Sepanjang abad ke-20, antropolog berdebat tentang peranan H. erectus dalam rantai evolusi manusia. Pada awal abad tersebut, setelah ditemukannya fosil di Jawa dan Zhoukoudian, Tiongkok, para ilmuwan mempercayai bahwa manusia modern berevolusi di Asia. Hal ini bertentangan dengan teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia modern berasal dari Afrika. Namun demikian, pada tahun 1950-an dan 1970-an, beberapa fosil yang ditemukan di Kenya, Afrika Timur, ternyata menunjukkan bahwa hominin (Hominidae yang berjalan dengan kaki, atau manusia minus kera besar lainnya) memang berasal dari benua Afrika. Sampai saat ini para ilmuwan mempercayai bahwa H. erectus adalah keturunan dari makhluk mirip manusia era awal seperti Australopithecus dan keturunan spesies Homo awal seperti Homo habilis.
H. erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistocene awal sekitar 2,0 juta tahun yang lalu, dan terus menyebar ke seluruh Dunia Lama hingga mencapai Asia Tenggara.
Tulang-tulang yang diperkirakan berumur 1,8 dan 1,0 juta tahun telah ditemukan di Afrika (Danau Turkana dan Lembah Olduvai), Eropa (Georgia), Indonesia (hanya Jawa dan, mungkin, Flores), dan Tiongkok (Shaanxi). H. erectus menjadi hominin terpenting mengingat bahwa spesies inilah yang pertama kali meninggalkan benua Afrika.
Jacob sebelumnya menyebutkan bahwa paleoantropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia purba. Secara umum, ilmu ini melibatkan penelitian tidak hanya tentang manusia, tetapi juga tentang karya dan lingkungannya. Secara khusus, paleoantropologi fokus pada evolusi dan variasi biologis manusia purba, yang dikenal juga sebagai early men. Bidang ini juga sering mencakup kajian tentang manusia kuno, yang mencakup periode dari akhir Pleistosen hingga beberapa ratus tahun yang lalu.[4]
Pada intinya, paleoantropologi berkonsentrasi pada rentang waktu yang meliputi akhir paleoprimatologi hingga awal antropologi historis. Biasanya, penelitian ini dilakukan terhadap sisa-sisa temuan yang kebetulan ditemukan, yang kemudian direkonstruksi untuk memahami aspek biologis, serta jika memungkinkan, aspek biokultural dan ekologisnya. Temuan-temuan tersebut umumnya semakin tua, semakin langka jumlahnya, dan keadaannya menjadi lebih fragmentaris.[4]
Tujuan dari paleoantropologi adalah untuk memahami kehidupan manusia secara biokultural sejak munculnya manusia di Bumi, serta evolusinya melalui berbagai masa dan wilayah distribusinya sebanyak mungkin. Indonesia, sebagai tempat tinggal manusia purba dan kuno selama sekitar 1,9 juta tahun yang lalu, dapat dianggap sebagai miniatur yang penting untuk mempelajari evolusi manusia dan ekosistem manusia.[4]
Indonesia memiliki keberuntungan karena merupakan salah satu negara yang memiliki banyak situs manusia purba yang penting. Keberuntungan ini terkait dengan kekayaan alamnya, termasuk keberadaan banyak gunung berapi yang aktif di setiap pulau, karena Indonesia terletak di sepanjang Cincin Api Pasifik. Material vulkanik yang dihasilkan oleh gunung berapi ini telah mengubah material organik menjadi material anorganik dan mengawetkannya di berbagai area, seperti fosil-fosil dan situs-situs paleontologi/paleoantropologi. Situs-situs ini tersebar dari Aceh hingga Papua.[4]
Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat penting untuk mempelajari evolusi manusia dan sejarah persebaran manusia di Bumi. Di negara ini, telah ditemukan fosil Meganthropus sp., Homo erectus, dan Homo sapiens. Meganthropus sp. yang ditemukan di Sangiran memiliki usia sekitar 1,66 ± 0,04 juta tahun. Homo erectus tertua yang dikenal sebagai Homo erectus robustus atau Mojokerto child ditemukan di Perning, Mojokerto (sekarang berada di wilayah Kepuh Klagen, Wringinanom, Gresik, Jawa Timur) dan memiliki usia sekitar 1,81 ± 0,04 juta tahun. Beberapa sampel petrologis dari Homo erectus juga menunjukkan usia sekitar 1,9 ± 0,4 juta tahun menggunakan metode potassium-argon. Meskipun ada beberapa pendapat yang mempertanyakan usia purba mereka dan menyebutkan bahwa usianya tidak melebihi 1,49 juta tahun, dan bahkan mencakup Pleistosen Tengah berdasarkan biostratigrafi, terutama fauna Hippopotamus namadicus dan Sus brachygnathus. Jacob telah melakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan matriks geologis endokranial, dan mengonfirmasi kembali bahwa usia mereka tidak berbeda dengan hasil penanggalan sebelumnya.[4]
