Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Nama Indonesia

Orang Indonesia memberikan nama Indonesia kepada anak-anak mereka dengan berbagai cara. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan beragam budaya dan bahasa daerah, Indonesia tidak memiliki satu aturan tertentu dalam pemberian nama. Tidak semua suku memiliki nama marga yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Beberapa suku lain tidak mengenal konsep nama keluarga.

Konsep nama keluarga tidak dikenal dalam beberapa budaya Indonesia, misalnya budaya Jawa. Karena itu, sebelum dibuat regulasi pada tahun 2022 (lihat di bawah), banyak orang yang sampai saat ini hanya memiliki satu nama, yaitu nama pemberian. Apabila mereka kemudian pergi atau menetap di negara-negara yang mengharuskan setiap penduduknya untuk memiliki minimal dua nama (nama pemberian dan nama keluarga), kesulitan dapat terjadi. Penyelesaian yang biasanya diambil adalah mengulang nama tersebut dua kali.

Beberapa budaya lain memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Dalam budaya Batak dan Minahasa misalnya, nama marga ayah diwariskan kepada anak-anaknya (patrilineal) secara turun-temurun. Dalam budaya Minangkabau, marga diwariskan dari ibu kepada anak-anaknya (matrilineal) dan pria yang sudah menikah akan diberikan gelar di belakang namanya, sedangkan untuk wanita pada umumnya tidak bergelar. Orang Arab–Indonesia juga memberikan nama keluarga di belakang namanya, misalnya Hambali, Shihab, Assegaf, dan sebagainya.

Kemudian, orang Jawa, Bali, dan beberapa orang Madura, serta Sunda juga sering menggunakan nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Sejak kebijakan pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru, orang-orang Tionghoa–Indonesia dilarang menggunakan nama Tionghoa dalam administrasi negara. Sehingga, mayoritas dari mereka memilki nama Indonesia di samping nama Tionghoa. Dalam nama Indonesianya, orang Tionghoa–Indonesia sering menyelipkan nama marga dan keluarganya, misalnya Sudono Salim (marga: Liem), dan Anggodo Widjojo (marga: Ang).

Regulasi

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama Pada Dokumen Kependudukan mengatur penamaan di Indonesia. Dokumen tersebut mengharuskan nama ditulis dengan aksara Latin dan memiliki paling sedikit dua kata dan tidak lebih dari 60 karakter, termasuk spasi. Nama yang sulit dibaca, bermakna negatif, multitafsir, disingkat, menggunakan angka dan tanda baca, dan yang tercantum gelar pendidikan dan keagamaan juga dilarang.[1]

Sebelum aturan tersebut dibuat, memang belum ada peraturan mengenai pemberian nama di Indonesia,[2] sehingga, kadang bermunculan nama-nama yang aneh. Setidaknya, ada enam orang yang memiliki nama yang hanya berupa satu karakter, termasuk "." and "N".[3] Selain itu, "Rangga Madhipa Sutra Jiwa Cordosega Akre Askhala Mughal Ilkhanat Akbar Suhara Pi-Thariq Ziyad Syaifudin Quthuz Khoshala Sura Talenta", yang terdiri atas 132 karakter termasuk spasi, pernah menjadi nama terpanjang di Indonesia.[4]

Nama panggilan

Masyarakat Indonesia memanggil satu sama lain dengan menggunakan panggilan kehormatan (menurut usia). Hingga saat ini, memanggil orang dengan nama depannya langsung dianggap hanya pantas dilakukan untuk memanggil orang sebaya atau yang lebih muda. Jika tidak diketahui usia lawan bicaranya, maka biasanya digunakan panggilan kehormatan untuk berjaga-jaga. Memanggil orang dengan nama belakangnya juga mulai digunakan dengan menirukan tata cara orang Eropa dan Amerika.

Untuk wanita yang jauh lebih tua, panggilan yang biasanya dipergunakan adalah Bu, Ibu, Bi, Bibi, Tante, A-i, Kak, Kakak, dan lain-lain. Untuk wanita yang sedikit lebih tua, panggilan yang umum dipergunakan adalah Kak, Tèh atau Tètèh (Sunda), Mbak (Jawa), Uni (Minang), Cik (Melayu), Saudari, dan lain-lain.

Untuk pria yang jauh lebih tua, panggilan yang biasanya dipergunakan adalah Pak, Bapak, Paman, Om, Suk, dan lain-lain. Untuk pria yang sedikit lebih tua, panggilan yang umum dipergunakan adalah Kang, Akang, Aa (Sunda), Tuan, Uda (Minang), Mas (Jawa), Bang, Bung, Kak, Saudara, dan lain-lain.

Untuk memanggil orang yang jauh lebih muda, biasanya yang digunakan adalah nama depan mereka atau nama panggilan kekeluargaan mereka. Jika nama mereka tidak diketahui, panggilan yang biasanya dipergunakan adalah Dik, Adik, Saudara/Saudari; Aa, Tètèh (Sunda).

Untuk kata ganti orang ketiga, digunakan istilah "dia", dan untuk menunjukkan rasa sopan atau hormat kepada yang lebih tua, dapat menggunakan sebutan "beliau".

Pembentukan nama

Banyak orang Indonesia memiliki tata cara penamaan yang unik, tidak seperti nama-nama Eropa yang umumnya menggunakan komposisi [nama depan]-[nama tengah]-[nama keluarga]. Nama-nama yang diberikan orang tua kepada anak-anak mereka bervariasi, tergantung dari asal pulau, suku, kebudayaan, bahasa, dan pendidikan orang tua mereka. Masing-masing suku bangsa di Indonesia biasanya memiliki cara penamaan yang spesifik dan mudah dikenali, misalnya nama-nama yang berawalan Su- atau Soe- yang hampir selalu menunjukkan sang penyandang nama berasal dari keluarga Jawa/lahir di Jawa (nama Jawa). Beberapa suku bangsa lain juga mempraktikkan pemberian nama keluarga ala negara-negara Eropa, contohnya adalah marga Batak.

Keluarga yang menetap di kota-kota besar atau telah mendapatkan pendidikan yang berbeda dari orang tua mereka, tidak jarang mengadopsi cara penamaan [nama depan]-[nama keluarga] yang menyebabkan banyaknya nama-nama keluarga baru yang bermunculan.

Secara umum, ada empat cara penamaan yang biasanya digunakan di Indonesia. Contoh nama yang akan digunakan adalah nama keenam presiden Indonesia yang kebetulan mewakili setiap kategori.

Sistem penamaan

Hingga akhir abad ke-20, kebanyakan orang Indonesia tidak memiliki nama keluarga. Biasanya anak-anak mewarisi nama ayah mereka (atau ibu mereka di kebudayaan Minangkabau). Sebagian wanita yang telah menikah mengadopsi nama suami mereka, namun tidak jarang ada yang tetap menggunakan nama belakang mereka, atau tidak mengadopsi nama suami mereka sama sekali. Maka dari itu, sering kali suami-istri memiliki nama belakang yang berlainan.

Nama keluarga memiliki banyak variasi. Masyarakat Sumatera Utara memiliki nama marga mereka sendiri-sendiri. Sebagian masyarakat Jawa hanya memiliki nama tunggal (kadang-kadang diikuti nama ayah mereka — patronimik), orang Tionghoa–Indonesia memiliki nama Tionghoa. Karena itu, sistem pengurutan nama yang digunakan di Indonesia (seperti pada buku telepon) hampir semuanya diurutkan sesuai dengan nama depan, dan orang Indonesia terbiasa menggunakan/mementingkan nama depan seseorang daripada nama belakang mereka — berbanding terbalik dengan negara-negara Eropa–Amerika yang mementingkan nama belakang seseorang dan mengurutkan nama sesuai nama belakang mereka.

Nama tunggal

Contoh:

  • Nama anak Soeharto
  • Nama ayah Kertosudiro
  • Nama ibu Sukirah

Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Soeharto anak Kertosudiro dan Sukirah. Anak yang lahir tanpa ayah hanya akan tertulis nama ibunya: Soeharto anak Sukirah. Pada rapor sekolah, namanya akan tertulis: Soekarno anak Soekemi. Pada dokumen resmi lainnya, hanya namanya yang ditulis: Soekarno.

Nama keluarga Tionghoa

Contoh:

  • Nama anak Kwik Kian Gie
  • Nama ayah Kwik Hway Gwan
  • Nama ibu The Kwie Kie

Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Kian Gie anak dari Kwik, Hway Gwan dan The, Kwie Kie; atau dapat juga semua nama ditulis lengkap: Kwik, Kian Gie anak dari Kwik, Hway Gwan dan The, Kwie Kie (antara nama kecil dan nama keluarga dipisah tanda koma). Kedua cara di atas benar, sehingga anak tersebut bernama lengkap Kwik Kian Gie.

Anak yang lahir tanpa ayah hanya akan mendapat nama keluarga ibunya. Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Kian Gie anak dari The, Kwie Kie; sehingga anak tersebut bernama lengkap The Kian Gie.

Nama jamak tanpa nama keluarga

Contoh:

  • Nama anak Siti Hartinah
  • Nama ayah Soemohardjo
  • Nama ibu Hatmanti

Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Siti Hartinah anak Soemohardjo dan Hatmanti. Pada dokumen resmi lainnya, hanya namanya yang ditulis: Siti Hartinah.

Nama jamak dengan nama keluarga sebagai nama belakang

Contoh:

  • Nama anak Bacharuddin Jusuf Habibie
  • Nama ayah Alwi Abdul Jalil Habibie
  • Nama ibu Tuti Marini Puspowardojo

Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Bacharuddin Jusuf Habibie anak Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo. Pada dokumen resmi lainnya, hanya namanya yang ditulis: Bacharuddin Jusuf Habibie.

Nama jamak menggunakan sistem patronimik ala Eropa

Contoh:

  • Nama anak Megawati Soekarnoputri
  • Nama ayah Soekarno
  • Nama ibu Fatmawati

Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Megawati Soekarnoputri anak Soekarno dan Fatmawati. Pada dokumen resmi lainnya, hanya namanya yang ditulis: Megawati Soekarnoputri.

Nama jamak menggunakan sistem patronimik ala Timur Tengah

Contoh:

  • Nama anak Abdurrahman Wahid
  • Nama ayah Wahid Hasyim
  • Nama ibu Sholehah

Pada akta kelahirannya, nama sang anak akan tertulis: Abdurrahman Wahid anak Wahid Hasyim dan Sholehah. Pada dokumen resmi lainnya, hanya namanya yang ditulis: Abdurrahman Wahid.

Pengubahan nama

Di negara-negara yang menerapkan sistem [nama depan]-[nama belakang] dalam basis data mereka, kerap kali orang Indonesia yang bernama tunggal harus mengganti nama mereka (selama mereka berada di negeri tersebut) agar sesuai dengan sistem yang berlaku. Untuk orang Indonesia yang hanya memiliki nama tunggal, beberapa negara menambahkan kata "Tidak diketahui" sebagai nama depan atau nama belakang mereka, atau mengulangi nama tersebut dua kali.

Australia dan Selandia Baru

Biasanya nama terakhir seseorang otomatis dijadikan nama keluarga (Surname). Sistem seperti ini tentu saja tidak selalu tepat untuk orang warga negara Indonesia. Contoh: Indrawati dan Gie bukanlah nama keluarga dari Sri Mulyani Indrawati dan Kwik Kian Gie.

Belanda

Untuk Warga Negara Indonesia secara umum dicatat di dalam daftar penduduk (Gemeentelijke Basisadministratie) sebagai nama depan (voornaam) karena pada paspor WNI nama pemegang paspor hanya terdapat kolom nama lengkap (tidak ada kolom tersendiri untuk nama keluarga dan nama depan). Tetapi karena entri data tidak dapat disimpan tanpa mengisi nama keluarga, maka seluruh nama WNI disimpan ke dalam entri nama keluarga, entri nama depan dibiarkan kosong. Untuk WNI yang memang benar mempunyai nama keluarga (seperti suku Batak dan suku Tionghoa), dapat memohon surat keterangan dari KBRI yang menjelaskan mana nama depan (voornaam) dan nama keluarga (achternaam) dari nama lengkap seseorang. Setelah itu kita dapat memperbaharui data nama yang tersimpan di dalam daftar penduduk. Dalam dokumen-dokumen resmi, yang bersangkutan akan disebut dengan inisial nama depan diikuti dengan nama keluarganya.

Menggunakan contoh di atas, maka orang-orang tersebut akan diberi nama:

  1. XXX Soeharto
  2. XXX Susilo Bambang Yudhoyono
  3. XXX Edhie Baskoro Yudhoyono
  4. XXX Megawati Soekarnoputri
  5. XXX Abdurrahman Wahid
  6. XXX Sri Mulyani Indrawati
  7. Kian Gie Kwik atau K.G. Kwik
  8. Mari Elka Pangestu atau M.E. Pangestu (nama keluarga Pangestu mengganti nama keluarga Pang)
  9. Abdul Haris Nasution atau A.H. Nasution
  10. Johannes Leimena atau J. Leimena

Jerman

KBRI & KJRI di Jerman akan menggarisbawahi nama keluarga, jika memang ada, pada paspor yang mereka terbitkan. Pada saat mendaftarkan diri (menetap atau kelahiran) di kantor catatan sipil setempat (Standesamt) jelas mana yang merupakan nama depan (Vorname) dan mana yang merupakan nama keluarga (Name). Jika WNI yang bersangkutan tidak memiliki nama keluarga, seluruh nama akan di simpan dalam kolom nama keluarga (Name), kolom nama depan (Vornamen) dibiarkan kosong. Situasi yang terjadi sama seperti pendaftaran WNI di Belanda. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa negara di Eropa (Austria, Belanda, Belgia, Jerman, Italia, Luksemburg, Yunani, Spanyol & Portugal) terikat dalam Traktat Munich 5 September 1980, tentang pencatatan nama depan dan nama keluarga. Dalam traktat tersebut tertulis bahwa pencatatan nama warga negara asing harus sesuai dengan peraturan yang berlaku pada masing-masing warga negaranya. Jadi bukti hitam di atas putih diperlukan bagi WNI yang mempunyai nama keluarga untuk mencatatkan nama depan dan nama keluarga secara terpisah.

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat ada tiga metode untuk mengubah nama tunggal:

  1. Membubuhi singkatan FNU (atau Fnu – singkatan dari First Name Unknown – "Nama Depan Tidak Diketahui") dan menggunakan nama aslinya sebagai nama belakang; hal ini membuat beberapa orang menyangka bahwa nama Fnu adalah nama yang umum digunakan di Indonesia.
  2. Membubuhi singkatan LNU (atau Lnu – singkatan dari Last Name Unknown – "Nama Belakang Tidak Diketahui") dan menggunakan nama aslinya sebagai nama depan; hal ini sebaliknya membuat beberapa orang menyangka bahwa Lnu adalah nama keluarga yang umum di Indonesia.
  3. Sama seperti Jerman menggunakan nama yang sama dua kali, sebagai nama depan dan nama belakang.

Asal nama

Nama patronimik

Sistem penamaan yang umum digunakan di Eropa ini (lihat Nama) tidak populer di Indonesia. Sistem ini dalam bahasa Indonesia menambahkan nama sang ayah disertai akhiran -putra untuk anak lelaki, atau -putri untuk anak perempuan. Tokoh terkenal yang memopulerkan/memperkenalkan sistem ini adalah anak-anak mantan presiden Soekarno: Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Guruh Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri. Mantan presiden Indonesia, Soekarno menggunakan nama-nama dari bahasa Sanskerta untuk anak-anaknya seperti: Putra, Putri, Sukma, dll

Nama matronimik

Sistem ini hampir sama dengan patronimik namun menggunakan nama sang ibu karena menganut sistem kekerabatan matrilineal. Minangkabau adalah kelompok suku matrilineal terbesar di dunia dan adalah suku terbesar keempat di Indonesia. Kebiasaan seperti ini sangatlah unik di tengah-tengah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Nama keluarga lokal

Seorang wanita Minangkabau

Ada beberapa suku bangsa di Indonesia yang menggunakan sistem nama keluarga yang diwariskan turun-temurun.

Nama Aceh

Nama Islam memiliki keunikan tersendiri karena Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam dan hampir seluruh penduduknya beragama Islam. Kebudayaan Islam yang telah mengakar di Aceh dan bertalian dengan kebudayaan setempat memunculkan nama-nama khas Cut, Teuku, Nyak, dan lain-lain.

Nama Aceh biasanya identik dengan agama Islam, walaupun tidak berarti semua pemilik nama bernuansa Aceh beragama Islam.

Nama Arab

Nama Arab khususnya digunakan oleh masyarakat Arab-Indonesia dan penganut Islam yang lainnya. Keturunan orang Arab yang menetap di Indonesia masih menggunakan nama marga Arab mereka (contoh: Assegaf, Shihab, dll). Nama-nama depan yang bernuansa Arab cukup populer digunakan oleh orang Indonesia karena latar belakang agama Islam yang kental pada nama-nama Arab seperti Amir, Rashid, Saiful, Bahar, yang bervariasi tergantung ejaan masing-masing daerah asal mereka. Nama-nama tersebut selain dipakai sebagai nama depan juga tidak jarang digunakan sebagai nama belakang atau nama keluarga.

Nama Arab biasanya identik dengan agama Islam, walaupun tidak berarti semua pemilik nama bernuansa Arab beragama Islam.

Nama Bali

Nama Bali memiliki keunikan tersendiri karena Bali adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang hampir seluruh penduduknya beragama Hindu. Kebudayaan Hindu yang telah mengakar di Bali dan bertalian dengan kebudayaan setempat memunculkan nama-nama khas I Gede, I Made, I Ketut, I Bagus, dan lain-lain.

Nama Bali biasanya identik dengan agama Hindu, walaupun tidak berarti semua pemilik nama bernuansa Bali beragama Hindu.

Nama Buton dan Muna

Nama Buton dan Muna berkaitan erat dengan kebudayaan yang memunculkan nama-nama khas La Ode, Wa Ode, La dan Wa di wilayah bekas Kesultanan Buton dan Kerajaan Muna. Nama La Ode ditujukan kepada seorang pria, sedangkan Wa Ode ditujukan kepada seorang wanita. Dahulu La Ode dan Wa Ode ditujukan kepada kalangan bangsawan yang dalam bahasa setempat Ode berarti seseorang yang dimuliakan sedangkan masyarakat biasa menggunakan nama La untuk pria dan Wa untuk wanita. Kini La Ode dan Wa Ode telah banyak digunakan masyarakat di bekas Kesultanan Buton dan Kerajaan Muna yg merupakan keturunan dari para Sultan Buton maupun Raja Muna. Nama Muna dan buton identik dengan agama Islam (Arab) dan sebagian kecil identik dengan budaya Tionghoa dan Jawa Contohnya: La Ode Muhammad Falihi (Arab), Wa Ode Nur Sari Dewi (Arab-Jawa), La Acing (Tionghoa).

Nama Eropa

Pemeluk agama Katolik (dan juga kadang Protestan) biasanya menggunakan nama baptis bercorak Latin (contoh: Johannes, Paulus, Antonius, Anastasia), sementara pemeluk agama Protestan (dan juga kadang Katolik) biasanya memberikan nama anak mereka nama-nama dalam bahasa Inggris (contoh: George, Harry, John, Stephanie, Melinda). Kelompok yang ketiga menggunakan nama-nama, baik Latin maupun Inggris, dan mengindonesiakannya (contoh: Antoni, Heri, Joni, Stefani). Masyarakat non-Kristen Indonesia juga kadang-kadang menggunakan nama-nama asing yang tidak begitu berhubungan dengan kekristenan (contoh: Tony, Julie).

Nama Eropa biasanya identik dengan agama Kristen, walaupun tidak berarti semua pemilik nama bernuansa Eropa beragama Kristen.

Nama India dan Sanskerta

"Sri" dalam aksara Dewanagari dari bahasa Sanskerta. "Sri" merupakan kata dari bahasa Sanskerta yang berarti: kasih karunia, kemegahan, keharuman, keindahan; kekayaan, kemakmuran. Nama ini banyak ditemukan di Indonesia juga di India (Shri)

Nama-nama India dan Sanskerta telah lama hadir di Nusantara sejak ribuan tahun lalu, banyak nama orang Indonesia yang menggunakan nama-nama India atau Hindu (Sanskerta), meskipun tidak berarti bahwa mereka beragama Hindu. Ini karena pengaruh budaya India yang datang ke Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu selama Indianisasi kerajaan-kerajaan Asia Tenggara (Hindu-Buddha), dan sejak itu, budaya India ini dilihat sebagai bagian dari budaya Indonesia, terutama dalam budaya Jawa, Bali, dan beberapa bagian dari Nusantara lainya. Dengan demikian, budaya Hindu atau India yang terkait di Indonesia hadir tidak hanya sebagai bagian dari agama, tetapi juga budaya. Akibatnya, adalah umum untuk menemukan orang-orang Indonesia Muslim atau Kristen dengan nama-nama yang bernuansa India atau Sanskerta. Tidak seperti nama-nama yang berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Thai dan Khmer, pengucapan nama-nama Sanskerta dalam bahasa Jawa atau Indonesia mirip dengan pelafalan India asli, kecuali bahwa "v" diubah menjadi "w", contoh: "Vishnu" di India berubah menjadi "Wisnu" jika di Indonesia.

Nama-nama asli India yang terdapat sedikit pengaruh dari bahasa Sanskerta umumnya digunakan oleh masyarakat India-Indonesia, yaitu orang keturunan India yang menetap di Indonesia. Mereka rata-rata masih menggunakan nama marga India mereka, contohnya: Reddiyar, Reddy, Pattar, Pandhithar, Pandit, Maruthuvar, Vaithyar, Naiker, Naidu, Chettiar, Pillai, dll (untuk yang keturunan India Tamil). Untuk yang keturunan India Punjabi menggunakan nama-nama khas Punjabi seperti: Singh, Dhillon, Sandhu, dll. Nama Punjabi "Singh" berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti Singa, kata "Singa" yang mengacu kepada nama hewan dalam bahasa Indonesia juga ternyata berarti berasal dari bahasa Sanskerta; ("Singh" dibaca: singg).

Banyak nama-nama yang umum digunakan di Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta (India) dan menggunakan nama-nama dewa atau pahlawan Hindu-India seperti: Indra, Krisna, Wisnu, Surya, Dharma, Rama, Lesmana (dari "Laksamana", tokoh dalam wiracarita Ramayana), Sudarto (dari "Siddharta"), Dewi, Pertiwi, Sri (di India: "Shri/Shree"), Sinta, Ratna, Paramitha, dan Kumala. Nama-nama lain yang berasal dari bahasa Sanskerta yang digunakan secara luas di Indonesia juga banyak ditemukan, seperti: Wibisana atau Wibisono (dari tokoh Ramayana; "Vibhisana"), Arya atau Aryo, Subrata, Aditya, Abimanyu, Bima, Sena, Satya, Cakra, Putri, Putra, Mahardhika, Gatot atau Gatut (dari tokoh wiracarita Mahabharata: Gatotkaca), Perdana (di India: "Pradhan"), Prameswara atau Prameswari, Pertiwi (dari Pritvhi), Dewi (dari Devi atau Dev), Wijaya (dari Vijay), dan lain-lain. Bahkan banyak nama-nama lembaga, istilah, motto, dan semboyan di pemerintahan Indonesia menggunakan bahasa Sanskerta, seperti pangkat jenderal di Angkatan Laut Indonesia (TNI AL), menggunakan kata "Laksamana" (dari tokoh Ramayana yang merupakan adik dari Rama). "Penghargaan Adipura" yang merupakan penghargaan yang diberikan kepada kota-kota di seluruh Indonesia dari pemerintah pusat untuk kebersihan dan pengelolaan lingkungan juga menggunakan bahasa Sanskerta yaitu dari kata Adi (yang berarti "panutan") dan Pura (yang berarti "kota), menjadikan arti: "Kota Panutan" atau "kota yang layak menjadi contoh". Ada juga banyak motto lembaga-lembaga Indonesia yang menggunakan bahasa Sanskerta, seperti moto Akademi Militer Indonesia yang berbunyi "Adhitakarya Mahatvavirya Nagarabhakti", dan beberapa istilah-istilah lain dalam TNI juga menggunakan bahasa Sanskerta, contoh: "Adhi Makayasa", "Chandradimuka", "Tri Dharma Eka Karma", dll.

Nama mantan presiden Indonesia, "Susilo Bambang Yudhoyono", sebenarnya memiliki nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. "Susilo" berasal dari sushila yang berarti "karakter baik" dan "Yudhoyono" berasal dari kata yudha yang berarti "perang" atau "pertempuran" dan yana yang berarti "sebuah kisah". Nama presiden Indonesia pertama "Soekarno" berasal dari bahasa Sanskerta Su (baik) dan Karna (seorang pejuang) di Mahabharata.

Beberapa dari nama-nama yang berasal dari bahasa Sanskerta ini mungkin digunakan oleh keluarga ningrat atau "menak" (ningrat), khususnya di antara orang Jawa dan Sunda, dengan cara yang sama seperti beberapa nama keluarga dalam budaya barat menunjukkan garis keturunan dan bangsawan. Beberapa nama tersebut adalah seperti: Adiningrat, Notonegoro, Suryasumantri, Dharmokusumo, Wongsoatmodjo, Natalegawa, Kusumaatmadja, Kartadibrata, Kartapranata, dan Kartasasmita.

Banyak orang Indonesia menggunakan nama-nama Sanskerta yang diturunkan untuk menunjukkan posisi mereka di antara saudara kandung (urutan kelahiran). Anak pertama lahir mungkin memiliki nama Eka atau Eko (kebanyakan orang Jawa), anak kedua yang lahir mungkin diberi nama Dwi, Tri kelahiran ketiga, Catur kelahiran keempat, dan Panca atau Ponco kelahiran kelima (biasanya orang Jawa). Beberapa contoh adalah Eko Yuli Irawan, Rizky Dwi Ramadhana, Triyaningsih, dan Catur Pamungkas.

Selain itu di beberapa tempat, tampak sisa-sisa keturunan masyarakat India yang telah berbaur dengan masyarakat Indonesia. Nama-nama keluarga di kalangan masyarakat Batak Karo, seperti Brahmana, Pandia, Gurusinga, Pelawi, Malayala, Lingga, Sinulingga, Colia, dll yang bernuansa India, menunjukkan warisan India yang telah berbaur kedalam budaya Indonesia tersebut.

