Secara konstitusional, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Jakarta telah menjadi pusat pemerintahan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 ada upaya oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk mengubah lokasi ibu kota dari Batavia ke Bandung, walaupun gagal karena Depresi Besar dan Perang Dunia II.[1] Setelah menjadi wacana selama puluhan tahun, Pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai proses pemindahan ibu kota negara ke Nusantara pada tahun 2019. Lalu terealisasikan pada hari Rabu, 14 Agustus 2024, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di Plaza Seremoni, Paser Penajam Utara,Kalimantan Timur.[2]
Jakarta diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sehingga ibu kota negara harus dipindahkan ke Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia melakukan pemindahan secara diam-diam pada tengah malam dengan menggunakan kereta api.
Soekarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan amanat pemerintahan negara dan membubarkan PDRI secara resmi pada 13 Juli 1949. Yogyakarta kemudian menjadi ibu kota Republik Indonesia, yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk pada 27 Desember 1949.
RIS dibubarkan dan Jakarta kembali menjadi ibu kota Republik Indonesia secara de facto.
01961-08-2828 Agustus 1961
Jakarta secara de jure menjadi ibu kota Indonesia dengan keluarnya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961. Status sebagai ibu kota negara tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964.
Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Pulau Kalimantan pada tanggal 26 Agustus 2019. Ibu kota baru tersebut dinamakan Nusantara. Tanggal 18 Januari 2022, merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia dengan disahkannya RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU oleh DPR RI dan Pemerintah. Dengan demikian, Indonesia akan mempunyai IKN yang baru menggantikan Jakarta.dan ditargetkan mulai dapat digunakan pada tahun 2024. Nusantara mengambil sebagian wilayah dari dua kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, yakni Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Ibu Kota Nusantara (IKN) menggantikan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan digunakan pertama kali untuk upacara pada 17 Agustus 2024, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Masa kolonial dan awal Republik
Pada tahun 1601 Nusantara di jajah oleh kerajaan Belanda yang datang ke Indonesia. Pemukiman kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan pada tahun 1621. Awalnya adalah kota bertembok bergaya Eropa yang dilintasi kanal-kanal bergaya Belanda di daerah rawa Pesisir daratan rendah. Sanitasi yang buruk dan sistem drainase air yang lemah membuat kota menjadi tidak sehat, dan penuh dengan penyakit malaria, kolera, dan disentri. Pada tahun 1808, Daendels memutuskan untuk keluar dari Kota Tua yang saat itu bobrok dan tidak sehat. Sebuah pusat kota baru kemudian di bangun lebih jauh ke selatan, dekat perkebunan pinggiran. Batavia dengan demikian menjadi kota dengan dua pusat: Kota, sebagai pusat bisnis, dimana kantor dan gedung perusahaan pelayaran dan perdagangan berada; dan pinggiran, rumah baru bagi pemerintah, militer, dan pertokoan. Kedua pusat ini dihubungkan oleh Kanal Molenvliet dan sebuah jalan (sekarang jalan Gajah Mada) yang membentang sepanjang jalur air[3].
Pada tahun 1823 masehi hindia belanda hasil bentukan VOC, pertukaran antara Inggris dan Belanda pada tahun 1824, hal yang pasti bahwa Inggris tidak pernah menjajah. Pada awal abad ke-20 masehi, pemerinta pemerintahan hindia belanda memutuskan untuk memindahkan ibukota Batavia ke Bandung. Idenya adalah untuk memisakan pelabuhan perdagangan yang sibuk dan pusat komersial (Batavia) dari pusat administrasi dan politik baru (Bandung). Pada tahun 1920-an rencana pemindahan ibu kota ke Bandung dengan berlangsung. Ketika kota memulai rencana induk kota baru, beberapa gedung pemerintahan, telekomunikasi (sekarang Telkom Indonesia), Jaringan kereta api (sekarang Kereta Api Indonesia), sistem pos (sekarang Pos Indonesia), markas pertahanan militer. dan berkantor pusat di Bandung. Beberapa masih ada sampai hari ini, seperti Gedung sate, yang direncanakan sebagai pusat administrasi pemerintah Hindia Belanda. Rencana tersebut, bagaimanapun, gagal karena Depresi Besar dan pecahnya Perang Dunia ke II[3].
Setelah runtuhnya jepang pada tahun 1945, daerah tersebut mengalami transisi dan pergolakan selama perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Selama pendudukan Jepang dan dari sudut pandang kaum nasionalis Indonesia yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kota ini kembali berganti Jakarta. Tahun 1950 Masehi pulau Sumatra menjadi bagian dari Republik Indonesia[3].
Usulan pemindahan ibu kota
Usulan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke lokasi lainnya telah didiskusikan sejak kepresidenan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Yudhoyono mendukung ide untuk membuat pusat politik dan administrasi Indonesia yang baru, karena masalah lingkungan dan overpopulasi Jakarta.[4][5]
Pisahkan pusat administratif dan Jakarta masih ditetapkan sebagai ibu kota resmi, seperti Malaysia memindahkan pusat pemerintahan federal administratifnya ke Putrajaya
Jakarta masih tetap sebagai ibu kota dan pusat administrasi, sebagaimana Tokyo yang tetap menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Jepang.
Usulan ibu kota baru dalam Pulau Jawa
Jika Jakarta tetap dipertahankan sebagai ibu kota resmi negara, sementara pusat administrasi dipindahkan ke lokasi lain yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, maka lokasi yang diusulkan antara lain:
Jonggol, Jawa Barat.[7] Digadang-gadang sebagai pilihan yang paling realistis dan rasional untuk memindahkan ibu kota, Jonggol terletak hanya 40 kilometer di sebelah tenggara Jakarta. Rencana ini sudah disiapkan pada tahun-tahun akhir pemerintahan presiden Soeharto.[7] Jonggol terletak di provinsi Jawa Barat, tetangga DKI Jakarta. Pemindahan ibu kota negara ke Jonggol telah dipersiapkan melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri, rencananya 24 desa di Kawasan Jonggol dengan luas 35.000 hektare (wilayah inti) dan 115.000 hektare (wilayah pendukung) seperti Cibubur, Sentul, Babakan Madang, Setu, Cibarusah, Serangbaru, Bojongmangu, Loji, Tegalwaru, Cikalong Kulon dan Ciranjang. Wilayah tersebut dipersiapkan terlebih dahulu sebagai Kota Mandiri yang terkoneksi, mandiri ekonomi, canggih, futuristik dan ramah lingkungan, sebelum ditetapkan sebagai ibu kota. Selain pusat pemerintahan, pusat-pusat bisnis pun akan ikut dipindahkan secara bertahap ke wilayah ini. Bandara Internasional baru dengan dua kali lebih luas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta yaitu seluas 3.500 hektare akan berdiri di timur Cibarusah hingga Cariu bagian utara. Kota ini dirancang untuk menampung dua setengah juta jiwa, dengan 30% wilayahnya akan dibuatkan hutan kota. Menurut Bappenas kala itu, pemindahan ibu kota ke Jonggol akan menggabungkan dua konsep, yaitu konsep Canberra dan konsep Putrajaya, yang akan memisahkan antara wilayah pusat pemerintahan, wilayah pusat bisnis, dan wilayah permukiman dengan batas-batasnya ialah hutan kota yang juga akan berfungsi sebagai tadah hujan serta pemasok oksigen. Pemindahan ibu kota negara ke Jonggol juga diklaim dapat menyelesaikan berbagai permasalahan, tantangan, dan ancaman yang dihadapi oleh Jakarta. Salah satu targetnya ialah, pada 2010 ditargetkan aktivitas di Jakarta akan berkurang 40%, sehingga sebagian bangunan-bangunan yang ditinggalkan akan di fungsikan sebagai lahan terbuka hijau baru di Jakarta. Jonggol dianggap sebagai pilihan lokasi ibu kota baru yang paling rasional, karena selain jarak dengan Jakarta dan merupakan daerah yang bebas dari banjir serta ketersedian lahan yang masih besar, Jonggol juga secara letak geografis berada di wilayah yang sangat strategis karena dikelilingi oleh kota-kota yang telah hidup seperti Jakarta, Depok, Bogor di barat; Bekasi, Cikarang, Karawang di utara; Purwakarta, Bandung di timur; dan Cianjur, Puncak, Sukabumi di selatan, sehingga usaha untuk menghidupkan Jonggol sebagai kota yang baru bukanlah perkara yang sulit. Dari segi pertahanan dan keamanan Jonggol memiliki banyak keunggulan. Pertama, Jonggol dibentengi oleh beberapa pegunungan seperti Pegunungan Jonggol atau Puncak di selatan, Pegunungan Sanggabuana di timur, Pegunungan Hambalang di barat dan Pegunungan Kapur di utara, benteng-benteng alami ini memudahkan TNI-POLRI dalam melaksanakan fungsi pertahanan dan keamanan di wilayah ini. Kedua, kondisi geografis Jonggol yang berbukit-bukit sedikit diklaim akan memudahkan aparat keamanan dalam mencegah dan mengatasi timbulnya berbagai ancaman kerusuhan, kekacauan bahkan pemberontakan, dimana kondisi geografis akan menyulitkan para perusuh, pengacau yang berupaya memantik