Kesultanan Utsmaniyah, nama resmi Daulat/Negara Agung Utsmaniyah (Turki Otoman: دولت عليه عثمانیهDevlet-i ʿAliyye-yi ʿOsmâniyye)[6] sering disebut dalam bahasa Turki modern sebagai Osmanlı İmparatorluğu (Kekaisaran Utsmaniyah) atau Osmanlı Devleti (Negara Utsmaniyah); kadang disebut Kekaisaran Ottoman, Kesultanan Ottoman,Kesultanan Turki, Kekaisaran Utsmaniyah atau Turki Utsmani adalah kekaisaran lintas benua yang didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey di barat laut Anatolia pada tahun 1299.[7]
Kekaisaran ini muncul dari sebuah beylik, atau kerajaan, yang didirikan di barat laut Anatolia pada tahun 1299 oleh pemimpin suku Turkoman Osman I. Penerusnya menaklukkan sebagian besar Anatolia dan memperluas wilayahnya ke Balkan pada pertengahan abad ke-14, mengubah kerajaan kecil mereka menjadi kerajaan lintas benua. Setelah 1354, Utsmaniyah melintasi Eropa dan memulai penaklukkan Balkan, mengubah negara Utsmaniyah yang hanya berupa kadipaten kecil menjadi negara lintas benua. Utsmani mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur seiring penaklukan Konstantinopel oleh Mehmed II tahun 1453.[8][9][10] Sepanjang abad ke-16 dan 17, tepatnya pada puncak kekuasaannya di bawah pemerintahan Suleiman Al-Qanuni, Kesultanan Utsmaniyah adalah salah satu negara terkuat di dunia, imperium multinasional dan multibahasa yang mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika.[11]
Pada awal abad ke-17, kesultanan ini terdiri dari 32 provinsi dan sejumlah negara vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi dalam kurun beberapa abad.[dn 5]
Dengan Konstantinopel sebagai ibu kotanya dan kekuasaannya atas wilayah yang luas di sekitar cekungan Mediterania, Kesultanan Utsmaniyah menjadi pusat interaksi antara dunia Timur dan Barat selama lebih dari enam abad. Kesultanan ini bubar pasca Perang Dunia I, tepatnya pada 1 November 1922. Pembubarannya berujung pada kemunculan rezim politik baru di Turki, serta pembentukan Balkan dan Timur Tengah yang baru.[12][13]
Setelah penaklukkan Mesir oleh Utsmaniyah pada 1517, Khalifah Al-Mutawakkil III menyerahkan kedudukan khalifah kepada Sultan Selim I. Hal ini menjadikan penguasa Utsmaniyah tidak hanya berperan sebagai sultan (kepala negara Utsmaniyah), tetapi juga sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. Setelah Kesultanan Utsmaniyah dibubarkan, Wangsa Utsmaniyah sempat mempertahankan status mereka sebagai khalifah selama beberapa saat sampai kekhalifahan juga dibubarkan pada 3 Maret 1924.
Dalam bahasa Turki Utsmaniyah, kesultanan ini disebut Devlet-i ʿAliyye-yi ʿOsmâniyye (دَوْلَتِ عَلِيّهٔ عُثمَانِیّه),[6] yangs ecara harfiah berarti Daulat/Negara Agung Utsmaniyah, atau juga disebut Osmanlı Devleti (عثمانلى دولتى) yang berarti Daulat/Negara Utmaniyah.[dn 6] Dalam bahasa Turki Modern, kesultanan ini dikenal dengan sebutan Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu atau Kekaisaran Utsmaniyah. Di Indonesia, negara ini juga kerap disebut Ottoman yang diambil dari ejaan Barat. Di sejumlah tulisan Barat, nama "Ottoman" dan "Turkey" dipakai bergantian. Dikotomi ini secara resmi berakhir pada tahun 1920–23 ketika rezim Turki yang beribu kota di Ankara memilih Turki sebagai satu-satunya nama resminya. Nama tersebut sudah digunakan penduduk Eropa sejak zaman Seljuk. Para sejarawan sendiri menghindari untuk menggunakan istilah "Turki" atau "bangsa Turki" untuk merujuk Kesultanan Utsmaniyah karena sifat negara ini yang multi-etnis yang terdiri dari beragam suku bangsa.[14]
Pasca pembubaran Kesultanan Rum yang dipimpin dinasti Seljuq Turki, pendahulu Utsmaniyah, pada tahun 1300-an, Anatolia terpecah menjadi beberapa negara merdeka (kebanyakan Turki) yang disebut emirat Ghazi. Salah satu emirat Ghazi dipimpin oleh Osman I (1258[15] – 1326) dan namanya menjadi asal usul nama Utsmaniyah. Osman I memperluas batas permukiman Turki sampai pinggiran Kekaisaran Bizantium. Tidak jelas bagaimana Osman I berhasil menguasai wilayah tetangganya karena belum banyak diketahui soal sejarah Anatolia abad pertengahan.[16]
Pada abad setelah kematian Osman I, kekuasaan Utsmaniyah mulai meluas sampai Mediterania Timur dan Balkan. Putra Osman, Orhan, menaklukkan kota Bursa pada tahun 1324 dan menjadikannya ibu kota negara Utsmaniyah. Kejatuhan Bursa menandakan berakhirnya kendali Bizantium atas Anatolia Barat Laut. Kota Thessaloniki direbut dari Republik Venesia pada tahun 1387. Kemenangan Utsmaniyah di Kosovo tahun 1389 secara efektif mengawali kejatuhan pemerintahan Serbia di wilayah itu dan membuka jalan untuk perluasan wilayah Utsmaniyah di Eropa. Pertempuran Nicopolis tahun 1396 yang dianggap luas sebagai perang salib besar terakhir pada Abad Pertengahan gagal menghambat laju bangsa Turki Utsmaniyah.
Seiring meluasnya kekuasaan Turki di Balkan, penaklukan strategis Konstantinopel menjadi tugas penting. Kesultanan ini mengendalikan nyaris seluruh bekas tanah Bizantium di sekitar kota, namun warga Yunani Bizantium sempat luput ketika penguasa Turk-Mongolia, Tamerlane, menyerbu Anatolia dalam Pertempuran Ankara tahun 1402. Ia menangkap Sultan Bayezid I. Penangkapan Bayezid I menciptakan kekacauan di kalangan penduduk Turki. Negara pun mengalami perang saudara yang berlangsung sejak 1402 sampai 1413 karena para putra Bayezid memperebutkan takhta. Perang berakhir ketika Mehmet I naik sebagai sultan dan mengembalikan kekuasaan Utsmaniyah. Kenaikannya juga mengakhiri Interregnum yang disebut Fetret Devri dalam bahasa Turki Utsmaniyah.
Sebagian teritori Utsmaniyah di Balkan (seperti Thessaloniki, Makedonia, dan Kosovo) sempat terlepas setelah 1402, tetapi berhasil direbut kembali oleh Murad II antara 1430-an dan 1450-an. Pada tanggal 10 November 1444, Murad II mengalahkan pasukan Hungaria, Polandia, dan Wallachia yang dipimpin Władysław III dari Polandia (sekaligus Raja Hungaria) dan János Hunyadi di Pertempuran Varna, pertempuran terakhir dalam Perang Salib Varna.[17][18][halaman dibutuhkan] Empat tahun kemudian, János Hunyadi mempersiapkan pasukannya (terdiri dari pasukan Hungaria dan Wallachia) untuk menyerang Turki, namun dikalahkan oleh Murad II dalam Pertempuran Kosovo Kedua tahun 1448.
Putra Murad II, Mehmed II, menata ulang negara dan militernya, lalu menaklukkan Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453. Mehmed mengizinkan Gereja Ortodoks mempertahankan otonomi dan tanahnya dengan imbalan mengakui pemerintahan Utsmaniyah.[19] Karena hubungan yang buruk antara negara-negara Eropa Barat dan Kekaisaran Romawi Timur, banyak penduduk Ortodoks yang mengakui kekuasaan Utsmaniyah alih-alih Venesia.[19]
Pada abad ke-15 dan 16, Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode ekspansi. Kesultanan ini berhasil makmur di bawah kepemimpinan sejumlah Sultan yang tegas dan efektif. Ekonominya juga maju karena pemerintah mengendalikan rute-rute perdagangan darat utama antara Eropa dan Asia.[20][dn 7]
Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah bersatu karena sama-sama menentang pemerintahan Habsburg dan menjadi sekutu yang kuat. Penaklukan Nice (1543) dan Korsika (1553) oleh Prancis adalah hasil kerja sama antara pasukan raja Francis I dari Prancis dan Suleiman I yang Agung. Pasukan tersebut dipimpin oleh laksamana Utsmaniyah Khairuddin Barbarossa dan Turgut Reis.[30] Satu bulan sebelum pengepungan Nice, Prancis membantu Utsmaniyah dengan mengirimkan satu unit artileri pada penaklukan Esztergom tahun 1543. Setelah bangsa Turk membuat serangkaian kemajuan tahun 1543, penguasa Habsburg Ferdinand I secara resmi mengakui pemerintahan Utsmaniyah di Hungaria pada tahun 1547.
Pada tahun 1559, setelah perang Ajuuraan-Portugal pertama, Kesultanan Utsmaniyah menganeksasi Kesultanan Adal yang lemah ke dalam wilayahnya. Ekspansi ini mengawali pemerintahan Utsmaniyah di Somalia dan Tanduk Afrika. Aneksasi tersebut juga meningkatkan pengaruh Utsmaniyah di Samudra Hindia untuk bersaing dengan Portugal.[31]
Pada akhir masa kekuasaan Suleiman, jumlah penduduk Kesultanan Utsmaniyah mencapai 15.000.000 orang dan tersebar di tiga benua. [32] Selain itu, kesultanan ini menjadi kekuatan laut besar yang mengendalikan sebagian besar Laut Mediterania.[33] Saat itu, Kesultanan Utsmaniyah adalah bagian utama dari lingkup politik Eropa. Kesuksesan politik dan militernya sering disamakan dengan Kekaisaran Romawi, salah satunya oleh cendekiawan Italia Francesco Sansovino dan filsuf politik Prancis Jean Bodin.[34]
Pemberontakan dan pemulihan (1566–1683)
Struktur militer dan birokrasi yang efektif pada abad sebelumnya terancam gagal ketika sultan-sultan selanjutnya tidak tegas memimpin. Kesultanan Utsmaniyah perlahan dikalahkan bangsa Eropa dari segi teknologi militer karena inovasi yang mendorong perluasan kesultanan ini dihambat oleh paham konservatisme agama dan intelektual yang terus berkembang.[35] Meski mengalami kesulitan, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansionis besar sampai Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan akhir ekspansi Utsmaniyah ke Eropa.
Di bawah kepemimpinan Ivan IV (1533–1584), Kekaisaran Rusia meluas sampai kawasan Volga dan Kaspia dengan menaklukkan beberapa kekhanan Tatar. Pada tahun 1571, khan Krimea Devlet I Giray yang didukung Utsmaniyah membakar Moskwa.[36] Tahun berikutnya, invasi diulang namun digagalkan pada Pertempuran Molodi. Kekhanan Krimea terus menyerbu Eropa Timur melalui serangkaian serangan budak[37] dan menjadi kekuatan besar di Eropa Timur sampai akhir abad ke-17.[38]
Di Eropa Selatan, koalisi Katolik yang dipimpin Philip II dari Spanyol mengalahkan armada Utsmaniyah di Pertempuran Lepanto. Ini merupakan pukulan telak dan simbolis[39] terhadap citra kehebatan Utsmaniyah. Memudarnya citra ini diawali oleh kemenangan Ksatria Malta atas pasukan Utsmaniyah dalam Pengepungan Malta tahun 1565.[40] Pertempuran Lepanto membuat Angkatan Laut Utsmaniyah kehilangan banyak tenaga ahlinya, sedangkan kapal-kapalnya masih bisa diperbaiki.[41] Angkatan Laut Utsmaniyah pulih dengan cepat dan memaksa Venesia menandatangani perjanjian damai tahun 1573 yang mengizinkan Kesultanan Utsmaniyah memperluas dan memperkuat posisinya di Afrika Utara.[42]
Sebaliknya, wilayah Habsburg tidak berubah setelah pertahanan Habsburg diperkuat.[43]Perang Panjang melawan Austria Habsburg (1593–1606) membuat pemerintah melengkapi infanterinya dengan senjata api dan melonggarkan kebijakan perekrutan. Keputusan ini menciptakan masalah ketidakpatuhan dan pemberontakan di dalam tubuh militer yang tidak pernah terselesaikan.[44] Penembak jitu ireguler (Sekban) juga direkrut. Demobilisasi pun berubah menjadi brigandase (perampokan) dalam pemberontakan Jelali (1595–1610) yang memperluas aksi anarkis di Anatolia pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.[45] Ketika populasi kesultanan mencapai 30.000.000 jiwa pada tahun 1600, kelangkaan tanah membuat pemerintah ditekan habis-habisan.[46]
Pada masa kekuasaannya yang singkat, Murad IV (1612–1640) membentuk kembali pemerintahan pusat dan merebut Yerevan (1635) dan Baghdad (1639) dari safawiyah.[47]Kesultanan wanita (1648–1656) adalah periode ketika ibu para sultan muda berkuasa atas nama putranya. Tokoh wanita yang paling berpengaruh waktu itu adalah Kösem Sultan dan menantunya Turhan Hatice. Persaingan politik mereka berujung pada pembunuhan Kösem pada 1651.[48] Selama Era Köprülü (1656–1703), pemerintahan efektif dijalankan oleh sejumlah Wazir Agung dari keluarga Köprülü. Kewaziran Köprülü mengalami kesuksesan militer dengan didirikannya pemerintahan di Transylvania, penaklukan Kreta tahun 1669, dan ekspansi ke Ukraina selatan Polandia. Pertahanan terakhir Khotyn dan Kamianets-Podilskyi dan teritori Podolia bergabung dengan Kesultanan Utsmaniyah tahun 1676.[49]
Periode ketegasan baru ini berakhir pada Mei 1683 saat Wazir Agung Kara Mustafa Pasya memimpin pasukan besar untuk mengepung Wina kedua kalinya dalam Perang Turki Besar 1683–1687. Serangan terakhir mereka tertunda karena pasukan Utsmaniyah didesak mundur oleh pasukan sekutu Habsburg, Jerman, dan Polandia yang dipimpin Raja Polandia Jan III Sobieski pada Pertempuran Wina. Aliansi Liga Suci terus melaju pasca kekalahan di Wina dan memuncak pada Perjanjian Karlowitz (26 Januari 1699) yang mengakhiri Perang Turki Besar.[50] Kesultanan Utsmaniyah menyerahkan sejumlah wilayah pentingnya, kebanyakan diserahkan secara permanen.[51]Mustafa II (1695–1703) memimpin serangan balasan terhadap Wangsa Habsburg di Hungaria pada 1695–96, namun kalah besar di Zenta (11 September 1697).[52]
Perang Austria-Rusia–Turki yang diakhiri oleh Perjanjian Beograd 1739 berujung pada kembalinya Serbia dan Oltenia, namun pelabuhan Azov berhasil direbut Rusia. Setelah perjanjian ini, Kesultanan Utsmaniyah menikmati masa perdamaian karena Austria dan Rusia terpaksa menghadapi kebangkitan Prusia.[56]
Sejumlah reformasi pendidikan dan teknologi dilaksanakan, termasuk pendirian institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Teknik Istanbul.[57] Pada tahun 1734, sebuah sekolah artileri didirian untuk memperkenalkan metode artileri Barat, namun kalangan ulama Islam mengajukan keberatan atas dasar teodisi.[58] Tahun 1754, sekolah artileri tersebut dibuka kembali secara setengah rahasia.[58] Tahun 1726, Ibrahim Muteferrika meyakinkan Wazir AgungDamad Ibrahim Pasya, Mufti Agung, dan para ulama tentang efisiensi percetakan. Muteferrika pun diizinkan Sultan Ahmed III untuk menerbitkan buku-buku non-religius meski ditentang sejumlah kaligrafer dan pemuka agama.[59] Percetakan Muteferrika menerbitkan buku pertamanya pada tahun 1729. Pada 1743, jumlah karya yang dicetaknya mencapai 17 buah dalam 23 volume dan masing-masing karya dicetak sebanyak 500 sampai 1.000 eksemplar.[59][60]
Pada 1768, para Haidamak, pemberontak konfederasi Polandia yang dibantu Rusia, memasuki Balta, kota Utsmaniyah di perbatasan Bessarabia, dan membantai warganya dan membumihanguskan kota tersebut. Tindakan ini memaksa Kesultanan Utsmaniyah memulai Perang Rusia-Turki 1768–1774. Perjanjian Küçük Kaynarca tahun 1774 mengakhiri perang ini dan memberikan kebebasan beribadah bagi warga Kristen di provinsi Wallachia dan Moldavia.[61] Pada akhir abad ke-18, serangkaian kekalahan perang melawan Rusia membuat beberapa kalangan di Kesultanan Utsmaniyah yakin bahwa reformasi yang dijalankan Peter Agung memberi keunggulan bagi Rusia, dan Utsmaniyah harus menggunakan teknologi Barat untuk menghindari kekalahan lebih lanjut.[58]
Selim III (1789–1807) melakukan upaya besar pertama dalam memodernisasi pasukannya, tetapi reformasi ini terhambat oleh kepemimpinan yang religius dan korps Yanisari. Karena iri dengan hak-hak militer dan menolak perubahan, Yanisari pun merintis pemberontakan. Semua upaya Selim membuat dirinya kehilangan takhta dan nyawanya. Akan tetapi, pemberontakan ini berhasil diredam dengan spektakuler dan kejam oleh penggantinya yang dinamis, Mahmud II. Ia menghapus korps Yanisari pada tahun 1826.
Pada masa Tanzimat (1839–1876), serangkaian reformasi konstitusional pemerintah membuahkan hasil, yaitu pasukan wajib militer modern, reformasi sistem perbankan, dekriminalisasi kaum homoseksual, perubahan hukum agama menjadi hukum sekuler,[64] dan gilda yang memiliki pabrik modern. Kementerian Pos Utsmaniyah dibentuk di Istanbul pada tanggal 23 Oktober 1840.[65][66]
Samuel Morse menerima paten telegraf pertamanya tahun 1847. Paten tersebut dikeluarkan oleh Sultan Abdul Mejid I yang secara langsung menguji penemuan baru itu.[67] Setelah uji coba berhasil, jalur kabel telegraf pertama di dunia (Istanbul-Adrianopel-Şumnu)[68] mulai dipasang pada 9 Agustus 1847.[69] Periode reformis ini memuncak dengan penyusunan Konstitusi yang disebut Kanûn-u Esâsî. Era Konstitusional Pertama kesultanan ini tidak berlangsung lama. Parlemennya hanya bertahan selama dua tahun sebelum dibubarkan sultan.
Dikarenakan tingkat pendidikannya yang lebih tinggi, penduduk Kristen di kesultanan ini mulai unggul ketimbang penduduk Muslim yang mayoritas, sehingga penduduk Muslim merasa tidak puas.[70] Pada tahun 1861, ada 571 sekolah dasar dan 94 sekolah menengah Kristen Utsmaniyah dengan 140.000 siswa. Jumlah itu jauh melampaui siswa Muslim di sekolah pada saat yang sama. Kemajuan siswa Muslim terus melambat dikarenakan lamanya waktu mata pelajaran bahasa Arab dan teologi Islam.[70] Tingkat pendidikan siswa Kristen yang lebih tinggi memungkinkan mereka memainkan peran penting dalam perekonomian negara.[70] Pada tahun 1911, 528 dari 654 perusahaan grosir di Istanbul dimiliki etnis Yunani.[70]
Perang Krimea (1853–1856) adalah bagian dari persaingan panjang antara kekuatan-kekuatan besar Eropa yang memperebutkan pengaruh di teritori Kesultanan Utsmaniyah yang melemah. Beban perang dari segi finansial memaksa pemerintah Utsmaniyah mengajukan pinjaman luar negeri senilai 5 juta pound sterling pada 4 Agustus 1854.[71][72] Perang ini mengakibatkan eksodus warga Tatar Krimea. Sekitar 200.000 di antaranya pindah ke Kesultanan Utsmaniyah dalam bentuk gelombang emigrasi.[73] Menjelang akhir Peperangan Kaukasus, 90% etnis Sirkasiadilenyapkan,[74] diusir dari tanah airnya di Kaukasus, dan terpaksa mengungsi ke Kesultanan Utsmaniyah.[75] Sekitar 500.000 sampai 700.000 orang Sirkasia berlindung di Turki.[76][halaman dibutuhkan][77][78] Beberapa sumber memberi angka yang lebih tinggi, yaitu 1 juta-1,5 juta orang dideportasi dan/atau dibunuh.[79]
Perang Rusia-Turki (1877–1878) berakhir dengan kemenangan mutlak bagi Rusia. Akibatnya, wilayah Utsmaniyah di Eropa menyusut dengan cepat. Bulgaria didirikan sebagai kepangeranan merdeka di dalam Kesultanan Utsmaniyah, Rumania mendapat kemerdekaan penuh. Serbia dan Montenegro mendapat kemerdekaan penuh dengan wilayah yang lebih kecil. Pada tahun 1878, Austria-Hungaria bersama-sama menduduki provinsi Bosnia-Herzegovina dan Novi Pazar. Walaupun pemerintah Utsmaniyah menentang tindakan ini, pasukannya dikalahkan dalam kurun tiga minggu.
Sebagai imbalan atas bantuan Perdana Menteri Britania RayaBenjamin Disraeli dalam pengembalian teritori Utsmaniyah di Semenanjung Balkan saat Kongres Berlin, Britania Raya mendapatkan hak pemerintahan di Siprus pada tahun 1878.[80] Britania kemudian mengirimkan tentaranya ke Mesir pada tahun 1882 untuk membantu pemerintah Utsmaniyah meredam Pemberontakan Urabi. Britania pun memegang kendali penuh di Siprus dan Mesir.
Pada 1894–96, sekitar 100.000 sampai 300.000 etnis Armenia yang tinggal di seluruh kesultanan dibunuh dalam sebuah peristiwa yang disebut pembantaian Hamidian.[81]
Seiring menyusutnya wilayah Kesultanan Utsmaniyah, banyak Muslim Balkan pindah ke teritori Utsmaniyah yang tersisa di Balkan atau ke jantung kesultanan di Anatolia.[82] Per 1923, hanya Anatolia dan Trakia Timur yang dikuasai Muslim.[83]
Memanfaatkan perpecahan sipil, Austria-Hungaria secara resmi menganeksasi Bosnia dan Herzegovina tahun 1908, tetapi mereka menarik tentaranya dari Sanjak Novi Pazar, wilayah lain yang diperebutkan Austria dan Utsmaniyah, untuk menghindari perang. Pada Perang Italia-Turki (1911–12), Kesultanan Utsmaniyah kehilangan Libya dan Liga Balkan menyatakan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Utsmaniyah kalah dalam Peperangan Balkan (1912–13) dan kehilangan teritori Balkan-nya kecuali Trakia Timur dan ibu kota historis Adrianopel. Sekira 400.000 Muslim yang khawatir menghadapi kekerasan etnis Yunani, Serbia, atau Bulgaria, mengungsi mundur bersama pasukan Utsmaniyah.[84] Menurut perkiraan Justin McCarthy, sejak 1821 sampai 1922, pembersihan etnis Muslim Utsmaniyah di Balkan mengakibatkan kematian dan pengusiran sekian juta orang dari kawasan itu.[85][86][87] Per 1914, Kesultanan Utsmaniyah sudah dipukul mundur dari hampir seluruh Eropa dan Afrika Utara. Meski begitu, kesultanan ini masih dihuni 28 juta orang. 15,5 juta di antaranya di Turki modern, 4,5 juta di Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yordania, dan 2,5 juta di Irak. 5,5 juta sisanya berada di bawah pemerintahan bayangan Utsmaniyah di jazirah Arab.[88]
Perang Dunia I
Pada November 1914, Kesultanan Utsmaniyah ikut serta dalam Perang Dunia I di blok Kekuatan Tengah. Kesultanan ini ambil bagian dalam teater Timur Tengah. Utsmaniyah sempat beberapa kali menang pada tahun-tahun pertama perang, misalnya di Pertempuran Gallipoli dan Pengepungan Kut, namun ada juga kekalahan seperti pada Kampanye Kaukasus melawan Rusia. Amerika Serikat tidak pernah mengeluarkan pernyataan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah.[89]
Pemberontakan Arab yang dimulai tahun 1916 berbalik melawan Utsmaniyah di front Timur Tengah. Utsmaniyah sempat unggul di Timur Tengah selama dua tahun pertama perang.
Berdasarkan Korespondensi McMahon–Hussein, sebuah perjanjian antara pemerintah Inggris dan Hussein bin Ali, Syarif Mekah, pemberontakan secara resmi dimulai di Mekah pada 10 Juni 1916. Tujuan nasionalis Arab adalah untuk menciptakan satu negara Arab yang bersatu dan merdeka. negara yang membentang dari Aleppo, Suriah, hingga Aden, Yaman, yang dijanjikan Inggris akan akui.
Tentara Syarif, dipimpin oleh Hussein dan Hashemites, dengan dukungan militer dari Pasukan Ekspedisi Mesir Britania, berhasil melawan dan mengusir kehadiran militer Ottoman dari sebagian besar Hijaz dan Transyordania. Pemberontakan tersebut akhirnya menguasai Damaskus dan mendirikan monarki berumur pendek yang dipimpin oleh Faisal, putra Hussein.
Mengikuti ketentuan Perjanjian Sykes – Picot tahun 1916, Inggris dan Prancis kemudian membagi Timur Tengah menjadi wilayah mandat. Tidak ada negara Arab yang bersatu, yang menimbulkan kemarahan kaum nasionalis Arab.
Tata negara Kesultanan Utsmaniyah adalah sistem yang sangat sederhana dan terbagi menjadi dua dimensi utama, pemerintahan militer dan pemerintahan sipil. Sultan adalah jabatan tertinggi dalam sistem ini. Sistem sipil dibuat berdasarkan unit-unit pemerintahan daerah yang didasarkan pada karakteristik wilayahnya. Kesultanan Utsmaniyah menggunakan sistem negara (seperti Kekaisaran Romawi Timur) menguasai kaum ulama. Tradisi-tradisi Turki pra-Islam yang bertahan setelah adopsi praktik administrasi dan hukum dari Iran Islam masih berperan penting bagi pemerintah Utsmaniyah.[95] Menurut pemahaman Utsmaniyah, tugas utama negara adalah mempertahankan dan memperluas tanah Muslim dan menjamin keamanan dan keselarasan di dalam perbatasannya sesuai konteks praktik Islam ortodoks dan kedaulatan dinasti.[96]
"Dinasti Utsmaniyah" atau "Wangsa Osman" tak terbandingkan dan tak terlampaui ukuran maupun durasinya di dunia Islam.[97] Dinasti Utsmaniyah berasal dari Turki. Sebelas sultan pernah digulingkan karena dianggap sebagai ancaman bagi negara oleh musuh-musuhnya. Hanya dua upaya penggulingan dinasti penguasa Osmanlı yang pernah terjadi. Dua-duanya gagal dan mendesak perlunya sistem politik yang dalam perpanjangan periodenya mampu menangani revolusi tanpa menciptakan ketidakstabilan yang tidak perlu.[96]
Jabatan tertinggi dalam Islam, khalifah, diklaim oleh sultan sehingga negaranya juga menyandang nama Kekhalifahan Utsmaniyah. Sultan Utsmaniyah, pâdişâh atau "rajanya raja", menjadi pemimpin tunggal kesultanan dan dianggap sebagai perwakilan pemerintahannya, meski kendalinya tidak selalu mutlak. Harem Kesultanan adalah salah satu kekuatan terpenting dalam pemerintahan Utsmaniyah. Lembaga ini dipimpin oleh Valide Sultan. Kadang Valide Sultan terlibat dalam perpolitikan negara. Wanita harem pernah mengendalikan negara pada suatu periode yang disebut "Kesultanan Wanita". Sultan baru selalu dipilih dari putra sultan sebelumnya. Sistem pendidikan sekolah istana yang kuat diarahkan untuk mengeliminasi calon pewaris yang tidak cocok dan menggalang dukungan elit penguasa terhadap seorang pewaris. Sekolah istana yang juga mendidik calon pejabat negara tidak bersifat jalur tunggal. Jalur pertama, madrasah (Turki Otoman: Medrese), dirancang untuk umat Islam dan mendidik cendekiawan dan pejabat negara sesuai tradisi Islam. Beban keuangan Medrese ditanggung oleh vakif, sehingga anak-anak keluarga miskin bisa menaikkan status sosial dan pendapatannya.[98] Jalur kedua adalah sekolah asrama gratis untuk umat Kristen, Enderûn,[99] yang merekrut 3.000 siswa tiap tahunnya dari kalangan putra Kristen antara 8 sampai 20 tahun dari satu sampai empat puluh keluarga di komunitas-komunitas di Rumelia dan/atau Balkan. Proses ini disebut Devshirme (Devşirme).[100]
Meski sultan adalah monark tertinggi, kewenangan politik dan eksekutif sultan didelegasikan ke orang lain. Politik negara melibatkan sejumlah penasihat dan menteri yang membentuk dewan bernama Divan (setelah abad ke-17 namanya berubah menjadi "Porte"). Divan, ketika negara Utsmaniyah masih berupa Beylik, terdiri dari para tetua suku. Komposisinya kemudian diubah agar melibatkan pejabat militer dan elit lokal (seperti penasihat keagamaan dan politik). Sejak awal 1320, seorang Wazir Agung ditunjuk untuk melanjutkan tugas-tugas tertentu sultan. Wazir Agung terbebas dari sultan dan memegang kuasa penunjukan, pemecatan, dan pengawasan yang nyaris tidak terbatas. Mulai akhir abad ke-16, sultan menarik diri dari politik dan Wazir Agung menjadi kepala negara de facto.[101]
Sepanjang sejarah Utsmaniyah, ada banyak kejadian ketika gubernur lokal mengambil tindakan secara independen sekalipun bertentangan dengan penguasa. Pasca Revolusi Turk Muda tahun 1908, negara Utsmaniyah menjadi monarki konstitusional. Sultan tidak lagi memegang kekuasaan eksekutif. Parlemen dibentuk yang perwakilannya dipilih dari provinsi-provinsi negara. Para wakil kemudian membentuk Pemerintahan Imperium Kesultanan Utsmaniyah.
Pemerintahan yang eklektik tampak jelas dalam surat-surat diplomatik kesultanan. Surat tersebut biasanya dikirim ke barat dalam bahasa Yunani.[102]
Tughra adalah monogram kaligrafi atau tanda tangan para Sultan Utsmaniyah yang jumlahnya 35 orang. Dipahat di lambang Sultan, tughra mengandung nama Sultan dan ayahnya. Pernyataan dan doa "kemenangan abadi" juga dipahat di kebanyakan lambang. Tughra pertama dimiliki oleh Orhan Gazi. Tughra bergaya hiasan ini kelak merintis cabang kaligrafi Utsmaniyah-Turki.
