Perang Enam Hari
Perang Enam Hari (bahasa Ibrani: מלחמת ששת הימים, Milhemet Syesyet Hayamim; bahasa Arab: حرب الأيام الستة, Harbul Ayyamus Sittah), yang disebut pula Musibah Kemunduran (bahasa Arab: النكسة, An-Naksah), Perang Juni, Perang Arab-Israel Ketiga, Perang Arab-Israel 1967, atau Perang 1967 (bahasa Arab: حرب ۱۹٦۷, Ḥarb 1967), adalah perang antara Israel dan tiga negara Arab tetangganya, yakni Mesir (kala itu bernama Republik Arab Bersatu), Yordania, dan Suriah, yang berlangsung dari tanggal 5–10 Juni 1967. Hubungan antara Israel dan negara-negara jirannya tidak kunjung membaik selepas Perang Arab-Israel 1948. Pada tahun 1956, Israel menginvasi Semenanjung Sinai, dengan salah satu tujuan untuk membuka kembali Selat Tiran yang ditutup bagi industri pelayaran Israel oleh Mesir sejak tahun 1950. Israel dapat didesak mundur, tetapi berhasil memaksa Mesir menjamin keleluasaan kapal-kapal Israel untuk berlalu-lalang di Selat Tiran. Meskipun Pasukan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa ditempatkan di sepanjang tapal batas kedua negara, tidak ada kesepakatan demiliterisasi.[21] Situasi kian genting menjelang bulan Juni 1967. Israel mengulangi pernyataan pasca-1956 bahwa penutupan Selat Tiran bagi industri pelayarannya akan menjadi casus belli. Pada bulan Mei, Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasir memaklumkan penutupan selat bagi kapal-kapal Israel, lalu mengerahkan angkatan bersenjata Mesir untuk berjaga-jaga di sepanjang tapal batas Israel. Pada tanggal 5 Juni, Israel melancarkan serangan yang diklaimnya sebagai serentetan serangan udara dini terhadap lapangan-lapangan terbang Mesir. Klaim-klaim dan klaim-klaim tandingan yang berkaitan dengan rentetan peristiwa ini merupakan salah satu dari sekian banyak kontroversi seputar Perang Enam Hari. Mesir sama sekali tidak menduga serangan Israel, sehingga hampir seluruh kekuatan tempur udara Mesir binasa, sementara kekuatan tempur udara Israel hanya mengalami sedikit kerugian. Keadaan ini menjadikan Israel lebih unggul di udara. Pada saat yang sama, Israel juga melancarkan serangan darat ke daerah Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai, yang juga tidak disangka-sangka oleh Mesir. Setelah bertahan menghadapi gempuran Israel selama beberapa waktu, Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasir, memerintahkan evakuasi dari Semenanjung Sinai. Pasukan Israel bergerak cepat ke arah barat, memburu dan menghancurkan pasukan Mesir yang sedang ditarik mundur, dan berhasil menguasai Semenanjung Sinai. Gamal Abdul Nasir berhasil menghasut Suriah dan Yordania untuk mulai menyerang Israel dengan memanfaatkan situasi yang masih belum menentu untuk mengklaim bahwa Mesir telah berhasil mematahkan serangan udara Israel. Serangan balasan Israel berhasil memaksa Yordania melepaskan daerah Yerusalem Timur dan daerah Tepi Barat, sementara Suriah terpaksa melepaskan daerah Dataran Tinggi Golan. Pihak-pihak yang bertikai akhirnya bersedia menandatangani sebuah kesepakatan gencatan senjata pada tanggal 11 Juni. Perang Enam Hari telah melumpuhkan kekuatan militer Mesir, Suriah, dan Yordania, karena Israel berhasil menewaskan sekitar 20.000 orang serdadu mereka dan hanya kehilangan kurang dari 1.000 orang serdadu. Keberhasilan Israel bukan hanya karena hasil dari strategi yang dipersiapkan dengan matang dan dilaksanakan dengan sempurna, tetapi juga disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan negara-negara Arab dan lemahnya kepemimpinan serta strategi militernya. Israel berhasil merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Kemenangan Israel membuatnya makin terpandang di mata dunia internasional, sekaligus mempermalukan Mesir, Yordania, dan Suriah, sampai-sampai Gamal Abdul Nasir undur diri dari jabatannya selaku Presiden Mesir, meskipun akhirnya kembali menjabat setelah rakyat Mesir berdemonstrasi menolak pengunduran dirinya. Kemenangan Israel yang diraih dengan begitu cepat dan mudah membuat jajaran kepemimpinan Angkatan Pertahanan Israel menjadi terlalu percaya diri. Rasa percaya diri yang berlebihan ini membuat Israel gegabah sehingga mula-mula dapat dikalahkan oleh negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973, meskipun angkatan bersenjata Israel akhirnya dapat menundukkan kekuatan tempur negara-negara Arab dan memenangkan perang. Perpindahan penduduk akibat Perang Enam Hari telah menimbulkan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang, karena 300.000 warga Palestina terpaksa mengungsi dari daerah Tepi Barat, dan sekitar 100.000 warga Suriah terpaksa mengungsi dari daerah Dataran Tinggi Golan. Di seluruh negara Arab, masyarakat minoritas Yahudi terpaksa mengungsi atau diusir dari tempat tinggalnya. Sebagian besar pengungsi Yahudi dari negara-negara Arab ini hijrah ke Israel atau ke Eropa. Latar belakangSelepas Krisis Suez pada tahun 1956, Mesir menyetujui penempatan Pasukan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEF) di Semenanjung Sinai untuk memastikan semua pihak yang pernah bertikai benar-benar menaati Kesepakatan Gencatan Senjata 1949.[23] Setahun kemudian, mulai marak terjadi keributan kecil antara Israel dan jiran-jiran Arabnya, terutama Suriah. Pada awal bulan November 1966, Suriah menandatangani Perjanjian Pertahanan Bersama dengan Mesir.[24] Tak seberapa lama sesudah penandatangan Perjanjian Pertahanan Bersama itu, Angkatan Pertahanan Israel (API) menyerbu desa As-Samu di daerah Tepi Barat yang dikuasai Yordania[25] sebagai aksi balasan terhadap aktivitas gerilya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO),[26][27] termasuk sebuah serangan ranjau darat yang merenggut tiga korban jiwa.[28] Pasukan Yordania yang maju menghadapi Israel dapat dipukul mundur dalam waktu singkat.[29] Raja Yordania, Hussein, mengecam Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasir, karena tidak datang membantu Yordania, dan malah "sembunyi di balik rok UNEF".[30][31][32] Pada bulan Mei 1967, Presiden Gamal Abdul Nasir menerima laporan palsu dari Uni Soviet bahwa Israel sedang mengerahkan pasukan secara besar-besaran ke tapal batas Suriah.[33] Presiden Gamal Abdul Nasir mulai mengerahkan pasukan Mesir dalam dua barisan pertahanan[34] ke tapal batas Israel di Semenanjung Sinai pada tanggal 16 Mei, mengusir pasukan UNEF dari Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai pada tanggal 19 Mei, dan mengambil alih posisi UNEF di Syarmus Syaikh, kota di atas tebing yang menghadap ke Selat Tiran.[35][36] Israel mengulangi maklumat yang pernah diutarakannya pada tahun 1957 bahwasanya segala bentuk tindakan penutupan selat akan dianggap sebagai tantangan perang terhadap Israel maupun akan dijadikan dalih oleh Israel untuk maju berperang,[37][38] tetapi Presiden Gamal Abdul Nasir tetap menutup Selat Tiran bagi kapal-kapal Israel pada tanggal 22–23 Mei.[39][40][41] Seusai Perang Enam Hari, Presiden Amerika Serikat, Lyndon Johnson, berkomentar sebagai berikut:[42]
Pada tanggal 30 Mei, Yordania dan Mesir menandatangani sebuah pakta pertahanan bersama. Keesokan harinya, atas undangan Yordania, Angkatan Darat Irak mulai mengerahkan serdadu dan kendaraan tempur ke Yordania.[43] Pasukan ini kemudian diperkuat lagi oleh sepasukan kontingen Mesir. Pada tanggal 1 Juni, Israel membentuk pemerintahan persatuan nasional dengan memperluas kabinet, dan pada tanggal 4 Juni memutuskan untuk maju berperang. Keesokan paginya, Israel melancarkan Operasi Fokus, serangan udara dadakan berskala besar yang mengawali Perang Enam Hari. Persiapan militerSebelum perang, para pilot dan petugas lapangan terbang Israel telah menjalani pelatihan ekstensif agar cekatan mereparasi pesawat-pesawat tempur yang kembali dari aksi serangan udara, sehingga memungkinkan satu unit pesawat tempur untuk lepas landas sebanyak empat kali dalam sehari. Di lain pihak, pesawat tempur angkatan udara negara-negara Arab lazimnya cuma sekali atau dua kali lepas landas dalam sehari. Pelatihan ini memungkinkan Angkatan Udara Israel (AUI) untuk melancarkan serangan udara dalam beberapa gelombang terhadap lapangan-lapangan terbang Mesir pada hari pertama perang, melumpuhkan Angkatan Udara Mesir, dan menggempur angkatan udara negara-negara Arab yang lain pada hari yang sama. Keunggulan ini telah membuat pihak Arab meyakini bahwa AUI dibantu oleh angkatan udara negara-negara asing (baca artikel Kontroversi Perang Enam Hari). Para pilot Israel ditatar secara mendalam mengenai sasaran-sasaran mereka, dipaksa menghafal setiap detail informasi, dan berulang kali melakukan uji coba serangan udara terhadap lapangan-lapangan terbang palsu secara rahasia. Mesir telah mendirikan pangkalan-pangkalan pertahanan di Semenanjung Sinai atas dasar asumsi bahwa Israel akan menyerang lewat segelintir jalan lintas Sinai, alih-alih melalui medan yang sukar dijelajahi. Israel memutuskan untuk menghindari risiko menggempur pangkalan-pangkalan pertahanan Mesir dari arah depan, dan malah mengejutkan mereka dengan serangan dari arah yang tidak disangka-sangka. Dalam tulisannya yang dimuat di harian The New York Times edisi 23 Mei 1967, James Reston mencermati bahwa, "dalam hal kedisiplinan, pelatihan, ketahanan mental, peralatan, dan kecakapan umum, angkatan bersenjatanya [Gamal Abdul Nasir] dan angkatan bersenjata negara-negara Arab lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, bukanlah tandingan Israel. ... Bahkan dengan 50.000 orang serdadu berikut jenderal-jenderal terbaiknya dan angkatan udara di Yaman sekalipun, ia tidak mampu menerobos masuk ke negara kecil yang primitif itu, malah usahanya membantu kaum pemberontak Kongo pun gagal total."[44] Menjelang perang meletus, Israel sudah yakin akan menang dalam 3–4 hari. Amerika Serikat memperkirakan bahwa Israel perlu 7–10 hari untuk menang, dan perkiraan Amerika Serikat ini didukung oleh perkiraan yang dibuat Inggris.[45] Serdadu dan persenjataanSerdaduAngkatan Darat Israel berkekuatan 264.000 serdadu, sudah termasuk serdadu cadangan. Namun, jumlah ini belum dapat dipastikan, karena para serdadu cadangan sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat sipil.[46] Untuk menghadapi angkatan bersenjata Yordania di daerah Tepi Barat, Israel mengerahkan sekitar 40.000 serdadu dan 200 tank (delapan brigade).[47] Kekuatan tempur Pusat Komando Israel terdiri atas lima brigade. Dua brigade pertama ditempatkan secara permanen di dekat Yerusalem, yakni Brigade Yerusalem dan Brigade Harel yang diperlengkapi mesin-mesin tempur. Brigade Penerjun Payung Ke-55 di bawah pimpinan Mordechai Gur ditarik mundur dari pos pertahanan depan Israel di Gurun Sinai. Brigade Kendaraan Tempur Ke-10 ditempatkan di sebelah utara Tepi Barat. Komando Utara Israel merupakan satu divisi yang terdiri atas tiga brigade di bawah pimpinan Mayor Jenderal Elad Peled, dan berlokasi di Lembah Yizreel yang terletak di sebelah utara Tepi Barat. Menjelang perang meletus, Mesir mengerahkan kira-kira 100.000 personel dari 160.000 serdadu yang dimilikinya ke Gurun Sinai. Kekuatan tempur yang dikerahkan ke Sinai ini terdiri atas tujuh divisi Angkatan Darat Mesir (empat divisi infanteri, dua divisi kendaraan tempur, dan satu divisi mesin tempur), empat brigade infanteri mandiri, dan empat brigade kendaraan tempur mandiri. Lebih dari sepertiga serdadu yang dikerahkan ke Sinai adalah para veteran aksi-aksi intervensi militer yang terus menerus dilakukan Mesir dalam Perang Saudara Yaman Utara, sementara sepertiga lagi adalah serdadu cadangan. Kekuatan tempur Mesir di Sinai diperlengkapi dengan 950 buah tank, 1.100 buah Angkutan Personel Lapis Baja, dan lebih dari 1.000 perangkat artileri.[48] Angkatan Darat Suriah berkekuatan 75.000 serdadu dan dikerahkan ke sepanjang tapal batas Israel.[49] Angkatan Bersenjata Yordania mencakup 11 brigade yang terdiri atas 55.000 serdadu.[50] Sembilan brigade (45.000 serdadu, 270 tank, 200 perangkat artileri) dikerahkan ke Tepi Barat, sudah termasuk Brigade Kendaraan Tempur Ke-40, dan dua brigade dikerahkan ke Lembah Yordan. Brigade-brigade ini memiliki sejumlah besar Angkutan Personel Lapis Baja M113, dan diperlengkapi dengan sekitar 300 buah tank modern buatan negara barat, 250 buah di antaranya adalah M48 Patton buatan Amerika Serikat. Yordania juga memiliki 12 batalion artileri, 6 baterai penembak meriam laras 81 mm dan penembak mortir laras 120 mm,[51] satu batalion serdadu penerjun payung lulusan sekolah penerjun payung yang baru dibangun oleh Amerika Serikat, dan satu batalion baru infanteri mekanis. Angkatan Darat Yordania, yang kala itu bernama Legiun Arab, adalah angkatan bersenjata profesional dengan masa bakti yang lama, berperlengkapan relatif lengkap, dan sangat terlatih. Arahan-arahan singkat pascaperang Israel menyatakan bahwa para staf Yordania memang bekerja secara profesional, tetapi selalu saja tertinggal "setengah langkah" di belakang Israel. Angkatan Udara Kerajaan Yordania tidaklah seberapa besar, karena hanya terdiri atas 24 pesawat tempur Hawker Hunter buatan Inggris, enam pesawat angkut, dan dua helikopter. Menurut Israel, Hawker Hunter pada dasarnya setara dengan Dassault Mirage III buatan Prancis, yakni pesawat tempur terbaik yang dimiliki AUI.[52] 100 buah tank dan satu divisi infanteri Irak disiagakan di dekat tapal batas Yordania. Dua skuadron pesawat tempur Irak, yang terdiri atas pesawat-pesawat tempur Hawker Hunter dan MiG 21, dipindahkan ke pangkalan udara yang dekat dari tapal batas Yordania.[51] Pihak Arab berusaha menutupi kerugian besar yang menimpa angkatan udaranya pada hari pertama perang dengan sejumlah pesawat terbang dari Libya, Aljazair, Maroko, Kuwait, dan Arab Saudi. Pihak Arab juga dibantu oleh pilot-pilot sukarelawan dari Angkatan Udara Pakistan (AUP) yang bergerak secara mandiri. Pilot-pilot AUP berhasil menembak jatuh beberapa pesawat tempur Israel.[53][54] PersenjataanKubu Arab, kecuali Yordania, sangat mengandalkan senjata buatan Soviet. Angkatan Darat Yordania diperlengkapi dengan senjata buatan Amerika Serikat, sementara angkatan udaranya diperkuat pesawat-pesawat terbang buatan Inggris. Di antara semua angkatan udara kubu Arab, Angkatan Udara Mesirlah yang paling besar dan paling modern. Mesir memiliki sekitar 420 unit pesawat tempur,[55] semuanya buatan Soviet, beberapa di antaranya adalah pesawat tempur Soviet terbaik, MiG-21. Pesawat-pesawat tempur Mesir yang ditakuti Israel adalah 30 unit pesawat pengebom sedang Tu-16 "Badger" yang sanggup menghancurleburkan pusat-pusat militer dan sipil Israel.[56] Sebagian besar senjata Israel adalah senjata-senjata buatan negara barat, sebagian besar pesawat tempurnya adalah pesawat terbang buatan Prancis, sementara sebagian besar kendaraan tempurnya adalah kendaraan lapis baja hasil rancangan sekaligus produksi Inggris dan Amerika Serikat. Sejumlah senjata infanteri, termasuk sejumlah besar pistol mitraliur Uzi, adalah senjata buatan Israel sendiri.
Medan tempurSerangan udara diniLangkah Israel yang pertama dan terpenting adalah serangan dadakan terhadap Angkatan Udara Mesir. Mula-mula Israel maupun Mesir mengumumkan bahwa mereka telah diserang oleh negara lain. Pada tanggal 5 Juni, pukul 7 lebih 45 menit waktu Israel, diiringi kumandang bunyi sirene pertahanan sipil di seluruh Israel, AUI melancarkan Operasi Fokus (bahasa Ibrani: מבצע מוקד, Mivtza Moked). Terkecuali 12 unit, seluruh jet operasional Israel yang jumlahnya mendekati 200 unit[59] melancarkan serangan massal atas lapangan-lapangan terbang Mesir.[60] Kondisi prasarana pertahanan Mesir sangat tidak layak, dan tak satu pun lapangan terbangnya diperlengkapi dengan hanggar beton untuk melindungi pesawat-pesawat tempur Mesir. Sebagian besar pesawat tempur Israel diarahkan ke kawasan udara Laut Tengah, terbang rendah agar luput dari deteksi radar, sebelum berbalik arah menuju kawasan udara Mesir. Pesawat tempur Israel selebihnya terbang melintasi Laut Merah.[61] Sementara itu, Mesir justru menghambat usaha pertahanannya sendiri dengan menghentikan seluruh sistem pertahanan udara lantaran khawatir para serdadu Mesir pemberontak akan menembak jatuh pesawat terbang yang ditumpangi Jenderal Besar Abdul Hakim Amir dan Letnan Jenderal Sidqi Mahmud dari Al Maza menuju Bir Tamada di Sinai untuk bertatap muka dengan para komandan pasukan yang ditempatkan di sana. Ditutup atau dibukanya sistem pertahanan udara Mesir tidak sesungguhnya tidak berpengaruh apa-apa karena pilot-pilot Israel menerbangkan pesawat-pesawat mereka di bawah pantauan radar Mesir sekaligus di bawah titik terendah yang dapat dijangkau tembakan rudal darat-ke-udara SA-2.[62] Meskipun fasilitas radar Yordania yang kuat di Ajlun mendeteksi pergerakan pesawat terbang dalam beberapa gelombang menuju Mesir dan mengirim kata sandi dengan arti "perang" kepada rantai komando militer Mesir, masalah-masalah komando dan komunikasi Mesir menghalangi peringatan itu diteruskan ke lapangan-lapangan terbang yang disasar.[63] Israel menjalankan strategi serangan campuran, yakni mengebom dan memberondong pesawat-pesawat terbang yang sedang terparkir, serta merusak landasan pacu dengan menjatuhkan bom-bom penetrasi pengoyak landasan pacu khusus yang dikembangkan bersama dengan Prancis, sehingga pesawat-pesawat terbang yang luput dari pengeboman dan pemberondongan tidak dapat lepas landas. Landasan pacu lapangan terbang El Aris sengaja dibiarkan tetap utuh, karena Israel berencana mengubahnya menjadi perlabuhan udara militer untuk keperluan transportasi udara militer seusai perang. Pesawat-pesawat terbang yang luput dari pengeboman gelombang pertama disingkirkan oleh gelombang-gelombang serangan berikutnya. Operasi Fokus ternyata lebih sukses daripada perkiraan semula, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Mesir, dan nyaris membinasakan seluruh kekuatan tempur udara Mesir yang ada di darat tanpa banyak pengorbanan di pihak Israel. Hanya ada empat unit pesawat latih yang sedang mengudara ketika serangan bermula.[64] Secara keseluruhan, ada 338 unit pesawat terbang Mesir yang binasa, dan 100 orang pilot Mesir yang gugur akibat serangan udara Israel,[65] meskipun jumlah pesawat terbang Mesir yang hancur masih terus diperdebatkan.