Sondakh seperti telah disebutkan di atas. Akan tetapi, sebenarnya nama panjang "Rajawali Citra Televisi Indonesia" juga memiliki arti tersendiri, yaitu:
Nama panjang "Rajawali Citra Televisi Indonesia" secara keseluruhan menggambarkan bahwa RCTI (serta awalnya dua pemiliknya, Bimantara Citra dan Rajawali Wira Bhakti Utama)[63] mempunyai komitmen yang tinggi untuk bekerjasama mengabdi kepada bangsa melalui sumbangannya memberikan informasi, pengetahuan, dan sekaligus hiburan melalui televisi.[64] Melalui motto "Kebanggaan Bersama Milik Bangsa", RCTI berusaha untuk tampil dalam sebuah kemasan yang "oke" dan dengan kualitas yang "oke".[65] LogoSejak awal berdiri, logo RCTI merupakan penggayaan dari tulisan RCTI. Awalnya dari tahun 1988 hingga 2000 digunakan logo di mana huruf R digantikan dengan kepala rajawali lengkap dengan sepasang cakar beserta sayap corak merah-hijau-biru, dan dari matanya "terpancar" garis merah putih, sedangkan CTI berbentuk garis-garis. Rajawali tersebut digambarkan berbulu putih bersih dengan posisi siap siaga, kedua kaki kokoh dan berkuku berwarna hitam, sorot matanya tajam ke depan dengan garis-garis pancaran merah putih, sayapnya mengembang, dengan garis-garis melebar pada ujungnya berwarna merah, hijau, dan biru (pelangi). Warna merah-hijau-biru dipilih karena merupakan lambang gelombang visual elektromagnetik dalam pertelevisian yang terkenal dengan singkatan RGB (red, green, and blue).[66] Makna dari komponen lainnya di logo lama tersebut, yaitu:
Secara keseluruhan, logo tersebut menggambarkan sikap RCTI yang selalu tanggap serta sigap setiap saat, turut serta mencerdaskan bangsa dalam era pembangunan semesta nasional, bermediakan teknologi televisi yang dilandasi semangat perjuangan serta wawasan nasional maupun internasional, demi mencapai kesejahteraan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia.[66] Awalnya logo ini hanya digunakan sebagai logo perusahaan saja, tetapi sejak 1991 logo tersebut juga mulai digunakan sebagai logo on air. Lalu, pada tahun 1996, pada logo on air-nya ditambahkan tulisan "oke" berwarna merah yang berlangsung hingga Agustus 1998, lalu sejak September 1998, pada logo on air-nya menggunakan logo "RCTI 2000 Oke" yang dipergunakan hingga Juli 2000. Tercatat logo lama ini merupakan hasil desain internal perusahaan secara mandiri.[51] Pada 20 Agustus 2000, logo lama disederhanakan sehingga bentuk rajawali pada huruf R menjadi seperti menyatu dengan huruf CTI, dan "pancaran" dari mata burung rajawali menjadi hanya berwarna merah (dengan jenis font Handel Gothic). Penyederhanaan logo ini dilakukan dikarenakan logo lama dirasa terlalu rumit, bercitra tidak solid, dan membuat flicker di layar televisi dengan modelnya yang bergaris. Setelah ditenderkan ke 3 perusahaan desain, terpilihlah versi yang dibuat oleh agensi penjenamaan MakkiMakki. Penyederhanaan logo RCTI ini dilakukan tanpa mengubah bentuk logo sebelumnya yang miring dan tetap mempertahankan burung rajawali (yang kini bentuknya digayakan dengan aksen melengkung).[51] Kepingan garis-garis/balok dibuat menyatu sebagai pertanda RCTI kini lebih bersatu dan tegas untuk melangkah menghadapi persaingan di industri penyiaran, serta semakin menjadi kebanggaan bangsa Indonesia,[62] meskipun tetap menggunakan warna biru sesuai warna perusahaan. Adapun sorot mata lurus ke depan berwarna merah menunjukkan misi ke depan yang tajam.[66] Khusus pemilihan warna, biru pada logo perusahaan digunakan karena memberi kesan yang elegan, cerdas, informatif, komunikatif serta dinamis dan nyaman dipandang, sedangkan warna merah pada mata rajawali, menegaskan sebagai pemancar yang tajam, akurat dan terpercaya serta visi ke depan yang kuat.[51][62] Secara spesifik, makna dari komponen yang terdapat di logo RCTI baru meliputi:
