Kelenteng
Kelenteng (KBBI; Bentuk tidak baku: klenteng; Hokkian: 廟, bio) adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disalahartikan sebagai penganut agama Konghucu. Padahal keduanya hal yang sama sekali berbeda, bahkan di masa awal gagasan Kang Youwei mendirikan agama Konghucu di akhir kekuasaan Dinasti Qing sekira awal abad ke-20, praktik tradisi ini sebagian besar dianggap bertentangan dengan ajaran Konfusius yang tidak membahas mengenai surga dan neraka, apalagi dewa. Apa yang disebut kelenteng di Indonesia, di seluruh dunia bukanlah tempat ibadah umat Konghucu melainkan tempat ibadah 2 agama yang dari masa Tiongkok klasik hingga saat ini masih eksis di Tiongkok yaitu Agama Buddha dan Agama Tao. Hanya di kedua agama inilah terdapat kosmologi dewata yang khas, dan terdapat Gunung Suci untuk keduanya di Tiongkok. Terdapat 5 agama yang direkognisi di Tiongkok yaitu Buddha, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam[1]. Di beberapa daerah, kelenteng juga disebut dengan istilah tokong.[2] Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara. Kelenteng adalah istilah “generic” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa, dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia, sebagai contoh di Sumatra mereka menyebutnya bio; di Sumatra Timur mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan di orang Hakka menyebut kelenteng dengan istilah thai Pakkung, pakkung miau atau shinmiau. Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya.[3] Kelenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja. Selain Gong-guan (Kongkuan), kelenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa dimasa lampau.[4] Asal mula kata kelentengTempat ibadah komunitas Tionghoa yang beragama Buddha, dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng 觀音亭. Tempat ibadah ini dipersembahkan kepada Kwan Im (觀音dewi pewelas asih atau Avalokitesvara bodhisatva Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya menyerapnya secara fonetik menjadi Kelenteng daripada Wihara, yang kemudian melafalkannya sebagai Kelenteng hingga saat ini. Kelenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi Kelenteng di Republik Rakyat Tiongkok.Hal ini menunjukkan warna keagamaan komunitas Tionghoa di masa Hindia Belanda adalah beragama Buddha yang telah mengalami akulturasi dengan budaya Tionghoa atau sederhananya dapat disebut Agama Buddha Tionghoa atau Chinese Buddhism. Buktinya adalah tempat-tempat ibadah paling tua di Nusantara, yang saat ini mencakup hampir seluruh Asia Tenggara, adalah diperuntukkan untuk menghormati Bodhisatwa Avalokitesvara (Sansekerta) yang diterjemahkan Kwan Se Im Pu Sa (Mandarin), dan Dewi Welas Asih (Indonesia). Selain tempat memuja dewata atau bodhisatva yang dihormati, komunitas Tionghoa juga membangun tempat penghormatan pada leluhur atau 祠 "Ci" (rumah abu). Biasanya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati leluhurnya masing-masing, jadi ada rumah abu marga Liem, rumah abu marga Tan, dan sebagainya. Masing-masing marga juga umumnya menyembah atau menghormati dewa-dewi yang memiliki marga yang sama, atau dewata pelindung marganya. Seiring perkembangan zaman dan ketersediaan lahan, rumah abu biasanya dipisah dari tempat penghormatan para dewa. Tapi masih terdapat juga rumah abu yang berada di dalam kelenteng maupun vihara dan bisa ditemukan di bagian samping atau belakang, atau ruang di lantai khusus pada tempat ibadah yang perkembangannya vertikal di kota-kota besar seperti Jakarta. Meskipun kelenteng di Indonesia lebih banyak yang bersifatBuddha dan Taoisme, tetapi biasanya keduanya menyediakan tempat untuk menghormati dan mempelajari ajaran Konghucu. Oleh sebab itu tempat ibadah demikian disebut Tempat Ibadah Tri Dharma. Tokoh Buddha seperti The Boan An dan Kwee Tek Hoay adalah pelopor Tri Dharma atau Sam Kauw di Indonesia. kelenteng selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para dewa-dewi, dan tempat mempelajari berbagai ajaran, juga digunakan sebagai ruang interaksi sosial orang Tionghoan baik dengan sesama Tionghoa maupun dengan komunitas lainnya. Menjadi tempat yang damai untuk semua golongan tanpa memandang suku dan agama apapun. Kategori kelentengkelenteng adalah sebutan umum bagi tempat ibadat orang Tionghoa sehingga kelenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori sesuai dewata utama yang disembah yakni yang berasal dari kosmologi dewata agama Buddha, kosmologi dewata agama Tao, dan kosmologi dari agama jelata (popular religion). Sedangkan agama Konghucu yang baru digagas sejak awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1900an, tidak memiliki kosmologi dewata, bahkan Konghucu dan murid-muridnya disembah sebagai spirit atau arwah leluhur daripada sebagai dewa.[5] Oleh karena itu di seluruh dunia, tempat ibadah yang di Indonesia disebut kelenteng ini tidak menempatkan patung Konghucu diantara altar para dewa dan bodhisatwa. Khusus di Indonesia, Tempat Ibadah Tri Dharma menyediakan ruang khusus untuk tempat kebaktian umat Konghucu yang terpisah dari tempat kebaktian umat Buddha dan Tao. Namun terdapat juga TITD dengan altar yang disatukan dimana patung Buddha ditempatkan di tengah, Lao Tzu (Pendiri Tao) di kiri, dan Konghucu di kanan. Umumnya praktik demikian adalah ciri dari umat Agama Buddha Tri Dharma yang tergabung dalam Majelis Agama Buddha Tri Dharma disingkat MAGABUTRI. Tempat ibadah berdasarkan umat
Kelenteng berdasarkan fungsi
Kelenteng berdasarkan pemilik
Kelenteng dan wihara pada Orde BaruPada masyarakat awam, banyak yang tidak mengetahui bahwa kelenteng dan wihara adalah tempat ibadah bagi umat Buddha, jauh sebelum hadirnya pengaruh Taoisme ke Nusantara, dan Konghucu sebagai agama yang merupakan fenomena baru setelah abad ke-20. Kelenteng adalah wihara berarsitektur Tiongkok, yang sudah menjadi tempat ibadah umat Buddha Tionghoa sejak masa kolonial di Hindia Belanda. Kwan Im Teng pertama didirikan di Batavia sekira 1650 di daerah Petak Sembilan, dan kelak paska kerusuhan 1740 diubah namanya menjadi Jin De Yuan, dan pada masa Orde Baru menjadi Wihara Dharma Bhakti. Tempat pemujaan Kwan Im tertua lainnya juga didirikan di Banten, Cirebon, dan Semarang.[9] Kelenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain berfungsi sebagai tempat spiritual. Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada wihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok. Contoh adalah kelenteng Taikak sie ( Da Jue si 大覺寺 ) Semarang yang termasuk tempat ibadah agama Buddha Mahayana. Hal ini perlu diketahui bahwa wihara dalam bahasa Mandarin adalah si 寺. Contoh wihara Shaolin 少林 atau yang dikenal dengan sebutan Shaolin si 少林寺. Setelah peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965, dilakukan penyesuaian nama tempat ibadah yang semula menggunakan mandarin ke bahasa Sanskerta ataupun Pali. Hal ini dilakukan umat Buddha karena pemerintah orde baru menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.[10] Sementara untuk tempat ibadah Konghucu, yang baru hadir pada 1906 di Surabaya dengan nama Boen Bio, maupun 1930 di Cirebon dengan nama Kong Tju Bio, tidak ada perubahan nama. Tempat pertama mengambilalih Kelenteng Dewa Kebudayaan dan Literatur (Boen Tjang Sioe) sedangkan yang kedua mengubah Rumah Abu Yi Ci. Rumah abu ini awalnya adalah bagian dari tempat ibadah umat Buddha di Cirebon yaitu Tio Kak Sie. Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, penggunaan nama mandarin tidak lagi menjadi persoalan, sehingga umat lebih bebas menunjukkan apresiasi budayanya. Selain tempat ibadah berlatar Chinese Buddhism, sebagai kelenteng juga menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD). Sam Kauw atau Tri Dharma sendiri sejak dikembangkan oleh Kwee Tek Hoay, akhirnya bergabung menjadi salah satu majelis kepanditaan agama Buddha, dengan nama Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia atau disingkat Magabutri. Organisasi inilah yang membina kelenteng-kelenteng dengan nama TITD di depan namanya. Lihat pula
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Chinese temples in Indonesia.
|