Sistem hukum Utsmaniyah mengakui hukum keagamaan atas rakyatnya. Pada saat yang sama, Qanun (atau Kanun), sistem hukum sekuler, diterapkan bersamaan dengan hukum keagamaan atau Syariah.[103] Kesultanan Utsmaniyah selalu disusun dengan sistem yurisprudensi lokal. Urusan hukum di Kesultanan Utsmaniyah adalah bagian dari skema yang lebih besar untuk menyeimbangkan kewenangan pusat dan daerah.[104] Kekuasaan Utsmaniyah lebih berkutat pada urusan hak tanah, sehingga pemerintah daerah diberi ruang untuk memenuhi kebutuhan millet setempat.[104] Rumitnya yurisdiksi Kesultanan Utsmaniyah bertujuan mencetuskan integrasi budaya dan agama dari kalangan yang berbeda.[104] Sistem Utsmaniyah memiliki tiga sistem pengadilan: satu untuk Muslim, satu untuk non-Muslim yang melibatkan pejabat Yahudi dan Kristen yang menguasai komunitas agamanya masing-masing, dan "pengadilan dagang". Keseluruhan sistem ini diatur dari atas, yaitu Qanun, i.e. hukum, sistem yang dibuat berdasarkan Yassa dan Töre Turk. Keduanya dikembangkan sebelum kemunculan Islam.[butuh rujukan]
Kategori-kategori pengadilan ini tidak sepenuhnya eksklusif. Misal, pengadilan Islam—pengadilan primer kesultanan—bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik atau sengketa perdagangan antara pihak yang berbeda agama. Biasanya penuntut Yahudi dan Kristen memilih pengadilan Islam agar mendapat putusan yang lebih kuat terhadap suatu masalah. Negara Utsmaniyah tidak mencampuri sistem hukum keagamaan non-Muslim, meski secara hukum punya hak untuk melakukannya melalui gubernur. Sistem hukum Syariah Islam terbentuk dari gabungan Qur'an; Hadīts, kumpulan perkataan Muhammad; ijmā', konsensus anggota umat Islam; qiyas, sistem penalaran analogis dari peristiwa sebelumnya; dan adat setempat. Kedua sistem diajarkan di dua sekolah hukum kesultanan, tepatnya di Istanbul dan Bursa.
Sistem hukum Islam Utsmaniyah berbeda dengan pengadilan tradisional Eropa. Pihak yang hadir di pengadilan Islam adalah Qadi yang berarti hakim. Sejak penutupan itjihad, atau "Gerbang Penafsiran", para Qadi di seluruh Kesultanan Utsmaniyah tidak terlalu fokus pada keputusan hukum sebelumnya, melainkan pada adat setempat dan tradisi daerah tempat mereka bekerja.[105] Sayangnya, sistem pengadilan Utsmaniyah tidak punya struktur pengadilan banding, sehingga muncul strategi kasus hukum ketika si penuntut bisa membawa kasusnya dari satu sistem pengadilan ke sistem yang lain sampai mereka mendapatkan putusan yang sesuai harapan.
Pada akhir abad ke-19, sistem hukum Utsmaniyah dirombak besar-besaran. Proses modernisasi hukum dimulai dengan Dekrit Gülhane tahun 1839.[106] Reformasi tersebut mencakup "pengadilan adil di hadapan umum untuk semua terdakwa tanpa memandang agamanya," pembentukan sistem "kompetensi terpisah, agama dan sipil," dan pengakuan kesaksian non-Muslim.[107] Hukum tanah (1858), hukum sipil (1869–1876), dan hukum prosedur sipil juga diberlakukan.[107]
Reformasi hukum Utsmaniyah sangat dipengaruhi model Prancis. Ini dapat dilihat dari penggunaan sistem pengadilan tiga tingkat. Sistem bernama Nizamiye ini diperluas hingga tingkat pengadilan lokal dengan penerapan akhir Mecelle, yaitu hukum sipil yang mengatur pernikahan, perceraian, tunjangan, wasiat, dan status pribadi lainnya.[107] Untuk memperjelas pembagian kompetensi hukum, dewan pengurus menetapkan bahwa segala urusan keagamaan diserahkan ke pengadilan agama dan urusan status diserahkan ke pengadilan Nizamiye.[107]
Satuan militer pertama Kesultanan Utsmaniyah adalah angkatan darat yang dibentuk oleh Osman I dari anggota suku di perbukitan Anatolia barat pada akhir abad ke-13. Sistem militer pun berubah menjadi organisasi yang rumit seiring kemajuan kesultanan. Militer Utsmaniyah merupakan sistem perekrutan dan pertahanan yang kompleks. Korps utama Angkatan Darat Utsmaniyah meliputi Yanisari, Sipahi, Akıncı, dan Mehterân. Angkatan Darat Utsmaniyah pernah menjadi salah satu pasukan tempur termaju di dunia karena termasuk di antara pengguna pertama senapan lontak dan meriam. Pasukan Turk Utsmaniyah mulai memanfaatkan falconet, meriam pendek namun lebar, saat Pengepungan Konstantinopel. Kavaleri Utsmaniyah bergantung pada kecepatan dan mobilitas tinggi alih-alih persenjataan berat. Mereka menggunakan busur dan panah pendek dengan kuda cepat Turkoman dan Arab (pencetus kuda balap Thoroughbred),[108][109] dan sering menerapkan taktik yang mirip dengan taktik Kekaisaran Mongol, seperti berpura-pura mundur sambil mengurung musuh dengan formasi bulan sabit lalu melancarkan serangan. Kemunduran kinerja angkatan darat semakin jelas sejak pertengahan abad ke-17 dan setelah Perang Turki Besar. Pada abad ke-18, sempat muncul sedikit keberhasilan melawan Venesia, tetapi pasukan Rusia bergaya Eropa di utara memaksa Kesultanan Utsmaniyah menyerahkan teritorinya.
Modernisasi Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-19 dimulai oleh militer. Pada tahun 1826, Sultan Mahmud II menghapus korps Yanisari dan membentuk angkatan darat modern Utsmaniyah. Pasukannya diberi nama Nizam-ı Cedid (Orde Baru). Angkatan Darat Utsmaniyah juga merupakan lembaga pertama yang mempekerjakan tenaga ahli luar negeri dan mengirimkan para perwiranya ke pusat pelatihan di negara-negara Eropa Barat. Karena itu pula, gerakan Turk Muda dirintis ketika para prajurit muda dan terlatih ini pulang ke negaranya.
Angkatan Laut Utsmaniyah turut ambil bagian dalam perluasan wilayah kesultanan di benua Eropa. Ekspansi ini berawal dari penaklukan Afrika Utara yang memasukkan Aljazair dan Mesir ke Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1517. Sejak kehilangan Aljazair (1830 dan Yunani (1821), kekuatan laut dan kendali Utsmaniyah atas jajahan-jajahannya di seberang laut mulai melemah. Sultan Abdul Aziz (berkuasa 1861–1876) berusaha membangun angkatan laut yang kuat dengan membuat armada terbesar ketiga di dunia setelah Britania Raya dan Prancis. Galangan kapal di Barrow, Inggris, membangun kapal selam pertamanya untuk Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1886.[110]
Meski begitu, ekonomi Utsmaniyah yang melemah tidak dapat mempertahankan armada laut dalam jangka panjang. Sultan Abdul Hamid II tidak mempercayai para laksamana yang memihak dengan reformis Midhat Pasya. Sultan mengklaim bahwa armada yang besar dan mahal tidak berguna untuk melawan Rusia saat Perang Rusia-Turki. Ia mengunci sebagian besar armadanya di dalam Tanjung Emas dan membiarkan kapalnya berkarat selama 30 tahun berikutnya. Setelah Revolusi Turk Muda tahun 1908, Komite Persatuan dan Kemajuan berupaya mengembangkan pasukan laut yang kuat. Yayasan Angkatan Laut Utsmaniyah didirikan pada tahun 1910 untuk membeli kapal-kapal baru melalui sumbangan masyarakat.
Sejarah penerbangan militer Utsmaniyah dapat dilacak hingga tahun 1909 antara Juni 1909 dan Juli 1911.[111][112] Kesultanan Utsmaniyah mulai mempersiapkan para pilot dan pesawat pertamanya. Melalui pendirian Sekolah Penerbangan (Tayyare Mektebi) di Yeşilköy tanggal 3 Juli 1912, pemerintah mulai mengajar penerbangnya sendiri. Pendirian Sekolah Penerbangan mempercepat kemajuan program penerbangan militer, menambah jumlah perwira terdaftar, dan memberi pilot-pilot baru peran aktif di Angkatan Darat dan Angkatan Laut Utsmaniyah. Bulan Mei 1913, Program Latihan Pengintaian khusus pertama di dunia dirintis oleh Sekolah Penerbangan dan divisi pengintaian terpisah pertama dibentuk[butuh rujukan]. Bulan Juni 1914, akademi militer yang baru, yaitu Sekolah Penerbangan Angkatan Laut (Bahriye Tayyare Mektebi), didirikan. Dengan pecahnya Perang Dunia I, proses modernisasi berhenti mendadak. Skadron penerbangan Utsmaniyah bertempur di berbagai front selama Perang Dunia I, mulai dari Galisia di barat hingga Kaukasus di timur dan Yaman di selatan.
Kesultanan Utsmaniyah awalnya terbagi menjadi beberapa provinsi pada akhir abad ke-14. Provinsi artinya unit-unit teritorial tetap yang gubernurnya ditunjuk oleh sultan, pada akhir abad ke-14.[113]
Eyalet (disebut juga pashalic atau beglerbeglic) merupakan teritori kerja seorang beylerbeyi. Teritori ini dibagi lagi menjadi beberapa sanjak.[114]
Vilayet diperkenalkan melalui pengesahan "Hukum Vilayet" (bahasa Turki: Teskil-i Vilayet Nizamnamesi)[115] pada tahun 1864 sebagai bagian dari reformasi tanzimat.[116] Tidak seperti sistem eyalet sebelumnya, hukum tahun 1864 ini menetapkan hierarki satuan administratif: vilayet, liva/sanjak, kaza, dan dewan desa. Hukum Vilayet tahun 1871 menambahkan nahiye di antara kaza dan desa.[117]
Pemerintahan Utsmaniyah menerapkan kebijakan pengembangan Bursa, Adrianopel, dan Istanbul (semuanya adalah ibu kota Utsmaniyah) menjadi pusat perdagangan dan industri besar karena para pedagang dan pengrajin memainkan peran besar dalam pembentukan metropolis baru.[118] Sampai saat itu, Mehmed dan penggantinya, Bayezid, juga mendorong dan menerima migrasi kaum Yahudi dari berbagai daerah di Eropa. Mereka menetap di Istanbul dan kota-kota pelabuhan seperti Salonica. Di sejumlah tempat di Eropa, kaum Yahudi ditindas oleh penduduk Kristen. Toleransi yang dimiliki bangsa Turk disambut hangat oleh para imigran.
Dasar ekonomi Utsmaniyah sangat terkait dengan konsep dasar negara dan masyarakat Timur Tengah. Tujuan utama negara waktu itu adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan pemimpin. Cara untuk meraihnya adalah mendapatkan sumber pendapatan yang banyak dengan menyejahterakan kelas pekerja.[119] Tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan negara tanpa mengacaukan kemakmuran rakyatnya demi mencegah kerusuhan dan melindungi tatanan masyarakat tradisional.
Susunan badan keuangan dan bendahara berkembang lebih baik di Kesultanan Utsmaniyah ketimbang pemerintahan Islam lainnya. Pada abad ke-17, organisasi keuangan Utsmaniyah merupakan yang paling maju dibandingkan organisasi keuangan lainnya saat itu.[101] Organisasi ini mengembangkan birokrasi juru tulis (dikenal dengan sebutan "men of the pen") sebagai kelompok terpisah yang separuhnya diisi ulama yang sangat berpengalaman. Kelompok tersebut kemudian berkembang menjadi lembaga profesional.[101] Keefektifan lembaga keuangan profesional berada di balik kesuksesan para negarawan besar Utsmaniyah.[120]
Struktur ekonomi kesultanan ditentukan oleh struktur geopolitiknya. Kesultanan Utsmaniyah berada di antara dunia Barat dan Timur, sehingga menghalangi rute darat ke timur dan memaksa penjelajah Spanyol dan Portugal untuk berlayar mencari rute baru ke timur. Kesultanan mengendalikan rute rempah yang dulu digunakan Marco Polo. Ketika Vasco da Gama menelikung rute Utsmaniyah dan membuat rute dagang langsung ke India tahun 1498, dan Christopher Columbus berlayar ke Bahama tahun 1492, Kesultanan Utsmaniyah berada pada puncak kejayaannya.
Studi Utsmaniyah modern berpendapat bahwa perubahan hubungan antara Turki Utsmaniyah dan Eropa Tengah tercipta oleh pembukaan rute laut yang baru. Sejarawan bisa saja menganggap penurunan lalu lintas darat ke timur setelah Eropa Barat membuka rute laut yang menjauhi Timur Tengah dan Mediterania paralel terhadap kemunduran Kesultanan Utsmaniyah itu sendiri. Perjanjian Inggris-Utsmaniyah, disebut juga Perjanjian Balta Liman, yang membuka pasar Utsmaniyah ke para pesaingnya di Inggris dan Prancis dapat dipandang sebagai salah satu tantangan perkembangan ekonomi Utsmaniyah.
Dengan mengembangkan pusat dan rute perdagangan, mendorong rakyat memperluas lahan pertanian di negara itu, dan mendorong perdagangan internasional melalui jajahannya, pemerintah berhasil melaksanakan fungsi ekonomi dasar di seluruh Kesultanan Utsmaniyah. Meski begitu, kepentingan keuangan dan politik negara lebih dominan. Dalam sistem sosial dan politik yang mereka jalankan, para pejabat Utsmaniyah tidak paham atau tidak sadar dengan tuntutan dinamika dan prinsip ekonomi kapitalis dan merkantil yang saat itu sedang berkembang di Eropa Barat.[121]
Populasi Kesultanan Utsmaniyah diperkirakan berjumlah 11.692.480 jiwa pada 1520–1535. Angka ini diperoleh dengan menghitung jumlah keluarga di catatan sumbangan Utsmaniyah, lalu dikali 5.[122] Atas alasan yang belum jelas, jumlah penduduk abad ke-18 lebih sedikit ketimbang abad ke-16.[123] Perkiraan 7.230.660 jiwa untuk sensus pertama tahun 1831 dianggap terlalu sedikit karena sensus ini bertujuan menghitung potensi wajib militer.[122]
Sensus di teritori Utsmaniyah baru dimulai pada awal abad ke-19. Hasil sensus dari tahun 1831 sampai seterusnya tersedia resmi, tetapi sensusnya tidak mencakup seluruh penduduk. Misal, sensus 1831 hanya menghitung pria dan tidak meliputi seluruh wilayah kesultanan.[46][122] Untuk periode-periode sebelumnya, perkiraan ukuran dan persebaran penduduk didasarkan pada pola demografi yang teramati.[124]
Jumlah penduduknya mulai naik hingga 25–32 juta jiwa pada 1800. 10 juta di antaranya di provinsi-provinsi Eropa (kebanyakan di Balkan), 11 juta di provinsi Asiatik, dan 3 juta di provinsi Afrika. Kepadatan penduduk tertinggi ada di provinsi Eropa, dua kali lipatnya Anatolia, tiga kali lipatnya Irak dan Suriah, dan lima kali lipatnya Arabia.[125]
Menjelang pembubaran kesultanan, angka harapan hidup mencapai 49 tahun, lebih tinggi dibandingkan 20 tahunan di Serbia pada awal abad ke-19.[126] Wabah penyakit dan kelaparan mengakibatkan gangguan besar dan perubahan demografi. Pada tahun 1785, sekitar seperenam penduduk Mesir meninggal akibat wabah dan penduduk Aleppo berkurang 20% pada abad ke-18. Enam kelaparan melanda Mesir antara 1687 dan 1731 dan kelaparan terakhir melanda Anatolia empat dasawarsa kemudian.[127]
Kebangkitan kota-kota pelabuhan memunculkan pengelompokan penduduk yang didorong oleh pengembangan kapal uap dan kereta api. Urbanisasi meningkat dan kota-kota besar maupun kecil tumbuh pada 1700–1922. Perbaikan kesehatan dan sanitasi membuat kota-kota tersebut menarik perhatian para pendatang untuk menetap dan bekerja. Kota-kota pelabuhan seperti Salonica di Yunani mengalami peningkatan populasi dari 55.000 jiwa tahun 1800 menjadi 160.000 pada tahun 1912. Populasi Izmir tumbuh dari 150.000 jiwa tahun 1800 menjadi 300.000 pada tahun 1914.[128][129] Beberapa daerah mengalami penurunan populasi, seperti Beograd yang jumlah penduduknya turun dari 25.000 jiwa menjadi 8.000 jiwa dikarenakan perselisihan politik.[128]
Migrasi ekonomi dan politik memberi pengaruh besar bagi seluruh kesultanan. Contohnya, aneksasi Krimea dan Balkan secara berturut-turut oleh Rusia dan Austria-Habsburg mengakibatkan migrasi pengungsi Muslim dalam jumlah besar. 200.000 penduduk Tatar Krimea mengungsi ke Dobruja.[130] Antara 1783 dan 1913, sekira 5–7 juta pengungsi membanjiri Kesultanan Utsmaniyah, 3,8 juta di antaranya berasal dari Rusia. Beberapa migrasi meninggalkan tanda yang bertahan lama, seperti ketegangan politik antara wilayah-wilayah kesultanan (e.g. Turki dan Bulgaria) Dampak memusat terlihat di daerah lain, seperti demografi sederhana yang muncul dari keragaman penduduk. Ekonomi juga terpukul akibat berkurangnya pengrajin, pedagang, produsen, dan petani.[131] Sejak abad ke-19, penduduk Muslim secara besar-besaran eksodus ke Turki modern dari Balkan. Mereka disebut Muhacir sesuai definisi umum.[132][halaman dibutuhkan] Ketika Kesultanan Utsmaniyah berakhir tahun 1922, separuh penduduk kota Turki adalah keturunan pengungsi Muslim dari Rusia.[70]
Bahasa Turki Utsmaniyah adalah bahasa resmi kesultanan. Ini adalah bahasa Turk yang sangat dipengaruhi bahasa Persia dan Arab. Kesultanan Utsmaniyah memiliki beberapa bahasa berpenaruh: Turki, dituturkan oleh mayoritas penduduk Anatolia dan mayoritas Muslim Balkan selain di Albania dan Bosnia; Persia, hanya dituturkan warga berpendidikan;[133] Arab, banyak dituturkan di Arabia, Afrika Utara, Irak, Kuwait, Levant, dan sebagian Tanduk Afrika; dan Somali di seluruh Tanduk Afrika. Dalam dua abad terakhir, pemakaian bahasa-bahasa tersebut bersifat terbatas dan spesifik. Bahasa Persia, misalnya, cenderung digunakan sebagai bahasa buku untuk warga berpendidikan,[133] sedangkan bahasa Arab dipakai untuk ibadah.
Bahasa Turki, dengan variasi Utsmaniyah, merupakan bahasa militer dan pemerintahan sejak awal pendirian Kesultanan Utsmaniyah. Konstitusi Utsmaniyah 1876 menetapkan status bahasa Turki sebagai bahasa resmi kesultanan.[134]
Dikarenakan tingkat melek huruf yang rendah (sekitar 2–3% sampai awal abad ke-19 dan 15% pada akhir abad ke-19),[butuh rujukan] rakyat jelata perlu mempekerjakan juru tulis sebagai "penulis permintaan khusus" (arzuhâlci) supaya bisa berkomunikasi dengan pemerintah.[135] Sejumlah suku bangsa berbicara dengan keluarganya atau anggota permukimannya (mahalle) menggunakan bahasanya sendiri (e.g. Yahudi, Yunani, Armenia, dll). Di desa-desa tempat dua orang atau lebih tinggal bersama, penduduknya berbicara menggunakan bahasa lawan bicaranya. Di kota kosmopolitan, orang-orang cenderung menuturkan bahasa keluarganya dan banyak warga non-Turk yang menuturkan bahasa Turki sebagai bahasa kedua.