Nama Tionghoa

Nama Tionghoa khususnya digunakan oleh masyarakat Tionghoa-Indonesia. Kebanyakan di antara mereka yang menggunakan nama Indonesia memiliki dua nama, yang satu adalah nama yang tertulis di akta kelahirannya (nama Indonesia / nama Tionghoa dengan aksara Latin, biasanya digunakan ejaan suku asal mereka) dan nama Tionghoa asli mereka yang diwariskan secara turun temurun (tidak tercatat dalam dokumen resmi manapun, hanya dihafalkan oleh keluarga saja).

Seiring dengan modernisasi, banyak keluarga-keluarga Tionghoa-Indonesia muda yang mulai meninggalkan tradisi menamai anak-anak mereka dengan nama Tionghoa. Mereka yang mendapat pendidikan Barat biasanya mengadopsi tatacara penamaan Barat untuk keluarga yang mereka bangun, kecuali generasi orang tua mereka ikut campur tangan.

Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, untuk mengasimilasi etnis/suku Tionghoa-Indonesia ke dalam tatanan masyarakat setempat, maka dikeluarkanlah peraturan untuk mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama Indonesia. Hal ini menciptakan kesulitan dan kebingungan di kemudian hari dan sama sekali tidak membantu proses asimilasi karena nama yang digunakan biasanya bercorak Eropa dan nama marga Tionghoa yang diindonesiakan tetap menunjukkan jati diri kesukuan mereka. Secara umum ada dua reaksi terhadap peraturan baru tersebut: kelompok yang mengubah nama mereka (untuk alasan yang berbeda-beda), contohnya Liem Sioe Liong yang mengganti namanya menjadi Sudono Salim dan kelompok yang mempertahankan nama mereka, hanya tidak menggunakan karakter Tionghoa, namun huruf Latin (yang khas Indonesia, karena dipengaruhi cara pengejaan setempat), contohnya Liem Swie King dan Kwik Kian Gie. Sementara kelompok yang kedua hanya memiliki satu nama saja dan nama keluarganya terletak di depan, kelompok yang pertama mempertahankan kedua-dua nama mereka dan mempergunakannya silih berganti sesuai dengan keadaan. Nama keluarga kelompok yang pertama juga diletakkan di belakang, dan tidak ada konsensus resmi (dikarenakan minimnya komunikasi dan persebarannya di seluruh Indonesia) tentang transliterasi dari marga Tionghoa resmi (Liem, Tio, Kwik, dll) menjadi ejaan Indonesia (Liem menjadi Salim, Halim, Limawan, dll).

Kombinasi

Karena keragaman budaya di Indonesia, tidak jarang ditemui kombinasi nama-nama di atas seperti Ricky Hidayat (Inggris-Arab) atau Lucy Wiryono (Inggris-Jawa).

Referensi

  1. ^ Khabibi, Nur (22 Mei 2022). "Simak! Ini Aturan Baru Pemberian Nama Anak, Ada Minimal Jumlah Kata". Okezone.com. Diakses tanggal 23 Mei 2022. 
  2. ^ "Aturan Pemberian Nama Anak Sesuai Hukum dan Dukcapil". CNN Indonesia. Diakses tanggal 2024-04-22. 
  3. ^ "6 Orang di Indonesia yang Namanya Hanya 1 Karakter atau Huruf". Boombastis. 2 Februari 2016. Diakses tanggal 23 Mei 2022. 
  4. ^ Wibawanto, Pipiet (12 November 2021). "Unik! Bocah Viral dengan Nama Terpanjang di Indonesia Akhirnya Punya Akte dan KIA". SindoNews.com. Diakses tanggal 24 Mei 2022. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya