Arkeoastronomi adalah interdisiplin ilmu astronomi dan berbagai ilmu sosial yang menyelidiki keterkaitan kebudayaan masyarakat di masa lampau terhadap benda-benda atau fenomena yang ada dan terjadi di langit.[1][2][3][4] Pengertian arkeoastronomi sering kali disalahartikan terkait nama "arkeo" yang menjadi awalan dari istilah ini—alih-alih hanya mengkaji peninggalan sejarah yang berkaitan dengan astronomi, arkeoastronomi juga terlibat dalam pengkajian nilai, tradisi, dan praktik-praktik dalam kebudayaan masyarakat terkait berbagai benda dan fenomena yang ada di langit.[1][4]
Objek kajian ini menghasilkan istilah lainnya seperti etnoastronomi—interdisiplin ilmu etnografi dan astronomi—dan antropologiastronomi dengan kajian yang sering kali beririsan atau bahkan dianggap sama dengan arkeoastronomi.[3][4][5]Anthony F. Aveni, salah seorang pelopor perkembangan ilmu arkeoastronomi menyatakan bahwa, arkeoastronomi telah menjadi pertemuan tiga bidang kajian ilmu yang memiliki keterkaitan dengan kajian ilmu astronomi kuno yaitu:[2][5]
Astroarkeologi adalah cabang ilmu yang bertujuan untuk menggali informasi astronomis dari pengkajian dan penelitian terhadap arsitektur dan lanskap dari peninggalan-peninggalan kuno. Namun, penelitian pada bidang astroarkeologi lebih berfokus pada apa yang terjadi di langit ketimbang nilai-nilai kebudayaan yang berkaitan dengan peninggalan tersebut.[5]
Sejarah astronomi adalah kajian ilmu astronomi yang mempelajari data tertulis terkait dengan benda-benda atau fenomena langit yang menjadi perhatian masyarakat pada masa lampau. Umumnya kajian sejarah astronomi dilakukan pada peninggalan-peninggalan peradaban di Dunia Lama.[5]
Etnoastronomi adalah cabang dari antropologi budaya yang mencari bukti keterkaitan suatu kebudayaan masyarakat terhadap fenomena-fenomena astronomis melalui data etnohistoris dan kajian etnografi.[5]
Ilmu arkeoastronomi merupakan cabang ilmu yang relatif baru. Meskipun begitu, kajian-kajian dengan topik terkait telah lama dilakukan oleh para peneliti.[2][6][7] Kelahiran ilmu arkeoastronomi pada awalnya didasari oleh ketertarikan para ahli arkeologi pada dasawarsa 1960-an untuk mempelajari keterkaitan monumen-monumen peradaban kuno seperti Piramida Giza, Stonehenge, dan Newgrange terhadap konstelasi bintang, planet, dan pergerakan Matahari.[8][2][7] Seiring berjalannya waktu, tema dan permasalahan yang dikaji dalam ilmu arkeoastronomi mulai meluas. Arkeoastronomi tidak lagi hanya mengkaji keterkaitan monumen-monumen kuno terhadap langit, tetapi mulai memperhatikan konsep-konsep yang terkait dengan kebudayaan, kalender, sistem navigasi kuno, hingga peristiwa politik.[9]
Metodologi
Pendekatan kami merupakan pendekatan yang berbeda (green dan brown), tetapi saling melengkapi. Ini karena kami bersama-sama mempelajari astronomi dalam konteks kebudayaan. Hanya dengan pengertian ini kemudian arkeoastronomi dapat melibatkan kerjasama yang nyata antara penggiat ilmu sosial dan penggiat ilmu fisik (astronomi).
Menurut metode dan sumber bahasannya, kajian ilmu arkeoastronomi dapat dibagi ke dalam dua jenis pendekatan yaitu arkeoastronomi hijau dan arkeoastronomi cokelat. Kata hijau dan cokelat merujuk pada warna sampul depan dari buku berjudul Archaeoastronomy in the Old World (warna hijau) dan Archaeoastronomy in the New World (warna cokelat)— terbit pertama pada 1982[a]—yang berisi artikel-artikel hasil penelitian arkeoastronomi di berbagai wilayah Eropa dan Amerika.[10][11]
Pengertian ini menyiratkan bahwa pendekatan arkeoastronomi hijau erat kaitannya dengan penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan di situs-situs arkeologi yang terdapat di Dunia Lama (Eropa, Asia, dan Afrika).[10] Pada penelitian dan kajian-kajian di wilayah ini, peneliti arkeoastronomi lebih sering berurusan dengan data statistik. Sementara, pendekatan arkeoastronomi cokelat lebih banyak berurusan dengan penelitian yang melibatkan data sosial dan digunakan untuk menyelidiki kebudayaan masyarakat asli Benua Amerika (Dunia Baru).[10] Untuk memperoleh kesimpulan yang akurat, kedua jenis pendekatan ini sebaiknya saling dikombinasikan.[12][13][14][15]
Arkeoastronomi Hijau (Green Archaeoastronomy)
Penelitian yang dilakukan terhadap monumen-monumen kuno di Dunia Lama (Asia, Afrika, dan Eropa) untuk mencari keterkaitan monumen tersebut terhadap benda-benda langit seperti planet, konstelasi bintang, Matahari, komet, dan Bulan, umumnya menggunakan data statistik. Data statistik ini merupakan hasil perhitungan posisi relatif benda-benda langit tersebut terhadap monumen atau situs arkeoastronomi yang dimaksud.[5][16] Pendekatan ini dinamakan pendekatan arkeoastronomi hijau atau green archaeoastronomy.[5][17]
Pendekatan arkeoastronomi hijau melibatkan pemilihan data dan metodologi lapangan yang ketat. Penggunaan pendekatan ini misalnya pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an di Stonehenge. Penelitian ini bertujuan untuk mencari keterkaitan orientasi atau lanskap situs tersebut terhadap posisi dan sudut inklinasi Matahari dan Bulan.[17][18] Namun, kurangnya data sosial seperti catatan sejarah, relief, atau ritual-ritual yang ditemukan atau dikaji untuk mendukung kesimpulan ini,[19][20] mengakibatkan keterkaitan Stonehenge dengan pergerakan Bulan dan Matahari dari hasil penelitian tersebut masih menjadi perdebatan.[19][21][22] Hal ini kemudian menjadi kritik tersendiri pada pendekatan arkeoastronomi hijau yang dianggap mengabaikan aspek sosial-kebudayaan.[21][14][16]
Arkeoastronomi Cokelat (Brown Archaeoastronomy)
Pendekatan arkeoastronomi cokelat muncul pada era 1970-an di Amerika Utara, yaitu saat dilakukan kajian dan penelitian mengenai keterkaitan antara kebudayaan masyarakat asli Amerika Utara dan Mesoamerika (Amerika Tengah) pada periode pra-Colombus dengan ilmu astronomi.[23] Penelitian ini mencoba melibatkan pendekatan melalui pendekatan disiplin ilmu sosial seperti sejarah, antropologi budaya, seni, etnografi, kajian cerita rakyat, kepercayaan, dan lain-lain.[5][23] Pendekatan yang bersifat luas dengan merangkul berbagai disiplin ilmu ini tidak umum dalam arkeoastronomi di mana pada saat itu, kebanyakan penelitian arkeoastronomi di Dunia Lama hanya menyandarkan hasilnya pada perhitungan dan data statsitik.[23]
Salah satu contoh dari penggunaan metode ini adalah pada kajian arkeoastronomi terhadap kebudayaan Bangsa Maya di Mesoamerika. Bangsa Maya dikenal memiliki banyak catatan kuno yang berkaitan dengan astronomi.[24] Terdapat catatan yang secara spesifik menjelaskan gerak planet seperti Venus dan Mars, perubahan fase Bulan, dan berbagai peristiwa astronomi lainnya yang sesuai dengan pengamatan modern. Alih-alih menggunakan data statistik terkait kecocokan posisi benda langit terhadap monumen tertentu peninggalan bangsa Maya seperti halnya yang dilakukan oleh pendekatan green archaeoastronomy, Susan Milbrath, seorang peneliti yang berasal dari Universitas Florida, Amerika Serikat, mencoba menyintesis keterkaitan astronomis ini melalui cerita-cerita rakyat, ritual-ritual, dan data ikonografis berupa lukisan, relief, dan patung-patung yang ditemui di keramik dan bangunan peninggalan suku Maya.[25] Dari penelitiannya ini, Milbrath menemukan berbagai keterkaitan antara seni dan budaya dalam tradisi suku Maya terhadap peristiwa-peristiwa astronomis, seperti contohnya dengan gerhana Matahari.[26][25]
Objek penelitian
Posisi relatif benda-benda langit
Analisis terhadap posisi relatif benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, bintang, dan planet-planet terhadap orientasi suatu situs arkeoastronomi dan monumen kuno dari suatu kebudayaan, merupakan sumber yang umum digunakan dalam kajian arkeoastronomi untuk mengidentifikasi keterkaitan situs dan monumen tersebut terhadap fenomena-fenomena astronomis.[16][27] Dari analisis ini kemudian diperoleh data statistik yang berhubungan dengan kesejajaran suatu benda langit terhadap orientasi dari situs arkeoastronomi pada waktu-waktu tertentu.[16][28] Data ini dapat dianalisis kembali secara manual atau menggunakan perangkat lunak sehingga hasilnya diubah menjadi model, diagram, atau citra komputer yang kemudian dapat memberikan jawaban atas pertanyaan "apakah situs arkeoastronomi atau monumen kuno tersebut memiliki keterkaitan dengan objek-objek dan fenomena astronomis?".[29][28]
Sebagai contoh, analisis terhadap keterkaitan posisi Matahari di langit terhadap orientasi suatu situs arkoastronomi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi titik ekstrem pada siklus pergerakan Matahari yang terjadi tiap tahun.[30] Pada siklus ini, terdapat tiga posisi penting yang biasanya dijadikan parameter oleh ahli arkeoastronomi untuk menentukan keterkaitan suatu kebudayaan terhadap pergerakan Matahari. Ketiga posisi ini adalah titik balik musim dingin, titik balik musim panas, dan titik ekuinoks Matahari.[31]
Titik balik musim dingin (terjadi pada bulan Desember di belahan bumi utara dan pada bulan Juni di belahan bumi selatan) terjadi saat Matahari memiliki sudut inklinasi terendah (-23,5°). Ini kemudian membuat Matahari terbit di bagian paling selatan dari posisinya di horizon serta membuat siang hari berlangsung paling pendek. Sebaliknya, titik balik musim panas (terjadi pada bulan Juni di belahan bumi utara dan pada bulan Desember di belahan bumi selatan) terjadi saat Matahari memiliki sudut inklinasi tertinggi (+23,5°). Ini kemudian membuat Matahari terbit di bagian paling utara dari posisinya di horizon serta membuat siang hari berlangsung paling lama.[31][32] Titik berikutnya bernama titik ekuinoks yang terjadi dua kali setahun pada Bulan Maret dan September di mana pada keadaan ini, Matahari tidak memiliki sudut inklinasi terhadap bumi yang membuat posisi Matahari terbit tepat berada di timur dan juga posisi Matahari terbenam yang tepat berada di barat.[33]
Agar analisis ini relevan, perhitungan-perhitungan mengenai keterkaitan antara suatu situs arkeoastronomi dengan benda-benda langit harus memperhitungkan keadaan langit pada masa lampau yang saat ini telah berubah dikarenakan perubahan bentuk konstelasi bintang, serta pergeseran sudut inklinasi Matahari dan Bulan.[34][35] Selain itu, pembiasan cahaya oleh atmosfer Bumi juga harus diperhitungkan agar hasil yang diperoleh semakin akurat.[36][37] Saat ini, telah tersedia berbagai jenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk merekonstruksi keadaan langit secara otomatis, sehingga menjadi relevan dengan perhitungan-perhitungan yang akan dilakukan.[38]
Artefak
Artefak atau peninggalan arkeologi yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan pada masa lampau dapat memberikan bukti mengenai seberapa pentingnya suatu objek di langit terhadap kebudayaan tersebut.[16][39] Seperti arkeologi, arkeoastronomi juga menganalisis artefak-artefak peninggalan masa lampau. Namun, arkeoastronomi membatasi bahasannya dengan mengidentifikasi, memilah, dan kemudian menganalisis suatu artefak yang diyakini memiliki keterkaitan dengan persepsi dan aksi manusia terhadap benda-benda dan fenomena di langit.[40]
Ilmu arkeoastronomi memiliki peran utama dalam mentransformasikan artefak-artefak ini ke dalam suatu bentuk fakta astronomis yang dapat memberikan informasi mengenai ketertarikan manusia di masa lampau terhadap benda-benda dan fenomena di langit. Fakta-fakta astronomis yang telah diperoleh kemudian ditransformasikan kembali menjadi suatu fakta antropologis yang dapat menunjukkan bagaimana ketertarikan manusia terhadap fenomena dan benda-benda langit memberi perngaruh terhadap tradisi dan kebudayaan mereka.[41]
Sebagai contoh, salah satu artefak arkeoastronomi paling terkenal yaitu mekanisme Antykithera yang dihasilkan oleh kebudayaan Yunani kuno.[42] Artefak ini dapat dikatakan sebagai komputer kuno dengan suatu mekanisme yang dapat memprediksi pergerakan benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, dan beberapa planet di tata surya.[42][43] Mekanisme Antykithera menunjukkan bagaimana peradaban Yunani kuno telah mengenal pergerakan benda-benda langit dengan sangat baik pada masa itu, dan tentu saja kebudayaan Yunani Kuno dikenal secara luas kaya akan mitologi yang berkaitan dengan benda-benda langit.[44][45]
Literatur dan seni
Terdapat berbagai jenis bukti sejarah, mulai dari catatan dari luar, hingga yang dihasilkan sendiri oleh suatu kebudayaan tradisional mengenai cara mereka menginterpretasikan benda-benda dan fenomena di langit dalam tradisi yang mereka miliki.[46] Bukti-bukti ini tidak hanya berupa artefak-artefak atau yang tersusun rapi dalam kumpulan naskah kuno, lukisan dan tulisan-tulisan yang terdapat di berbagai situs arkeologi juga sering kali memberi petunjuk tentang peruntukan situs tersebut pada masa lampau atau bahkan memberi petunjuk terhadap tradisi dan kepercayaan suatu masyarakat.[47]
Ahli arkeoastronomi selanjutnya mengidentifikasi, memilah, dan kemudian menganalisis petunjuk-petunjuk yang dinilai berkaitan dengan benda-benda dan fenomena di langit.[48] Pada kebudayaan Mesir kuno misalnya, di berbagai kompleks pemakaman kuno kebudayaan ini ditemukan berbagai lukisan mengenai konstelasi bintang dan penanggalan yang saat itu dikenal oleh masyarakat Mesir.[49] Sementara itu pada peradaban Maya di Amerika Tengah, penanggalan, tradisi kebudayaan, dan prediksi mereka mengenai fenomena yang terjadi di langit dibukukan dengan rapi dalam suatu kodeks.[50] Di Kamboja, terdapat relief yang menggambarkan pergerakan matahari yang ditemukan pada salah satu bagian dinding Angkor Wat.[51]
Sumber etnografis
Untuk menghubungkan suatu praktik-praktik kebudayaan terhadap benda-benda dan fenomena di langit, diperlukan juga kajian-kajian etnografis yang meliputi kajian terhadap kelompok etnik, identitas, batas teritorial, tradisi atau ritual, dan lain-lain.[16][52] Fakta dan karakteristik sosial yang diperoleh dari kajian tersebut dapat dijadikan sebagai titik awal untuk meneliti keterkaitan suatu kebudayaan dan praktik-praktiknya terhadap benda-benda dan fenomena di langit.[53] Hal ini dapat dilakukan karena suatu konsep kosmologi, metode pengamatan, dan interpretasi dari suatu fenomena astronomi memiliki hubungan langsung dengan ketertarikan suatu kebudayaan terhadap ilmu astronomi. Dalam hal ini, konsep, metode, dan interpretasi tersebut bukan merupakan sesuatu yang disusun secara individu, melainkan disusun secara kolektif atau turun temurun oleh masyarakat, sehingga kemudian berpengaruh dan membekas pada kebudayaan mereka.[53][14]
Rekonstruksi tradisi-tradisi lisan seperti cerita rakyat dan legenda lokal berhasil mengidentifikasi keterkaitan kebudayaan di berbagai wilayah terhadap benda-benda atau fenomena yang terjadi di langit, seperti misalnya pada kebudayaan Maya di Amerika Selatan yang menggunakan cerita rakyat dan simbol-simbol sebagai metafora dari peristiwa-peristiwa astronomi seperti gerhana, penampakan galaksi Bima Sakti, dan titik balik Matahari,[25][54] atau pada kebudayaan masyarakat asli Polinesia yang menggunakan tradisi-tradisi lisan sebagai petunjuk pembangunan tempat peribadatan agar memiliki orientasi tertentu terhadap Matahari.[55]
Beberapa topik kajian arkeoastronomi
Astronomi dan kalender
Sejak dahulu, manusia diketahui telah menggunakan kalender untuk menyelaraskan dan mengurutkan berbagai peristiwa berdasarkan waktu, menentukan waktu suatu peristiwa atau ritual, dan menentukan interval waktu atau durasi antara peristiwa tersebut.[56][57] Biasanya, hal ini mengacu pada siklus-siklus astronomis seperti pergantian fasa Bulan, kemunculan atau hilangnya suatu konstelasi bintang, dan pergerakan posisi terbit-tenggelammnya Matahari tiap tahun di sepanjang horizon akibat kemiringan posisi bumi terhadap Matahari.[57][58] Keanekaragaman budaya dan kebutuhan sosial, serta siklus astronomis yang tidak selalu pasti, membuat terjadinya variasi luas di antara kalender-kalender yang ada di tiap-tiap kebudayaan manusia.[57] Hal ini kemudian menjadi kajian para peneliti di bidang arkeoastronomi—mencari keterkaitan secara spesifik antara suatu kalender terhadap seni, kepercayaan, dan tradisi, dalam suatu kebudayaan manusia.[57][59]
Istilah kalender memiliki pengertian yang luas di bidang penelitian arkeoastronomi. Para peneliti tidak secara terbatas mengartikan definisi kalender pada susunan tanggal, hari, bulan, dan tahun. Beberapa naskah, simbol, atau tablet kuno yang mencatat atau memprediksi peristiwa di langit, juga dianggap sebagai kalender oleh para peneliti.[57][60] Suatu peninggalan sejarah dapat dianggap sebagai kalender jika memenuhi setidaknya salah satu dari empat kriteria berikut:[60]
Suatu sistem dapat disebut kalender jika mampu memberi korelasi dan menyelaraskan tiap peristiwa yang berbeda.[61]
Suatu sistem dapat disebut kalender jika mampu mengurutkan suatu peristiwa berdasarkan waktu terjadinya.[61]
Suatu sistem dapat disebut kalender jika berisi daftar mengenai peristiwa atau kejadian yang bisa teramati, dan kemudian dapat menjadi kerangka acuan untuk merujuk atau bahkan menetapkan kejadian lainnya.[61]
Suatu sistem dapat disebut kalender jika mampu memberikan atau meramalkan interval waktu antara dua peristiwa yang berbeda.[61]
Astronomi dalam mitologi dan konsep kosmologi
Pada peradaban-peradaban kuno, langit dipercaya sebagai sumber kekuatan yang dapat mengendalikan musim atau bahkan mengatur dunia. Pengamatan astronomis kemudian diyakini oleh berbagai kebudayaan sebagai jalan untuk mengetahui atau memperoleh kekuatan tersebut.[62] Selain itu, pengamatan astronomis dalam kebudayaan masyarakat di masa lampau bertujuan untuk menciptakan suatu konsep-konsep kosmologi yang dapat menjelaskan alam semesta dengan menggunakan berbagai mitologi.[63]
Mitologi-mitologi ini kemudian memberi pengaruh tersendiri terhadap kepercayaan dan pemahaman masyarakat di suatu kebudayaan akan bentuk dan asal-muasal alam semesta. Masyarakat Boshongo di Afrika Tengah misalnya, mereka meyakini bahwa alam semesta tercipta dari kegelapan saat Dewa Bumba mengalami sakit di bagian perutnya dan kemudian memuntahkan Matahari, Bulan, bintang, dan segala jenis makhluk hidup termasuk manusia. Konsep kosmologi ini kemudian menempatkan Dewa Bumba sebagai sosok pencipta pada kepercayaan masyarakat Boshongo.[64]
Sementara itu, pada salah satu konsep kosmologi peradaban Mesopotamia Kuno, Bangsa Akkadia meyakini bahwa alam semesta pada awalnya hanya terisi air dan berada dalam kondisi yang sangat kacau.[65] Konflik antar dewa-dewa di dalam kepercayaan mereka kemudian membuat terciptanya Matahari, Bumi, Bulan, bintang-bintang, dan segala makhluk hidup.[66][65] Konsep kosmologi peradaban Mesopotamia Kuno juga membagi alam semesta menjadi dua bagian yaitu Bumi dan langit (surga).[65] Bagian Bumi digambarkan memiliki bentuk datar dan dikelilingi oleh kubah langit yang terisi oleh Matahari dan bintang-bintang.[67]
Konsep kosmologi dari suatu kebudayaan masyarakat sering kali dipengaruhi atau memengaruhi tradisi dan kepercayaan mereka. Kajian ilmu arkeoastronomi kemudian berperan dalam mengidentifikasi dan menganalisis tradisi dan kepercayaan ini sehingga kemudian ditemukan keterkaitan kebudayaan tersebut terhadap benda-benda dan fenomena di langit. Misalnya dengan mempelajari waktu diadakannya suatu ritual-ritual kepercayaan dan kemudian menghubungkannya dengan fenomena yang terjadi di langit pada saat itu, atau dengan mempelajari orientasi bangunan-bangunan di suatu kebudayaan untuk mengetahui persepsi masyarakatnya terhadap benda-benda langit.[63]
Navigasi
Sebagai salah satu ilmu tertua, aplikasi pertama dari ilmu astronomi diyakini adalah pemanfaatan bintang-bintang sebagai alat bantu navigasi.[68] Benda-benda langit sangat berguna sebagai alat navigasi terutama pada wilayah dengan bentang alam yang homogen seperti gurun pasir, lautan, atau bentangan es di kutub.[69] Salah satu fenomena paling nyata yang dapat dimanfaatkan adalah posisi terbit dan tenggelamnya Matahari yang secara langsung mengindikasikan arah timur dan barat. Namun, perkiraan suatu arah berdasarkan terbit tenggelamnya Matahari merupakan perkiraan kasar dan cenderung tidak akurat. Hal ini dikarenakan posisi terbit dan tenggelamnya Matahari di horizon bergantung terhadap waktu, sebagai contoh pada Bulan Desember posisi Matahari terbit akan cenderung di utara, sementara pada Bulan Juni posisi Matahari terbit cenderung berada di selatan horizon.[70]
Dibandingkan Matahari, bintang-bintang akan memberikan penentuan arah lebih akurat dikarenakan terdapat beberapa bintang yang memiliki posisi terbit-tenggelam dan lintasan pergerakan yang tidak berubah-ubah tiap tahunnya.[70][68] Suatu "kompas bintang" dapat dibuat dengan mengidentifikasi posisi terbit-terbenamnya suatu bintang atau konstelasi "pemandu" seperti contohnya bintang Polaris.[71] Para penjelajah di masa lampau telah belajar untuk memanfaatkan hal ini sebagai pemandu mereka untuk menjelajahi lautan.[70] Ilmu arkeoastronomi kemudian berperan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pemanfaatan benda-benda langit sebagai alat navigasi di berbagai kebudayaan secara spesifik. Misalnya pada masyarakat Polinesia yang berhasil menempati banyak pulau di wilayah Samudra Pasifik,[70][72] suku Aborigin yang melintasi bentang alam dengan lanskap yang relatif homogen di Australia,[73] atau suku Inuit yang menggunakan Matahari dan bintang sebagai pemandu mereka melintasi wilayah Arktika.[74]
Arkeoastronomi di berbagai belahan dunia
Kebudayaan Amerika pra-Columbus