Agama
Dalam sistem Kesultanan Utsmaniyah, walaupun ada kekuasaan hegemon Muslim atas penduduk non-Muslim, komunitas non-Muslim mendapat pengakuan dan perlindungan negara sesuai tradisi Islam.[136]
Sampai paruh kedua abad ke-15, penduduk kesultanan ini didominasi penganut Kristen dan dipimpin minoritas Muslim.[104] Pada akhir abad ke-19, populasi non-Muslim mulai berkurang drastis, bukan karena kehilangan wilayah saja, tetapi juga perpindahan penduduk.[136] Persentase Muslim naik menjadi 60% pada 1820-an, lalu perlahan naik ke 69% pada 1870-an, dan 76% pada 1890-an.[136] Per 1914, hanya 19,1% penduduk kesultanan yang beragama non-Islam. Kebanyakan di antaranya adalah Kristen Yunani, Assyria, Armenia, dan Yahudi.[136]
Suku-suku Turk mempraktikkan macam-macam bentuk shamanisme sebelum memeluk Islam. Pengaruh Abbasiyah di Asia Tengah diperkuat oleh suatu proses yang sangat dipengaruhi kemenangan Abbasiyah pada Pertempuran Talas melawan Dinasti Tang Cina tahun 751. Setelah pertempuran ini, banyak suku Turk—termasuk Turk Oghuz, leluhur Seljuk dan Utsmani—perlahan memeluk Islam dan menyebarkannya ke Anatolia pada abad ke-11.
Sekte-sekte Muslim yang dianggap sesat, seperti Druze, Ismaili dan Alawi, ditempatkan di bawah penganut Yahudi dan Kristen.[138] Pada tahun 1514, Sultan Selim I, yang dijuluki "Pencabut Nyawa" karena kekejamannya, memerintahkan pembantaian 40.000 Alevi Anatolia (Qizilbash) yang ia anggap sesat.[139] Ia kabarnya berkata bahwa "membunuh seorang Alevi pahalanya setara dengan membunuh 70 orang Kristen."[140][halaman dibutuhkan]
Di Kesultanan Utsmaniyah, sesuai sistem zimmi Islam, umat Kristen diberi kebebasan terbatas (seperti hak beribadah), namun diperlakukan seperti warga kelas dua. Umat Kristen dan Yahudi tidak dianggap setara dengan Muslim. Kesaksian melawan terdakwa Muslim oleh seorang Kristen dan Yahudi tidak dianggap sah di pengadilan.[butuh rujukan] Mereka dilarang membawa senjata atau menunggangi kuda, rumah mereka tidak boleh menghadap rumah Muslim, dan praktik ibadahnya harus berbeda dengan praktik ibadah Islam Selain itu masih banyak batasan-batasan legal lainnya.[141]
Dalam sistem yang umum dikenal dengan nama devşirme, sejumlah putra Kristen, kebanyakan dari Balkan dan Anatolia, secara rutin diharuskan mengikuti wajib militer sebelum dewasa, lalu dibesarkan sebagai seorang Muslim.[142]
Di bawah sistem millet, warga non-Muslim wajib mematuhi hukum kesultanan, namun tidak wajib mematuhi hukum Islam. Millet Ortodoks secara hukum masih resmi patuh kepada Kode Justinian, hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi Timur selama 900 tahun. Selain itu, sebagai kelompok non-Muslim terbesar (atau zimmi) di negara Utsmaniyah Islam, millet Ortodoks mendapatkan hak-hak istimewa di bidang politik dan perdagangan serta diwajibkan membayar pajak yang lebih tinggi daripada Muslim.[143][144]
Millet serupa ditetapkan untuk komunitas Yahudi Utsmaniyah yang berada di bawah kewenangan Haham Başı atau kepala rabbi Utsmaniyah; komunitas Ortodoks Armenia yang berada di bawah kewenangan kepala uskup; dan berbagai komunitas agama lainnya. Sistem millet dalam hukum Islam diakui luas sebagai contoh awal pluralisme agama pra-modern.[145]
Kesultanan Utsmaniyah menyerap sejumlah tradisi, seni, dan institusi budaya di daerah-daerah yang mereka taklukkan, lalu menambahkan dimensi baru ke dalamnya. Berbagai tradisi dan kebudayaan imperium sebelumnya (dalam bidang arsitektur, masakan, musik, hiburan, dan pemerintahan) diadopsi oleh bangsa Turk Utsmaniyah. Bangsa Turk kemudian mengubahnya ke bentuk-bentuk baru dan menciptakan identitas budaya Utsmaniyah yang baru dan sangat berbeda. Pernikahan antarbudaya juga berperan dalam menciptakan budaya elit Utsmaniyah. Jika dibandingkan dengan budaya rakyat Turki, pengaruh budaya baru dalam membentuk budaya elit Utsmaniyah sangat jelas terlihat.
Perbudakan adalah bagian dari masyarakat Utsmaniyah.[146] Budak wanita masih dijual di kesultanan sampai tahun 1908.[147] Selama abad ke-19, kesultanan didesak negara-negara Eropa untuk menghapuskan praktik perbudakan. Para sultan pun mengembangkan kebijakan yang bertujuan menghambat perdagangan budak, tetapi karena perbudakan mendapat dukungan dan sanksi agama selama berabad-abad, kebijakan tersebut tidak pernah menghapus perbudakan secara langsung.[butuh rujukan]
Wabah masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Utsmaniyah sampai kuartal kedua abad ke-19. Antara 1701 dan 1750, 37 epidemi besar dan kecil tercatat di Istanbul. Antara 1751 dan 1801, terjadi 31 epidemi di kota yang sama.[148]
Dua aliran utama sastra tulis Utsmaniyah adalah syair dan prosa. Syair sejauh ini merupakan aliran dominan. Sampai abad ke-19, prosa Utsmaniyah tidak mengandung fiksi. Tidak ada karya yang sebanding dengan roman, cerita pendek, atau novel Eropa. Genre yang serupa memang ada, namun dalam bentuk sastra rakyat Turki dan syair Divan.
Syair Divan adalah bentuk seni yang sangat diritualkan dan simbolis. Dari syair Persia yang menginspirasinya, syair Divan mewarisi banyak simbol yang makna dan keterkaitannya—baik persamaan (مراعات نظير mura'ât-i nazîr / تناسب tenâsüb) maupun perbedaannya (تضاد tezâd) dijelaskan secara gamblang atau sederhana. Syair Divan disusun melalui pencampuran konstan beberapa gambar di dalam kerangka kerja metrik yang ketat, sehingga muncul banyak kemungkinan makna. Kebanyakan syair Divan berbentuk lirik, baik gazel (membentuk bagian terbesar dari repertoar tradisi ini) maupun kasîdes. Ada pula genre-genre umum lainnya, salah satunya adalah mesnevî, sejenis roman baris dan berbagai macam puisi narasi. Dua contoh mesnevî yang terkenal adalah Leyli dan Majnun karya Fuzûlî dan Hüsn ü Aşk karya Şeyh Gâlib.
Sampai abad ke-19, Prosa Utsmaniyah tidak berkembang sampai sejauh syair Divan kontemporer. Salah satu alasan utamanya adalah banyak prosa yang harus mematuhi aturan sec (سجع, juga ditransliterasikan menjadi seci), atau prosa berima,[149] jenis penulisan yang diturunkan dari saj' Arab yang mensyaratkan adanya rima antara setiap kata sifat dan kata benda dalam suatu rangkaian kata, seperti kalimat. Karena itu, muncullah sebuah tradisi prosa dalam sastra waktu itu meski sifatnya non-fiksi. Contoh pengecualiannya adalah Muhayyelât karya Giritli Ali Aziz Efendi, kumpulan cerita fantastis yang ditulis tahun 1796 dan baru diterbitkan tahun 1867.
Dikarenakan hubungan historis yang dekat dengan Prancis, sastra Prancis menjadi bagian dari pengaruh besar Barat terhadap sastra Utsmaniyah sepanjang paruh akhir abad ke-19. Akibatnya, banyak aliran di Prancis waktu itu yang juga muncul di Kesultanan Utsmaniyah. Misalnya, dalam perkembangan tradisi prosa Utsmaniyah, pengaruh Romantisisme dapat dilihat saat periode Tanzimat, dan pengaruh aliran Realis dan Naturalisme muncul pada periode selanjutnya. Dalam tradisi syair, pengaruh Simbolis dan Parnassian lebih mencolok.
Banyak penulis pada period Tanzimat menulis dalam beberapa genre secara bersamaan. Misalnya, penyair Namık Kemal menulis novel penting İntibâh ("Kebangkitan") tahun 1876, sedangkan jurnalis İbrahim Şinasi dikenal karena menulis lakon Turki modern pertama pada tahun 1860, yaitu komedi satu babak "Şair Evlenmesi" ("Pernikahan sang Penyair"). Lakon sebelumnya, yaitu farse berjudul "Vakâyi'-i 'Acibe ve Havâdis-i Garibe-yi Kefşger Ahmed" ("Peristiwa Aneh dan Kejadian Mengherankan Ahmed si Tukang Sepatu"), dibuat pada awal abad ke-19, namun keotentikannya masih diragukan. Dengan semangat yang sama, novelis Ahmed Midhat Efendi menulis novel-novel penting untuk setiap aliran besar: Romantisisme (Hasan Mellâh yâhud Sırr İçinde Esrâr, 1873; "Hasan si Pelaut, atau Misteri di Dalam Misteri"), Realisme (Henüz On Yedi Yaşında, 1881; "Baru Tujuh Belas Tahun"), dan Naturalisme (Müşâhedât, 1891; "Pengamatan"). Keragaman ini separuhnya didorong keinginan para penulis Tanzimat yang ingin menyertakan sastra baru sebanyak mungkin dengan harapan bisa menyumbang revitalisasi struktur sosial Utsmaniyah.[150]
Arsitektur Utsmaniyah dipengaruhi oleh arsitektur Persia, Yunani Bizantium, dan Islam. Pada masa kebangkitan, muncul periode arsitektur Utsmaniyah awal atau pertama dan kesenian Utsmaniyah sedang dalam tahap pencarian ide-ide baru. Pada masa perkembangan, muncul periode arsitektur klasik dan kesenian Utsmaniyah sedang jaya-jayanya. Pada masa kemandekan, arsitektur Utsmaniyah menjauh dari gaya klasik.
Sepanjang Era Tulip, arsitektur Utsmaniyah dipengaruhi oleh gaya ornamen tinggi Eropa Barat; Barok, Rococo, Empire, dan gaya-gaya lain saling bercampur. Konsep arsitektur Utsmaniyah lebih berpusat pada masjid. Masjid adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat, tata kota, dan kehidupan komunal. Selain masjid, contoh sempurna arsitektur Utsmaniyah dapat ditemukan di dapur sup, sekolah teologi, rumah sakit, pemandian Turki, dan pemakaman.
