Sabah, juga dikenal sebagai Sabah Negeri di Bawah Bayu (Tulisan Jawi: سابه نݢري دباوه بايو), adalah salah satu negara yang membentuk Federasi Malaysia bersama dengan Federasi Tanah Melayu, Negara Sarawak, dan Negara Singapura pada 16 September1963. Sabah terletak di bagian utara pulau Borneo. Ibu kota Sabah adalah Kota Kinabalu, yang sebelumnya dikenal sebagai Jesselton. Kedudukan Sabah sangat strategis, terletak di bawah jalur angin monsun dan tidak pernah dilanda badai topan, kecuali beberapa badai tropis berskala kecil. Sabah adalah wilayah terbesar kedua di Malaysia. Luas wilayah Sabah mencapai sekitar 72.500 kilometer persegi, dan berbatasan dengan Wilayah Sarawak, serta terpisah dari Wilayah Federal Labuan di Malaysia. Selain itu, Sabah juga memiliki perbatasan darat internasional di bagian selatan dengan Provinsi Kalimantan Utara, serta perbatasan laut di utara dengan Laut Sulu, dan di barat dengan Laut China Selatan di Brunei dan Vietnam, dengan perkiraan garis pantai sepanjang 1.290–1.450 km. Sabah terletak di bagian paling utara Borneo, yang merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Sabah beriklim hutan hujan tropis dan memiliki gunung tertinggi di Asia Tenggara, Gunung Kinabalu, dengan ketinggian 4.101 meter, yang menjadi bagian dari kawasan Pegunungan Crocker. Jaringan pegunungan di Sabah—Crocker, Trusmadi, dan Witti—bergelombang di pedalaman dan mencakup banyak puncak dengan ketinggian antara 1.200 hingga 1.800 meter. Di antara Pegunungan Crocker dan laut di pantai barat terdapat dataran pantai yang luas dan padat penduduk; dataran lainnya seperti di Tenom, Tambunan, dan Keningau, terletak di pedalaman di antara pegunungan, sedangkan dataran rendah timur sebagian terbelah oleh penetrasi.
Sabah pernah dikenal sebagai Negara Borneo Utara (State of North Borneo) selama masa penjajahan Inggris hingga tahun 1963. Memiliki sejarah masa lalu tersendiri, bahkan terhubung dengan sejarah Brunei-Filipina. Wilayah ini pernah dimiliki sebagai bagian dari Kesultanan Srivijaya, Majapahit, Brunei, Sulu sebelum pemerintahan kolonial Inggris (SBUB dan Pemerintahan Koloni Inggris) dan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Sekarang, menjadi bagian dari Negara Federasi Malaysia.
Wilayah Sabah menganut sistem demokrasi berkonstitusi sejak pemerintahan sendiri pada tahun 1963. Dengan badan legislatif negara bagian sendiri, kepala negara adalah Yang di-Pertua Negeri Sabah (dulu Gubernur Sabah), Kepala Menteri sebagai kepala pemerintahan di Sabah, dan dibantu oleh Dewan Menterinya. Sabah juga merupakan salah satu dari empat wilayah (dua di antaranya adalah negara bagian di Semenanjung) di Malaysia yang tidak memiliki sultan atau raja di tingkat wilayah. Berpedoman pada sistem Westminster yang diwariskan pemerintahan Inggris, dan juga salah satu wilayah pertama yang mengadopsi sistem ini. Sabah memiliki 5 wilayah administratif dan 27 distrik. Bahasa Melayu adalah bahasa nasional, diikuti oleh Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di Sabah.
Penduduk Sabah, atau sering disebut sebagai Sabahan, terdiri dari 33 kelompok pribumi (bumiputera Sabah) yang berkomunikasi dalam lebih dari 50 bahasa dan 80 dialek etnik. Terdapat satu dialek Melayu yang digunakan yaitu Bahasa Melayu Sabah. Kelompok etnik terbesar di Sabah adalah Kadazan-Dusun yang mencakup hampir 30% penduduk Sabah. Pesta Kaamatan yang dirayakan pada 30 dan 31 Mei setiap tahun adalah perayaan yang dirayakan oleh warga Kadazan-Dusun dengan tujuan untuk menjaga tradisi semangat padi atau "Bambarayon" serta mengungkapkan rasa syukur mereka karena hasil panen yang melimpah. Etnik utama lainnya di Sabah adalah Bajau Samah, dan Murut, yaitu orang-orang bukit dan pemburu kepala pada masa lalu, yang merupakan kelompok etnik kedua dan ketiga terbesar di wilayah Sabah. Suku-suku lainnya di Sabah termasuk Bajau, Iranun, Melayu Brunei, Banjar, Bugis, Kedayan, Lotud, Lundayeh, Rungus, Spanyol, Minokok, Bonggi, dan Ida'an. Selain itu, bangsa Cina atau campuran Cina-Dusun (Sino/Sino-native) juga menjadi kelompok utama pribumi di Wilayah Sabah.
Etimologi
Asal mula nama Sabah masih belum jelas, dan banyak teori yang muncul. Salah satu teori adalah bahwa pada masa Sabah merupakan bagian dari Kesultanan Brunei, di daerah pantai wilayah tersebut banyak ditemukan pisang saba (dikenal juga dengan nama pisang menurun)[10] yang tumbuh secara luas dan populer di Brunei.[11]Suku Bajau menyebutnya pisang jaba.[11] Nama Saba juga merujuk pada salah satu varietas pisang dalam bahasa Tagalog dan Visaya. Selain itu, dalam bahasa Visaya kata itu juga berarti "bising".[12] Mungkin karena dialek, kata Saba diucapkan Sabah oleh masyarakat lokal.[10]
Saat Brunei menjadi salah satu negara vasalMajapahit, naskah berbahasa Jawa Kuno Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca menyebut wilayah yang kini Sabah dengan nama Seludang.[6][10] Sementara itu, meskipun Tiongkok telah berkait dengan Pulau Borneo sejak zaman Dinasti Han,[13][14] mereka tidak memiliki nama khusus untuk wilayah itu. Baru pada masa Dinasti Song, mereka menyebut Borneo dengan nama Po Ni (disebut juga Bo Ni), yang merupakan nama yang sama yang merujuk pada Kesultanan Brunei pada saat itu.[12] Karena lokasi Sabah berhubungan dengan Brunei, terkesan bahwa Sabah adalah sebuah kata dalam bahasa Melayu Brunei yang berarti hulu atau "di arah utara".[15][16] Karena lokasi Sabah berkaitan dengan Brunei, "Sabah" adalah suatu kata dalam bahasa Melayu Brunei yang berarti hulu atau "di arah utara".[17][18] Teori lain menyatakan bahwa nama itu berasal dari kata dalam bahasa Melayusabak yang berarti tempat gula aren diekstrak. Sabah juga merupakan satu kata dalam bahasa Arab yang berarti matahari terbit. Banyaknya teori menyebabkan asal mula sebenarnya dari nama Sabah sulit ditentukan.[19]
Bukti sejarah paling awal yang menunjukkan kehidupan manusia di wilayah ini adalah ditemukannya peralatan batu dan sisa-sisa makanan dari ekskavasi di sepanjang wilayah Teluk Darvel di gua Madai-Baturong dekat Sungai Tingkayu yang diperkirakan berasal dari 20.000-30.000 tahun yang lalu.[20] Manusia pertama di wilayah itu diduga menyerupai orang Aborigin Australia, tetapi alasan hilangnya keberadaan mereka tidak diketahui.[21] Tahun 2003, beberapa arkeolog menemukan Lembah Mansuli di distrik Lahad Datu yang menunjukkan sejarah Sabah 235.000 tahun yang lalu.[22] Migrasi Mongoloid pertama ke selatan terjadi sekitar 5.000 tahun yang lalu,[21] dibuktikan dari ditemukannya situs arkeologi di Bukit Tengkorak, Semporna yang terkenal karena menjadi tempat pembuatan tembikar terbesar di Asia Tenggara pada zaman Neolitikum.[23][24] Beberapa antropolog, seperti S.G. Tan dan Thomas R. Williams, meyakini bahwa ras Mongoloid tersebut (kini adalah orang Kadazan-Dusun, Murut, Orang Sungai, dll.)[21] berasal dari Tiongkok Selatan dan Vietnam Utara serta merupakan kerabat dekat dari sejumlah suku pribumi di Filipina dan Formosa (Taiwan), serta Sarawak dan wilayah lain di Kalimantan.[25][26][27]
Kesultanan Brunei dan Sulu
Pada abad ke-7 Masehi, sebuah negeri jajahan Sriwijaya bernama Wijayapura diperkirakan berada di barat laut Borneo.[28] Berdasarkan kitab berbahasa Tionghoa Taiping Huanyu Ji, kerajaan pertama di wilayah itu adalah Po Ni yang diduga berdiri pada awal abad ke-9.[29] Diyakini bahwa Po Ni berada di mulut Sungai Brunei dan merupakan cikal bakal Kesultanan Brunei.[30] Pada abad ke-14, menjadi negara vasal Majapahit, tetapi tahun 1370 kesetiannya beralih ke Dinasti Ming dari Tiongkok.[31]Maharaja Karna dari Borneo kemudian melakukan kunjungan ke Beijing bersama keluarganya hingga ia mangkat.[32] Ia digantikan oleh putranya Hiawang yang setuju untuk mengirimkan upeti ke Tiongkok sekali setiap tiga tahun.[31] Sejak itu, Kapal jung Tiongkok datang ke utara Borneo dengan kargo berupa rempah-rempah, sarang burung, sirip hiu, kapur barus, rotan, dan mutiara. Banyak pedagang Tionghoa akhirnya tinggal dan menetap di Sungai Kinabatangan berdasarkan catatan sejarah Brunei dan Sulu.[31][33] Saudara perempuan Gubernur permukiman Tionghoa, Huang Senping (Ong Sum Ping) kemudian menikah dengan Muhammad Shah (pendiri Kesultanan Brunei setelah memeluk agama Islam).[31] Mungkin karena hubungan ini, sebuah tempat pemakaman dengan 2.000 peti mati dari kayu yang diestimasikan berusia 1.000 tahun ditemukan di Gua Agop Batu Tulug, juga di daerah Kinabatangan.[34] Budaya pemakaman tersebut diyakini dibawa oleh para pedagang dari Tiongkok Daratan dan Indochina ke Borneo utara karena peti mati-peti mati kayu yang sejenis ditemukan juga di negara-negara di wilayah tersebut.[34] Selain itu, ditemukan pula nekara di Bukit Timbang Dayang di Pulau Banggi yang berasal dari 2.000–2.500 tahun yang lalu.[21][35]
Pada masa kekuasaan sultan kelima, yaitu Sultan Bolkiah, antara 1485–1524, thalasokrasi kesultanan meluas ke luar wilayah Borneo utara dan Kepulauan Sulu, sejauh Kota Seludong (sekarang Manila) dengan pengaruhnya mencapai Banjarmasin,[36] yang memperoleh keuntungan dari perdagangan maritim setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.[37][38] Banyak orang Brunei pindah ke wilayah ini pada saat itu, meskipun perpindahan telah dimulai sejak abad ke-15 setelah Brunei menaklukkan teritori itu.[39] Kesultanan Brunei mulai mengalami kemunduran akibat perselisihan internal, perang saudara, perampokan/pembajakan, dan munculnya imperialisme barat. Bangsa Eropa pertama yang datang ke Brunei adalah Portugis, yang menggambarkan ibu kota Brunei pada saat itu dikelilingi oleh tembok batu.[37] Diikuti oleh Spanyol segera setelah Fernando de Magelhaens meninggal tahun 1521, ketika mereka berlayar ke Pulau Balambangan dan Banggi di ujung utara Borneo yang kemudian menjadi pemicu suatu konflik yang terkenal dengan nama Perang Kastila.[6][35][40] Sulu memperoleh kemerdekaan tahun 1578 dengan membentuk kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Sulu.[41]
Ketika perang saudara pecah di Brunei antara Sultan Abdul Hakkul Mubin dan Muhyiddin, Sulu menuntut klaim mereka atas wilayah Brunei di utara Borneo.[40][42] Sulu mengklaim bahwa Sultan Muhyiddin telah berjanji untuk menyerahkan bagian utara dan timur Borneo pada mereka sebagai kompensasi atas bantuan mereka dalam menyelesaikan perang saudara.[40][43] Dalam praktiknya, wilayah itu tidak pernah diserahkan, tetapi Sulu tetap mengklaim wilayah tersebut sebagai milik mereka.[44] Pada saat itu Brunei tidak dapat berbuat banyak karena mereka semakin lemah setelah berperang dengan Spanyol dan wilayah di utara Borneo mulai berada di bawah pengaruh Kesultanan Sulu.[40][43] Pelaut-pelaut suku Bajau, Suluk, dan orang Lanun kemudian mulai menetap di pesisir utara dan timur Borneo.[45] Karena Sulu juga terancam oleh kedatangan bangsa Spanyol, banyak orang Sulu yang melarikan diri dari koloni Spanyol di wilayah mereka.[46] Meskipun Kesultanan Brunei dan Sulu masing-masing menguasai pesisir barat dan timur Sabah, wilayah pedalaman masih merdeka dari keduanya.[47]
Geografi
Bagian barat Sabah umumnya adalah pegunungan, terdiri atas tiga gunung tertinggi di Malaysia. Jajaran gunung yang paling terkenal adalah Banjaran Crocker tempat berdirinya beberapa gunung dengan ketinggian antara 1.000 hingga 4.000 meter. Dengan tinggi 4.095 meter, gunung Kinabalu adalah gunung tertinggi di Kepulauan Melayu (tidak termasuk pulau Papua) dan tertinggi ke-10 di Asia Tenggara. Hutan-hutan di Sabah diklasifikasikan sebagai hutan hujan tropis dan memiliki beragam spesies tumbuhan dan hewan. Taman Nasional Kinabalu telah dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 2000 karena kekayaannya dalam keanekaragaman tumbuhan dikombinasikan dengan keunikan geologi, topografi, dan kondisi iklimnya.[48]
Berdiri dekat gunung Kinabalu adalah gunung Tambuyukon.[butuh rujukan] Ketinggian Gunung Tambuyukon mencapai 2.579 meter di atas permukaan laut.[49] Gunung Tambuyukon adalah gunung tertinggi ketiga di Malaysia.
