Sejarah, riwayat, tarikh, tawarikh, atau terambu (tambo) (bahasa Yunani: ἱστορία, historia; artinya "mengusut, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian"[1]) adalah kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia.[2][3] Dalam bahasa Indonesia, sejarah dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar telah terjadi pada masa lampau serta asal usul silsilah (keturunan), terutama bagi raja-raja yang memerintah.[4]
Istilah "sejarah" dalam konteks tertentu juga disebut sebagai hikayat, tambo, babad, riwayat, atau tarikh. Ini adalah istilah umum yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan penyajian informasi mengenai peristiwa ini. Istilah ini mencakup kosmik, geologi, dan sejarah makhluk hidup, tetapi sering kali secara umum diartikan sebagai sejarah manusia. Para sarjana yang menulis tentang sejarah disebut ahli sejarah atau sejarawan. Peristiwa yang terjadi sebelum catatan tertulis disebut Prasejarah.[5][6]
Sejarah juga dapat mengacu pada bidang akademis yang menggunakan narasi untuk memeriksa dan menganalisis urutan peristiwa masa lalu dan secara objektif menentukan pola sebab dan akibat yang membentuk mereka.[7][8] Ahli sejarah terkadang memperdebatkan sifat sejarah dan kegunaannya dengan membahas studi tentang ilmu sejarah sebagai tujuan itu sendiri dan sebagai cara untuk memberikan "pandangan" pada permasalahan masa kini.[7][9][10][11]
Cerita umum untuk suatu budaya tertentu, tetapi tidak didukung oleh pihak luar (seperti cerita seputar Raja Arthur) biasanya diklasifikasikan sebagai warisan budaya atau legenda, karena mereka tidak mendukung "penyelidikan tertarik" yang diperlukan dari disiplin sejarah.[12][13]Herodotus, abad ke-5 SM ahli sejarah Yunani dalam masyarakat Barat dianggap sebagai "Bapak Sejarah" dan bersama dengan kontemporer Thucydides, membantu membentuk dasar bagi studi modern sejarah manusia. Kiprah mereka terus dibaca hingga hari ini dan kesenjangan antara budaya Herodotus dan Thucydides militer yang berfokus tetap menjadi titik pertikaian atau pendekatan dalam penulisan sejarah modern. Dalam tradisi Timur, sebuah riwayat negara Chun Qiu dikenal untuk dikompilasi mulai sejak 722 SM meski teks-teks abad ke-2 SM selamat.[14]
Pengaruh kuno telah membantu penafsiran varian bibit sifat sejarah yang telah berkembang selama berabad-abad dan terus berubah hari ini. Studi modern sejarah mulai meluas dan termasuk studi tentang daerah tertentu dan studi topikal tertentu atau unsur tematik dalam penyelidikan sejarah. Seringkali sejarah diajarkan sebagai bagian dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan studi akademis sejarah adalah ilmu utama dalam penelitian di universitas.
Sejarah adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi pada masa lalu yang dipelajari dan diselidiki untuk menjadi acuan serta pedoman kehidupan masa mendatang. Menurut etimologi atau asal katanya, sejarah berasal dari bahasa Arab, yakni syajarotun, yang artinya pohon.
Ilmu sejarah mempelajari tentang peristiwa masa lalu melalui artefak, manuskrip, maupun peninggalan lainnya dalam sejarah Indonesia, dunia, zaman kuno, hingga modern. Ilmu sejarah tak hanya mencakup bidang budaya, namun juga ekonomi, geografi, sosial, politik, militer, bahasa, agama, pariwisata, bahkan teknologi.
Etimologi
Katasejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة, šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu, banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.
Istilah ini masuk dalam bahasa Inggris pada tahun 1390 dengan makna "hubungan kejadian atau cerita". Pada Bahasa Inggris Pertengahan, artinya adalah "cerita" secara umum. Pembatasan terhadap arti "catatan peristiwa masa lalu" muncul pada akhir abad ke-15. Saat itu masih dalam arti Yunani yang pada saat itu juga Francis Bacon menggunakan istilah tersebut pada akhir abad ke-16, ketika ia menulis tentang "Sejarah Alam". baginya, historia adalah "pengetahuan tentang objek yang ditentukan oleh ruang dan waktu", sehingga jenis pengetahuan disediakan oleh Ingatan (sementara Ilmu disediakan oleh akal, dan puisi disediakan oleh fantasi).
Menilik pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu, masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.
Dalam sebuah ekspresi linguistik sintetik vs. analitik / isolasi dikotomi, (史 vs. 诌) sekarang menunjuk kata yang berbeda untuk sejarah manusia atau bercerita secara umum. Di Jerman, Prancis, dan sebagian bahasa Jermanik dan Romantis, kata yang sama masih digunakan untuk pemakaian kata "sejarah" dan "cerita".
kata sifat historical dibuktikan dari tahun 1661, dan historic dari tahun 1669.[15]
Historian dalam pengartian sebuah "Peneliti sejarah" dibuktikan dari tahun 1531. dalam semua bahasa Eropa, "sejarah" masih digunakan untuk pemakaian kata "apa yang terjadi dengan laki-laki", dan "studi ilmiah yang terjadi", arti yang terakhir kadang-kadang dibedakan dengan huruf kapital, "Sejarah", atau kata historiografi.[16]
Pengertian sejarah menurut para ahli
J.V. Bryce
Sejarah adalah catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat oleh manusia.
W.H. Walsh
Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia pada masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.
Patrick Gardiner
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari apa yang telah diperbuat oleh manusia.[17]
Roeslan Abdulgani
Ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan pada masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan.[18]
Sartono Kartodirdjo
Sejarah merupakan cerita tentang sebuah kejadian dengan membuat kembali peristiwa tersebut secara verbal.[19]
Mohammad Yamin
Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan.
Ibnu Khaldun (1332–1406)
Sejarah didefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang terjadi pada watak/sifat masyarakat itu.[20]
R. Moh. Ali
Moh. Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, mempertegas pengertian sejarah sebagai berikut:[21]
Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian, atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian, dan atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
Unsur-unsur sejarah
Dalam mengungkapkan sebuah sejarah, terdapat beberapa hal yang dibutuhkan dan harus diperhatikan. Hal tersebut merupakan sebuah unsur sejarah yang akan memaknai dan melengkapi setiap deratan peristiwa sejarah.
Terdapat empat unsur dalam sejarah, yakninya :
Manusia, manusia merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah sejarah. Hal ini dikarenakan manusia adalah obyek sejarah dan yang akan menentukan suatu peristiwa sejarah.
Waktu, dalam sejarah harus ada unsur kurun waktunya. Karena kurun waktu menjadi batasan suatu peristiwa dan menunjukan manusia melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan dalam rentang waktu tertentu.
Ruang, peristiwa sejarah terjadi pada suatu ruang atau tempat tertentu. Dengan mengetahui ruang dan tempat terjadinya sejarah, tentunya akan mempermudah generasi selanjutnya untuk memahami peristiwa sejarah dengan utuh dengan membayangkan latar belakangnya.
Kausalitas, sejarah perlu dipaparkan berdasarkan susunan fakta yang jelas dan deksriptif. Unsur inilah yang akan merangsang rasa keingintahuan manusia terhadap peristiwa sejarah tertentu.[22]
Ada banyak cara untuk memilah informasi dalam sejarah, antara lain:
Berdasarkan kurun waktu (kronologis).
Berdasarkan wilayah (geografis).
Berdasarkan negara (nasional).
Berdasarkan kelompok suku bangsa (etnis).
Berdasarkan topik atau pokok bahasan (topikal).
Dalam pemilahan tersebut, harus diperhatikan bagaimana cara penulisannya seperti melihat batasan-batasan temporal dan spasial tema itu sendiri. Jika hal tersebut tidak dijelaskan, maka sejarawan mungkin akan terjebak ke dalam falsafah ilmu lain, misalnya sosiologi. Inilah sebabnya Immanuel Kant yang disebut-sebut sebagai Bapak Sosiologi mengejek sejarah sebagai "penata batu-bata" dari fakta-fakta sosiologis.[23]
Banyak orang yang mengkritik ilmu sejarah. Para pengkritik tersebut melihat sejarah sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena tidak memenuhi faktor-faktor keilmuan, terutama faktor "dapat dilihat atau dicoba kembali", artinya sejarah hanya dipandang sebagai pengetahuan belaka, bukan sebagai ilmu. Sebenarnya, pendapat ini kurang bisa diterima akal sehat karena sejarah mustahil dapat diulang walau bagaimanapun caranya karena sejarah hanya terjadi sekali untuk selama-lamanya. Walau mendapat tantangan sedemikian itu, ilmu sejarah terus berkembang dan menunjukkan keeksisannya dalam tataran ilmu.
