Keaisaran Seleukia merupakan pusat penting kebudayaan Helenistik yang menjaga keberlangsungan adat Yunani dan tempat elit politik Yunani-Makedonia mendominasi, sebagian besar di daerah perkotaan.[5][6][7][8] Populasi Yunani di kota-kota yang menjadi elit dominan merupakan para emigran dari Yunani.[5][6] Ekspansi Seleukia ke Anatolai dan Yunani secara tiba-tiba terhenti setelah kekalahan Seleukia oleh pasukan Romawi. Usaha mereka untuk mengalahkan musuh bebuyutan mereka Mesir Ptolemaik dipersulit oleh tuntutan-tuntutan Romawi. Sebagian besar wilayah kekaisaran ditaklukan oleh bangsa Parthia di bawah Mithridates I dari Parthia pada pertengahan abad ke-2 SM, tetapi para raja Seleukia terus memerintah wilayah yang kecil di Suriah hingga invasi oleh raja ArmeniaTigranes yang Agung dan akhirnya Seleukia diruntuhkan oleh jenderal RomawiPompeius.
Pembagian wilayah kekaisaran Aleksander (323-281 SM)
Aleksander Agung telah menaklukkan Kekaisaran Persia dalam waktu yang sangat singkat dan meninggal dalam usia muda. Ia meninggalkan sebuah kekaisaran yang sangat luas yang sebagian telah dipengaruhi oleh budaya Helenis, tanpa ahli waris yang dewasa. Karena itu, jenderal-jenderalnya (Diadokhoi) saling memperebutkan kekuasaan atas kekaisarannya.
Seleukos, salah seorang jenderalnya, mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa di Babilonia pada 312 SM. Tanggal ini dijadikannya sebagai tanda pendirian Kekaisaran Seleukia. Ia memerintah bukan hanya atas Babilonia, tetapi juga atas keseluruhan wilayah timur yang luas dari Kekaisaran Aleksander. Setelah kemenangannya dan juga kemenangan Lysimakhos atas Antigonos Monophtalmos dalam Pertempuran Ipsus pada 301 SM, Seleukos menguasai wilayah timur Anatolia dan bagian utara Suriah. Di Suriah ia mendirikan sebuah ibu kota yang baru di Antiokhia di Orontes, sebuah kota yang dinamainya sesuai dengan nama ayahnya. Sebuah ibu kota alternatif dibangun di Seleukia di Tigris, di utara Babilonia. Kekaisaran Seleukia mencapai puncak keluasannya setelah ia mengalahkan orang yang pernah menjadi sekutunya Lysimakhos, pada Korupedion pada 281 SM. Seleukos memperluas kekuasaannya hingga mencakup bagian barat Anatolia. Ia berharap untuk menguasai pula tanah-tanah Lysimakhus di Eropa - terutama Thrakia dan bahkan Makedonia sendiri, tetapi ia dibunuh oleh Ptolemaios Keraunos ketika ia tiba di Eropa. Anaknya dan penggantinya, Antiokhos I Soter, terbukti tidak mampu meneruskan apa yang tidak bisa diselesaikan ooleh ayahnya dalam menaklukkan wilayah Eropa dari kekaisaran Aleksander, tetapi demikian ia toh tetap mewarisi sebuah wilayah yang sangat luas terdiri atas hampir semua bagian Asia dari Kekaisaran itu. Para saingannya adalah Antigonos II Gonatas di Makedonia dan Ptolemaios II Philadelphos di Mesir.
Secara geografis Kekaisaran Seleukia merentang dari Laut Aigea hingga ke Afghanistan, hingga mempersatukan berbagai ras dan bangsa: antara lain bangsa Yunani, Persia, Media, Yahudi, India, dll. Para penguasanya berniat untuk menerapkan kebijakan kesatuan rasial yang dimulai oleh Aleksander. Pada 313 SM, gagasan Helenis telah mulai ekspansinya yang berlangsung selama hampir 250 tahun di lingkungan budaya Timur Dekat, Timur Tengah, dan Asia Tengah. Kekaisaran ini memerintah dengan membangun ratusan kota untuk maksud-maksud perdagangan dan hunian. Banyak di antara kota-kota itu mulai – atau dipaksa – mengadopsi pemikiran filsafat, rasa keagamaan, dan politik Helenis. Gagasan-gagasan budaya, keagamaan dan filsafat Helenis disintesiskan dengan apa yang ada di masyarakat setempat dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda – dengan hasil kadang-kadang kedamaian dan pemberontakan secara bersamaan di berbagai wilayah kekaisaran.
