Stasiun ini merupakan stasiun ujung yang dibuat untuk mengintegrasikan Pelabuhan Tanjung Priok dengan moda kereta api, dan awalnya dibangun untuk mendukung distribusi barang dari dan ke pelabuhan tersebut. Stasiun Tanjung Priok dibangun sebanyak dua kali, yaitu pembangunan stasiun generasi pertama pada tahun 1885 yang berlokasi sekompleks dengan pelabuhan, dan pada 1925 saat operasional perdana kereta rel listrik di Batavia.
Bangunan stasiun ini sempat ditelantarkan pada dekade 2000-an, tetapi kemudian dihidupkan kembali pada 2009 sehubungan dengan rencana pengoperasian kembali KRL Tanjung Priok. Saat ini stasiun ini hanya melayani KRL Pink Line. Bangunannya yang besar dan megah membuat masyarakat tertarik untuk menggelar syuting film, televisi, dan iklan di stasiun ini.
Sejarah
Keberadaan Stasiun Tanjung Priok tidak dapat dipisahkan dengan ramainya Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan kebanggaan masa Hindia Belanda itu, dan bahkan berperan sebagai pintu gerbang kota Batavia serta Hindia Belanda. Stasiun ini pada dasarnya terbagi atas dua generasi.
Generasi pertama
Pada masa lalu, Tanjung Priok adalah hutan dan rawa yang berbahaya sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang aman pada saat itu (kereta api). Pada akhir abad ke-19, pelabuhan Jakarta yang semula berada di daerah sekitar Pasar Ikan tidak lagi memadai, dan Belanda membangun fasilitas pelabuhan baru di Tanjung Priok. Stasiun Tanjung Priok yang pertama terletak di dekat dermaga Pelabuhan Tanjung Priok. Stasiun ini selesai dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken pada 1883 dan baru pada tahun 2 November 1885 diresmikan pembukaannya bersamaan dengan pembukaan Pelabuhan Tanjung Priok.[5]
Selanjutnya, operasional jalur kereta api Sunda Kelapa–Tanjung Priok diserahkan kepada Staatsspoorwegen (SS). Sampai dengan tahun 1900, dalam sehari tidak kurang dari 40 perjalanan kereta api rute Tanjung Priok–Batavia SS/NIS pp serta Tanjung Priok–Kemayoran pp.[6]
Generasi kedua
Dengan meningkatnya aktivitas pelabuhan sejak awal abad ke-20, telah terjadi perluasan pelabuhan yang menyebabkan Stasiun Tanjung Priok harus digusur. SS kemudian mencari lahan kosong di sebelah gudang Lagoa untuk dibangunkan stasiun baru. SS menugaskan Ir. C.W. Koch sebagai arsitek utama stasiun.[6]
Untuk mempersiapkan pembangunan stasiun, SS membuat model maket Stasiun Tanjung Priok baru. Maket ini muncul pada buku peringatan hari ulang tahun ke-50 SS karya S.A. Reitsma.[7] SS kemudian mengontrak sebuah perusahaan baja bernama Machinefabriek Braat Soerabaia-Djokja-Tegal yang berlokasi di Ngagel, Surabaya untuk membuatkan kerangka atap overcapping-nya.[8] Pada masa itu, Gubernur Jenderal yang berkuasa adalah A.F.W. Idenburg (1909-1916). Diperlukan sekitar 1.700 tenaga kerja dengan 130 di antaranya adalah pekerja berbangsa Eropa.[6]
Stasiun baru ini, dibuka untuk umum pada 6 April 1925 yang bertepatan dengan peluncuran pertama KRL rute Priok–Meester Cornelis (Jatinegara). Peluncuran pertama itu sekaligus dilakukan untuk memperingati hari ulang tahun SS yang ke-50.[7] Bangunan stasiun bergaya Art Deco serta memiliki luas 3.678 m2 (39.590 sq ft), berdiri di atas lahan emplasemen yang luasnya 4,693 ha (11,60 ekar).[4]
Dengan selesainya stasiun ini, timbul "pemborosan" yang dilakukan oleh SS. Dengan delapan jalur dan lima peron, stasiun ini sangat besar dan terhitung 1929 stasiun ini nyaris sebesar Station Batavia-benedenstad yang kini berubah menjadi Stasiun Jakarta Kota. Sayangnya kapal-kapal yang sandar di Pelabuhan Tanjung Priok tidak menggiring penumpang ke stasiun ini. Stasiun ini kelak hanya menjadi terminus bagi KRL sejak tahun 1925.[9]
Stasiun ini juga dilengkapi penginapan sementara di sayap kiri bangunan bagi penumpang yang akan melanjutkan perjalanan dengan kapal. Dengan dibukanya Bandara Kemayoran yang melayani penerbangan umum, SS mengalami tantangan berat mengingat banyak penumpang yang beralih ke pesawat terbang. Letak Stasiun Tanjung Priok yang jauh dari pelabuhan membuat penumpang menjadi enggan menggunakan kereta api, meski bus feeder telah tersedia.[6] Perang Dunia II telah memberikan dampak yang cukup besar bagi operasional kereta api SS. Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, stasiun ini diutamakan untuk kepentingan perang dan mengirim para romusha keluar Jawa.[6]
Keadaan terkini
Di tengah hiruk pikuk pelabuhan, kondisi bangunan stasiun menjadi semakin tidak terawat menjelang abad ke-21. Meskipun demikian, keanggunan bangunan dengan gaya neoklasik, art deco, dan kontemporer ini telah membuktikan bahwa pada abad ke-20, stasiun ini berjaya pada masanya. Memang, pada saat itu PT Kereta Api pada awal Januari 2000 telah menonaktifkan stasiun untuk pelayanan penumpang. Atap bangunan sudah lepas; kaca-kacanya banyak yang pecah dan kerangkanya banyak yang karatan termakan usia. Peron stasiun dan emplasemennya banyak dihuni kaum tunawisma. Untuk "menambal" pendapatan yang bocor karena penumpang gelap dan kerugian akibat minimnya pemasukan dana dari karcis peron, PT Kereta Api mengontrakkan ruangan stasiunnya sebagai gudang ekspedisi, agen tiket, dan jasa penukaran uang.[6]
Prihatin dengan kondisi ini, PT Kereta Api memutuskan untuk merenovasi total stasiun. Persiapan dilakukan pada bulan November-Desember 2008 dengan dilaksanakannya renovasi besar-besaran terhadap fisik bangunan stasiun. Selanjutnya, proyek diteruskan dengan rehabilitasi fasilitas rel serta pembangunan perangkat sinyal elektrik pada awal tahun 2009. Pada tanggal 28 April 2009, stasiun ini dapat kembali difungsikan dan diresmikan oleh PresidenSusilo Bambang Yudhoyono bersamaan dengan peresmian Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.[10][11][12]
Pada awal dekade 1990-an, Departemen Perhubungan pernah merencanakan pembangunan jaringan rel lingkar luar Jakarta yang menghubungkan stasiun ini dengan Stasiun Cikarang melewati Stasiun Pasoso, tetapi dialihkan ke Stasiun Sungai Lagoa. Salah satu tujuannya adalah untuk meminimalisasi kereta api barang yang melintasi kawasan perkotaan di Jakarta. Pada awalnya rencana itu berjalan cukup baik dengan rampungnya jaringan rel kereta api segmen Citayam sampai dengan Nambo, tetapi krisis finansial Asia 1997 membuat rencana ini berhenti di tengah jalan.[13]
Bangunan dan tata letak
Stasiun ini memiliki delapan jalur kereta api dengan jalur 2 sebagai sepur lurus ke arah Jakarta Kota, jalur 3 sebagai sepur lurus dari arah Jakarta Kota, jalur 6 sebagai sepur lurus ke arah Rajawali-Pasar Senen-Jatinegara, dan jalur 7 sebagai sepur lurus dari arah Jatinegara-Pasar Senen-Rajawali. Di sayap barat laut emplasemen stasiun ini terdapat percabangan jalur menuju pelabuhan tersebut.
Meski stasiun ini bukan stasiun pusat, stasiun ini cukup modern karena menggunakan kerangka overcapping berbentuk busur yang memayungi enam jalur kereta api. Struktur baja menjadi umum pada stasiun-stasiun Eropa abad ke-20 kala itu. Jendela berupa garis-garis yang terdiri dari lis profil atap horizontal dan lubang cornice, garis-garis vertikal, dan lekukan dinding, memberikan kesan anggun. Kaca patri dan ornamen profil keramik memberikan efek megah dan diperkuat dengan kolom-kolom besar dan kukuh pada beranda utama serta didukung tangga di sepanjang bangunan[6]
Saat ini Jalur 1, 3, 4, 5 dan 6 dikhususkan untuk Parkir Gerbong Datar (isian maupun kosongan).
Pada budaya populer
Stasiun Tanjung Priok kerap dijadikan lokasi syuting video musik, film, sinetron, dan iklan.[14] Beberapa judul sinetron dan lagu yang video musiknya pernah menggunakan lokasi syuting di stasiun ini antara lain "Menunggumu" yang dinyanyikan oleh ChrisyefeaturingPeterpan (sekarang bernama Noah),[15] "Ku Tetap Menanti" ciptaan Eka Gustiwana yang dinyanyikan oleh Nikita Willy, dan "Dengan Nafasmu" karya Ungu.[16] Tidak hanya MV, serial drama Dia Bukan Anakku produksi SinemArt tahun 2009, yang dibintangi Arumi Bachsin dan Meriam Bellina juga pernah mengambil beberapa adegan di sini, serta Aura yang juga produksi SinemArt tahun 2022 yang dibintangi Natasha Wilona dan Mezty Mez. Tidak ketinggalan group musik 90an New Boyz dari Malaysia turut menggunakan stasiun untuk lagu Marah Bukan Sifatku.
Larangan fotografi
Sejak banyaknya komersialisasi Stasiun Tanjung Priok melalui syuting iklan, acara televisi, dan video musik, stasiun ini kini menjadi tempat yang sangat ketat bagi fotografer pemula maupun yang sudah berpengalaman karena tempat ini terlarang sebagai area memotret, padahal sama sekali tidak ada rambu-rambu larangan memotret di stasiun. Alasan status cagar budaya dari stasiun ini "tidak pernah diterapkan" di situs lain yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun BPCB.[17] Mengambil kamera SLR (termasuk juga DSLR dan mirrorless) maupun kamera digital saku dalam beberapa kesempatan dapat terkena peringatan oleh petugas keamanan. Sejak berlakunya aturan baru memotret di stasiun KRL Commuter Line, hanya kamera ponsel, kamera saku, SLR, dan kamera aksi (GoPro) yang diperbolehkan digunakan untuk memotret stasiun.[18]
Layanan kereta api
Sejak dibukanya stasiun ini, stasiun ini pada saat itu melayani kereta ekonomi jarak jauh, lokal Cikampek dan lokal Purwakarta. Sebelumnya, KRL Ekonomi/Commuter Line rute Tanjung Priok–Bekasi pp sempat mengawali dan mengakhiri perjalanannya di stasiun ini, sebagai KRL feeder. Per 1 November 2014 semua kereta api yang tadinya berangkat dari stasiun ini dipindahkan ke Stasiun Pasar Senen. Alasannya, Stasiun Tanjung Priok direncanakan akan dijadikan stasiun barang.[19] Mulai 9 Februari 2017 perjalanan KA Lokal Purwakarta dan KA Lokal Cikampek dari yang sebelumnya beterminus di Stasiun Jakarta Kota dialihkan kembali ke Stasiun Tanjung Priok.[20] Mulai 1 Januari 2021 semua perjalanan KA lokal di Stasiun Tanjung Priok (KA Walahar Ekspres/Lokal Purwakarta dan KA Jatiluhur/Lokal Cikampek) dipindahkan ke Stasiun Cikarang dan kepemilikan sarananya dialihkan ke Depo Kereta Bandung (BD).
Selain melayani KRL dan KA barang, Stasiun Tanjung Priok juga dijadikan tempat parkir untuk Kertajaya dan Gumarang, yang merupakan KA penumpang rangkaian panjang yang terdiri dari 16 kereta dalam satu rangkaiannya. Mulai Juli 2022 yang semula tempat parkir rangkaian kereta api jarak jauh dan rangkaian panjang (Kertajaya dan Gumarang) di Stasiun Tanjung Priok dan kini rangkaian kereta jarak jauh dan rangkaian panjang dipindahkan ke Depo Kereta Cipinang (CPN) agar memudahkan kirim rangkaian kereta api ke Stasiun Pasar Senen.
^Perquin, B.L.M.C. (1921). Nederlandsch Indische staatsspooren tramwegen. Bureau Industria.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdefgMurti Hariyadi, Ibnu; Basir, Ekawati; Pratiwi, Mungki Indriati; Ubaidi, Ella; Sukmono, Edi (2016). Arsitektur Bangunan Stasiun Kereta Api di Indonesia. Jakarta: PT Kereta Api Indonesia (Persero). hlm. 15–24. ISBN978-602-18839-3-8.
^ abReitsma, S.A. (1925). Boekoe peringetan dari Staatsspoor-en-Tramwegen di Hindia Belanda. Weltevreden: Topografische Inrichting.