Tinjauan kajian arkeoastronomi di Benua Amerika pada masa pra-Columbus dapat dibagi ke dalam tiga wilayah yaitu Amerika Utara, Amerika Tengah (Mesoamerika)[b], dan Amerika Selatan.[75] Di bagian paling utara dari Benua Amerika, kebudayaan masyarakat Inuit menggunakan fenomena-fenomena astronomis sebagai bagian dari tradisi, sistem navigasi, dan ritual-ritual kepercayaan mereka.[74][76] Berkaitan dengan tradisi ini, masyarakat Inuit kemudian memberi nama berbagai konstelasi bintang yang dapat mereka amati di langit utara.[77] Masyarakat Inuit juga memercayai bahwa Bumi merupakan pusat dari alam semesta.[78] Di bagian tengah dari wilayah Amerika Utara, kebudayaan masyarakat asli daerah ini telah mampu mengaitkan pergerakan Matahari di sepanjang horizon dengan perubahan musim yang kemudian diaplikasikan untuk menentukan waktu bertani mereka.[79][80] Selain itu ditemukan juga lukisan-lukisan purba yang mengindikasikan keterkaitan orientasi bangunan mereka terhadap benda-benda langit dan pergerakannya.[81][82]
Di daerah Mesoamerika, kebudayaan masyarakat Aztec dan Maya paling dikenal akan peninggalan-peninggalannya yang berkaitan dengan astronomi.[83][84] Masyarakat kebudayaan ini menganggap benda-benda langit seperti Bulan, Venus, Matahari, dan galaksi Bima Sakti, merupakan bagian penting dari kepercayaan dan ritual-ritual mereka.[85][86] Sebelum datangnya Columbus di Benua Amerika, masyarakat Mesoamerika telah menggunakan suatu kalender Matahari sebagai kalender utama, dengan jumlah total 365 hari dalam setahun, penggunaan kalender ini kemudian dikombinasikan dengan kalender ritual yang memiliki 260 hari serta kalender siklus Venus yang memiliki 584 hari.[87][88] Selain itu, benda-benda langit juga diyakini oleh para peneliti arkeoastronomi memberikan pengaruh terhadap orientasi bangunan-bangunan kebudayaan masyarakat Mesoamerika.[86][89] Seperti contohnya pengukuran yang dilakukan di komplek piramida suku Maya di Uaxactun menunjukkan beberapa bangunan memiliki orientasi tertentu terhadap titik balik Matahari dan Bulan.[90][91]
Di bagian selatan benua Amerika, bangunan-bangunan yang berasal dari peradaban Norte Chico—peradaban tertua yang diketahui hingga kini di benua Amerika (muncul pada kurun abad ke-30 SM)[92][93]— diketahui dari penelitian memiliki bagian-bagian yang memiliki orientasi khusus terhadap siklus Matahari yang terjadi tiap tahun.[94] Mendekati periode modern, peradaban Inca yang diperkirakan telah berkembang sejak lebih 500 tahun yang lalu menunjukkan melalui peninggalan-peninggalannya bahwa pada periode tersebut masyarakat di wilayah Amerika Selatan khususnya di wilayah Peru telah mengenal dengan baik benda-benda langit dan pergerakannya.[95][96] Masyarakat Inca pada periode tersebut telah mengenal berbagai suatu sistem penanggalan (kalender) yang berdasarkan gabungan siklus Bulan dan Matahari.[97]
Selain pada Bulan dan Matahari, masyarakat Inca juga diyakini memiliki ketertarikan tinggi terhadap pengamatan dan perhitungan gerak planet-planet dan bintang-bintang.[98] Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan mereka dalam membuat daftar tersendiri mengenai konstelasi-konstelasi bintang yang ada di langit dan mengaitkan beberapa konstelasi tersebut dengan aktivitas pertanian mereka.[99] Selain itu, pada beberapa bagian di kompleks kota kuno Machu Picchu, yang merupakan peninggalan paling terkenal peradaban Inca, ditemukan berbagai struktur yang selaras dengan posisi Matahari pada waktu-waktu tertentu misalnya pada titik balik Matahari di Bulan Juni.[100]
Kebudayaan Afrika
Selain pada kebudayaan Mesir kuno yang dikenal dengan peninggalan-peninggalannya yang menakjubkan di berbagai aspek, kajian arkeoastronomi juga menemukan indikasi adanya keterkaitan antara kebudayaan masyarakat dan astronomi di wilayah lain Benua Afrika seperti di Ethiopia, Mali, Nigeria, dan beberapa wilayah lainnya.[101][102]
Di wilayah Mesir, dari lukisan-lukisan, orientasi bangunan, ritual-ritual, kalender, dan berbagai peninggalan sejarah lainnya, menunjukkan bahwa peradaban Mesir kuno telah memiliki pengetahuan yang luas mengenai langit pada masa itu[103][104]. Berbagai literatur dan lukisan peninggalan kebudayaan Mesir kuno bahkan diisi oleh pandangan-pandangan mengenai isi dan proses penciptaan alam semesta secara mendetail.[102][105] Kebudayaan Mesir kuno juga telah mampu mengembangkan kalender sipil yang tersusun dari 12 Bulan—terdapat 30 hari pada tiap Bulan dan 5 hari tambahan pada setiap akhir tahun, sehingga kalender ini memiliki jumlah total 365 hari dalam setahun.[106] Nama peradaban Mesir pun telah termasyhur pada masa itu sebagai tempat pembelajaran para pemikir lampau. Thales, Demokritus, dan Plato yang ketiganya dikenal sebagai filsuf dan ilmuwan era Yunani Kuno, diketahui menghabiskan bertahun-tahun waktu mereka di Mesir untuk mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu astronomi.[107]
Di wilayah Benua Afrika lainnya, kebudayaan Afrika secara umum telah menggunakan pergerakan titik balik Matahari, bintang-bintang, dan penampakan Bima Sakti sebagai pertanda perubahan musim atau penentu orientasi bangunan.[102][108] Kebudayaan Afrika juga dikenal kaya akan pengetahuan, simbol-simbol, mitologi, dan ritual-ritual yang berkaitan dengan benda-benda dan fenomena di langit. Suku Mursi di Ethiopia misalnya, mereka menghubungkan terjadinya suatu banjir terhadap kemunculan beberapa bintang tertentu di langit.[109] Orientasi kota kuno Zimbabwe Raya yang dibangun pada abad ke-4 Masehi juga telah diarahkan sedemikian rupa sehingga sejajar dengan posisi titik balik matahari.[102] Selain itu, sejak dahulu, masyarakat di wilayah Afrika telah memanfaatkan berbagai jenis kalender untuk membantu aktivitas mereka seperti dalam bermigrasi dan bercocok tanam.[102][110][109] Salah satu kalender yang berasal dari kebudayaan Afrika adalah kalender bulan suku Igbo di Nigeria. Kalender ini memiliki 13 bulan dengan jumlah total 354 hari dalam setahun serta digunakan sebagai acuan untuk memprediksi musim dan memulai aktivitas pertanian.[110]
Kebudayaan Eropa
Melalui berbagai kajian arkeoastronomi, para ahli meyakini bahwa sejak zaman prasejarah masyarakat di wilayah Eropa telah melibatkan benda-benda langit dan pergerakannya dalam kebudayaan mereka.[111][112] Di wilayah Eropa Barat misalnya, orientasi pemakaman-pemakaman kuno di daerah semenanjung Iberia dan Prancis menunjukkan keterkaitan terhadap posisi terbit dan tenggelamnya Matahari.[113] Sementara pada wilayah Eropa Tengah, ditemukan berbagai ornamen terkait benda-benda langit seperti Bulan, Matahari, dan konstelasi bintang pada kerajinan yang diproduksi oleh kebudayaan masyarakat ini.[114] Salah satu artefak prasejarah paling terkenal yang ditemukan di wilayah Eropa Tengah adalah Piringan Langit Nebra. Piringan ini terbuat dari perunggu dan diberi ornamen yang terbuat dari emas. Piringan dengan diameter 32 cm, tebal 4,5 mm, dan massa 2 kg ini, dihiasi oleh ornamen-ornamen berbentuk Bulan, Matahari, dan bintang-bintang.[115][116] Ornamen berbentuk bintang yang tersebar di piringan ini diyakini oleh para ahli merujuk pada konstelasi bintang tertentu di langit.[117][116]
Pada periode Eropa Klasik yaitu pada abad ke-8 SM hingga awal abad ke-6 Masehi,[118][119]peradaban Yunani bersama dengan peradaban Romawi kuno memberikan kontribusi besar terhadap ilmu astronomi yang berkembang di wilayah Eropa, baik dari konsep-konsep metafisis seperti teori geosentrisAristoteles-Ptolemaeus maupun dari perhitungan, pengamatan, dan pengembangan berbagai instrumen astronomi.[120] Ilmu astronomi dan kebudayaan peradaban Eropa Klasik dapat dikatakan sebagai dua hal yang saling memengaruhi.[121][122] Masyarakat Yunani dan Romawi Kuno memerlukan perhitungan astonomi yang cukup akurat untuk berbagai keperluan mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan seperti ritual-ritual dan penentuan orientasi kuil peribadatan, hingga hal-hal aplikatif seperti peramalan cuaca dan musim.[123][121] Ini membuat hal-hal yang berkaitan dengan ilmu astronomi mendapat perhatian lebih pada masa itu.[122][121] Berbagai warisan astronomi dari kebudayaan Eropa Klasik kemudian terus dikembangkan dan beberapa bahkan masih digunakan hingga saat ini—sebagai contoh, kalender Masehi dan nama-nama konstelasi bintang yang digunakan oleh masyarakat modern pada umumnya.[124][120]
Memasuki abad pertengahan, perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dalam kebudayaan masyarakat Eropa mengalami perlambatan sebelum akhirnya muncul tokoh-tokoh revolusioner seperti Tycho Brahe, Copernicus, dan Galileo yang mengungkapkan pandangan atau hasil pengamatan mereka mengenai sifat heliosentris tata surya, sekaligus menjadi pelopor lahirnya ilmu pengetahuan modern.[125][126] Walaupun mengalami perlambatan perkembangan, astronomi tetap masih memberi pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat Eropa pada abad pertengahan, seperti contoh misalnya pada pembangunan gereja.[120][127] Umumnya gereja-gereja di wilayah Eropa dibangun menghadap ke arah Matahari terbit atau pada proses pembangunan yang lebih teliti, gereja dibangun menghadap ke arah Matahari terbit pada titik balik musim panas.[120][128] Selain itu, beberapa gereja juga memiliki jam astronomi dan menggunakan jam Matahari sebagai penentu waktu. Tidak hanya Matahari, simbol-simbol atau ikonografi yang terkait dengan benda-benda langit lainnya juga dapat ditemukan pada dekorasi gereja.[128][120][128]
Kebudayaan Subbenua India-Asia Tenggara
Di wilayah Subbenua India, peninggalan-peninggalan peradaban Harappa (abad ke-23 SM sampai ke-18 SM) mengindikasikan bahwa peradaban ini telah konstelasi bintang sebagai orientasi dari pembangunan kota mereka.[129] Bangsa Arya yang diketahui sebagai sumber dari literatur-literatur Weda kemudian mulai bermigrasi ke India pada kurun tahun 1600 SM.[130] Setelah periode migrasi ini, bangsa Arya kemudian mulai mengembangkan secara bertahap pengetahuan-pengetahuan astronomi yang berkaitan dengan iklim lokal, pertanian, dan kebudayaan pendahulunya. Pada awal periode zaman Weda (zaman di mana literatur-literatur Weda ditulis; 1500 - 500 SM), peradaban India telah mengenal pola perubahan musim, konstelasi benda-benda langit, dan juga menyusun suatu kalender kuno untuk memetakan perubahan musim tersebut.[131]
Pada periode berikutnya (sekitar 500-400 SM), kalender ini kemudian mengalami penyempurnaan. Dalam kalender yang disempurnakan ini, kebudayaan India membagi satu tahun dalam dua periode yang disebut ayana, dan tiap tahunnya terdiri dari enam rtus (musim). Kalender ini juga telah membagi tiap tahunnya menjadi 12 Bulan dengan total 366 hari dalam setahun. Orientasi dari kuil-kuil peribadatan yang terdapat di India juga dipengaruhi oleh benda-benda langit, terutama terkait dengan pergerakan Matahari, yang merupakan salah satu benda langit yang paling disakralkan oleh tradisi Hindu.[132] Sebelum akhirnya terpengaruh oleh perkembangan astronomi modern, kebudayaan India telah mampu mengembangkan berbagai instrumen astronomi yang kemudian berimplikasi pada meningkatnya akurasi pengamatan, perhitungan, serta prediksi fenomena-fenomena astronomis.[133][134]
Dari berbagai peninggalan seni, sistem penanggalan, ataupun hal yang berkaitan dengan kepercayaan, dapat terlihat bahwa, kebudayaan masyarakat di wilayah Asia Tenggara umumnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Di Myanmar dan Kamboja misalnya, bagian dari sistem kalender dan pola penggambaran garis-garis bintang yang ditemukan di wilayah ini menyerupai dengan yang ditemukan pada kebudayaan India.[135] Selain itu, orientasi dan aristektur dari kuil-kuil peribadatan seperti contohnya Angkor Wat dan Wat Phra Kaew kental dengan pengaruh astronomis kebudayaan India ataupun filosofi Hindu-Buddha.[136] Di Indonesia, terdapat berbagai hipotesis mengenai keterkaitan Candi Borobudur dan Candi Prambanan terhadap fenomena astronomis.[137][138][139] Masyarakat Indonesia di masa lampau telah dan masih hingga kini menggunakan konstelasi bintang sebagai pertanda perubahan musim.[140][141] Sebagai contoh, suku Jawa, Banjar, dan Dayak Meratus menggunakan konstelasi Orion dan Pleiades untuk meramal musim dan kemudian menentukan waktu yang tepat menaman padi. Sementara itu, di Pulau Sumatra, masyarakat dari Suku Batak diketahui memanfaatkan konstelasi Orion sebagai pertanda dimulainya tahun baru dalam kalender mereka.[141]
Kebudayaan Timur Dekat
Kajian arkeoastronomi terhadap kebudayaan masyarakat Timur Dekat[c] di masa lampau umumnya melibatkan banyak peninggalan sejarah di daerah Mesopotamia yang berasal dari peradaban bangsa Asyur, Sumeria, dan Babilonia.[142][143] Kemudian dilanjutkan oleh kajian mengenai pengembangan ilmu astronomi lebih lanjut pada zaman keemasan peradaban Islam. Selain itu, terdapat pula kajian yang mulai memperhatikan peninggalan-peninggalan peradaban bangsa Fenisia, Het, dan Nabath.[143][144]
Daerah Mesopotamia sering kali disebut sebagai tempat lahirnya peradaban manusia, dikarenakan banyak dari gagasan dan teknologi dari peradaban kuno di daerah ini yang kemudian diadopsi ke dalam peradaban modern.[145][146] Pada tulisan-tulisan di kuneiform (sejenis prasasti) yang ditemukan, diketahui bahwa sejak abad ke-30 SM, peradaban di Mesopotamia telah mengidentifikasi dan membuat daftar yang berisi nama "bintang" dan konstelasinya di langit.[147] Bintang dalam pengertian kebudayaan Mesopotamia adalah segala objek tampak yang ada di langit termasuk planet, komet, meteor, ataupun bintang dan konstelasinya.[148] Dari berbagai kajian arkeoastronomi, benda-benda langit diketahui mempunyai peran yang sangat penting dalam tradisi Mesopotamia terutama untuk yang berkaitan dengan kepercayaan dan ritual peribadatan masyarakat.[149][150]
Salah satu tradisi peninggalan peradaban Mesopotamia yang paling terkenal adalah tradisi ramal-meramal atau pembacaan pertanda dengan merujuk fenomena-fenomena yang terjadi di langit. Tradisi ini diperkirakan telah muncul sejak abad ke-30 SM dan terus berkembang hingga kini dikenal sebagai astrologi oleh masyarakat modern.[151][152][153] Saat ini, terdapat ratusan peninggalan kuneiform yang menjelaskan berbagai pertanda atau ramalan yang dapat disimpulkan dari pengamatan benda-benda langit.[152]
Sebagai contoh, dalam pembuatan kuil-kuil peribadatan atau memulai aktivitas pertanian, kebudayaan Mesopotamia harus memperhatikan bentuk dan posisi dari konstelasi-konstelasi bintang tertentu yang dianggap memiliki pertanda baik.[154] Tentunya untuk menandai waktu dan mengetahui posisi dari konstelasi-konstelasi bintang tersebut, pada kurun abad ke-10 SM, kebudayan Mesopotamia telah menyusun berbagai kalender yang bahkan dapat dipergunakan oleh kalangan sipil atau masyarakat umum.[155][106]