Wilayah yang terlalu luas
Namun demikian, bahkan sebelum kematian Seleukos, wilayah timur yang sangat luas dari Dinasti Seleukid terbukti sulit untuk dikuasai. Seleukos menyerang India (PunjabPakistan modern) pada 304 SM, tetapi dikalahkan oleh Chandragupta Maurya (Sandrokottos), pendiri Kekaisaran Maurya. Dikatakan bahwa Chandragupta menurunkan pasukan yang terdiri atas 100.000 orang dan 9.000 gajah perang, dan memaksa Seleukos untuk menyerahkan wilayah-wilayah di bagian timur dan selatan dari Afganistan sekarang. Perdamaian diperkuat oleh sebuah aliansi yang dijamin oleh pernikahan Chandragupta dengan anak perempuan Seleukos. Sebagai gantinya, Chandragupta memberikan kepadanya tidak kurang dari 500 ekor gajah, selain tentaranya sendiri yang kelak memainkan peranan penting dalam kemenangannya di Ipsus.
Seleukos mengutus seorang duta besar yang bernama Megasthenes ke istana Chandragupta, yang berulang kali mengunjungi Pataliputra (kini Patna di negara bagian Bihar), ibu kota Chandragupta. Megasthenes menulis gambaran yang terinci tentang India dan pemerintahan Chandragupta, yang sebagian telah dilestarikan bagi kita melalui Diodoros Sikolos.
Wilayah-wilayah lain yang lepas sebelum kematian Seleukos adalah Gedrosia di tenggara dataran tinggi Iran, dan, di sebelah utaranya, Arakosia di tepi barat Sungai Indus. Antiokhos I (memerintah 281-261 SM) dan anak serta penggantinya Antiokhos II Theos (memerintah 261-246 SM) dihadapkan dengan tantangan-tantangan di barat, termasuk perang berulang-ulang dengan Ptolemaios II dan serangan bangsa Kelt dari Asia Minor – yang mengalihkan perhatiannya dari upaya mempersatukan wilayah bagian timur Kekaisaran. Menjelang akhir masa pemerintahan Antiokhos II, provinsi-provinsi timur Baktria dan Parthia secara berbarengan menyatakan kemerdekaannya.
Yunani-Baktria memisahkan diri (250 SM)
Diodotos, gubernur untuk wilayah Baktria, menyatakan wilayahnya merdeka pada 250 SM untuk membentuk kerajaan Yunani-Baktria. Kerajaan ini dicirikan oleh budaya Helenis yang kaya, dan melanjutkan dominasinya atas Baktria hingga sekitar 125 SM, ketika ia dikalahkan oleh penyerangan bangsa-bangsa nomaden utara. Salah seorang dari raja-raja Yunani-Baktria, Demetrios I dari Baktria, menyerang India sekitar 180 SM dan membentuk kerajaan Yunani-India, yang bertahan hingga 1 SM.
Parthia memisahkan diri (250 SM)
Seorang ketua suku Parthia yang bernama Arsases merebut wilayah Parthia dari Kekaisaran Seleukia sekitar 250 SM untuk membentuk Dinasti Arsasid – yang merupakan titik awal Kekaisaran Parthia yang kuat.
Kekuasaan memudar dan kebangkitan kembali
Pada saat anak Antiokhos II, Seleukos II naik takhta sekitar 246 SM, kekuasaan Dinasti Seleukd tampak merosot. Selain dari pemisahan diri Parthia dan Baktria, Seleukos II secara dramatis dikalahkan dalam Perang Suriah Ketiga melawan Ptolemaios III dari Mesir, dan kemudian harus menghadapi perang saudara melawan saudaranya sendiri Antiokhos Hierax. Di Asia Kecil pula, Dinasti Seleukid tampaknya kehilangan kekuasaannya – bangsa Galia telah sepenuhnya memantapkan kekuasaannya di Galatia, kerajaan-kerajaan yang semi-independen semi-Helenis bermunculan di Bitinia, Pontus, dan Kapadosia, dan kota Pergamum di sebelah barat menyatakan kemerdekaannya di bawah Dinasti Attalid.