Contoh arsitektur Utsmaniyah dari periode klasik selain Istanbul dan Edirne juga dapat ditemukan di Mesir, Eritrea, Tunisia, Algiers, Balkan, dan Rumania. Di sana banyak masjid, jembatan, air mancur, dan sekolah Utsmaniyah. Seni dekorasi Utsmaniyah berkembang seiring banyaknya pengaruh dikarenakan keragaman etnik di Kesultanan Utsmaniyah. Para pengrajin memperkaya Kesultanan Utsmaniyah dengan pengaruh seni pluralistik, seperti mencampurkan seni Bizantium tradisional dengan elemen-elemen seni Cina.[151]
Seni dekorasi
Tradisi miniatur Utsmaniyah yang dilukis untuk mengilustrasikan manuskrip atau dipakai pada album-album khusus sangat dipengaruhi oleh kesenian Persia. Meski begitu, miniatur Utsmaniyah juga melibatkan sejumlah elemen tradisi penerangan dan lukisan Bizantium.[butuh rujukan] Akademi pelukis Yunani, Nakkashane-i-Rum, didirikan di Istana Topkapi pada abad ke-15. Pada awal abad selanjutnya, akademi Persia bernama Nakkashane-i-Irani didirikan.
Penerangan Utsmaniyah mencakup seni lukis non-figur atau seni dekorasi gambar di buku atau lembar muraqqa atau album, berbeda dengan gambar figur miniatur Utsmaniyah. Penerangan, miniatur (taswir), kaligrafi (hat), kaligrafi Islam, penjilidan buku (cilt), dan pemarbelan kertas (ebru) adalah bagian dari seni buku Utsmaniyah. Di Kesultanan Utsmaniyah, manuskrip terang dan berilustrasi dibuat atas perintah sultan atau pejabat pemerintahan. Di Istana Topkapi, manuskrip-manuskrip tersebut dibuat oleh para seniman yang bekerja di Nakkashane, pusat seniman miniatur dan penerangan. Buku-buku keagamaan dan non-keagamaan dapat diterangi. Lembaran album levha terdiri dari kaligrafi terang (hat) tughra, teks keagamaan, petikan syair atau peribahasa, dan gambar dekorasi.
Seni pemintalan karpet sangat berkembang di Kesultanan Utsmaniyah. Karpet memiliki nilai tinggi baik sebagai perlengkapan dekorasi yang kaya akan simbolisme agama dan lainnya maupun sebagai pertimbangan praktis, karena penduduk harus melepas sepatu sebelum memasuki rumah.[152] Pemintalan karpet berawal dari budaya nomaden Asia Tengah (karpet adalah bentuk perlengkapan yang mudah dibawa), lalu menyebar ke masyarakat Anatolia yang sudah menetap. Bangsa Turk memakai karpet, permadani, dan kilim tidak hanya untuk alas ruangan, tetapi juga gantungan di dinding dan lorong agar berfungsi sebagai insulasi tambahan. Karpet juga sering disumbangkan ke masjid dan karena itu masjid umumnya punya banyak koleksi karpet.[153]
Seni pertunjukan
Musik klasik Utsmaniyah adalah bagian penting dari pendidikan kaum elit Utsmaniyah. Sejumlah sultan Utsmaniyah adalah musisi dan komponis besar, seperti Selim III yang komposisinya masih dimainkan sampai sekarang. Musik klasik Utsmaniyah sebagian besar berasal dari gabungan musik Bizantium, musik Armenia, musik Arab, dan musik Persia. Dari komposisinya, musik Utsmaniyah memanfaatkan satuan ritme bernama usul, agak mirip dengan meter di musik Barat, dan satuan melodi bernama makam, mirip-mirip dengan mode musik Barat.
Instrumen yang dipakai adalah campuran instrumen Anatolia dan Asia Tengah (saz, bağlama, kemence), instrumen Timur Tengah lainnya (ud, tanbur, kanun, ney), dan instrumen Barat (biola dan piano). Instrumen Barat baru disertakan terakhir. Karena perbedaan geografis dan budaya antara ibu kota dan daerah lainnya, dua gaya musik yang sangat berbeda pun muncul di Kesultanan Utsmaniyah, yaitu musik klasik Utsmaniyah dan musik rakyat. Di provinsi-provinsinya, berbagai macam musik rakyat terbentuk. Wilayah yang gaya musiknya paling dominan adalah: Türküs Balkan-Trakia, Türküs Timur Laut (Laz), Türküs Aegea, Türküs Anatolia Tengah, Türküs Anatolia Timur, dan Türküs Kaukasus. Beberapa gaya musiknya adalah: musik Yanisari, musik Roma, tari perut, dan musik rakyat Turki.
Lakon bayangan tradisional bernama Karagöz dan Hacivat tersebar ke seluruh Kesultanan Utsmaniyah dan menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili semua etnik dan kelompok sosial besar dalam budaya tersebut.[154][155] Lakon ini dipentaskan oleh seorang pewayang yang juga mengisi suara semua tokoh dan diiringi tamborin (def). Asal usulnya tidak jelas, mungkin dari tradisi Mesir atau Asia.
Masakan Utsmaniyah mengacu pada masakan ibu kota Istanbul dan ibu kota regional, tempat percampuran budaya menghasilkan maskaan bersama yang dinikmati seluruh penduduk. Masakan yang beragam ini disiapkan di dapur Istana Kesultanan oleh koki yang dibawa dari berbagai daerah kesultanan untuk menciptakan dan bereksperimen dengan bermacam bahan.
Hasil racikan dapur Istana Utsmaniyah disaring ke masyarakat, misalnya ketika Ramadan atau proses masak di Yalı para Pasya resepnya menyebar sendiri dari sana ke masyarakat. Hari ini, masakan Utsmaniyah masih ada di Turki, Balkan, dan Timur Tengah. Ini adalah "warisan bersama berupa sesuatu yang dulunya merupakan gaya hidup Utsmaniyah, dan masakan-masakan mereka adalah bukti kuat fakta ini".[156]
Biasanya masakan hebat manapun di dunia tercipta dari variasi lokal dan pertukaran dan pengayaan bersama yang terjadi di dalamnya, namun pada saat yang sama terhomogenisasi dan terharmonisasi oleh tradisi perbaikan citarasa metropolitan.[156]
Olahraga
Olahraga utama yang dilakukan Ottoman adalah gulat Turki, berburu, memanah Turki, menunggang kuda, berkuda lempar lembing, panco, dan berenang. Klub olahraga model Eropa dibentuk dengan semakin populernya pertandingan sepak bola di Konstantinopel abad ke-19. Klub-klub terkemuka, menurut garis waktu, adalah Klub Senam Beşiktaş (1903), Klub Olahraga Galatasaray (1905), Klub Olahraga Fenerbahçe (1907), MKE Ankaragücü (sebelumnya Turan Sanatkaragücü) (1910) di Konstantinopel. Klub sepak bola juga dibentuk di provinsi lain, seperti Klub Olahraga Karşıyaka (1912), Klub Olahraga Altay (1914) dan Klub Sepak Bola Tanah Air Turki (kemudian Ülküspor) (1914) di İzmir.
Sepanjang sejarah Kesultanan Utsmaniyah, masyarakatnya berusaha membangun perpustakaan besar yang dilengkapi buku terjemahan dari peradaban lain dan manuskrip asli.[29] Sebagian besar permintaan manuskrip lokal dan asing muncul pada abad ke-15. Sultan Mehmet II memerintahkan Georgios Amirutzes, seorang cendekiawan Yunani dari Trabzon, untuk menerjemahkan dan menyebarkan buku geografi Ptolomeus ke lembaga-lembaga pendidikan Utsmaniyah. Contoh lainnya adalah Ali Qushji, astronom, matematikawan, dan fisikawan dari Samarkand, yang menjadi profesor di dua madrasah dan berhasil memengaruhi pemerintah Utsmaniyah melalui tulisan-tulisannya dan aktivitas muridnya. Ia hanya menghabiskan dua atau tiga tahun di Kesultanan Utsmaniyah sebelum meninggal dunia di Istanbul.[157]
Taqi al-Din membangun Observatorium Taqi al-Din Istanbul pada tahun 1577. Ia melakukan pengamatan astronomi di sana sampai 1580. Ia menghitung eksentrisitas orbit Matahari dan pergerakan tahunan apogeo.[158] Observatoriumnya diruntuhkan tahun 1580[159] karena bangkitnya faksi ulama yang menentang atau setidaknya tidak acuh terhadap sains.[160]
Contoh jam yang mengukur waktu dalam hitungan menit dibuat oleh seorang pengrajin jam Utsmaniyah, Meshur Sheyh Dede, pada tahun 1702.[163]
Pada awal abad ke-19, Mesir di bawah kepemimpinan Muhammad Ali mulai menggunakan mesin uap untuk industri manufaktur, dengan industri seperti pabrik besi, manufaktur tekstil, pabrik kertas, dan pabrik penggilingan kulit beralih ke tenaga uap. Sejarawan ekonomi Jean Batou berpendapat bahwa kondisi ekonomi yang diperlukan ada di Mesir untuk mengadopsi minyak sebagai sumber energi potensial untuk mesin uapnya pada akhir abad ke-19.
Pada abad ke-19, Ishak Efendi berjasa memperkenalkan ide-ide dan perkembangan ilmiah Barat saat itu ke Ottoman dan dunia Muslim yang lebih luas, serta penemuan terminologi ilmiah Turki dan Arab yang sesuai, melalui terjemahan karya-karya Barat.
^Sebelumnya Edirne bernama Adrianopel. Pasca penaklukan kota ini oleh Utsmaniyah, namanya diganti menjadi Edirne.
^Nama resmi Istanbul adalah Kostantiniyye (قسطنطينيه) pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah. Nama Konstantinopel terus digunakan oleh dunia Barat sampai 1930. Istanbul menjadi nama resminya setelah diubah oleh pemerintah Turki pada tanggal 28 Maret 1930.
^Mehmed VI, Sultan terakhir, diusir dari Konstantinopel tanggal 17 November 1922.
^Perjanjian Sèvres (10 Agustus 1920) menawarkan wilayah kecil untuk Kesultanan Utsmaniyah. Pada tanggal 1 November 1922, Majelis Agung Nasional membubarkan kesultanan dan menyatakan bahwa semua peraturan rezim Utsmaniyah di Istanbul tidak berlaku lagi per 16 Maret 1920, tanggal pendudukan Konstantinopel menurut Perjanjian Sevres. Pengakuan internasional terhadap Majelis Agung Nasional dan Pemerintah Ankara tercapai melalui penandatanganan Perjanjian Lausanne tanggal 24 Juli 1923. Majelis Agung Nasional Turki meresmikan "Republik pada 29 Oktober 1923 dan secara efektif mengakhiri eksistensi Kesultanan Utsmaniyah dalam sejarah dunia.
^Terhitung sejak abad ke-19, nama Osmanlı Devleti menjadi populer di kalangan warga negara dan pejabat pemerintahan Utsmaniyah. Sebelum 1800-an, nama Osmanlı Devleti digunakan secara tidak resmi, namun banyak catatan menunjukkan bahwa nama ini digunakan secara informal oleh penduduk Utsmaniyah.
^Perdagangan yang terpaku antara Eropa Barat dan Asia dianggap luas sebagai motivasi utama bagi Isabella I dari Castile untuk mendanai pelayaran Christopher Columbus ke barat untuk menemukan rute menuju Asia dan selain itu agar bangsa-bangsa Eropa terus mencari rute dagang alternatif (e.g. K. D. Madan, Life and travels of Vasco Da Gama (1998), 9; I. Stavans, Imagining Columbus: the literary voyage (2001), 5; W.B. Wheeler and S. Becker, Discovering the American Past. A Look at the Evidence: to 1877 (2006), 105). Pandangan tradisional ini dianggap tidak berdasar dalam sebuah artikel terkenal karya A.H. Lybyer ("The Ottoman Turks and the Routes of Oriental Trade”, English Historical Review, 120 (1915), 577–588) yang melihat kebangkitan kekuasaan Utsmaniyah dan awal penjelajahan Portugal dan Spanyol sebagai dua peristiwa yang tidak ada hubungannya. Pandangan ini belum diterima secara universal (cf. K.M. Setton, The Papacy and the Levant (1204–1571), Vol. 2: The Fifteenth Century (Memoirs of the American Philosophical Society, Vol. 127) (1978), 335).
Catatan
^Ottoman Capital Bursa. Official website of Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Turkey. Retrieved 26 June 2013.
^"It served as the capital of the Ottoman Empire from 1413 until 1453 and flourished as an administrative, commercial, and cultural centre." "Edirne"Encyclopædia Britannica. Retrieved 27 June 2013
^Hall, Thomas D.; Adams, Jonathan M. (2006). "East-West Orientation of Historical Empires"(PDF). Journal of World-Systems Research. 12 (2): 219–229. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2007-02-22. Diakses tanggal 11 February 2013.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)
^Dündar, Orhan; Dündar, Erhan, 1.Dünya Savaşı, Millî Eğitim Bakanlığı Yayınları, 1999, ISBN 975-11-1643-0
^Erickson, Edward J. Defeat in detail: the Ottoman Army in the Balkans, 1912–1913. hlm. 59.
^Soucek, Svat (2015). Ottoman Maritime Wars, 1416–1700. Istanbul: The Isis Press. hlm. 8. ISBN978-975-428-554-3. The scholarly community specializing in Ottoman studies has of late virtually banned the use of "Turkey", "Turks", and "Turkish" from acceptable vocabulary, declaring "Ottoman" and its expanded use mandatory and permitting its "Turkish" rival only in linguistic and philological contexts.
^Karpat, Kemal H. (1974). The Ottoman state and its place in world history. Leiden: Brill. hlm. 111. ISBN90-04-03945-7.
^Savory, R. M. (1960). "The Principal Offices of the Ṣafawid State during the Reign of Ismā'īl I (907-30/1501-24)". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 23 (1): 91–105. doi:10.1017/S0041977X00149006. ISSN0041-977X. JSTOR609888.
^Fernand Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II, vol. II ( University of California Press: Berkeley, 1995).Kesultanan Utsmaniyah
^Kunt, Metin; Woodhead, Christine (1995). Süleyman the Magnificent and his age: the Ottoman Empire in the early modern world. Longman. hlm. 53. ISBN978-0-582-03827-1.
^"PTT Chronology" (dalam bahasa Turkish). PTT Genel Müdürlüğü. 13 September 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-13. Diakses tanggal 11 February 2013.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"Beylerbeyi Palace". Istanbul City Guide. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-10. Diakses tanggal 11 February 2013.
^"Sultan Abdülmecid: İlklerin Padişahı" (dalam bahasa Turkish) (July 2011). NTV Tarih: 49. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-12. Diakses tanggal 11 February 2013.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"History". Türk Telekom. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 11 February 2013.
^Memoirs of Miliutin, "the plan of action decided upon for 1860 was to cleanse [ochistit'] the mountain zone of its indigenous population", per Richmond, W. The Northwest Caucasus: Past, Present, and Future. Routledge. 2008.
^Richmond, Walter (29 July 2008). The Northwest Caucasus: Past, Present, Future. Taylor & Francis US. hlm. 79. ISBN978-0-415-77615-8. Diakses tanggal 11 February 2013. the plan of action decided upon for 1860 was to cleanse [ochistit'] the mountain zone of its indigenous population
^Matthew J. Gibney; Randall A. Hansen (30 June 2005). Immigration and Asylum: From 1900 to the Present. ABC-CLIO. hlm. 437. ISBN978-1-57607-796-2. Diakses tanggal 11 February 2013. Muslims had been the majority in Anatolia, the Crimea, the Balkans and the Caucasus and a plurality in southern Russia and sections of Romania. Most of these lands were within or contiguous with the Ottoman Empire. By 1923, only Anatolia, eastern Thrace and a section of the south-eastern Caucasus remained to the Muslim land.[pranala nonaktif permanen]
^Şevket Pamuk (2009). "The Ottoman Economy in World War I". Dalam Broadberry/Harrison. The Economics of World War I. Cambridge University Press. hlm. 112. ISBN978-1-139-44835-2. Diakses tanggal 18 February 2013.
^ abcdLee Epstein, Karen O'Connor, Diana Grub. "Middle East"(PDF). Legal Traditions and Systems: an International Handbook. Greenwood Press. hlm. 223–224. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2013-05-25. Diakses tanggal 2013-12-24.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Milner, Mordaunt (1990). The Godolphin Arabian: The Story of the Matchem Line. Robert Hale Limited. hlm. 3–6. ISBN978-0-85131-476-1.
^Wall, John F. Famous Running Horses: Their Forebears and Descendants. hlm. 8. ISBN978-1-163-19167-5.
^Halil İnalcık, Studies in the economic history of the Middle East : from the rise of Islam to the present day / edited by M. A. Cook.
London University Press, Oxford U. P. 1970, p. 209 ISBN 0-19-713561-7
^Halil İnalcık, Studies in the economic history of the Middle East : from the rise of Islam to the present day / edited by M. A. Cook.
London University Press, Oxford U. P. 1970, p. 217 ISBN 0-19-713561-7
^İnalcık, Halil; Quataert, Donald (1971). An Economic and Social History of the Ottoman Empire, 1300–1914. hlm. 120.
^Halil inalcik, Studies in the economic history of the Middle East : from the rise of Islam to the present day / edited by M. A. Cook.
London University Press, Oxford U. P. 1970, p. 218 ISBN 0-19-713561-7
^Leila Erder and Suraiya Faroqhi (1979). "Population Rise and Fall in Anatolia 1550–1620". Middle Eastern Studies. 15 (3): 322–345. doi:10.1080/00263207908700415.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Shaw, S J (1978). The Ottoman Census System and Population, 1831–1914. International Journal of Middle East Studies. Cambridge University Press. hlm. 325. The Ottomans developed an efficient system for counting the empire's population in 1826, a quarter of a century after such methods were introduced in Britain, France and America
^Pamuk, S (1991). "The Ottoman Empire and the World Economy: The Nineteenth Century". International Journal of Middle East Studies. Cambridge University Press. 23 (3).Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"The Ottoman Constitution, promulgated the 7th Zilbridge, 1293 (11/23 December, 1876)". The American Journal of International Law. 2 (4): 376. 1908. JSTOR2212668.
^ abcdIçduygu, Ahmet (1 February 2008). "The politics of population in a nation-building process: emigration of non-Muslims from Turkey". Ethnic and Racial Studies. 31 (2): 358–389. doi:10.1080/01419870701491937.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^"Tile". Victoria & Albert Museum. 25 August 2009. Diakses tanggal 26 August 2010.
^Université de Strasbourg. Institut de turcologie, Université de Strasbourg. Institut d'études turques, Association pour le développement des études turques. (1998). Turcica. Éditions Klincksieck. hlm. 198.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Murat Belge (2005). Osmanlı'da kurumlar ve kültür. İstanbul Bilgi Üniversitesi Yayınları. hlm. 389. ISBN978-975-8998-03-6.
^Moran, Berna. Türk Romanına Eleştirel Bir Bakış Vol. 1. hlm. 19. ISBN975-470-054-0.
^ abBert Fragner, "From the Caucasus to the Roof of the World: a culinary adventure", in Sami Zubaida and Richard Tapper, A Taste of Thyme: Culinary Cultures of the Middle East, London, Prague and New York, p. 52
^Ragep, F. J. (2005). "Ali Qushji and Regiomontanus: eccentric transformations and Copernican Revolutions". Journal for the History of Astronomy. Science History Publications Ltd. 36 (125): 359–371. Bibcode:2005JHA....36..359R.
^Sevim Tekeli (1997). "Taqi al-Din". Encyclopaedia of the history of science, technology and medicine in non-western cultures. Encyclopaedia of the History of Science. Kluwer. Bibcode:2008ehst.book.....S. ISBN0792340663.
^Bademci, G. (2006). "First illustrations of female Neurosurgeons in the fifteenth century by Serefeddin Sabuncuoglu". Neurocirugía. 17 (2): 162–5. doi:10.4321/S1130-14732006000200012.
Encyclopaedia Britannica (12th ed. 1922) comprises the 11th edition plus three new volumes 30-31-32 that cover events since 1911 with very thorough coverage of the war as well as every country and colony. Included also in 13th edition (1926) partly online
Fromkin, David (1989). A Peace to End All Peace: the Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. New York: Avon Books. 635 p., ill. with [34] p. of b&w photos. ISBN 0-380-71300-4
Palmer, Alan (1992). The Decline and Fall of the Ottoman Empire. New York: M. Evans and Co. ix, [4], 306 p., maps. ISBN 0-87131-754-0