Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Historisisme

Sejak abad 17, filsafat yang berkiblat pada pemikiran Descartes kurang memberi perhatian pada porsi ilmu sejarah dalam membentuk ilmu pengetahuan, yang menyebabkan krisis identitas keilmuan menjadi salah satu faktor penting lahirnya historisisme.[1]

Historisisme adalah sebuah aliran pemikiran dalam filsafat yang menggunakan pendekatan historis (mempelajari proses sejarah) dalam menjelaskan sebuah fenomena sosial atau memahami kenyataan.[2] Historisisme cenderung untuk bersifat hermeneutis, karena menilai interpretasi yang hati-hati, ketat, dan terkontekstualisasi; atau relativis, karena menolak gagasan universal, fundamental dan yang tidak terubahkan.[3] Pendekatan ini bervariasi dari teori pengetahuan individualis seperti empirisme dan rasionalisme, yang mengabaikan peran tradisi.

Istilah "historisisme" (Historismus) diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Karl Wilhelm Friedrich Schlegel.[4] Seiring waktu istilah ini berkembang menjadi makna yang berbeda. Elemen historisisme muncul dalam tulisan esais Prancis, Michael de Montaigne (1533-1592) dan filsuf Italia Giambattista Vico (1668-1744), dan menjadi lebih berkembang dengan dialektika Georg Hegel (1770–1831), yang berpengaruh di Eropa abad ke-19. Tulisan Karl Marx, dipengaruhi oleh Hegel, juga termasuk historisisme. Istilah ini juga diasosiasikan dengan ilmu sosial empirik dan karya Franz Boas.

Historisisme dapat dibedakan dengan teori reduksionis—yang mengasumsikan bahwa semua perkembangan dapat dijelaskan dengan prinsip fundamental (seperti dalam determinisme ekonomi)—atau dengan teori yang memberi kesan bahwa perubahan sejarah terjadi sebagai akibat dari kesempatan acak.

Filsuf Austria-Inggris, Karl Popper mengutuk historisisme bersamaan dengan determinisme dan holisme yang dia nyatakan membentuk dasarnya. Dalam karyanya, Poverty of Historicism, dia mengidentifikasi historisisme dengan pendapat bahwa ada "hukum tak tertentu dari takdir sejarah", yang dia peringatkan. Hal ini kontras dengan interpretasi relatif secara kontekstual dari historisisme menurut para pendukung pendekatan ini nyatakan. Talcott Parsons mengkritisi historisisme sebagai kasus kekeliruan idealistik dalam The Structure of Social Action (1937).

Pascastrukturalisme menggunakan istilah "Historisisme Baru", yang memiliki beberapa keterkaitan dengan antropologi dan Hegelianisme.

Penggunaan teologis dari kata ini menunjuk pada interpretasi nubuatan Alkitab yang terkait dengan sejarah gereja.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Purwanta, Hieronymus (April 2011). "Historisisme dan Neo Historisisme" (PDF). HISTORIA VITAE. 25: 35. ISSN 0215-8809. 
  2. ^ Purwanto, Bambang (2001). "HISTORISISME BARU DAN KESADARAN DEKONSTRUKTIF: KAJIAN KRITIS TERHADAP HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS" (PDF). Humaniora. XIII (1). 
  3. ^ Kahan, Jeffrey. "Historicism." Renaissance Quarterly, vol. 50, no. 4 December 22, 1997, p. 1202
  4. ^ Brian Leiter, Michael Rosen (eds.), The Oxford Handbook of Continental Philosophy, Oxford University Press, 2007, p. 175: "[The word 'historicism'] appears as early as the late eighteenth century in the writings of the German romantics, who used it in a neutral sense. In 1797 Friedrich Schlegel used 'historicism' to refer to a philosophy that stresses the importance of history..."; Katherine Harloe, Neville Morley (eds.), Thucydides and the Modern World: Reception, Reinterpretation and Influence from the Renaissance to the Present, Cambridge University Press, 2012, p. 81: "Already in Friedrich Schlegel's Fragments about Poetry and Literature (a collection of notes attributed to 1797), the word Historismus occurs five times."

Bacaan lebih lanjut

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya