Majelis Raja-Raja (bahasa Melayu: Majlis Raja-Raja, Jawi: مجليس راج٢) adalah sebuah majelis yang beranggotakan sembilan Penguasa Negeri-Negeri Melayu (disebut juga Raja-Raja) dan empat Yang di-Pertua Negeri Malaysia. Majelis ini secara resmi didirikan di bawah Pasal 38 Konstitusi Malaysia. Menurut Perpustakaan Nasional Malaysia, Majelis Raja-Raja merupakan satu-satunya lembaga semacam itu di dunia. Tanggung jawab utama dari majelis ini adalah memilih Yang di-Pertuan Agong dan wakilnya, Timbalan Yang di-Pertuan Agong, yang diadakan lima tahun sekali atau saat jabatan tersebut lowong (karena meninggal, mengundurkan diri, atau dilengserkan dari jabatan). Meskipun posisinya dalam proses monarki elektif terbilang unik, Majelis Raja-Raja juga memainkan peran dalam mengamendemen Konstitusi Malaysia dan beberapa aturan lainnya. Aturan tersebut khususnya yang menyangkut status penguasa monarki, hak istimewa orang Bumiputera, kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dan klausa yang memberlakukan aturan-aturan tersebut.
Sejarah
Majelis Raja-Raja diketahui berakar dari Pertemuan Durbar tahun 1897. Pertemuan ini dilakukan oleh Majelis Raja-Raja Melayu Negeri-Negeri Melayu Bersekutu, sebuah lembaga yang tidak berada di bawah kolonial Inggris, namun orang Inggris tetap berperan sebagai penasehat hanya dalam beberapa hal administratif. Kekuasaan pemerintahan telah dipegang secara penuh oleh Sultan-Sultan dari negeri tersebut. Hanya empat Negeri-Negeri Melayu Bersekutu saja yang menjadi anggota majelis tersebut, meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang dengan pertemuan pertamanya diadakan pada tahun 1897. Tujuan dari Majelis Penguasa tersebut seperti yang dikatakan Residen Jenderal Frank Swettenham, yaitu "membawa kembali kepada orang Melayu, dengan cara yang luar biasa, federasi yang nyata."[1]
Setelah Perang Dunia II, Majelis Sultan didirikan di bawah Uni Malaya. Badan ini memiliki bentuk yang hampir mirip dengan majelis yang telah ada sebelumnya.[2] Majelis ini beranggotakan Gubernur Uni Malaya yang bertindak sebagai Presiden, sembilan Penguasa Melayu, Kepala Sekretaris, Jaksa Agung, dan Sekretaris Keuangan sebagai anggota ex officio.[3] Fungsi satu-satunya dari majelis tersebut adalah untuk mempertimbangkan legislasi terkait agama Islam (fungsi yang dilakukan oleh subkomite majelis yang beranggotakan Muslim saja) dan untuk memberikan saran bagi Gubernur dan para Penguasa Negara Bagian jika dibutuhkan.[2]
Majelis Raja-Raja yang ada saat ini pertama kali melakukan pertemuan pada 31 Agustus 1948, pada tahun yang sama saat Inggris membentuk Federasi Malaya yang semi-otonom. Pertemuan pertama ini dihadiri oleh keseluruhan sembilan Penguasa Melayu. Majelis Raja-Raja ini kemudian dilanjutkan hingga setelah kemerdekaan dan didirikan secara resmi di bawah konstitusi seperti saat ini.
Keanggotaan
Keanggotaan Majelis Raja-Raja tergantung kepada suksesi Sultan-Sultan Melayu dan penunjukan Yang di-Pertua Negeri. Yang di-Pertua Negeri ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong, sementara sembilan negara bagian yang bermonarki memiliki cara suksesinya masing-masing.
Hanya Penguasa Negeri Melayu yang meliputi Negeri Sembilan, Selangor, Perlis, Terengganu, Kedah, Kelantan, Pahang, Johor, dan Perak saja yang dapat mengikuti pemilihan dan menjadi kandidat untuk Yang di-Pertuan Agong. Gubernur empat negara bagian lainnya (Pulau Pinang, Melaka, Sabah, dan Sarawak) tidak dapat mengikuti pertemuan Majelis Raja-Raja yang berkaitan dengan pemilihan dan pelengseran Yang di-Pertuan Agong dan wakilnya, pembahasan hak khusus Penguasa Melayu, serta yang berkaitan dengan status agama Islam.
Ketika seorang anggota Majelis Raja-Raja tidak dapat mengikuti pertemuan, negara bagiannya harus menunjuk pengganti sementara. Proses ini diatur oleh konstitusi negara bagian masing-masing, oleh karena itu prosesnya bervariasi dari suatu negara bagian dengan negara bagian lainnya. Ketika seorang penguasa terpilih menjadi Yang di-Pertuan Agong, penguasa tersebut harus mendelegasikan perwakilan negara bagiannya dalam pertemuan kepada seorang Wali Penguasa yang juga sebagai penggantinya dalam pemerintahan di negara bagiannya. Yang di-Pertuan Agong tetap akan menghadiri pertemuan, walau hanya sesekali, terutama pada pertemuan yang membahas kebijakan nasional dan pemilihan Yang di-Pertuan Agong yang baru.
Ketika menghadiri pertemuan Majelis Raja-Raja, para penguasa monarki dan empat gubernur akan didampingi oleh Menteri Besar negara bagiannya. Sementara itu, Yang di-Pertuan Agong akan didampingi oleh Perdana Menteri.
Setiap pertemuan akan dipimpin oleh seorang dari sembilan Penguasa Negeri Melayu yang penunjukannya dilakukan secara bergilir.
Peran dan prosedur
Perpustakaan Negara Malaysia menyatakan bahwa Majelis Raja-Raja adalah "lembaga tertinggi negara", yang berarti Parlemen sekalipun berada di bawah lembaga ini. Tetapi, peran Majelis Raja-Raja secara de facto kebanyakan berupa peran simbolis karena pemilihan Yang di-Pertuan Agong saja mengikuti urutan senioritas Penguasa Negeri Melayu yang telah ditetapkan sejak 1957.
Dalam hal mengenai pembentukan undang-undang yang melibatkan Majelis Raja-Raja, Yang di-Pertuan Agong sendiri tidak hanya berkonsultasi kepada Perdana Menteri dan anggota majelis yang lain, tetapi juga kepada para Menteri Besar setiap negara bagian.
Mengamendemen konstitusi
Peran Majelis Raja-Raja dalam mengamendemen konstitusi pertama kali diatur melalui Undang-Undang (Amendemen) Konstitusi 1971, salah satu undang-undang yang ditetapkan pertama kali setelah peristiwa Insiden 13 Mei, insiden yang menelan sedikitnya 200 korban jiwa setelah kerusuhan rasial terjadi di Kuala Lumpur.
Terdapat beberapa peraturan hukum yang dilindungi secara khusus meliputi Pasal 152, 153, 181, serta Bagian III Konstitusi Malaysia. Masyarakat yang mempermasalahkan peraturan-peraturan hukum tersebut saat ini dapat dipidanakan oleh Parlemen. Hal ini diatur secara terpisah namun bersamaan dengan ditetapkannya Amendemen Undang-Undang Penghasutan.[4] Ketentuan yang dimaksud juga meliputi adanya kontrak sosial, yaitu perjanjian quid pro quo antara orang Bumiputera dan orang non-Bumiputera. Sebagai imbalan atas pemberian kewarganegaraan kepada orang non-Bumiputera, maka orang Bumiputera berhak atas beberapa hak khusus (Ketuanan Melayu). Amendemen ini secara efektif "menguatkan" kontrak sosial, sehingga membuat kontrak tersebut hanya dapat diubah dengan persetujuan Majelis Raja-Raja. Setelahnya, sebagian orang mendeskripsikan Majelis Raja-Raja sebagai "dominasi Melayu".[5]
Ketentuan yang dibatasi secara umum adalah yang mencakup bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, hak khusus bagi orang Melayu dan orang pribumi lainnya (Bumiputera, yang berjumlah lebih dari setengah penduduk Malaysia), kedudukan Penguasa Melayu, dan ketentuan kewarganegaraan Malaysia. Pembatasan ini berlaku bagi keseluruhan rakyat Malaysia, termasuk bagi para anggota Parlemen, mengesampingkan imunitas Parlemen. Sebagai tambahan, Pasal 159 Konstitusi Malaysia yang mengatur tentang pengamendemennya, juga diubah untuk memberlakukan bahwa ketentuan dalam Konstitusi yang menyangkut "isu sensitif" hanya dapat diubah melalui kesepakatan Majelis Raja-Raja. Ketentuan-ketentuan yang dibatasi tersebut juga disebut keseluruhannya pada Pasal 159 Ayat (5).[4]
Perubahan-perubahan tersebut mendapat perlawanan hebat dari Parti Tindakan Demokratik (Democratic Action Party – DAP) dan Partai Progresif Rakyat (People's Progressive Party – PPP), yang keduanya menyerukan pengubahan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan "isu sensitif" tersebut dan diserukan selama kampanye mereka pada pemilihan umum 1969. Perubahan tersebut dinilai telah merusak hak imunitas Parlemen. Beberapa orang menganggap bahwa undang-undang tersebut belum cukup untuk memperjelas larangan diskusi, yang juga secara khusus mempertanyakan apakah pelarangan tersebut juga berlaku untuk Pasal 159 Ayat (5) Konstitusi.[4]
Lainnya, seperti koran The Times London di Britania Raya, mencerca amendemen konstitusi tersebut. Mereka menyatakan bahwa pemerintahan ingin "melestarikan feodalisme secara abadi mendominasi masyarakat Malaysia" dengan "memberi lembaga monarki konstitusional kecil yang kuno sebuah kekuatan pemblokiran yang luar biasa". Mereka menunjukkan bahwa ini adalah langkah munafik mengingat deklarasi "realisasi penuh hal-hal penting yang tidak boleh lagi tersapu lagi di bawah karpet..." oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak.[6] Bagaimanapun, meski ditentang keras oleh berbagai pihak, pemerintahan koalisi persekutuan tetap meloloskan amendemen konstitusi di Parlemen tanpa suara oposisi karena mereka mengisi dua per tiga dari Parlemen.
Pertemuan
Majelis Raja-Raja umumnya bersidang tiga kali setahun. Untuk mengadakan pertemuan, Yang di-Pertuan Agong atau sedikitnya tiga anggota majelis harus mengirimkan permintaan kepada Penjaga Meterai Raja-Raja untuk mengadakannya. Pertemuan ini juga dilakukan paling lambat empat pekan sebelum masa jabatan Yang di-Pertuan Agong berakhir. Pertemuan juga diadakan seketika apabila jabatan Yang di-Pertuan Agong maupun wakilnya (Timbalan Yang di-Pertuan Agong) lowong.
Pertemuan Majelis Raja-Raja umumnya diadakan di Istana Negara, tetapi bisa juga di tempat lain atas izin para anggota majelis. Pada kesempatan tersebut, pertemuan majelis pernah diadakan di beberapa istana negara bagian, Dewan Undangan Negeri, maupun resor hotel.
Setiap Penguasa Negeri Melayu akan memimpin pertemuan secara bergilir. Agenda pertemuan umumnya telah diuraikan dan diberitahukan kepada anggota majelis sebelum sidang dilakukan. Selama pertemuan, setiap Penguasa Negeri Melayu setara tingkatannya dan tidak berposisi di atas yang lainnya, bahkan penguasa yang menjadi Yang di-Pertuan Agong yang melambangkan pemerintah federal sekalipun. Meskipun begitu, penguasa yang telah menjabat lebih lama dianggap lebih senior dan sarannya diakui secara luas dikarenakan lebih banyaknya pengalaman, walaupun saran tersebut belum tentu diikuti.
Sekretaris dari persidangan Majelis Raja-Raja adalah Penjaga Meterai Raja-Raja yang dibantu dengan seorang Asisten Sekretaris Majelis Raja-Raja.
^John Sturgus Bastin; Robin W. Winks (1979). Malaysia: Selected Historical Readings (edisi ke-2). KTO Press. hlm. 254.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kevin Tan; Thio Li-Ann (1997). Tan, Yeo & Lee's Constutional Law in Malaysia and Singapore (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-2). Butterworths Asia. hlm. 51 dan 401. ISBN9780409999082.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)