Sekitar sepertiga dari temuan Homo erectus di seluruh dunia telah ditemukan di Indonesia. Kemudian, penemuan Homo floresiensis di Flores juga menambah variasi temuan spesies Homo di Indonesia. Homo sapiens yang ditemukan di Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, memiliki usia antara 6.560 hingga 10.560 tahun sebelum sekarang, meskipun usia ini masih diperdebatkan. Penelitian terbaru menunjukkan usia minimal sekitar 28,5 hingga 37,4 ribu tahun yang lalu. Populasi Homo sapiens Neolitik di Indonesia terdiri dari dua subspesies, yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid. Temuan ini sangat penting untuk mempelajari sejarah migrasi dan persebaran manusia, terutama di Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan Kepulauan Pasifik.[4]
Menurut katalog temuan hominid di Indonesia hingga tahun 2003, terdapat 129 fosil hominid yang berasal dari berbagai lokasi seperti Wajak, Kedungbrubus, Trinil, Perning, Ngandong, Sangiran, Sambungmacan, Patiayam, dan Ngawi. Sejak tahun 1975, jumlah temuan ini telah bertambah sebanyak 65 fosil hominid hingga tahun 2003. Setelah itu, masih ada penemuan-penemuan baru, meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.[4]
Indonesia memiliki posisi yang terhormat dan sangat penting dalam penelitian manusia purba dan evolusi manusia, serta lingkungan abiotik, biotik, dan kulturalnya. Di Indonesia terdapat banyak situs paleoantropologi yang menghasilkan temuan fosil hominid, fauna, flora, dan artefak prasejarah dengan tingkat kepurbaan yang tinggi. Temuan ini meliputi fosil manusia purba tertua dari sekitar 1,9 juta tahun yang lalu di Kepuh Klagen, Wringinanom, Gresik, hingga fosil manusia purba terakhir dari sekitar 117.000 hingga 108.000 tahun yang lalu di Ngandong, Blora, yang merupakan penanda akhir keberadaan Homo erectus di Bumi. Indonesia memiliki jumlah temuan Homo erectus yang sebanding dengan Tiongkok di Asia, namun hingga saat ini fosil Homo erectus tertua masih ditemukan di Indonesia dan disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada.[4]
Temuan-temuan ini berperan penting dalam memahami evolusi manusia di Indonesia, Asia Tenggara, dan juga memberikan kontribusi dalam pemahaman temuan-temuan manusia purba dari Afrika, temuan hominid di Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Selain itu, temuan-temuan ini juga memberikan informasi yang relevan dalam sejarah migrasi dan penyebaran manusia di wilayah Pasifik, termasuk Papua Nugini, Australia, Selandia Baru, serta kepulauan di wilayah Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia.[4]
Penelitian dalam bidang paleoantropologi dan evolusi manusia telah mengalami kemajuan yang signifikan berkat temuan fosil hominid dan sisa-sisa manusia kuno hingga manusia modern, serta situs dan asosiasi yang terkait. Para ahli terus berupaya mengembangkan berbagai teknik penentuan umur absolut untuk mengidentifikasi tingkat kepurbaan dengan menggunakan metode seperti Ar/Ar, K/Ar, spektrometri sinar gamma, dan isotop karbon-oksigen. Bagi Jacob, hasil penanggalan temuan Homo erectus di Jawa, Indonesia, yang mencapai usia 1,9 juta tahun yang lalu tidaklah mengejutkan meskipun banyak ahli paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologi prasejarah dari Barat meragukannya. Mereka berargumen bahwa tidak mungkin hominid muncul dan hidup dalam daerah terpencil dan terisolasi di benua dengan usia kepurbaan sejauh itu. Namun, Jacob menegaskan bahwa evolusi hominid tidak terbatas pada daratan benua saja, tetapi dapat terjadi di daratan manapun, baik itu benua maupun kepulauan, selama ada dukungan dalam bentuk energi, keberlanjutan, dan luas wilayah (energy, sustainable & area).
