Perang Kolonial Portugal
Perang Kolonial Portugis (bahasa Portugis: Guerra Colonial Portuguesa), juga dikenal di Portugal dengan nama Perang Seberang Laut (Guerra do Ultramar) atau di bekas koloni Portugal dengan nama Perang Pembebasan (Guerra de Libertação), terjadi antara Militer Portugal dan gerakan-gerakan nasionalis di Koloni-koloni Portugal di Afrika antara tahun 1961 hingga 1974. Rezim Portugis digulingkan oleh kudeta militer pada tahun 1974, dan perubahan dalam pemerintahan mengakhiri konflik ini. Perang ini adalah suatu pertarungan ideologi yang mengubah jalannya sejarah di Afrika Lusofon, negara-negara sekitarnya, dan daratan Portugal. Pendekatan historis Portugis internasional menganggap Perang Kolonial Portugis sebagai suatu konflik tunggal yang terjadi di tiga tempat terpisah (Angola, Guinea Portugis, dan Mozambik). Namun, beberapa pendekatan lain mempertimbangkan adanya tiga konflik yang berbeda, yaitu Perang Kemerdekaan Angola, Perang Kemerdekaan Guinea-Bissau, dan Perang Kemerdekaan Mozambique. Kadang-kadang, konflik singkat yang menyebabkan aneksasi Goa oleh India pada tahun 1961, juga disertakan. Tidak seperti negara-negara Eropa lainnya selama tahun 1950-an dan 1960-an, Rezim Portugis Estado Novo tidak menarik diri dari koloni-koloni Afrika atau provinsi seberang laut (províncias ultramarinas) sebagaimana wilayah-wilayah itu telah secara resmi disebut sejak tahun 1951. Selama tahun 1960-an, berbagai gerakan kemerdekaan bersenjata menjadi aktif: Gerakan rakyat untuk Pembebasan Angola, Front Pembebasan Nasional Angola, Uni Nasional untuk Kemerdekaan penuh dari Angola di Angola, Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Tanjung Verde dalam bahasa portugis Guinea, dan Front Pembebasan Mozambik. Selama konflik ini, kekejaman dilakukan oleh semua pasukan yang terlibat.[3] Selama berlangsungnya perang ini, Portugal menghadapi meningkatnya perlawanan, embargo senjata dan sanksi hukuman yang dikenakan oleh masyarakat internasional. Pada tahun 1973, perang telah menjadi semakin tidak populer karena berlangsung terlalu lama dan menelan terlalu banyak biaya, serta memperburuk hubungan diplomatik dengan negara anggota Perserikatan bangsa-Bangsa. Referensi
|