Di tanggal 20 Mei 2015, logo tersebut mengalami perubahan minor menjadi tegak menyesuaikan dengan logo-logo perusahaan di bawah MNC Group yang sama-sama menjadi tegak pada hari itu. Tidak dijelaskan apa tujuan dari perubahan ini, meskipun sempat dikritik karena dirasa menghilangkan "aura" logo lama yang miring namun dinamis, menjadi terlihat "kaku".[67][68] Slogan
Slogan spesial HUT
Program acaraOlahragaRCTI, dengan jenama RCTI Sports, telah memiliki hak siar atas ajang sepak bola bergengsi Eropa, seperti Kejuaraan Eropa UEFA yang rutin ditayangkan setiap empat tahun sekali sejak 1996 hingga sekarang. Pada 1996 hingga 2000 tayang bersama SCTV, pada 2008 tayang bersama MNCTV dan GTV, dan Euro 2020 tayang bersama MNCTV dan iNews, berkat kerja sama dengan Mola TV.[70] RCTI sempat memegang hak siar turnamen balap mobil bergengsi dunia Formula Satu pada tahun 1989 hingga 1996 dan kembali disiarkan pada tahun 1999 hingga 2001. Setelah dua puluh tahun absen (tahun 2002 dan 2010), RCTI kembali diberikan hak siar dalam ajang sepak bola Piala Dunia FIFA 2010. Pada tahun 2010, tayang bersama GTV. Pada tahun 2008, RCTI berhasil mengambil alih hak siar Kejuaraan AFF selama tujuh musim hingga 2021 mendatang, menggantikan Trans7 yang sudah habis masa kontraknya. Bedanya, pada musim 2008 hingga 2016, RCTI bermitra dengan Fox Sports tetapi pada 2018, bermitra dengan FMA (Futbal Momentum Asia) karena adanya pembatasan hak siar Kejuaraan AFF di Fox Sports untuk hampir seluruh negara di wilayah Asia-Pasifik dan pada 2021, akan ditayangkan secara ekslusif karena krisis keuangan yang dialami FMA (Futbal Momentum Asia). Pada tahun 2013, RCTI kembali mendapatkan hak siar La Liga selama tiga musim, menggantikan Trans Media yang hanya menyiarkan selama semusim setelah mendapatkan lisensi dari beIN Sports. Pada musim 2015–2016 bertepatan dengan musim terakhir hak siar La Liga di RCTI, RCTI kembali menyiarkan Liga Champions UEFA pada 2015–2016 setelah mendapatkan lisensi dari beIN Sports dan musim 2018–2019 dari FMA (Futbal Momentum Asia). Pada tahun 2016, RCTI kembali memiliki hak siar dalam ajang sepak bola Liga Utama Inggris bersama MNCTV selama tiga tahun yaitu musim 2016–2017 hingga 2018–2019 berkat kerja sama dengan beIN Sports dan Sebelumnya RCTI sempat menyiarkan Barclays Premier League ini hanya musim 2012–2013 yang hak siarnya disiarkan bersama MNCTV dan GTV setelah bekerjasama dengan pemilik lisensi ESPN dan STAR Sports.[71] Mulai November 2019 (5 Januari 2020 di layar kaca televisi), RCTI kembali menyiarkan siaran langsung pertandingan turnamen Piala FA selama dua musim yaitu 2019–20 dan 2020–21. Mulai musim 2019–20. RCTI akan menyiarkan pertandingan FA Cup mulai dari ronde kedua (hanya di RCTI+), ronde ketiga (RCTI dan RCTI+) (termasuk replay, bila memungkinkan) hingga babak final juga berkat kerja sama dengan lisensi beIN Sports dan juga tidak mencakup The FA Community Shield dan RCTI kembali memperpanjang kontrak hak siar FA Cup hingga musim 2024–2025 bersama MNCTV dan iNews. Ini bukan pertama kalinya MNC Group menyiarkan FA Cup melalui RCTI, MNCTV dan iNews saja untuk musim ini 2019–2020 sampai 2024–2025. Pasalnya, MNC Group pernah menyiarkan Piala FA melalui MNCTV dan Global TV pada tahun 2010–2011 hingga 2011–2012 berkat kerjasama dengan lisensi dari ESPN dan STAR Sports beserta The FA Community Shield sesaat MNCTV dan Global TV menyiarkan Barclays Premier League musim 2010–2011, 2011–2012 hingga 2012–2013.