Banyak ilmuwan paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologi prasejarah dari Barat meragukan asal-usul kemampuan berbicara dan praktik kanibalisme pada Homo erectus Jawa. Namun, Jacob dapat memberikan penjelasan yang jelas terkait keraguan ini. Petunjuk mengenai kemampuan berbicara Homo erectus hanya dapat dilihat melalui bukti fosil tengkorak yang relatif fragmentaris dan tidak lengkap. Banyak fosil tengkorak Homo erectus Jawa yang hilang bagian dasarnya karena proses taphonomi. Namun, kemampuan berbicara dapat dilihat dari adanya jejak-jejak goresan dan sinus di dalam tengkorak. Saat ini, fosil tengkorak ini dapat diamati dan dianalisis dengan lebih mudah melalui pemindaian CT 3D, baik dengan atau tanpa matriks, dan dapat direkonstruksi menjadi model 3D untuk analisis morfologis otak yang lebih lanjut.
Kemampuan berbicara Homo erectus juga ditunjukkan melalui bentuk dan posisi foramen magnum (lubang pada dasar tengkorak yang terkait dengan leher). Foramen magnum pada Homo erectus belum berbentuk bulat dan masih berada dalam posisi relatif posterior (seperti pada fosil tengkorak Homo erectus Ngandong). Karena itu, posisi tenggorokan mereka terhadap mulut dan hidung belum tegak lurus seperti "huruf L terbalik", tetapi masih melengkung seperti tenggorokan anak-anak yang baru bisa berbicara. Pada individu yang hidup, tenggorokan ini berada di belakang mulut di bawah lubang hidung dan berbentuk seperti tabung berotot yang berfungsi sebagai saluran distribusi makanan dan udara. Organ ini terdiri dari otot dan bercabang menjadi dua saluran yang lebih kecil, yaitu esofagus (kerongkongan) dan laring (pangkal tenggorokan). Organ ini merupakan bagian dari sistem pernapasan dan pencernaan. Bagian atasnya adalah nasofaring, diikuti oleh orofaring, dan bagian bawahnya adalah hipofaring atau laringofaring. Nasofaring dan laringofaring merupakan bagian dari sistem pernapasan, sedangkan orofaring berperan dalam sistem pencernaan dan pernapasan.[4]
Dengan kondisi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kemampuan berbicara Homo erectus masih sangat terbatas. Komunikasi mereka menggunakan bahasa lisan dengan banyak bantuan isyarat. Jacob menyebut Homo erectus Jawa masih dalam tahap protobahasa. Dalam lelucon, dapat dikatakan bahwa Homo erectus lebih banyak bekerja daripada bicara, sementara Homo sapiens seperti kita saat ini lebih banyak bicara daripada bekerja.
Benar, argumen Jacob didasarkan pada paradigma osteologis-anatomis dan biologi populasi terkait dugaan kanibalisme pada Homo erectus Jawa. Banyak ilmuwan paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologiprasejarah dari Barat telah mengajukan dugaan kanibalisme berdasarkan banyaknya fosil tengkorak Homo erectus yang kehilangan basis kranialnya. Selain itu, tradisi kanibalisme yang masih berlangsung di beberapa etnis di Indonesia pada masa itu juga menjadi faktor yang dikaitkan.
Jacob berpendapat bahwa fosil tengkorak yang fragmentaris dan hilangnya basis kranial tidak dapat dijadikan bukti yang kuat untuk mendukung dugaan kanibalisme. Paradigma osteologis-anatomis dan biologi populasi yang dia terapkan memungkinkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan hilangnya basis kranial, seperti proses taphonomi dan kerusakan pasca-mortem.
Selain itu, Jacob juga mencatat bahwa tradisi kanibalisme yang masih ada pada beberapa etnis di Indonesia pada masa itu tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan Homo erectus Jawa. Ada perbedaan antara spesies manusia purba dan manusia modern, termasuk dalam hal perilaku dan budaya. Oleh karena itu, keberadaan tradisi kanibalisme pada manusia modern tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung untuk mendukung dugaan kanibalisme pada Homo erectus Jawa.
Perdebatan mengenai kanibalisme pada Homo erectus Jawa masih terus berlanjut di kalangan ilmuwan. Pendekatan multidisiplin dan penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang aspek ini dalam sejarah manusia purba.[4]
Rujukan
^Homo erectus soloensis, found in Java, is considered the latest known survival of H. erectus.
Formerly dated to as late as 50,000 to 40,000 years ago, a 2011 study pushed back the date of its extinction of H. e. soloensis to 143,000 years ago at the latest, more likely before 550,000 years ago.
Indriati E, Swisher CC III, Lepre C, Quinn RL, Suriyanto RA, et al. 2011 The Age of the 20 Meter Solo River Terrace, Java, Indonesia and the Survival of Homo erectus in Asia.PLoS ONE 6(6): e21562. DOI:10.1371/journal.pone.0021562.