[66] Pesawat-pesawat terbang Mesir yang hancur meliputi seluruh 30 unit pesawat pengebom Tu-16, 27 unit dari total 40 unit pesawat pengebom Il-28, 12 unit pesawat tempur-pengembom Su-7, sekitar 90 unit pesawat MiG-21, 20 unit pesawat MiG-19, 25 unit pesawat tempur MiG-17, serta sekitar 32 unit pesawat angkut dan helikopter dari berbagai jenis. Selain itu, radar-radar dan rudal-rudal SAM Mesir juga diserang dan dihancurkan. Israel kehilangan 19 unit pesawat terbang, termasuk dua unit yang hancur dalam pertempuran udara dan 13 unit yang ditembak jatuh oleh artileri antipewasat terbang.[67] Satu unit pesawat terbang Israel, yang mengalami kerusakan sehingga tidak dapat melakukan sambungan radio, ditembak jatuh oleh rudal Hawk Israel setelah tersasar mengudara di atas Pusat Penelitian Nuklir Negev.[68] Satu unit lagi hancur akibat terimbas ledakan sebuah pesawat pengebom Mesir.[69] Aksi serangan udara ini menghasilkan supremasi udara bagi pihak Israel sampai perang berakhir. Serangan terhadap angkatan udara negara-negara Arab lainnya menyusul pada hari yang sama, manakala bentrokan pecah di tempat-tempat lain. Besarnya jumlah pesawat terbang kubu Arab yang diklaim telah dihancurkan oleh Israel pada hari itu mula-mula dianggap "terlampau dibesar-besarkan" oleh pers Barat. Meskipun demikian, kenyataan bahwa Angkatan Udara Mesir maupun angkatan udara negara-negara Arab lain yang diserang Israel praktis tidak kembali beraksi sampai perang berakhir membuktikan bahwa jumlah yang besar itu mungkin sekali benar adanya. Selama perang berlangsung, pesawat terbang Israel terus-menerus memberondongi landasan-landasan pacu kubu Arab agar tidak dapat digunakan untuk lepas landas. Sementara itu, radio yang dikelola pemerintah Mesir telah menggembar-gemborkan kemenangan pihak Mesir, dan menyiarkan pernyataan palsu bahwa Mesir telah berhasil menembak jatuh 70 unit pesawat terbang Israel pada hari pertama perang.[70] Jalur Gaza dan Semenanjung SinaiKekuatan tempur Mesir terdiri atas tujuh divisi, yakni 4 divisi kendaraan tempur, 2 divisi infanteri, dan satu divisi infanteri mekanis. Secara keseluruhan, Mesir menempatkan sekitar 100.000 serdadu dan 900-950 unit tank di Semenanjung Sinai, didukung 1.100 unit APC dan 1.000 unit peralatan artileri.[71] Pengaturan semacam ini agaknya didasarkan atas doktrin pertahanan Soviet, yakni menyiagakan unit-unit kendaraan tempur pada kedalaman strategis untuk memberikan perlindungan dinamis pada saat satuan-satuan infanteri terlibat dalam pertempuran-pertempuran bertahan. Kekuatan tempur Israel yang dipusatkan di tapal batas Mesir terdiri atas enam brigade kendaraan tempur, satu brigade infanteri, satu brigade infanteri mekanis, tiga brigade penerjun payung, secara keseluruhan melibatkan sekitar 70.000 orang serdadu dan 700 unit tank yang dibagi menjadi tiga divisi kendaraan tempur. Seluruhnya dikerahkan ke perbatasan pada malam hari menjelang dimulainya perang, disamarkan dengan perlengkapan kamuflase, dan mematikan radio komunikasi sebelum diperintahkan untuk maju menyerang. Israel berencana melancarkan serangan yang tidak diduga-duga oleh Mesir, baik dari segi waktu (serangan dilancarkan bertepatan dengan serangan AUI terhadap lapangan-lapangan terbang Mesir), lokasi (serangan dilancarkan lewat jalur utara dan jalur tengah di Semenanjung Sinai, bertolak belakang dengan perkiraan Mesir bahwa Israel akan menggunakan jalur-jalur yang pernah digunakannya dalam perang tahun 1956, yakni jalur tengah dan jalur selatan), maupun metode (serangan mengapit dengan pengerahan kombinasi berbagai satuan tempur, alih-alih serangan langsung dari arah depan dengan pengerahan barisan tank). Divisi Utara Israel (El Aris)Pada pagi hari tanggal 5 Juni, pukul 7 lebih 50 menit, divisi Israel paling utara yang terdiri atas tiga brigade di bawah komando Mayor Jenderal Israel Tal, salah seorang komandan pasukan kendaraan tempur Israel yang paling terkemuka, menerobos garis perbatasan pada dua titik, yakni di seberang Nahal Oz dan di sebelah selatan Khan Yunis. Divisi ini bergerak dengan cepat tanpa sekalipun mengeluarkan tembakan demi mengejutkan pihak lawan. Pasukan yang dipimpin Israel Tal menyerang "Celah Rafah", bentangan sepanjang tujuh mil yang merupakan rute tersingkat dari tiga rute lintas Sinai menuju El-Qantarah el-Sharqiyya dan Terusan Suez. Mesir telah menempatkan empat divisi di daerah itu, diperkuat dengan ranjau-ranjau darat, gardu-gardu pertahanan, bungker-bungker bawah tanah, serta emplasemen-emplasemen senjata dan parit-parit pertahanan yang tersembunyi. Tebing pada kedua sisi jalur ini tidak dapat dilalui. Rencana Israel adalah menggempur Mesir pada titik-titik yang telah ditentukan dengan barisan kendaraan tempur.[68] Ujung tombak pasukan Israel Tal adalah Brigade Kendaraan Tempur Ke-7 di bawah pimpinan Kolonel Shmuel Gonen. Berdasarkan rencana Israel, Brigade Kendaraan Tempur Ke-7 akan merusuk Khan Yunis dari arah utara, sementara Brigade Kendaraan Tempur Ke-60 di bawah pimpinan Kolonel Menachem Aviram akan merusuk dari arah selatan. Iring-iringan kedua Brigade selanjutnya akan tersambung membentuk kepungan mengelilingi Khan Yunis, sementara pasukan penerjun payung akan merebut Rafah. Kolonel Shmuel Gonen mempercayakan tugas penerobosan kepada satu batalion brigadenya.[72] Mula-mula gerak maju Israel hanya dihambat dengan perlawanan ringan, karena intel Mesir telah menyimpulkan bahwa aksi Divisi Utara ini hanyalah pengalih perhatian dari serangan utama. Kendati demikian, manakala batalion yang dipimpin Kolonel Shmuel Gonen terus bergerak maju, pihak Mesir tiba-tiba menghujani mereka dengan tembakan bertubi-tubi sehingga merenggut banyak korban. Satu lagi batalion dikerahkan, tetapi mengalami nasib yang sama dengan batalion pertama. Sementara itu, Brigade Kendaraan Tempur Ke-60 tertahan oleh lautan pasir, dan pasukan penerjun payung mengalami kesulitan menjelajahi bukit-bukit pasir. Israel terus-menerus mendesak maju sekalipun banyak jatuh korban sehingga berhasil menghancurkan pertahanan Mesir dan tiba di simpang rel kereta api Khan Yunis dalam empat jam lebih beberapa menit.[72] Brigade Kolonel Shmuel Gonen selanjutnya bergerak maju sejauh sembilan mil menuju Rafah dalam iring-iringan ganda. Rafah dapat dikecoh, dan Israel pun bergegas menyerang Sheikh Zuweid yang dijaga dua brigade Mesir, delapan mil di sebelah barat daya Rafah. Kendati jumlah personel dan peralatan tempurnya sangat tidak sebanding dengan Israel, serdadu Mesir menempati posisi yang sangat terlindung dan tersamarkan. Israel benar-benar terdesak oleh aksi bertahan Mesir sehingga meminta bantuan serangan udara dan artileri untuk melapangkan jalan bagi gerak maju pasukan-pasukan gugus depannya. Banyak serdadu Mesir yang kabur meninggalkan posisi pertahanan setelah komandan mereka beserta sejumlah stafnya tewas.[72] Israel berhasil menerobos pertahanan Mesir dengan serangan yang diujungtombaki barisan tank. Meskipun demikian, pasukan Kolonel Menachem Aviram keliru memperhitungkan kekuatan pasukan sayap Mesir sehingga digempur habis-habisan di antara pangkalan-pangkalan pertahanan sebelum akhirnya dapat diselamatkan beberapa jam kemudian. Tepat ketika hari mulai gelap, Israel menuntaskan aksi penghancuran pertahanan Mesir. Pasukan Israel menanggung kerugian yang cukup besar, sampai-sampai Kolonel Shmuel Gonen mengungkapkan kepada para peliput berita bahwa "kami meninggalkan banyak jenazah serdadu kami yang gugur di Rafah, juga banyak tank yang hangus terbakar." Mesir kehilangan 2.000 personel dan 40 unit tank.[72] Pergerakan menuju El ArisDengan terbukanya jalan, pasukan-pasukan Israel melanjutkan pergerakannya menuju kota El Aris pada tanggal 5 Juni. Saat larut senja, unsur-unsur Batalion Kendaraan Tempur Ke-79 telah berhasil mengamankan Ngarai Jiradi, laluan sempit sepanjang tujuh mil yang dijaga ketat oleh pasukan-pasukan Mesir dari Brigade Infanteri Ke-112. Pertempuran berlangsung sengit dan kedua belah pihak berganti-gantian menguasai medan sebelum akhirnya dapat diamankan oleh Israel. Mesir kehilangan banyak personel dan tank, sementara Israel harus menanggung kerugian sebanyak 66 korban jiwa, 93 korban luka-luka, dan 28 unit tank. Pasukan Israel keluar dari ujung barat ngarai, dan bergerak menuju pinggiran kota El Aris.[73] Begitu sampai di pinggiran kota El Aris, divisi Mayor Jenderal Israel Tal segera memperkuat kedudukan pasukan Israel di Celah Rafah dan Khan Yunis. Esok harinya, tanggal 6 Juni, pasukan Israel di pinggiran kota El Aris diperkuat dengan tambahan personel dari Brigade Ke-7, yang telah berhasil menembus pertahanan Mesir di Celah Jiradi. Setelah menerima perlengkapan yang diterjunkan dari pesawat terbang, Israel memasuki kota El Aris pada pukul 8 pagi setelah lebih dahulu mengamankan bandar udaranya pada pukul 7 lebih 50 menit. Menurut ingatan para anggota kompi yang dipimpin Yossi Peled, "El Aris kala itu sunyi, terpencil. Kota itu mendadak berubah menjadi rumah gila. Kami dihujani tembakan dari tiap lorong, tiap sudut, tiap jendela dam rumah." Sebuah catatan API menyebutkan bahwa "upaya pengamanan kota itu merupakan pertempuran sengit. Mesir menghujankan tembakan dari sotoh-sotoh, dari balkon-balkon dan jendela-jendela. Mereka menjatuhkan granat ke dalam kendaraan-kendaraan separuh-roda-rantai kita dan merintangi jalan-jalan dengan truk. Orang-orang kita melempar balik granat-granat itu dan melindas truk-truk dengan tank-tank mereka."[74][75] Kolonel Shmuel Gonen mengerahkan kesatuan-kesatuan tambahan ke El Aris, dan kota itu akhirnya dapat direbut. Brigadir-Jenderal Avraham Yoffe diserahi tugas menerobos masuk ke Sinai di sebelah selatan dari pasukan Israel Tal dan di sebelah utara dari pasukan Ariel Sharon. Serangan pasukan Avraham Yoffe memungkinkan pasukan Israel Tal menguasai sepenuhnya Ngarai Jiradi, yakni dengan menguasai kota Khan Yunis. Seluruh pasukan ditarik mundur seusai pertempuran sengit. Gonen selanjutnya mengerahkan sepasukan tank, infanteri, dan mekanik di bawah pimpinan Kolonel Yisrael Granit untuk meneruskan pergerakan menyusuri pesisir Laut Tengah menuju Terusan Suez, sementara pasukan kedua yang dipimpin langsung oleh Shmuel Gonen berbalik ke selatan dan merebut Bir Lahfan serta Jabal Libni. Divisi Tengah-Depan Israel (Abu Ageila)Lebih jauh ke selatan, pada tanggal 6 Juni, Divisi Kendaran Tempur Ke-38 Israel di bawah pimpinan Mayor Jenderal Ariel Sharon menyerbu Um Katef, daerah berpertahanan kuat yang dijaga Divisi Infanteri Ke-2 Mesir di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sa'adi Nagib, yang berkekuatan sekitar 16.000 orang serdadu. Mesir juga memiliki satu batalion penghancur tank dan satu resimen tank, yang terdiri atas kendaraan-kendaraan tempur Perang Dunia II buatan Soviet, yang meliputi 90 unit T-34-85, 22 unit penghancur tank SU-100, dan sekitar 16.000 orang serdadu. Israel memiliki sekitar 14.000 orang serdadu dan 150 unit tank pasca-Perang Dunia II yang meliputi tank AMX-13, tank Centurion, dan tank M50 Super Sherman (tank M-4 Sherman yang sudah dimodifikasi). Tepi BaratYordania enggan melibatkan diri dalam perang ini. Presiden Nasser menggunakan ketidakjelasan pada jam pertama konflik tersebut untuk meyakinkan Hussein bahwa ia menang. Nasser menyatakan sebagai bukti adanya sebuah penampakan radar 1 skuadron pesawat tempur Israel kembali dari bombardmen di Mesir yang dinyatakan oleh Nasser sebagai pesawat Mesir yang menyerang Israel. Salah satu brigade Yordania yang berpatroli di Tepi Barat dikirim ke daerah Hebron untuk berhubungan dengan Mesir. Hussein memilih untuk menyerang. Pada perang itu, militer Yordania, termasuk 11 brigade yang berjumlah 55.000 pasukan, dilengkapi dengan 300 tank modern. 9 brigade (45.000 tentara, 270 tank, 200 artileri) didistribusikan ke Tepi Barat, termasuk brigadir elit lapis baja ke-40, dan 2 di Lembah Yordania. Pasukan Arab merupakan pasukan yang berpengalaman, profesional, memiliki persenjataan yang cukup dan sudah cukup terlatih, bahkan pos perang Israel menyatakan bahwa jendral Yordania beraksi dengan profesional, tetapi selalu meninggalkan "setengah dari langkah" di belakang oleh pergerakan Israel. Pada Angkatan Udara Yordania hanya terdapat 24 pesawat tempur Hawker Hunter buatan Britania Raya. Menurut Israel, pesawat Hawker Hunter setara dengan Dassault Mirage III buatan Prancis yang merupakan pesawat terbaik Angkatan Udara Israel.[76] Untuk melawan pasukan Yordania di Tepi Barat, Israel mendistribusikan sekitar 40.000 pasukan dan 200 tank (8 brigade).[77] Pada pasukan utama Israel terdapat 5 brigadir. 2 brigadir berpatroli di Yerusalem dan disebut Brigadir Yerusalem dan Brigadir Harel yang dimekanisasikan. Brigadir pasukan payung ke-55 Mordechai Gur dipanggil dari front Sinai. Sebuah brigadir lapis baja dialokasikan dari pasukan cadangan dan dibawa ke daerah Latrun. Brigadir lapis baja ke-10 berpatroli di utara Tepi Barat. Komando utara Israel menyediakan sebuah divisi 3 brigadir) yang dipimpin oleh mayor jendral Elad Peled, yang berpatroli di utara Tepi Barat, di Lembah Jezreel. Rencana Angkatan Bersenjata Israel adalah tetap bertahan di front Yordania, agar dapat mengutamakan serangan atas Mesir. Namun, pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, pasukan Yordania melakukan daya tolak di daerah Yerusalem, menduduki rumah pemerintahan yang digunakan sebagai benteng untuk pengamat PBB dan menembak bagian barat kota Yerusalem. Pasukan di Qalqiliya menembak ke arah kota Tel Aviv. Angkatan Udara Yordania menyerang bandara Israel. Baik serangan udara maupun artileri menyebabkan kerusakan kecil. Pasukan Israel berpencar untuk menyerang pasukan Yordania di Tepi Barat. Pada siang hari pada hari yang sama, Angkatan Udara Israel beraksi dan menghancurkan Angkatan Udara Yordania. Pada sore hari, brigade infantri Yerusalem bergerak ke arah selatan Yerusalem, sementara pasukan payung Harel dan Gur melingkari dari utara. Pada tanggal 6 Juni 1967, pasukan Israel menyerang. Brigade pasukan payung cadangan menuntaskan pelingkaran Yerusalem dalam pertarungan yang berdarah, yaitu Pertempuran Bukit Amunisi, pertempuran yang terjadi di pos militer Yordania di Yerusalem Timur. Brigade infantri menyerang benteng di Latrun dan merebutnya pada akhir hari, dan maju melewati Beit Horon menuju Ramallah. Brigade Harel melanjutkan serangannya ke daerah pegunungan di barat laut Yerusalem. Pada sore hari, brigade tersebut tiba di Ramallah. Angkatan Udara Israel mendeteksi dan menghancurkan Brigade Yordania ke-60, kemudian Angkatan Udara Israel mengalihkan rute dari Yerikho untuk memperkuat Yerusalem. Di utara, 1 batalion dari divisi Peled dikirim untuk mengawasi pertahanan Yordania di Lembah Yordania. Brigade yang merupakan bagian dari divisi Peled merebut bagian barat dari Tepi Barat, dan yang lainnya merebut Jenin dan yang ketiga (dilengkapi dengan AMX-13) menyerang tank M48 Patton milik Yordania di timur. Pada tanggal 7 Juni 1967, pertarungan berat terjadi kemudian. Pasukan payung Gur memasuki kota tua Yerusalem melewati Gerbang Singa dan merebut Tembok Ratapan serta Al Haram Al Sharif. Brigade Yerusalem lalu memperkuat mereka, dan melanjutkan serangan ke selatan, merebut Yudea, Gush Etzion dan Hebron. Brigade Harel melanjutkan serangan ke timur, bergerak menuju Sungai Yordan. Pada hari yang sama, tentara Israel merebut Betlehem setelah pertempuran singkat yang mengakibatkan tewasnya 40 tentara Yordania. Di Tepi Barat, salah satu brigade Peled mengepung Nablus lalu bergabung dengan salah satu brigade pasukan utama untuk bertempur melawan pasukan Yordania yang memiliki jumlah persenjataan lebih banyak dari Israel. Kekuasaan udara Israel menjadi faktor kekalahan Yordania. Salah satu brigade Peled bergabung dengan pasukan utama yang datang dari Ramallah, dan 2 lainnya mengeblok Sungai Yordan bersama dengan Pasukan Utama ke-10 (nantinya mereka menyebrangi Sungai Yordan ke Tepi Timur untuk menyediakan tempat untuk insinyur militer ketika mereka meledakkan jembatan, tetapi akhirnya dengan cepat mundur karena tekanan dari Amerika Serikat). Dataran Tinggi GolanLaporan dari Mesir yang salah tentang kemenangan mereka atas pasukan Israel, dan ramalan bahwa artileri Mesir akan segera menguasai Tel Aviv membuat Suriah semakin yakin untuk memasuki perang.[70] Pada tanggal 5 Juni 1967 artileri Suriah mulai membombardir Israel Utara dan dua belas pesawat tempur Suriah menyerang pemukiman Israel di Galilea. Ketika Angkatan Udara Israel menyelesaikan misinya di Mesir, dan berbalik untuk menghancurkan Angkatan Udara Suriah yang terkejut, Suriah menyadari bahwa berita yang didengar dari Mesir tentang penghancuran atas militer Israel adalah berita palsu.[78] Selama sore hari itu serangan udara Israel menghancurkan dua dari pesawat Angkatan Udara Suriah, dan memaksa pesawat lainnya untuk mundur ke basis terdekat, tanpa memainkan peran lebih jauh dalam peperangan. Pasukan Suriah mencoba merebut pabrik air di Tel Dan. Beberapa tank Suriah juga dilaporkan tenggelam di sungai Yordan.[78] Dalam berbagai kasus, komando Suriah berharap adanya serangan bawah tanah dan memulai serangan besar-besaran atas kota Israel di Lembah Hula. Tanggal 7 Juni dan 8 Juni 1967 terlewati dengan peristiwa ini. Pada saat itu, debat telah terjadi di Israel bahwa Dataran Tinggi Golan juga harus diserang. Militer menyatakan bahwa serangan itu akan sangat mahal, karena pertempuran itu merupakan pertempuran di daerah pegunungan melawan musuh yang kuat. Pada sisi barat Dataran Tinggi Golan, terdapat lereng bebatuan yang tingginya mencapai 500 meter (1700 kaki) dari Danau Galilea dan Sungai Yordan. Moshe Dayan percaya bahwa operasi itu akan membuat sekitar 30.000 orang mati. Levi Eshkol, di sisi lain, lebih terbuka kepada kemungkinan pada sebuah operasi terhadap Dataran Tinggi Golan, dan juga ketua dari Komando Utara, David Elazar, yang sangat yakin bahwa operasi ini dapat mengikis keengganan Dayan. Akhirnya, ketika situasi di front selatan (Mesir) dan tengah (Yordania) bersih, Moshe Dayan menjadi lebih yakin dengan ide ini, dan ia memimpin operasi ini. Pasukan Suriah berjumlah sekitar 75.000 orang yang dikelompokkan dalam 9 brigade, didukung oleh sejumlah besar artileri dan persenjataan