Catatan sejarah
Ahli sejarah mendapatkan informasi mengenai masa lampau dari berbagai sumber, seperti catatan yang ditulis atau dicetak, mata uang atau benda bersejarah lainnya, bangunan dan monumen, serta dari wawancara (yang sering disebut sebagai "sejarah penceritaan", atau oral history dalam bahasa Inggris). Untuk sejarah modern, sumber-sumber utama informasi sejarah adalah: foto, gambar bergerak (misalnya: film layar lebar), audio, dan rekaman video. Tidak semua sumber-sumber ini dapat digunakan untuk penelitian sejarah, karena tergantung pada periode yang hendak diteliti atau dipelajari. Penelitian sejarah juga bergantung pada historiografi, atau cara pandang sejarah, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Ada banyak alasan mengapa orang menyimpan dan menjaga catatan sejarah, termasuk: alasan administratif (misalnya: keperluan sensus, catatan pajak, dan catatan perdagangan), alasan politis (guna memberi pujian atau kritik pada pemimpin negara, politikus, atau orang-orang penting), alasan keagamaan, kesenian, pencapaian olahraga (misalnya: rekor Olimpiade), catatan keturunan (genealogi), catatan pribadi (misalnya surat-menyurat), dan hiburan.
Namun dalam penulisan sejarah, sumber-sumber tersebut perlu dipilah-pilah. Metode ini disebut dengan kritik sumber. Kritik sumber dibagi menjadi dua macam, yaitu ekstern dan intern. Kritik ekstern adalah kritik yang pertama kali harus dilakukan oleh sejarawan saat dia menulis karyanya, terutama jika sumber sejarah tersebut berupa benda. Yakni dengan melihat validisasi bentuk fisik karya tersebut, mulai dari bentuk, warna dan apa saja yang dapat dilihat secara fisik. Sedang kritik intern adalah kritik yang dilihat dari isi sumber tersebut, apakah dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Wawancara juga dipakai sebagai sumber sejarah. Namun perlu pula sejarawan bertindak kritis baik dalam pemilahan narasumber sampai dengan translasi ke bentuk digital atau tulisan.
Dulu, penelitian tentang sejarah terbatas pada penelitian atas catatan tertulis atau sejarah yang diceritakan. Akan tetapi, seiring dengan peningkatan jumlah akademik profesional serta pembentukan cabang ilmu pengetahuan yang baru sekitar abad ke-19 dan 20, terdapat pula informasi sejarah baru. Arkeolog, antropologi, dan cabang-cabang ilmu sosial lainnya terus memberikan informasi yang baru, serta menawarkan teori-teori baru tentang sejarah manusia. Banyak ahli sejarah yang bertanya: apakah cabang-cabang ilmu pengetahuan ini termasuk dalam ilmu sejarah, karena penelitian yang dilakukan tidak semata-mata atas catatan tertulis? Sebuah istilah baru, yaitu nirleka, dikemukakan. Istilah "prasejarah" digunakan untuk mengelompokan cabang ilmu pengetahuan yang meneliti periode sebelum ditemukannya catatan sejarah tertulis.
Pada abad ke-20, pemisahan antara sejarah dan prasejarah mempersulit penelitian. Ahli sejarah waktu itu mencoba meneliti lebih dari sekadar narasi sejarah politik yang biasa mereka gunakan. Mereka mencoba meneliti menggunakan pendekatan baru, seperti pendekatan sejarah ekonomi, sosial, dan budaya. Semuanya membutuhkan bermacam-macam sumber. Di samping itu, ahli prasejarah seperti [Vere Gordon Childe] menggunakan arkeologi untuk menjelaskan banyak kejadian-kejadian penting di tempat-tempat yang biasanya termasuk dalam lingkup sejarah (dan bukan prasejarah murni). Pemisahan seperti ini juga dikritik karena mengesampingkan beberapa peradaban, seperti yang ditemukan di Afrika Sub-Sahara dan di Amerika sebelum kedatangan Columbus.
Akhirnya, secara perlahan-lahan selama beberapa dekade belakangan ini, pemisahan antara sejarah dan prasejarah sebagian besar telah dihilangkan.
Sekarang, tidak ada yang tahu pasti kapan sejarah dimulai. Secara umum sejarah diketahui sebagai ilmu yang mempelajari apa saja yang diketahui tentang masa lalu umat manusia (walau sudah hampir tidak ada pemisahan antara sejarah dan prasejarah, ada bidang ilmu pengetahuan baru yang dikenal dengan Sejarah Besar). Kini sumber-sumber apa saja yang dapat digunakan untuk mengetahui tentang sesuatu yang terjadi pada Masa Lalu (misalnya: secara linguistik, secara genetik, dll), diterima sebagai sumber yang sah oleh kebanyakan ahli sejarah.
Historiografi adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme.
Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah) yang dikenal dengan sebutan "sejarah virtual" atau "sejarah kontra-faktual" (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan—atau kontra—dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.
Ahli sejarah dari Prancis memperkenalkan metode sejarah kuantitatif. Metode ini menggunakan sejumlah besar data dan informasi untuk menelusuri kehidupan orang-orang dalam sejarah.
Ahli sejarah dari Amerika, terutama mereka yang terilhami zaman gerakan hak asasi dan sipil, berusaha untuk lebih mengikutsertakan kelompok-kelompok etnis, suku, ras, serta kelompok sosial dan ekonomi dalam kajian sejarahnya.
Dalam beberapa tahun kebelakangan ini, ilmuwan posmodernisme dengan keras mempertanyakan keabsahan dan perlu tidaknya dilakukan kajian sejarah. Menurut mereka, sejarah semata-mata hanyalah interpretasi pribadi dan subjektif atas sumber-sumber sejarah yang ada. Dalam bukunya yang berjudul In Defense of History (terj: Pembelaan akan Sejarah), Richard J. Evans, seorang profesor bidang sejarah modern dari Universitas Cambridge di Inggris, membela pentingnya pengkajian sejarah untuk masyarakat.
Teori marxis tentang materialisme sejarah menteorikan bahwa masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh kondisi material pada waktu tertentu–dengan kata lain, hubungan yang dimiliki satu orang dan yang lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya serta keluarganya seperti makan, pakaian, tempat tinggal.[24] Secara keseluruhan, Marx dan Engels mengklaim telah mengidentifikasi lima tahap berturut-turut dari perkembangan kondisi material ini di Eropa Barat.[25]Historiografi Marxis dahulunya merupakan pandangan ortodoks di Uni Soviet, tapi sejak jatuhnya komunisme di sana pada 1991, Mikhail Krom mengatakan hal tersebut telah melemah ke batas kesarjanaan.[26]
Sejarah semu adalah istilah yang diterapkan pada tulisan-tulisan yang dianggap bersifat historis tetapi menyimpang dari konvensi historiografis standar sehingga melemahkan kesimpulannya. Sejarah semu terkait erat dengan revisionisme sejarah. Karya-karya yang menarik kesimpulan kontroversial dari bukti-bukti sejarah baru, spekulatif, atau yang diperdebatkan, terutama di bidang nasional, politik, militer, dan religius, sering kali ditolak dan dianggap sebagai sejarah semu.
Pengajaran sejarah
Kesarjanaan vs pengajaran
Pertempuran intelektual besar terjadi di Britania pada awal abad ke-20 tentang posisi pengajaran sejarah di universitas. Di Oxford dan Cambridge, kesarjanaan sejarah diabaikan. Charles Harding Firth, Profesor Regius sejarah Oxford pada 1904 mencemooh sistem ini karena paling bagus hanya menghasilkan jurnalis dangkal. Pengajar Oxford, yang memiliki suara lebih banyak dibandingkan para profesor, mempertahankannya dengan menyatakan bahwa sistem ini berhasil menghasilkan negarawan, administrator, uskup, dan diplomat Britania terkemuka. Selain itu, misi mereka sama berharganya dengan melatih para cendekiawan. Para pengajar mendominasi perdebatan itu sampai setelah Perang Dunia II. Sistem ini memaksa calon cendekiawan muda untuk mengajar di sekolah-sekolah terpencil, seperti di Universitas Manchester, di mana Thomas Frederick Tout memprofesionalkan program sarjana sejarah dengan memperkenalkan kajian sumber asli dan keharusan untuk menulis tesis.[27][28]
Di Amerika Serikat, kesarjanaan dikonsentasikan di universitas-universitas utama penghasil PhD, sementara sejumlah besar perguruan tinggi dan universitas lainnya fokus pada pengajaran sarjana (strata satu). Pada abad ke-21, kecenderungan perguruan-perguruan tersebut semakin menuntut produktivitas ilmiah dari staf pengajar mudanya. Selain itu, universitas semakin bergantung pada asisten paruh waktu yang lebih murah untuk melakukan sebagian besar pengajaran di kelas.[29]
Nasionalisme
Sejak permulaan sistem sekolah nasional pada abad ke-19, pengajaran sejarah untuk mempromosikan sentimen nasional menjadi prioritas utama. Di Amerika Seritkat setelah Perang Dunia Pertama, sebuah gerakan kuat muncul di tingkat universitas untuk mengajarkan mata kuliah tentang Peradaban Barat, untuk memberikan mahasiswa perasaan warisan bersama dengan Eropa. Setelah 1980, perhatian di AS semakin bergerak ke arah pengajaran sejarah dunia atau mengharuskan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah tentang budaya non-Barat, untuk mempersiapkan mereka hidup dalam ekonomi global.[30]
Di tingkat universitas, sejarawan memperdebatkan permasalahan mengenai apakah sejarah lebih merupakan ilmu sosial atau humaniora. Banyak yang memandang sejarah masuk ke keduanya. Di Indonesia, sebagian besar program ilmu sejarah dikelompokkan ke dalam fakultas humaniora.
Pengajaran sejarah di sekolah-sekolah Prancis dipengaruhi oleh Nouvelle histoire, yang disebarluaskan setelah tahun 1960 oleh Cahiers pédagogiques and Enseignement dan jurnal-jurnal lain untuk para guru. Institut national de recherche et de documentation pédagogique (INRDP), juga berpengaruh dalam pengajaran sejarah. Joseph Leif, Inspektur Jenderal pelatihan guru mengatakan murid anak-anak harus belajar mengenai pendekatan sejarawan serta mengenai fakta dan tanggal. Louis François, Dekan kelompok Sejarah/Geografi di Inspectorate of National Education menyarankan guru untuk menyediakan dokumen bersejarah dan mempromosikan "metode aktif" yang akan memberi siswa "kebahagiaan luar biasa atas penemuan". Para pendukungnya menyatakan itu adalah reaksi terhadap metode menghafal nama dan tanggal yang dikaitkan dengan pengajaran sejarah, sehingga membuat siswa bosan. Kelompok tradisionalis memprotes keras karena itu adalah inovasi postmodern yang dapat menjadikan siswa menjadi abai terhadap patriotisme Prancis dan identitas nasional.[31]
Bias di pengajaran sekolah
Di beberapa negara, buku pelajaran sejarah adalah alat untuk menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme, serta memberi siswa pandangan resmi mengenai musuh nasional.[32]
Di banyak negara, buku pelajaran sejarah disponsori oleh pemerintah nasional dan ditulis dengan memprioritaskan warisan nasional. Misalnya di Jepang, kutipan mengenai Pembantaian Nanking telah dihapus dari buku pelajaran, serta topik keseluruhan Perang Dunia Kedua hanya dibahas sepintas. Hal ini mendapat protes dari negara lainnya.[33] Hal ini juga menjadi kebijakan standar di negara komunis untuk hanya menyajikan historiografi Marxis yang kaku.[34][35]
Sejarawan akademis sering berperang melawan politisasi buku pelajaran, dan terkadang berhasil.[37][38]
Di Jerman abad ke-21, kurikulum sejarah dikendalikan oleh masing-masing 16 negara bagian. Serta ditandai bukan oleh superpatriotisme, melainkan oleh "nada yang hampir pasifistik dan sengaja tidak patriotik" dan mencerminkan "prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh organisasi internasional seperti UNESCO dan Dewan Eropa, sehingga berorientasi pada hak asasi manusia, demokrasi dan perdamaian." Hasilnya, "buku pelajaran di Jerman biasanya menurunkan kebanggaan dan ambisi nasional, serta bertujuan untuk mengembangkan pemahaman kewarganegaraan yang berpusat pada demokrasi, progres, hak asasi manusia, perdamaian, toleransi, dan Keeropaan."[39]
^Brian Fagan (2017). World Prehistory: A Brief Introduction (edisi ke-9). London: Routledge. hlm. 8. ISBN978-1-317-27910-5. OCLC958480847.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abProfessor Richard J. Evans (2001). "The Two Faces of E.H. Carr". History in Focus, Issue 2: What is History?. University of London. Diakses tanggal 10 November 2008.
^Professor Alun Munslow (2001). "What History Is". History in Focus, Issue 2: What is History?. University of London. Diakses tanggal 10 November 2008.
^Peter N. Stearns, Peters Seixas, Sam Wineburg (eds.), ed. (2000). "Introduction". Knowing Teaching and Learning History, National and International Perspectives. New York & London: New York University Press. hlm. 6. ISBN0-8147-8141-1.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link)
^Nash l, Gary B. (2000). "The "Convergence" Paradigm in Studying Early American History in Schools". Dalam Peter N. Stearns, Peters Seixas, Sam Wineburg (eds.). Knowing Teaching and Learning History, National and International Perspectives. New York & London: New York University Press. hlm. 102–115. ISBN0-8147-8141-1.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link)
^Lowenthal, David (2000). "Dilemmas and Delights of Learning History". Dalam Peter N. Stearns, Peters Seixas, Sam Wineburg (eds.). Knowing Teaching and Learning History, National and International Perspectives. New York & London: New York University Press. hlm. 63. ISBN0-8147-8141-1.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link)
^Wilkinson, Endymion (2012). Chinese History: A New Manual. Harvard-Yenching Institute Monograph Series 84. Cambridge: Harvard-Yenching Institute. hlm. 612. ISBN978-0-674-06715-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Charles Issawi (1964). An Arab Philosophy of History: Selections from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis. Oxford: Oxford University Press. hlm. 36.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Marx makes no claim to have produced a master key to history. Historical materialism is not "an historico-philosophic theory of the marche generale imposed by fate upon every people, whatever the historic circumstances in which it finds itself" (Marx, Karl: Letter to editor of the Russian paper Otetchestvennye Zapiskym, 1877). His ideas, he explains, are based on a concrete study of the actual conditions that pertained in Europe.
^Mikhail M. Krom, "From the Center to the Margin: the Fate of Marxism in Contemporary Russian Historiography," Storia della Storiografia (2012) Issue 62, pp. 121–130
^Ivan Roots, "Firth, Sir Charles Harding (1857–1936)", Oxford Dictionary of National Biography (Oxford University Press, 2004) Online; accessed 10 Nov 2014
^Reba Soffer, "Nation, duty, character and confidence: history at Oxford, 1850–1914." Historical Journal (1987) 30#01 pp. 77–104.
^Frank Donoghue, The Last Professors: The Corporate University and the Fate of the Humanities (2008)
^Jacqueline Swansinger, "Preparing Student Teachers for a World History Curriculum in New York," History Teacher, (November 2009), 43#1 pp. 87–96
^Abby Waldman, " The Politics of History Teaching in England and France during the 1980s," History Workshop Journal Issue 68, Autumn 2009 pp. 199–221 online
^Jason Nicholls, ed. School History Textbooks across Cultures: International Debates and Perspectives (2006)
^Claudia Schneider, "The Japanese History Textbook Controversy in East Asian Perspective," Annals of the American Academy of Political and Social Science, May 2008, Vol. 617, pp. 107–122
^"Problems of Teaching Contemporary Russian History," Russian Studies in History, Winter 2004, Vol. 43 Issue 3, pp. 61–62
^"Teaching History in Schools: the Politics of Textbooks in India," History Workshop Journal, April 2009, Issue 67, pp. 99–110
^Tatyana Volodina, "Teaching History in Russia After the Collapse of the USSR," History Teacher, February 2005, Vol. 38 Issue 2, pp. 179–188
^Simone Lässig and Karl Heinrich Pohl, "History Textbooks and Historical Scholarship in Germany," History Workshop Journal Issue 67, Spring 2009 pp. 128–129 online at project MUSE
Bacaan lebih lanjut
The American Historical Association's Guide to Historical Literature, 3rd ed., eds. Mary Beth Norton and Pamela Gerardi (2 vol, Oxford U.P. 1995) 2064 pages; annotated guide to 27,000 of the most important English language history books in all fields and topics
Benjamin, Jules R. A Student's Guide to History (2009)
Cronon, William. "Storytelling." American Historical Review 118.1 (2013): 1–19. online, Discussion of the impact of the end of the Cold War upon scholarly research funding, the impact of the Internet and Wikipedia on history study and teaching, and the importance of storytelling in history writing and teaching.
Evans, Richard J. In Defence of History. W.W. Norton & Company (2000), ISBN0-393-31959-8.
Furay, Conal, and Michael J. Salevouris. The Methods and Skills of History: A Practical Guide (2010)
Lingelbach, Gabriele. "The Institutionalization and Professionalization of History in Europe and the United States." in The Oxford History of Historical Writing: Volume 4: 1800–1945 4 (2011): 78+ online
Presnell, Jenny L. The Information-Literate Historian: A Guide to Research for History Students (2006) excerpt and text search