Tetapi Kekaisaran ini bangkit kembali ketika anak Seleukos II yang lebih muda, Antiokhos III yang Agung, naik takhta pada 223 SM. Meskipun mulanya gagal dalam Perang Suriah Keempat melawan Mesir, yang menyebabkan kekalahan yang memalukan pada Pertempuran Raphia (217 SM), Antiokhos belakangan membuktikan dirinya sebagai yang terbesar dari semua penguasa Seleukia setelah Seleukos I sendiri. Setelah kekalahannya di Raphia, ia menghabiskan 10 tahun berikutnya di Anabasisnya di seluruh bagian timur dari wilayah kekuasaannya. Ia memulihkan vasal-vasal yang memberontak seperti Parthia dan Baktria hingga sekurang-kurangnya secara nominal mereka menjadi taat, dan bahkan meniru Aleksander dengan melakukan ekspedisi ke India.
Ketika ia kembali ke barat pada 205 SM, Antiokhos menemukan bahwa dengan kematian Ptolemaios IV, situasinya kini tampak menguntungkan untuk melakukan peperangan lagi ke sebelah barat.
Antiokhos dan Filipus V kemudian membuat suatu kesepakatan untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan Ptolemaios di luar Mesir, dan dalam Perang Suriah Kelima, Dinasti Seleukid menggulingkan Ptolemaios V dari kekuasaannya atas Koile Suriah. Pertempuran Panium (198 SM) mengukuhkan peralihan kekuasaan dari tangan keluarga Ptolemaios kepada Dinasti Seleukid. Antiokhos tampaknya, sekurang-kurangnya, berhasil memulihkan keagungan Kerajaan Seleukia.
Kekuasaan Romawi dan disintegrasi kembali
Namun keagungan Antiokhos tidak bertahan lama. Setelah kekalahan bekas sekutunya Philippos di tangan Romawi pada 197 SM, Antiokhos kini melihat kesempatan untuk berekspansi ke Yunani. Didorong oleh jenderal Kartago, Hannibal, dan setelah membangun aliansi dengan Liga Aitolia yang merasa tidak puas, Antiokhos pun menyerang Yunani. Malangnya, keputusan ini menyebabkan kejatuhannya: ia dikalahkan oleh pasukan Romawi di Thermopylae (191 SM) dan pada Magnesia (190 SM), dan dipaksa untuk mengadakan perdamaian dengan Romawi melalui Perjanjian Apamia (188 SM) yang memalukan – yang memaksanya untuk melepaskan semua wilayahnya di Eropa, menyerahkan semua daerah di sebelah utara Asia Kecil, Pegunungan Taurus, kepada Pergamum, dan menyetujui pembayaran ganti rugi yang sangat besar. Antiokhos meninggal pada 187 SM dalam sebuah ekspedisi lain ke timur; dengan ekspedisi ini ia berusaha mengumpulkan uang untuk membayar ganti rugi tersebut.
Pemerintahan oleh anak dan penggantinya, Seleukos IV Philopator (187-175 SM) pada umumnya dihabiskan dengan berbagai usaha untuk membayar ganti rugi yang besar itu, dan Seleukos pada akhirnya dibunuh oleh menterinya Heliodoros. Adik laki-laki Seleukos, Antiokhos IV Epiphanes, kini merebut takhta. Ia berusaha memulihkan wibawa Seleukia dengan mengadakan perang yang sukses melawan Mesir; namun demikian, meskipun ia berhasil memukul tentara Mesir mundur hingga ke Alexandria, ia sendiri dipaksa menarik mundur oleh utusan Romawi Popilius Laena, yang terkenal karena membuat lingkaran di pasir di sekeliling raja itu dan menyuruhnya untuk mengambil keputusan apakah ia mau mundur atau tidak dari Mesir sebelum ia meninggalkan lingkaran tersebut. Antiokhos memilih untuk mundur.
Pada masa pemerintahannya di kemudian hari, ia menyaksikan disintegrasi lebih jauh Kekaisarannya. Wilayah timur kekaisarannya hampir tidak bisa dikendalikan, ketika orang-orang Parthia mulai mengambil alih tanah Persia; dan upaya helenisasi Antiokhos yang agresif (atau de-Yahudisasi) menyebabkan bangkitnya pemberontakan bersenjata di Yudea – yaitu pemberontakan Makabe. Upaya-upaya untuk menangani bangsa Parthia dan orang-orang Yahudi terbukti sia-sia, dan Antiokhos sendiri mati dalam sebuah ekspedisi melawan bangsa Parthia pada 164 SM.
Perang saudara dan kehancuran lebih jauh
Setelah kematian Antiokhos IV Epiphanes, Kekaisaran Seleukia menjadi semakin tidak stabil. Berbagai perang saudara yang kerap kali terjadi menggoyahkan kekuasaan sentral. Anak Epiphanes yang masih muda, Antiokhos V Eupator, mula-mula digulingkan oleh anak Seleukos IV, Demetrios I Soter pada 161 SM. Demetrios I berusaha memulikan kekuasaan Seleukia di Yudea khususnya, tetapi ia digulingkan pada 150 SM oleh Alexandros Balas – seorang penipu yang (dengan dukungan Mesir) mengaku-ngaku sebagai anak Epiphanes. Aleksander Balas memerintah hingga 145 SM, ketika ia digulingkan oleh anak Demetrios I, Demetrios II Nikator. Namun demikian Demetrios II terbukti tidak mampu mengendalikan seluruh kerajaan. Sementara ia memerintah Babilonia dan Suriah bagian timur dari Damaskus, sisa-sisa pendukung Balas – mula-mula mendukung anak Balas, Antiokhos VI, dan kemudian mendukung jenderal yang merebut kekuasaan Diodotos Tryphon – ditahan di Antiokhia.
Sementara itu, terlepasnya daerah kekuasaan Kekaisaran terus berlangsung. Pada 143 SM, orang-orang Yahudi telah sepenuhnya mengukuhkan kemerdekaan mereka. Ekspansi Parthia juga berlanjut terus. Pada 139 SM, Demetrios II dikalahkan dalam pertempuran oleh orang-orang Parthia dan ditangkap. Pada saat ini, keseluruhan Dataran Tinggi Iran telah jatuh ke tangan Parthia. Saudara laki-laki Demetrios Nikator, Antiokhos VII, akhirnya mampu memulihkan kesatuan dan kekuatan untuk sementara waktu ke wilayah kekuasaan Seleukia, tetapi ia terbukti tidak setara dengan ancaman Parthia. Ia terbunuh dalam pertempuran dengan orang-orang Parthia pada 129 SM, yang menyebabkan keruntuhan terakhir kekuasaan Seleukia atas Babilonia. Setelah kematian Antiokhos VII, seluruh kekuasaan Seleukia praktis hancur, karena berbagai pihak memperebutkan kekuasaan atas apa yang tersisa dari wilayah Seleukia dalam perang saudara yang tidak habis-habisnya.
Keruntuhan Kekaisaran Seleukia
Pada 100 SM, Kekaisaran Seleukia yang pernah begitu jaya kini hanya mencakup wilayah yang sedikit lebih luas daripada Antiokhia dan beberapa kota Suriah. Meskipun kekuasaannya jelas sudah hancur dan kerajaan mereka runtuh di sekitarnya, kaum bangsawannya terus memainkan peranan sebagai tokoh-tokoh berpengaruh dalam peta kekuatan di daerah itu, dengan sekali-sekali campur tangan dari Kerajaan Ptolemaik di Mesir dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dinasti Seleukid ada semata-mata karena tidak ada bangsa lain yang ingin mencaplok mereka. Mereka dianggap sebagai peredam di antara tetangga-tetangga mereka. Dalam berbagai peperangan di Anatolia antara Mithridates VI dari Pontus dan Sulla dari Romawi, Dinasti Seleukid umumnya dibiarkan oleh para petarung utamanya.
Namun demikian, menantu Mithridates yang ambisius, Tigranes yang Agung, raja dari Armenia, melihat kesempatan untuk melakukan perluasan dalam untuk memperluas wilayahnya di tengah-tengah perang saudara yang berkelanjutan di selatan. Pada 83 SM, atas undangan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perang saudara yang berkelanjutan itu, ia menyerang Suriah, dan segera menetapkan dirinya sebagai penguasa Suriah, dan praktis mengakhir kekuasaan Seleukia.
Namun demikian, kekuasaan Seleukia tidak sama sekali tamat. Setelah kemenangan jenderal Romawi Lucullus atas Mithridates dan Tigranes pada 69 SM, sisa-sisa kerajaan Seleukia dipulihkan di bawah Antiokhos XIII. Bahkan sekarang, perang saudara tidak dapat dicegah, karena seorang penguasa Seleukia lainnya, Filipus II, memperebutkan kekuasaan dengan Antiokhus. Setelah penaklukan Romawi atas Pontus, orang-orang Romawi menjadi semakin kuatir atas ketidakstabilan yang berkelanjutan di Suriah di bawah Dinasti Seleukid. Setelah Mithridates dikalahkan oleh Pompeius pada 63 SM, Pompeius berusaha menciptakan kembali wilayah Timur yang hellenis, dengan menciptakan kerajaan-kerajaan klien yang baru dan mendirikan provinsi-provinsi. Sementara negara-negara klien seperti Armenia dan Yudea dibiarkan tetap mempertahankan otonomi pada batas tertentu di bawah raja-raja setempat, Pompeius menganggap Dinasti Seleukid terlalu merepotkan untuk dibiarkan berlanjut. Sambil menyingkirkan kedua pangeran Seleukia yang merupakan lawannya, ia menjadikan Suriah sebagai sebuah provinsi Romawi.
Kekaisaran Seleukia (The Seleucid Empire ) adalah nama sejumlah faksi dalam permainan komputer 2004Rome: Total War.
Maccabees (Kaum Makabe), yang mengusir bangsa Seleukia, adalah nama bir dan sejumlah tim olahraga (termasuk bola basket dan sepak bola) di Israel pada 2006.
^Jones, Kenneth Raymond (2006). Provincial reactions to Roman imperialism: the aftermath of the Jewish revolt, A.D. 66-70, Parts 66-70. University of California, Berkeley. hlm. 174. ISBN9780542824739. ... and the Greeks, or at least the Greco-Macedonian Seleucid Empire, replace the Persians as the Easterners.
^Society for the Promotion of Hellenic Studies (London, England) (1993). The Journal of Hellenic studies, Volumes 113-114. Society for the Promotion of Hellenic Studies. hlm. 211. The Seleucid kingdom has traditionally been regarded as basically a Greco-Macedonian state and its rulers thought of as successors to Alexander.
^Baskin, Judith R. ; Seeskin, Kenneth (2010). The Cambridge Guide to Jewish History, Religion, and Culture. Cambridge University Press. hlm. 37. ISBN9780521689748. The wars between the two most prominent Greek dynasties, the Ptolemies of Egypt and the Seleucids of Syria, unalterably change the history of the land of Israel…As a result the land of Israel became part of the empire of the Syrian Greek Seleucids.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^ abcGlubb, Sir John Bagot (1967). Syria, Lebanon, Jordan. Thames & Hudson. hlm. 34. OCLC585939. In addition to the court and the army, Syrian cities were full of Greek businessmen, many of them pure Greeks from Greece. The senior posts in the civil service were also held by Greeks. Although the Ptolemies and the Seleucids were perpetual rivals, both dynasties were Greek and ruled by means of Greek officials and Greek soldiers. Both governmennts made great efforts to attract immigrants from Greece, thereby adding yet another racial element to the population.
^ abSteven C. Hause, William S. Maltby (2004). Western civilization: a history of European society. Thomson Wadsworth. hlm. 76. ISBN9780534621643. The Greco-Macedonian Elite. The Seleucids respected the cultural and religious sensibilities of their subjects but preferred to rely on Greek or Macedonian soldiers and administrators for the day-to-day business of governing. The Greek population of the cities, reinforced until the second century BCE by emigration from Greece, formed a dominant, although not especially cohesive, elite.
^Victor, Royce M. (2010). Colonial education and class formation in early Judaism: a postcolonial reading. Continuum International Publishing Group. hlm. 55. ISBN9780567247193. Like other Hellenistic kings, the Seleucids ruled with the help of their “friends” and a Greco-Macedonian elite class separate from the native populations whom they governed.