Demografi
Etnis
Penduduk Sabah memiliki keberagaman etnis yang lebih beragam dibandingkan beberapa negara bagian di Malaysia. Data pada sensus Malaysia tahun 2020, etnis Bumiputera merupakan etnis mayoritas di Sabah, seperti orang Kadazan (Dusun), Bajau, dan Melayu. Kemudian selebihnya adalah orang Murut, dan bumiputera lainnya. Penduduk Tionghoa juga memiliki jumlah yang signifikan di Sabah, banyak berada di Kota Kinabalu, dan daerah lainnya. Warga negara asing atau bukan warga Malaysia di Sabah 23,71% dari seluruh penduduknya pada tahun 2020.[50]
Berikut adalah banyaknya penduduk Sabah berdasarkan etnis, menurut data sensus Malaysia tahun 2020;[50]
Agama Islam merupakan agama terbesar di Sabah dengan jumlah pengikut mencapai 69,59% (2020). Agama ini dianut oleh orang Melayu dan Bumiputera lainnya. Agama-agama lain yang dianut di Sabah adalah Kristen, umumnya dianut warga Bumiputera dan Tionghoa. Kemudian agama Hindu (terutama di kalangan kaum India), Buddha (terutama di kalangan orang Tionghoa).[51]
Berikut adalah banyaknya penduduk Sabah menurut agama yang dianut, berdasarkan data sensus Malaysia 2020:[50]
^"Population by States and Ethnic Group". Department of Information, Ministry of Communications and Multimedia, Malaysia. 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-02-12. Diakses tanggal 12-02-2015.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^ abcOxford Business Group. The Report: Sabah 2011 (dalam bahasa bahasa Inggris). Oxford Business Group. hlm. 10–133. ISBN978-1-907065-36-1. Diakses tanggal 26-05-2013.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Kaur, Jaswinder (16-09-2008). "Getting to Root of the Name Sabah". New Straits Times.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Kathy MacKinnon (1996). The Ecology of Kalimantan (dalam bahasa bahasa Inggris). Periplus Editions. hlm. 55–57. ISBN978-0-945971-73-3. Since 1980, the Sabah Museum staff have carried out excavations in the Madai and Baturong limestone massifs, at caves and open sites dated back 30,000 years. Baturong is surrounded by large area of alluvial deposits, formed by the damming of the Tingkayu River by a lava flow. The Tingkayu stone industry shows a unique level of skills for its period. The remains of many mammals, snakes, and tortoises were found, all food items collected by early occupants of the rock shelters.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abcd"About Sabah". Sabah Tourism Promotion Corporation and Sabah State Museum. Sabah Education Department. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-15. Diakses tanggal 15-05-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^Durie Rainer Fong (10-04-2012). "Archaeologists hit 'gold' at Mansuli". The Star. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30-10-2014. Diakses tanggal 26-04-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date=, |archivedate= (bantuan)
^Stephen Chia (2008). "Prehistoric Sites and Research in Semporna, Sabah, Malaysia". Centre for Archaeological Research Malaysia, University of Science, Malaysia. Bulletin of the Society for East Asian Archaeology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-23. Diakses tanggal 23-05-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^S. W. Ballinger; Theodore G. Schurr; Antonio Torroni; Y. Y. Gan; J. A. Hodge; K. Hassan; K. H. Chens; Douglas C. Wallace (29-08-1991). "Southeast Asian Mitochondrial DNA Analysis Reveals Genetic Continuity of Ancient Mongoloid Migrations"(PDF). Departments of Biochemistry, Pediatrics, and Anthropology, Emory University School Medicine, Department of Biotechnology, Universiti Pertanian Malaysia, Institute of Medical Research, Kuala Lumpur and Department of Mathematics, University of California. CORE Repository. hlm. 144 (6/14). Diakses tanggal 15-05-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Barbara Watson Andaya; Leonard Y. Andaya (15-09-1984). A History of Malaysia. Palgrave Macmillan. hlm. 57–. ISBN978-0-312-38121-9. Diakses tanggal 26-05-2013.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Rozan Yunos (07-03-2013). "Sabah and the Sulu claims". The Brunei Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17-06-2014. Diakses tanggal 20-09-2013.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date=, |archivedate= (bantuan)