yang cukup. Pasukan Israel yang digunakan dalam serangan terdiri dari 2 brigade (satu brigade lapis baja dipimpin oleh Albert Mandler dan Brigade Golan) di bagian utara front, dan 2 lainnya (infantri dan 1 dari brigadir Peled yang dipanggil untuk Jenin) di front pusat. Walaupun tentara Suriah dapat bergerak dari utara ke selatan di dataran tinggi tersebut, tentara Israel dapat bergerak dari utara ke selatan di basis tebing Golan. Keunggulan yang didapat oleh Israel adalah intelijen yang baik yang dapat mengumpulkan data oleh mata-mata Mossad, Eli Cohen (yang akhirnya tertangkap dan dieksekusi di Suriah tahun 1965) mendapat informasi tentang posisi pertempuran Suriah. Angkatan Udara Israel yang telah menyerang artileri Suriah selama 4 hari, mendapat perintah untuk menyerang posisi Suriah dengan seluruh pasukannya. Ketika artileri yang dilindungi dengan baik hampir tidak terdapat kerusakan, pasukan darat tetap berada di Dataran Tinggi Golan (6 dari 9 brigade) menjadi tidak dapat mengatur pertahanan. Pada sore hari tanggal 9 Juni 1967, 4 brigade Israel telah menembus Dataran Tinggi Golan, di mana mereka dapat diperkuat dan diganti. Pada tanggal 10 Juni 1967, grup tengah dan utara bergabung dalam pergerakan di dataran tinggi, tetapi daerah tersebut direbut dalam keadaan kosong karena pasukan Suriah telah melarikan diri. Beberapa pasukan gabungan yang dipimpin oleh Elad Peled memanjat Golan dari selatan, dan mendapatkan posisi itu sudah kosong. Selama hari itu, pasukan Israel berhenti setelah menerima manuver di antara posisi mereka di mana terdapat garis dari lereng gunung berapi ke barat. Di bagian timur, relief dataran rendah adalah relief padang rumput yang terbuka. Posisi ini menjadi garis gencatan senjata yang diketahui dengan nama "Garis Ungu". Akhir konflik dan keadaan pasca-perangWilayah yang direbut IsraelTanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara. Korban jiwaKorban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit: 338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan pertempuran Yordania[79] dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir kehilangan 80% peralatan militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh,[80] 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap,[81] dan 20.000 korban luka.[82] Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500 terluka.[83] Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dihancurkan.[84] Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal dan sekitar 30 terluka.[85] Perubahan religiusAkhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah dinodai.[86][87] Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan, meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana.[88] Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.[89][90] Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter.[91] Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok warga Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah mencapai Pintu Gerbang Selsela.[91] Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di kompleks Masjid Al-Aqsa.[92] Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-Aqsa.[93][94] Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu. Perubahan politikPengaruh Perang Enam Hari tahun 1967 dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat mengubah keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari berbagai kemungkinan taktikal, tetapi mungkin bukan yang strategik. Mereka kemudian melancarkan serangan pada tahun 1973, dalam satu percobaan untuk menguasai kembali wilayah yang telah direbut Israel. Menurut Chaim Herzog:
Keputusan Israel akan disampaikan kepada negara-negara Arab melalui Amerika Serikat. Namun, walaupun Amerika Serikat diberitahu tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak pernah menerima tawaran itu.[96] Resolusi Khartoum membuat ketetapan bahwa "tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan Israel". Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela, resolusi Khartoum menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22 November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242.[97] Keputusan kabinet pada tanggal 19 Juni 1967 tidak termasuk Jalur Gaza dan oleh sebab itu, mengakibatkan kemungkinan Israel untuk memperoleh sebagian Tepi Barat secara permanen. Pada tanggal 25 - 27 Juni 1967, Israel menggabungkan Yerusalem Timur bersama kawasan-kawasan Tepi Barat di utara dan selatan kedalam kawasan Israel yang baru. Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang menghuni di wilayah-wilayah yang direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta orang Palestina di Tepi Barat, 300.000 [98] melarikan diri ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang lain [99] tetap tinggal di Tepi Barat. Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan diri.[100] Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang menerima hak kediaman Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980. Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir pada tahun 1978, dan persoalan Dataran Tinggi Golan masih dirundingkan dengan Suriah). Selepas penaklukan "wilayah-wilayah" baru ini oleh Israel, sebuah usaha penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah permanen Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di wilayah-wilayah tersebut pada hari ini, walaupun penempatan-penempatan Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan Agustus tahun 2005. KontroversiPeristiwa-peristiwa pada saat Perang Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan serta teori-teori yang penuh dengan kontroversi. Angkatan Bersenjata Israel membunuh tawanan perang MesirDalam sebuah pertemuan untuk Radio Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki yang dahulu bertugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia. Namun, Yitzhaki kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai politik sayap kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa'il, seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah memperkerjakan Yitzhaki sebagai asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung untuk mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang keikutsertaan Yitzhaki dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat perang tahun 1956. Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa perdebatan negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer Israel, Uri Milstein, dilaporkan berkata bahwa banyak kejadian yang serupa telah dilakukan dalam peperangan itu: "Itu bukan dasar resmi, tetapi terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel memutuskan untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi setiap orang tahu akan perkara itu". Dokumen Angkatan Bersenjata Israel pada tanggal 11 Juni 1967 menunjukan adanya larangan untuk membunuh tawanan, dan menjelaskan kedudukan resmi Israel. Namun, tidak terdapat dokumen resmi Israel yang membenarkan skala pembunuhan untuk ditaksirkan dengan tepat. Menurut laporan New York Times pada tanggal 21 September 1995, Mesir telah mengumumkan penemuan dua kuburan yang berisi banyak orang dan tidak dalam di El Arish, Sinai, di mana terdapat jasad 30-60 tawanan Mesir yang ditembak oleh tentara Israel selama perang enam hari. Israel dilaporkan menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban. Menurut arsip resmi Israel, sebanyak 4.338 tentara Mesir telah ditangkap oleh Angkatan Bersenjata Israel. 11 tentara Israel telah ditangkap oleh tentara Mesir. Pertukaran tawanan selesai pada tanggal 23 Januari 1968. Dukungan Amerika Serikat dan Britania RayaSebagian orang Arab percaya bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan dukungan Amerika Serikat dan Britania Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akhbar kerajaan Al-Ahram menyatakan beberapa tuduhan, di antaranya:
Suriah dan Yordania membuat laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan Radio Amman. Tuduhan ini disebutkan lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam pidatonya saat meletakkan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan jabatannya ditolak). London dan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan tidak terdapat bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Dalam lingkungan pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan cepat dikenali sebagai "kebohongan besar". Walaupun begitu, tuduhan bahwa orang-orang Arab sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya, dan bukan hanya dengan Israel, terus dipercaya di dunia Arab. Menurut Elie Podeh, ahli sejarah Israel: "Semua buku teks sejarah Mesir setelah tahun 1967 mengulangi tuduhan bahwa Israel melancarkan peperangan itu dengan dukungan dari Britania Raya dan Amerika Serikat. Ini juga mengkaitkan langsung perang 1967 dengan upaya-upaya imperialis sebelumnya untuk menguasai dunia Arab, dan menggambarkan Israel sebagai suatu "kacung" imperialis. Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku teks sejarah ditujukan supaya semua kanak-kanak sekolah Mesir telah diindoktrinasikan dengan cerita itu." Sebuah telegram Britania ke kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: "Keengganan Arab untuk menolak semua versi palsu itu sebagian berasal dari kebutuhan untuk mempercayai bahwa tentara Israel tidak dapat mengalahkan mereka begitu saja tanpa bantuan luar." [101] Ahli-ahli sejarah seperti Michael Oren memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah terhadap Amerika Serikat dan Britania Raya karena membantu Israel secara langsung.[102] Sebagai tindak balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan boikot minyak. 6 negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Lebanon menarik kedutaan besarnya.[103] Pemimpin-pemimpin Arab sedang mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk diri sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing terhadap Israel itu tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut dan dengan itu, menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyatakan bahwa keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat di Laut Tengah bagian Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan krisis antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang menjalani latihan tentera laut berhampiran dengan Gibraltar ketika itu. McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi. Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-kapal dan pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat dari tanah Britania Raya. Desakan Uni SovietTerdapat teori-teori bahwa seluruh perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak semestinya oleh Uni Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Barat dengan negara-negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel. Dalam sebuah artikel tahun 2003, Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang memuat rencana tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan kepada Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel besar-besaran.[20] Insiden USS LibertyPada tanggal 8 Juni 1967, terjadi sebuah serangan pesawat tempur dan kapal torpedo Israel terhadap kapal intelijen Amerika Serikat USS Liberty sekitar 12.5 mil laut (23 km) lepas pantai Semenanjung Sinai, di utara kota Mesir El Arish. Serangan ini menewaskan 34 tentara Amerika Serikat dan melukai setidaknya 173 orang di mana serangan ini adalah serangan yang paling mematikan kedua terhadap kapal perang Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, terbesar kedua setelah serangan rudal Exocet Irak terhadap kapal USS Stark pada tanggal 17 Mei 1987, dan menimbulkan korban jiwa terbesar dalam sejarah komunitas intelijen AS. Israel menyatakan bahwa terjadi kesalahan identifikasi dan Israel meminta maaf dengan membayar ganti rugi terhadap keluarga korban. Kebenaran tentang klaim Israel masih diperdebatkan, tetapi Amerika Serikat menerima bahwa insiden ini adalah sebuah kecelakaan. Tokoh penting yang terlibat
Lihat pula
Referensi
Pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Perang Arab-Israel 1967.
|