kerusuhan atau Kekacauan sehingga aparat keamanan yang terlatih serta lebih menguasai medan, akan mudah dalam upaya pencegahan atau mengagalkan serta mengatasi kerusuhan atau kekacauan di wilayah tersebut. Pasca Reformasi, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sempat melirik kembali kawasan Jonggol untuk dijadikan lokasi ibu kota negara baru, namun beliau bersikap hati-hati dan terukur dengan meminta para akademisi, teknokrat mengkaji ulang Jonggol terlebih dahulu serta tidak langsung menggulirkan wacana itu ke publik. Sedangkan, Presiden Joko Widodo melalui Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa pemindahan ibu kota negara ke Jonggol tidak akan menyelesaikan permasalahan pemerataan, hingga Jonggol yang dianggap sangat kental sebagai legacy (peninggalan) dari Rezim Orde Baru. Sebagai solusi agar potensi Jonggol tidak terabaikan begitu saja, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan akhirnya menawarkan Jonggol kepada BUMN asal China yaitu China Railways Construction (CRC) bersama Sentul City dengan investasi senilai Rp. 22 triliun untuk membangun Kota Mandiri yang futuristik. Terlepas dari berbagai wacana yang digulirkan oleh pemerintah, kondisi Jonggol kini sangat memprihatinkan, seperti infrastruktur yang buruk, penataan kota/guna lahan yang buruk, penguasaan tanah oleh biong-biong (makelar atau calo jual tanah) ilegal, banyaknya kavling tanah ilegal diatas lahan yang telah dimiliki warga atau dikuasai korporasi besar, hingga berbagai persoalan lingkungan.[8]
Karawang, Jawa Barat,[9] terletak hanya 60 kilometer di sebelah timur Jakarta. Pemindahan ibu kota negara ke Karawang tidak akan menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh Jakarta, sepeti masalah banjir yang juga telah menghantui sebagian besar wilayah Karawang. Selain itu, pemindahan ibu kota negara ke wilayah Karawang akan menimbulkan permasalahan yang jauh lebih besar lagi, seperti ancaman terhadap ketahanan pangan dikemudian hari, karena sekitar ratusan ribu hektare sawah sudah pasti dikorbankan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai dampak pemindahan ibu kota negara tersebut.[9]
Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Berjarak sekitar 200 kilometer di sebelah timur Jakarta, dan 40 kilometer sebelah barat kota Cirebon. Ibu kota baru ini akan terhubung dengan Bandar Udara Internasional Kertajati, jejaring kereta api pulau Jawa, dan Jalan Tol Trans Jawa. Namun, pemerintah pusat menilai Kertajati sebagai wilayah yang belum hidup secara ekonomi dan wilayahnya dikelilingi oleh hamparan persawahan dan perkebunan yang luas dan produktif, sehingga Presiden Joko Widodo enggan untuk melirik Kertajati sebagai kandidat lokasi ibu kota negara baru .[10]
Maja, Kabupaten Lebak, Banten. Berjarak sekitar 60 kilometer di sebelah barat Jakarta. Sekitar 3.500-5.000 hektare tanah di kecamatan Maja dimiliki oleh pemerintah, yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga pembebasan lahan dipermudah.[11]
Pulau reklamasi baru di Teluk Jakarta, Jakarta Utara. Rencana ini sebenarnya tidak memindahkan ibu kota negara dari Jakarta, tetapi hanya menambahkan lahan di utara Jakarta dengan cara mereklamasi laut di Teluk Jakarta dan menciptakan pulau baru. Pada 2013, Joko Widodo, kala itu menjabat sebagai gubernur Jakarta, pernah mengusulkan untuk memindahkan pusat pemerintahan negara ke pulau baru hasil reklamasi yang direncanakan akan dibangun di teluk Jakarta. Rencana ini sejalan dengan wacana National Capital Integrated Coastal Development (Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara); pusat pemerintahan akan ditempatkan di pulau reklamasi berbentuk seperti burung Garuda.[12]
Usulan ibu kota di luar Pulau Jawa
Jika pilihan pertama diluluskan, yaitu membangun ibu kota baru jauh dari Jakarta, maka pulau Kalimantan dianggap sebagai lokasi yang tepat. Pulau ini jauh dari daerah batas konvergen tektonik, artinya relatif aman dari ancaman gempa bumi dan letusan gunung berapi. Di Kalimantan, penempatan ibu kota baru diusulkan berlokasi di bagian selatan agak ke timur.[13] Selain itu ada pula usulan untuk memindahkan ibu kota ke Kawasan timur Indonesia.[14] Calon ibu kota baru yang diusulkan adalah:
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto Kalimantan Timur. Rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Bukit Soeharto tak lepas dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke bukit ini pada 7 Mei 2019.[15] Wilayah sekitar Bukit Soeharto akan jadi cikal bakal terbentuknya Ibu Kota Nusantara.
Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sejak ditetapkan sebagai ibu kota Kalimantan Tengah pada 1957, disebut-sebut bahwa presiden pertama Indonesia, Soekarno, merencanakan untuk mengembangkan dan membangun Palangkaraya sebagai ibu kota masa depan Indonesia. Palangkaraya jauh lebih luas daripada Jakarta dan tidak seperti kota-kota di pulau Jawa, Palangkaraya relatif aman dari gempa bumi dan letusan gunung berapi.[16][17][18][19] Pada tahun 2017, Presiden RI ketujuh, Joko Widodo kembali mengusulkan pemindahan ibu kota ke kota ini.[20][21][22]
Balikpapan atau Samarinda, Kalimantan timur. Lokasi yang diusulkan menjadi ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur adalah kawasan di antara kota Balikpapan dan Samarinda. Menurut Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, Kalimantan Timur memenuhi dan memiliki semua persyaratan untuk menjadi ibu kota baru Indonesia. Kawasan ini terletak tepat di tengah-tengah Indonesia, tepat di tepian Selat Makassar yang menjadi di Alur Laut Kepulauan Indonesia II yang menghubungkan Indonesia dengan Filipina, Tiongkok, Jepang, dan Australia. Selain itu sebagai provinsi kaya sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi, Kalimantan Timur memiliki modal untuk membangun infrastruktur yang unggul.[56][57][58][59]
Palembang, Sumatera Selatan. Kota bersejarah bekas ibu kota kemaharajaan Sriwijaya ini memiliki makna simbolis historis; kembalinya kejayaan bahari masa lampau Nusantara. Keunggulannya antara lain berlokasi di kawasan yang strategis, dekat dengan ibu kota negara ASEAN lain seperti Singapura dan Kuala Lumpur.[60][61]
Melalui rapat terbatas pemerintah pada tanggal 29 April 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa.[62] Pemindahan ibu kota ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024.[63]
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, ibu kota baru di Kalimantan Timur akan diberi nama "Nusantara".
Pada tanggal 17 Januari 2022 Jokowi mengumumkan nama ibu kota baru di Kalimantan Timur adalah Nusantara.
Perdebatan Bireuen sebagai ibu kota
Bireuen konon pernah menjadi ibu kota Indonesia selama seminggu. Dikisahkan bahwa Presiden Sukarno berangkat ke Bireuen dan akhirnya mendarat dengan mulus pada 16 Juni 1948. Kedatangan rombongan disambut Gubernur Militer Aceh Tengku Daud Beureu’eh atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh serta alim ulama dan tokoh masyarakat. Selama sepekan kemudian, Presiden Sukarno menjalankan roda pemerintahan dari Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang).[65]
Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 pernah menyetujui cerita tersebut ketika berada di Banda Aceh pada tanggal 14 November 2015. Namun, banyak pakar yang sangsi akan cerita tersebut, terutama mengenai tujuan kedatangan Soekarno, karena kondisi pemerintahan di Yogyakarta saat itu boleh dikatakan sedang tidak terancam, sehingga tak perlu dipindahkan. Fakta yang dapat ditemukan yang berhubungan dengan cerita tersebut adalah Sukarno dan rombongan memang tengah berada di Sumatra sekitar bulan Juni 1948 dalam rangka kunjungan kerja.[65][66]