Kalender sipil kebudayaan Mesopotamia merupakan kalender suryacandra dan biasanya memiliki 12 Bulan dalam setahun.[156] Jumlah hari dalam satu Bulan pada kalender ini bervariasi antara 29-30 hari dengan total jumlah 355 hari dalam setahun. Kebudayaan Mesopotamia kemudian membagi waktu dalam satu hari ke dalam satuan waktu yang disebut bēru, di mana satu bēru setara dengan dua jam (1/12 hari) dalam peradaban modern. Beru kemudian dibagi kembali dalam satuan yang lebih kecil yaitu UŠ; satu UŠ setara dengan empat menit (1/360 hari) dalam peradaban modern.[157][158] Sistem ini dinamakan seksagesimal dan kemudian diwariskan ke berbagai wilayah, bahkan hingga menjadi dasar perhitungan waktu peradaban modern.[159][160]
Peradaban Islam kemudian memberi kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu astronomi di wilayah ini pada abad pertengahan.[161][162] Kontribusi ilmuwan-ilmuwan di peradaban Islam pada masa ini melalui pengembangan konsep serta peningkatan akurasi perhitungan dan observasi baik melalui teori matematis ataupun melalui pengembangan instrumen pengamatan langit.[162] Instrumen-instrumen pengamatan ataupun perhitungan yang digunakan ataupun dikembangkan pada periode ini secara luas seperti astrolab, jam matahari, kuadran portabel, dan mekanisme-mekanisme lain yang dapat menyimulasikan gerakan benda-benda langit.[163][162] Selain itu, dalam masyarakat Islam sendiri, ilmu astronomi berperan penting dalam aktivitas keagamaan seperti penentuan arah kiblat, penentuan waktu puasa dan salat, serta penentuan dimulainya suatu bulan dalam kalender Hijriyah.[164][165]
Kebudayaan Asia Timur
Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa, masyarakat Asia Timur yaitu Tiongkok, Korea, dan Jepang telah sejak dahulu melibatkan langit dalam kebudayaan mereka.[166][167][168] Salah satu bukti tertua ditemukan pada sebuah makam kuno yang diperkirakan dibuat pada abad ke-40 SM, di Provinsi Henan, Tiongkok, menunjukkan bahwa pada periode tersebut kebudayaan Tiongkok telah mengenal dan melibatkan konstelasi bintang dalam kebudayaan mereka.[169] Pada periode yang sama, kebudayaan Tiongkok juga diketahui telah membuat ornamen-ornamen astronomis seperti Bulan, Matahari, dan rasi bintang, pada gerabah yang mereka produksi.[170] Pada abad ke-20 SM, selain menggunakan benda-benda langit sebagai ornamen seni atau simbol dalam ritual-ritual tertentu, kebudayaan Tiongkok juga telah menggunakan titik balik Matahari sebagai pertanda akan bergantinya musim.
[171]
Selanjutnya pada periode Negara Perang hingga era Dinasti Qin (481-206 SM), masyarakat Tiongkok telah mengembangkan instrumen untuk menyelidiki fenomena-fenomena astronomis secara lebih akurat untuk memprediksi musim dan terjadinya fenomena astronomis lainnya seperti gerhana Bulan dan gerhana Matahari.[172] Pada periode ini juga, masyarakat Tiongkok telah mengembangkan jam Matahari, serta mengenal dan mengetahui pergerakan lima planet utama lainnya di tata surya yaitu Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus.[173][174] Memasuki milenia pertama tahun Masehi, perkembangan dan aplikasi ilmu astronomi dalam kebudayaan masyarakat Tiongkok telah sangat luas. Ahli astronomi Tiongkok pada periode ini telah mampu membuat peta langit yang berisi susunan konstelasi bintang dengan sangat akurat.[175] Bahkan di periode ini, kebudayaan Tiongkok telah mampu menyimulasikan pergerakan benda-benda langit seperti Bulan, Matahari, dan beberapa planet secara mekanis dalam suatu jam astronomi bertenaga air.[176][177]
Meskipun tak sebanyak yang ditemukan di daerah Tiongkok, terdapat bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwasanya masyarakat Jepang dan Korea sejak dulu telah memanfaatkan fenomena astronomi untuk membantu aktivitas mereka.[167][178][179] Di Semenanjung Korea, perkembangan ilmu pengetahuan dan seni termasuk astronomi sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tiongkok, terutama saat berlangsungnya aliansi Dinasti Tang-Kerajaan Silla pada abad ke-7 hingga ke-9 Masehi, dalam kampanye penyatuan kerajaan-kerajaan di Korea.[167][179] Pada periode ini dan beberapa abad setelahnya, masyarakat Korea mengadopsi berbagai kalender astronomi yang dihasilkan oleh kebudayaan Tiongkok hingga kemudian mampu menghasilkan kalender sendiri pada sekitar abad ke-14 Masehi.[180] Selain kalender, kebudayaan Korea memiliki berbagai situs arkeoastronomi lainnya, salah satunya adalah Champsong-dae (Menara Bintang) yang dibuat pada abad ke-7 Masehi.[178][181] Meskipun tidak ditemukan bukti-bukti langsung, beberapa ahli meyakini bahwa menara ini di masa lampau berfungsi sebagai observatorium kuno.[179]
Letak geografis Jepang yang terisolasi oleh lautan membuat evolusi kebudayaan di wilayah ini relatif berbeda jika dibandingkan dengan wilayah Tiongkok dan Korea, termasuk dalam hal peninggalan-peninggalan yang berkaitan dengan arkeoastronomi.[182][168] Penelitian di bidang arkeoastronomi di Jepang mengalami kendala akibat sedikitnya peninggalan-peninggalan sejarah atau kebudayaan yang berkaitan dengan bidang ini.[183] Namun, sejak masa lampau, masyarakat Jepang diyakni telah memanfaatkan berbagai fenomena astronomi sebagai bagian dari sistem penanggalan, mengetahui perubahan musim, dan sebagai navigasi para nelayan untuk berlayar mencari ikan di laut.[184][185] Selain itu keterkaitan kebudayaan Jepang dengan benda-benda langit juga ditemukan pada sebuah makam kuno di prefektur Nara yang diperkirakan di bangun pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Di makam ini ditemukan lukisan-lukisan yang berkaitan dengan konstelasi bintang.[186]
Kebudayaan Oseania
Cangkupan geografis dari wilayah Oseania[d] meliputi Australia, Selandia Baru, hingga Kepulauan Hawaii, termasuk di dalamnya pulau-pulau lain yang tersebar di Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik (Polinesia).[187] Luasnya cangkupan ini membuat kebudayaan masyarakatnya sangat beragam termasuk dalam hal yang berkaitan dengan interpretasi benda-benda dan fenomena di langit.[188][189]
Kajian arkeoastronomi terhadap kebudayaan suku Aborigin di Australia misalnya, suku ini diketahui telah memanfaatkan objek-objek di langit sebagai komponen penting dalam ritual dan bahkan dalam menyusun suatu kalender untuk membantu aktivitas sosial mereka.[190] Dalam kepercayaan mereka, langit merupakan tempat bersemayamnya leluhur dan arwah-arwah manusia yang telah meninggal.[191] Dari bukti-bukti yang ditemukan, suku ini juga telah mampu membuat catatan mendetail mengenai fenomena langit yang atau dianggap bersifat periodik seperti gerhana dan hujan meteor.[192] Selain itu, suku Aborigin pada masa lampau juga telah mampu memanfaatkan pergerakan konstelasi bintang dan planet sebagai penanda waktu dan musim yang kemudian membantu aktivitas berburu-meramu mereka.[190]
Di wilayah Polinesia, ilmu astronomi telah menjadi bagian penting dari kepercayaan dan tradisi masyarakatnya.[193] Karakteristik masyarakat Polinesia yang dikenal sebagai bangsa pelaut juga membuat ilmu astronomi memainkan peranan penting dalam keperluan navigasi mereka.[194] Masyarakat Polinesia memiliki berbagai situs peribadatan yang saat ini menjadi bagian dari penelitian arkeoastronomi. Melalui data yang diperoleh dari penelitian terhadap tradisi-tradisi lisan yang berkembang di wilayah Polinesia, diperkirakan sejak abad ke-13 Masehi, masyarakat Polinesia diyakini telah mempergunakan titik balik Matahari sebagai acuan dalam pembuatan tempat peribadatan.[55]
Pergerakan Bulan dan konstelasi bintang juga memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Polinesia. Masyarakat di wilayah ini telah mampu menyusun penanggalan berdasarkan pergerakan Bulan serta menentukan pergantian musim berdasarkan titik balik Matahari.[195] Salah satu situs kebudayaan yang paling mencolok di wilayah Polinesia adalah deretan patung-patung Moai yang berada di Pulau Paskah. Tinjauan arkeoastronomi pada deretan patung-patung ini menghasilkan banyak hipotesis tentang keterkaitannya dengan benda-benda langit, tetapi hingga kini masih terdapat banyak perdebatan di kalangan ahli arkeoastronomi mengenai hipotesis-hipotesis tersebut.[196]
Menempati lahan seluas 162,6 hektare, Angkor Wat adalah monumen keagamaan terbesar di dunia yang terletak di Kamboja. Meski saat ini digunakan oleh umat Buddha, pada awalnya Angkor Wat dibuat oleh raja kerajaan Khmer, Suryawarman II, pada kurun tahun 1113-1150 Masehi, untuk menghormati Dewa Wisnu dalam kepercayaan Hindu .[197] Selain menempati lahan yang sangat luas, pembangunan Angkor Wat juga dilakukan dengan sangat teliti sehingga bagian-bagiannya memiliki keterkaitan dengan pergerakan Bulan dan Matahari.[197][51]
Struktur Angkor Wat mencerminkan data numerik yang terkait sistem penanggalan Hindu, kemudian terdapat juga data historis dan mitologis, yang mana kesemua data ini dapat terlihat dari proporsi ukuran berbagai struktur serta relief-relief pada monumen ini. Kemudian terdapat data astronomis pada bagian-bagian tertentu dari struktur Angkor Wat yang memiliki keterkaitan benda-benda dan fenomena langit.[197][51] Misalnya saja pada saat Matahari berada di titik ekuinoks dan titik balik, posisinya akan segaris dengan pintu masuk bagian barat Angkor Wat.[198] Beberapa bagian dari Angkor Wat juga dapat digunakan untuk mengamati pergerakan Bulan, dan terdapat catatan mengenai fase Bulan yang tersimpan di bagian perpustakaan monumen ini. Selain itu, di salah satu bagian tembok di Angkor Wat terdapat relief berkaitan dengan arah pergerakan Matahari yang melawan arah jarum jam.[197]
Berumur lebih tua sekitar 300 tahun dari Angkor Wat, Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah adalah kuil umat Buddha terbesar di dunia. Dibuat pada masa pemerintahan Syailendra, desain dari candi ini mengikuti perpaduan gaya arsitektur Buddha dan Jawa yang mana memadukan konsep aliran kepercayaan asli masyarakat Jawa Kuno dan ajaran Buddha terkait tujuan akhir Nibbana.[199] Candi ini memiliki sembilan tingkatan, enam tingkatan berbentuk bujur sangkar dan tiga lainnya berbentuk lingkaran, serta pada bagian paling atasnya terisi kubah.[200]
Seperti halnya Angkor Wat, setelah diteliti, orientasi utama dari bentuk Candi Borobudur memiliki keterkaitan dengan pergerakan dari benda-benda langit.[201] Letak Candi Borobudur yang berada pada koordinat 7.6079° LS dan 110.2038°BT mengakibatkan setiap setahun dua kali, Candi Borobudur mengalami fenomena unik terkait siklus tahunan Matahari. Matahari yang terbit pada tanggal 25 atau 26 April (salah satunya), dan 10 atau 11 Agustus (salah satunya), setelah diamati dan melalui perhitungan komputer, berada segaris dengan Candi Borobudur dan Gunung Merapi.[202] Selain dugaan keterkaitan dengan pergerakan matahari, terdapat juga hipotesis yang mengklaim bahwa proporsi 4:6:9 dan jarak antar stupa pada struktur Candi Borobudur berkaitan dengan dengan suatu sistem penanggalan kuno.[203][204]
Stonehenge merupakan salah satu monumen neolitikum paling terkenal sekaligus menjadi ikon kebudayaan prasejarah Inggris.[205][206] Stonehenge dibangun oleh kebudayaan yang pada masa itu belum mengenal tulisan sehingga fungsi dan tujuan dari pembangunan monumen ini masih menjadi perdebatan.[19][207] Penanggalan radiokarbon mengindikasikan situs ini mulai dibangun pada kurun abad ke-30 hingga abad ke-25 SM. Para ahli ahli arkeologi juga meyakini, situs ini dibangun secara bertahap selama lebih dari seribu tahun.[208][209] Terdapat literatur dari zaman Romawi kuno yang menyebutkan bahwa Stonehenge pada masa itu digunakan oleh para pendeta kepercayaan kuno (Druid) sebagai tempat pemujaan. Namun, para Druid bukanlah perancang ataupun pembuat monumen ini, mereka diyakini hanya menjaga dan mempergunakan situs ini sesuai keperluan.[20]
Penelitian-penelitian lebih lanjut mengindikasikan bahwa situs ini juga merupakan sebuah observatorium kuno untuk mengamati gerak Matahari, Bulan, bahkan mungkin posisi bintang.[20][210][209] Pada titik balik musim panas, garis yang dibentuk oleh posisi Matahari terbit terhadap struktur ini hampir tepat membelah di tengah-tengah jalan masuk . Sudut deklinasi pada saat itu yang dibentuk oleh jalan masuk Stonehenge yaitu sebesar +23,9°, bandingkan dengan sudut inklinasi Matahari pada waktu tersebut yaitu sebesar +23,45°.[211] Selisih sudut yang hanya 0,55° mengindikasikan bahwa posisi Matahari terbit pada titik balik musim panas dapat dikatakan segaris dengan jalan masuk dan bagian tengah Stonehenge. [18] Selain Matahari, beberapa bagian lain dari struktur Stonehenge juga memiliki kaitan serupa dengan perubahan sudut inklinasi Bulan yang periodik terjadi setiap 18,6 tahun.[212][18] Perbandingan sudut inklinasi dari Bulan dan Matahari terhadap sudut deklinasi yang dibentuk oleh bagian-bagian dari struktur Stonehenge ditabulasikan dalam tabel berikut:[213]
Tiga piramida raksasa yang berada di kompleks piramida Giza yaitu Piramida Khufu, Piramida Khafre, dan Piramida Menkaure telah menarik minat banyak peneliti untuk mencari keterkaitan piramida-piramida ini terhadap benda-benda dan fenomena di langit.[214] Terlebih, peradaban Mesir Kuno dikenal kaya akan peninggalan-peninggalan yang berkaitan dengan astronomi.[215] Penelitian-penelitian yang telah dilakukan kemudian menghasilkan berbagai jenis data dan hipotesis. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tiga piramida raksasa dengan tiga bintang utama dalam konstelasi Orion.[216][217] Meskipun sangat populer, hipotesis ini masih banyak mendapat kritik dari para peneliti kebudayaan Mesir Kuno dan juga ahli arkeoastronomi.[216]
Selain hipotesis tersebut, pengamatan terhadap siklus tahunan Matahari memperlihatkan bahwa kompleks piramida ini memiliki hubungan terhadap titik balik dan titik ekuinoks Matahari. Melalui analisis terhadap pengamatan tersebut, diketahui bahwa posisi Matahari terbenam pada titik balik musim panas dan posisi matahari terbit pada saat di titik ekuinoks segaris dengan patung Sphinx yang berada di dalam kompleks piramida ini.[218][219] Hal ini kemudian menghasilkan suatu hipotesis yang menganggap bahwasanya Sphinx merupakan simbol dari Matahari dalam peradaban Mesir.[218] Orientasi tiap piramida juga dibuat sedemikian rupa sehingga selaras dengan empat arah mata angin utama (timur, utara, barat, selatan).[214][219] Di antara ketiga piramida utama di kompleks ini, Piramida Khufu merupakan piramida terbesar dan memiliki orientasi paling teliti terhadap keempat arah mata angin utama.[220][221] Oleh karena ketelitian tersebut, terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa proses pembuatan piramida ini melibatkan pengamatan astronomis untuk menjadikan bintang tertentu sebagai acuan arah.[222]
^ Kedua buku ini merupakan kumpulan artikel dari simposium pertama arkeoastronomi di Universitas Oxford, klik pranala atau link yang tertera pada judul buku untuk melihat warna sampul asli.
^ Kepulauan Melayu yang terdiri dari Indonesia dan Filipina walaupun secara geografis berada di wilayah Oseania, faktor kemiripan kebudayaan membuat wilayah ini kemudian dimasukan ke dalam wilayah Asia Tenggara. Untuk lebih jelas lihat : Oceania
^ abRuggles(2005), hlm. 200. :"This term denotes an approach in archaeoastronomy that is primarily concerned with developing rigorous procedures in studying the possible astronomical alignment of monumental structures.".
^ abcRuggles(2005), hlm. 52. : "This term denotes an approach in archaeoastronomy that is not primarily focused upon alignment studies but is concerned with a much broader range of types of evidence, such as written documents or ethnohistorical acccounts. This approach emerged in North America during the 1970s, particularly.....".
^ abRuggles(2014), hlm. 2236, ". Oral tradition dates its construction to the time of Tu‘itatui, the eleventh sacred ruler of Tonga, at around AD 1200 (Gifford 1929, p. 52). Its lintel is roughly aligned upon the rising position of the sun at the....
^Ruggles(2014), hlm. 9 "Perhaps the best known examples of architectural imago mundi are the 9th-century Buddhist Borobudur Temple near Magelang (Java, Indonesia) and the 12th-century Hindu-Buddhist.....".
^Ruggles(2014), hlm. 1836, " ...Nisaba’s son, in The farmer’s instructions, to start field work “once the sky constellations are right"....References to the shape or rising of stars and constellations appear in relation with the construction of new buildings. ".
^-support@ragz-international.com, Webmaster. "Mesopotamia, Calendar". history-world.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-13. Diakses tanggal 2017-12-07.
^Ruggles(2014), hlm. 2058, "The circumpolar circle, ecliptic, equator, Milky Way, and longitudinal lines corresponding to the 28 xiu were all marked on the map. The positions of the stars are very accurate, the error being less than .... They were based on observations made in the eleventh century....".
^"Su Song | Chinese scholar". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-06.
^Selin(2000), hlm. 98, "Many of the fireball motifs of Oceania center on themes of vengeance and sorcery and in essence relate light and fire to demons and vengeful gods. In Tahiti, the god Tane was represented as a meteor. In New Zealand, the god Rongo-mai came to Earth like a shooting star, comet, or flame of fire. In Hawaii, one of the forms of Pele, goddess of the volcano (Figure 4), was that of a ball of fire traversing the mountains....... ".
^Ruggles(2014), hlm. 2231, "Polynesia represents a cultural context where astronomy is deeply embedded, both because of its importance in ocean voyaging and because of its role in the ritual-calendrical cycle that was carried from ancestral homelands in the central Pacific out to islands scattered over many thousands of kilometers.... ".
^Centre, UNESCO World Heritage. "Borobudur Temple Compounds". whc.unesco.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-26. Diakses tanggal 2017-11-29.
Ruggles, C.L.N. (2005). An Encyclopedia of Cosmologies and Myth : Ancient Astronomy (dalam bahasa Inggris). ABC-Clio. ISBN1-85109-477-6.
Ruggles, Clive L. N., ed. (2014). The Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy (dalam bahasa Inggris). New York: Springer. ISBN978-1-4614-6140-1. Kumpulan jurnal, tiga volume; 217 artikel.
Selin, Helaine. (2000). Science Across Culture : The History of Non-Western Science (dalam bahasa Inggris). (I) Archaeoastronomy Across Culture. Springer-Science+Business Media, B.V. ISBN978-94-011-4179-6.
Soekmono (1976). Chandi Borobudur: A Monument of Mankind(PDF) (dalam bahasa Inggris). Paris: The Unesco Press. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2014-11-06. Diakses tanggal 30 November 2017.
Unesco Publishing (2005). The Restoration of Borobudur(PDF) (dalam bahasa Inggris). Paris: The Unesco Press. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2018-04-04. Diakses tanggal 30 November 2017.
Ruggles, C.L.N. (2000). "Ancient Astronomies - Ancient Worlds". Archaeoastronomy: Supplement to the Journal for the History of Astronomy. 25 (31): S65–S76. Bibcode:2000ArchS..25...65R.
Stencel, Robert, Fred Gifford, and Eleanor Moron. (23 July 1976). "Astronomy and Cosmology at Angkor Wat". Science: American Association for the Advancement of Science. 193: 281–287.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Esai dari ahli arkeoastronomi
Carlson, J. (Fall 1999). "Editorial: A Professor of Our Own". Archaeoastronomy & Ethnoastronomy News (dalam bahasa Inggris). 33. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-13. Diakses tanggal 2017-12-06.
Gallagher, I.J. (1983). "Light Dawns on West Virginia History". Wonderful West Virginia (dalam bahasa Inggris) (47): 7–11. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 May 2008. Diakses tanggal 2017-12-06.
Hicks, R. (Fall 1993). "Beyond Alignments". Archaeoastronomy & Ethnoastronomy News (September Equinox) (dalam bahasa Inggris). 9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-04. Diakses tanggal 2017-12-06.
Holbrook, Jarita (28 Juni 1998). "African Astronomy". terpconnect.umd.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-08.
Iwaniszewski, S. (Winter 1995). "Alignments and Orientations Again". Archaeoastronomy & Ethnoastronomy News (December Solstice) (dalam bahasa Inggris). 18. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-04. Diakses tanggal 2017-12-06.
"Borobudur: Pyramid of the Cosmic Buddha" (dalam bahasa Inggris). 2008-06-08. Archived from the original on 2008-06-08. Diakses tanggal 2017-11-29.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
"Su Song | Chinese scholar". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-06.
Rita Gautschy, Michael E. Habicht, Francesco M. Galassi, Daniela Rutica, Frank J. Rühli, Rainer Hannig; A New Astronomically Based Chronological Model for the Egyptian Old Kingdom. Journal of Egyptian History 2017, Vol. 10 (2), 69-108.DOI: 10.1163/18741665-12340035
Selin, Helaine. (2000). Science Across Culture : The History of Non-Western Science. (I) Archaeoastronomy Across Culture. Springer-Science+Business Media, B.V. ISBN978-94-011-4179-6.