[72] Pada bulan Agustus 2019, RCTI kembali mendapatkan hak siar Pesta Olahraga Asia Tenggara untuk edisi 2019 dan 2021 bersama MNCTV, GTV, dan iNews ditambah TVRI, setelah terakhir kali tayang delapan tahun silam. Tepat pada tanggal 7 November 2019, RCTI kembali mengumumkan melalui akun Instagram resminya bahwa akan kembali menyiarkan Liga Serie A setelah absen selama 17 tahun. Pada tahun 2019, RCTI akan menayangkan Tiga pertandingan per pekan selama tiga musim yaitu 2019–2020, 2020–2021, dan 2021–2022 lewat kerja sama dengan beIN Sports, dimulai pada pekan ke-12 musim 2019–2020. Tidak hanya RCTI, MNCTV dan iNews juga ikut bersama-sama menyiarkan Liga Serie A yang dimulai pada tahun 2020–2021 (tayang di bulan puasa) hingga 2021–2022.[73][74] Mulai Januari 2023, RCTI kembali menyiarkan siaran langsung pertandingan turnamen Piala Raja Spanyol selama tiga musim yaitu 2022–2023 hingga 2024–2025 bersama iNews setelah absen selama 6 tahun. Mulai Mei 2024, RCTI Premium Sports diluncurkan dengan menyiarkan siaran langsung turnamen derby serumpun, di antaranya Persija Jakarta, PSIS Semarang, Sabah FC, dan Selangor FC.[75] Mulai 24 Agustus 2024, RCTI Kembali menjadi pemegang hak siar Bundesliga Hanya Musim 2024–2025 Saja bersama RCTI, iNews, Vision+, RCTI+, MNC Vision, MNC Play, K-Vision dan Soccer Channel. Setelah absen selama 20 tahun. Bisa dibilang, ini yang ketiga kalinya RCTI menyiarkan pesta sepakbola bergengsi Eropa di Jerman terbesar di dunia tersebut sebagai saluran televisi dengan induk MNC Media. PenyiarJaringan siaranMenurut data Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo), RCTI saat ini disiarkan melalui 34 stasiun televisi yang dimiliki oleh 18 perusahaan (termasuk stasiun dan perusahaan induknya), dan menjangkau keseluruhan dari 38 provinsi di Indonesia.[76] serta, hingga tahun 2020, didukung oleh 52 stasiun pemancar.[77] Cakupan ini, meskipun diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran,[78] sebenarnya melanggar pasal 31 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengharuskan jangkauan siaran RCTI dibatasi. Sebagian besar stasiun tersebut dimiliki oleh RCTI, kecuali beberapa stasiun pemancar yang dioperasikan bersama dengan SCTV karena alasan historis. Berikut ini adalah stasiun afiliasi dan pemancar RCTI (sejak berlakunya UU Penyiaran, stasiun TV harus membangun stasiun TV afiliasi di daerah-daerah/bersiaran secara berjaringan). Data dikutip dari IPP Kemenkominfo[76] dan berbagai sumber.[79] Keterangan: daerah yang dicetak miring berarti masih berupa stasiun relai dan belum memiliki siaran lokalnya sendiri.
Daftar komplek pemancarBerikut ini adalah daftar alamat komplek pemancar stasiun transmisi dan relay televisi yang berada di kantor pusat RCTI.
Direksi dan komisarisDaftar direktur utama
Dewan direksi saat iniStruktur dewan direksi RCTI saat ini adalah sebagai berikut:
Sumber: Dewan Direksi RCTI Diarsipkan 2016-02-07 di Wayback Machine. [82] Dewan komisaris RCTI saat iniStruktur dewan komisaris RCTI saat ini adalah sebagai berikut:
Sumber: Dewan Komisaris RCTI Diarsipkan 2016-02-07 di Wayback Machine. [83] Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|