Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Wihara

Bangunan wihara Jakarta Dhammacakka Jaya, sebuah wihara aliran Theravāda pertama di Jakarta.
Vihara Buddha Guna, sebuah wihara di bawah binaan Saṅgha Theravāda Indonesia, di Kompleks Puja Mandala Kuta, Badung, Bali, Indonesia.

Wihara (Pali: vihāra; Sanskerta: विहार vihāra) umumnya mengacu pada tempat ibadah untuk penganut Buddhisme, sebagian besar di anak benua India. Konsep wihara dapat ditemukan dalam Kitab Buddhis Awal, kata wihara berarti "penataan ruang" atau "fasilitas tempat tinggal/berdiam".[1][2] Istilah ini berkembang menjadi konsep arsitektur yang mengacu pada tempat tinggal para biksu dengan ruang atau halaman terbuka bersama, khususnya dalam Buddhisme. Istilah ini juga ditemukan dalam Ajivika, sebuah literatur agama Hindu dan Jainisme, yang biasanya mengacu pada perlindungan sementara bagi para biksu yang mengembara selama musim hujan tahunan di India.[1][3][4] Dalam Jainisme modern, para biksu terus mengembara dari kota ke kota kecuali pada musim hujan (catumāsa), dan istilah "vihāra" mengacu pada pengembaraan mereka.[5][6]

Wihara, kelenteng, dan Orde Baru

Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan temple atau monastery. Kelenteng adalah rumah ibadah penganut agama tradisional Tionghoa, Taoisme, dan Konfusianisme (Konghucu). Akan tetapi, di Indonesia, oleh karena adanya suatu kepercayan Tridharma yang merupakan sinkretisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme, maka tempat ibadah yang merupakan gabungan dari ketiga agama tersebut juga sering disebut sebagai "wihara".[7] Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mittaya yang terletak di daerah Pekojan, Jakarta Barat.

Kelenteng dan wihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Kelenteng umumnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain fungsi spiritual. Wihara umumnya berarsitektur lokal dan mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada wihara Buddhis aliran Mahayana (Buddhisme Tionghoa) yang memang berasal dari Tiongkok.

Perbedaan antara kelenteng dan wihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa, oleh pemerintah Orde Baru.[8] Kelenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Sebagai akibatnya, banyak kelenteng yang kemudian mengadopsi istilah dari bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali. Hal ini ditunjukkan dengan pengubahan nama-nama kelenteng menjadi "vihara" atau "wihara" yang surat izin operasionalnya dicatat dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam semakin sulit membedakan kelenteng dengan wihara.

Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak kelenteng yang kemudian mengembalikkan namanya ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng alih-alih sebagai wihara. Kendati demikian, beberapa kelenteng tidak berganti nama dengan tetap menggunakan istilah "wihara". Beberapa lainnya kemudian dibina oleh Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia (MAGABUTRI) agar tetap mendapatkan pengajaran agama Buddha.

Referensi

  1. ^ a b Vihara, Monier Monier Williams, Sanskrit-English Dictionary Etymologically Arranged, Oxford University Press, p. 1003
  2. ^ "He now undertook what were described as 'dharma yatras' instead of the usual royal 'vihara yatras'. Vihara yatras were marked by pleasures such as the hunt" in Nayanjot Lahiri (2015). Ashoka in Ancient India. Harvard University Press. hlm. 181–183. ISBN 978-0-674-91525-1. 
  3. ^ Stella Kramrisch (1946). The Hindu Temple. Princeton University Press (Reprint: Motilal Banarsidass). hlm. 137–138. ISBN 978-81-208-0223-0. 
  4. ^ Paul Dundas (2003). The Jains. Routledge. hlm. 203–204. ISBN 1-134-50165-X. 
  5. ^ Gomaṭeśvara sahasrābdī mahotsava darśana, Niraj Jain, Śravaṇabelagola Digambara Jaina Muzaraī Insṭīṭyuśaṃsa Mainejiṅga Kameṭī, 1984, p. 265
  6. ^ Tulasī prajñā, Jaina Viśva Bhāratī, 1984, p. 29
  7. ^ Tionghoa.info, Klenteng
  8. ^ Jaringnews. Inpres zaman orba yang larang perayaan Imlek Diarsipkan 2014-05-14 di Wayback Machine.

Bacaan lanjutan

  • Chakrabarti, D.K. (1995). Buddhist sites across South Asia as influenced by political and economic forces. World Archaeology 27(2): 185-202.
  • Mitra, D. (1971). Buddhist Monuments. Sahitya Samsad: Calcutta. ISBN 0-89684-490-0.
  • Tadgell, C. (1990). The History of Architecture in India. Phaidon: London. ISBN 1-85454-350-4.
  • Khettry, Sarita (2006). Buddhism in North-Western India: Up to C. A.D. 650". R.N. Bhattacharya: Kolkata. ISBN 978-81-87661-57-3.
  • Rajan, K.V. Soundara (1998). Rock-cut Temple Styles: Early Pandyan Art and The Ellora Shrines. Mumbai: Somaiya Publications. ISBN 81-7039-218-7. 

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya