Nama tersebut merupakan hasil romanisasi dua karakter (huruf) mandarin. Huruf pertama 上 memiliki arti "di atas"; huruf kedua 帝 adalah huruf yang sama yang digunakan dalam nama Huangdi, sang Kaisar Kuning, dan gelar huangdi, Kaisar Tiongkok. Nama tersebut sering diterjemahkan sebagai "Kaisar Surga", meskipun sebenarnya sang Dewa terlebih dahulu menggunakan huruf dan gelar tersebut, sementara para kaisar mendapatkan gelar sesudahnya berhubungan dengan fungsi mereka sebagai Tianzi, Putra Langit.
Sejarah
Dinasti Shang
Referensi paling awal untuk Shangdi ditemukan dalam inskripsi tulang orakel dari Dinasti Shang pada millennium kedua SM, meskipun karya selanjutnya Kitab Hikayat menegaskan bahwa Kaisar Shun memberikan persembahan tahunan kepadanya, bahkan sebelum Dinasti Xia.
Shangdi dipuja sebagai kekuatan spiritual tertinggi oleh suku Huaxia yang memimpin Dinasti Shang: dia dipercaya mengatur kemenangan dalam perang, keberhasilan dan kegagalan panen, kondisi cuaca seperti banjir pada Sungai Kuning, dan nasib kerajaan. Shangdi tampaknya menjadi memimpin hierarki para Dewata yang mengontrol alam, dan juga para arwah leluhur.[1] (Aspek tersebut selanjutnya diserap oleh Kaisar Giok dan Birokrasi Surganya dalam Taoisme.)
Shangdi mungkin lebih bersifat transenden daripada imanen, hanya bekerja melalui Dewa-Dewi yang lebih rendah tingkatnya.[1] Shangdi dianggap terlalu tinggi untuk dipuja secara langsung oleh manusia biasa. Sebaliknya, raja-raja Shang menyatakan bahwa Shangdi membuat dirinya dapat dihubungi melalui jiwa-jiwa para raja yang telah meninggal,[2] baik raja-raja dalam masa legenda maupun generasi raja-raja yang memerintah saat itu. Para raja selanjutnya dapat memohon kepada Shangdi secara langsung.[3] Banyak tulisan tulang orakel yang mencatat petisi-petisi semacam ini, biasanya berdoa untuk hujan[4] tetapi juga memohon persetujuan Shangdi untuk tindakan yang dilakukan negara.
Dinasti Zhou
Pada masa Dinasti Shang dan Zhou selanjutnya, Shangdi secara bertahap digantikan atau disinkretiskan dengan Surga (天, Tiān).[5]Adipati Zhou membenarkan perebutan kekuasaannya melalui konsep Mandat Langit, yang menyatakan bahwa perlindungan dari Shangdi tidak berhubungan dengan suku tertentu tetapi dari pemerintahan yang adil. Shangdi tidak lagi merupakan dewata suku melainkan kekuatan moralitas, yang menggunakan kekuasaannya berdasarkan standar yang tegas.[6] Mandat dari Surga dapat menjadi hilang dan diwarisi oleh dinasti yang baru, sehingga merekalah yang menjadi berhak untuk melakukan ritual yang pantas bagi Shangdi.
Meskipun demikian, beberapa ritual berhubungan dengan klan Shang (marga Zi) sehingga para bangsawan Shang masih terus memimpin beberapa lokasi serta bekerja sebagai penasihat kerajaan dan pendeta. Raja Wu dari Zhou bahkan membangun sebuah kota untuk seremonial yang berlandaskan prinsip kosmologikal yang ketat sebagai rumah para aristokrasi Shang dan Sembilan Ketel Berkaki Tiga yang melambangkan kekuasaan Huaxia; klan Shang ditugaskan melakukan Ritual Zhou. Sebagaimana klan Shang, klan ksatria Shi memperlajari ajaran Konfusius yang mengajarkan etiket dalam pertemuan dan upacara kepada para pemimpin Zhou.[7]Untaian Lima Sutra Konfusius dipelajari dan membentuk tradisi awal, termasuk pemujaan terhadap Shangdi.
Kumpulan naskah Empat Buku yang merangkum ajaran Konfusius juga menyebut Shangdi. Karena merupakan hasil rangkuman yang lebih baru, penyebutannya jauh lebih jarang dan abstrak. Shangdi disebut lebih banyak pada karya rangkuman yang lebih awal: pola ini mungkin menggambarkan meningkatnya rasionalisasi terhadap Shangdi seiring berjalannya waktu, perubahan dari dewa suatu klan menuju konsep yang lebih abstrak dan filosofikal,[8][9] atau disebabkan proses penggabungan dengan, atau diserap oleh dewata lain.
Dinasti-Dinasti Selanjutnya
Pada masa Dinasti Han, pelajar Konfusian bernama Zheng Xuan memberi keterangan: "Shangdi adalah nama lain dari Tian". Dong Zhongshu berkata: "Surga adalah otoritas tertinggi, raja para dewata yang wajib dikagumi oleh kaisar ".[10]
Pada zaman-zaman selanjutnya, ia biasa disebut sebagai Kaisar Langit Surgawi nan Agung (皇天上帝, Huángtiān Shàngdì) dan, dalam hal ini, dia digabungkan dengan Kaisar Giok Taoisme.
Kultus
Ritual Raja dan Rakyat
Pada zaman dulu di Tiongkok, pemujaan terhadap Shang Di 上帝 (atau Tian Gong pada masa yang lebih baru) hanya boleh dilakukan oleh kaisar dan keluarganya saja, karena beranggapan bahwa Shang Di adalah leluhur mereka dan memberikan mandat kepada mereka untuk memerintah di bumi ini. Rakyat biasa tidak diperbolehkan memuja Shangdi, karena dengan berbuat begitu dapat dianggap menyamakan dirinya sebagai keluarga Kaisar, suatu pelanggaran yang diancam dengan hukuman mati.
Jadi upacara sembahyang kepada Shang Di hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan dan dipimpin oleh Kaisar sendiri sebagai Pemimpin Upacara, dengan dibantu oleh anggota keluarganya dan para petinggi kerajaan yang lain.[11]
Sedangkan rakyat biasa mengadakan sembahyang di rumah masing-masing, di depan pintu, atau di tepi jalan, tanpa upacara macam-macam; cukup dengan menyalakan sepasang lilin dan sebatang atau tiga batang dupa yang disojakan (diayunkan) ke arah langit. Setelah zaman Dinasti Song [960 – 1280 M], Kaisar-Kaisar yang bertahta kemudian tidak begitu ketat lagi dalam memberlakukan larangan pemujaan Shang Di oleh rakyat. Sehingga, orang pada umumnya berkata bahwa mereka mengadakan sembahyang sederhana kepada Shang Di, pada waktu menyalakan dupa dan lilin. Padahal ia tidak berhak berbuat begitu, walaupun sangat menghormati Shang Di.[11]
Ritual Kuno Kekaisaran
Sebagaimana disebutkan di atas, sejarah tradisional Tiongkok menegaskan bahwa para raja memberikan persembahan kepada Shangdi dimulai semenjak sebelum Dinasti Xia. Catatan arkeologikal yang selamat menunjukkan bahwa masyarakat Shang menggunakan tulang belikat sapi jantan kurban untuk mengirimkan pertanyaan atau komunikasi melalui api dan asap ke alam dewata, praktik tersebut dinamakan scapulimancy. Panas api menyebabkan tulang menjadi retak dan ahli nujum istana akan menginterpretasikan retakan sebagai jawaban Shangdi kepada raja. Inskripsi yang digunakan untuk meramal selanjutnya dikubur dalam lubang khusus, sementara yang digunakan untuk praktik atau catatan dikubur pada lubang pembuangan biasa setelah digunakan.[12]
Shangdi atau Tian menerima persembahan dari para raja dari setiap dinasti setiap tahunnya pada Kuil Langit Tian Tan (Hanzi: 天壇) yang berlokasi di ibu kota kerajaan. Menurut prinsip fengshui, kuil tersebut selalu dilokasikan pada sisi selatan kota.[13] Saat ritual, seekor sapi jantan yang sempurna disembelih dan dipersembahkan sebagai hewan kurban bagi Shangdi.[14]Kitab Kesusilaan menyebutkan bahwa upacara kurban sebaiknya dilakukan pada hari terpanjang saat titik balik matahari di musim panas, pada sebuah altar berbentuk gundukan-bundar. Altar tersebut memiliki tiga tingkatan; yang tertinggi untuk Shangdi dan Putra Surga; yang kedua untuk matahari dan bulan; dan yang terendah untuk para dewata alam seperti bintang-bintang, awan, hujan, angin, dan petir.
Memundurkan para penari sipil dan memasukkan para penari militer
Pertunjukan tarian militer
Mengantar para dewata
Membakar barang-barang persembahan
Penting untuk dicatat bahwa Shangdi tidak pernah ditampilkan baik dengan lukisan maupun patung. Melainkan, di tengah bangunan Kuil Langit, pada bagian yang dinamakan "Kubah Imperial Surga", sebuah "papan roh" (神位, atau shénwèi) bertuliskan nama Shangdi diletakkan di atas tahta, Huangtian Shangdi (皇天上帝). Setiap upacara kurban tahunan, raja akan membawa papan ini menuju sisi utara Kuil Langit, pada suatu ruangan bernama "Aula Doa untuk Panen Baik ", kemudian meletakkannya di atas tahta di sana.[16] Huruf Huang Tian Shang Di ini sampai sekarang masih tercantum di bagian atas Tian Tan di Beijing (北京).[11]
Shangdi dan Para Dewata
Bidang Litbang PTITD/ Matrisia Jawa Tengah[17] menjelaskan hubungan Shangdi dengan para Dewata lainnya seperti di bawah ini.
Bila disamakan dengan kaisar, maka Shangdi bertahta di langit bergelar Yu-huang Shang-di dengan permaisuri Xi Wangmu.
Dilihat dari sudut Yinyang atau "Langit-Bumi", dia adalah Pancatunggal Wu-lao Tian-jun:
(1) Qing-di (Kaisar Hijau) yang menguasai timur, musim semi, dan elemen kayu, berlambang naga hijau.
(2) Chi-di (Kaisar Merah) menguasai selatan, musim panas, elemen api, berlambang burung merah.
(3) Bai-di (Kaisar Putih) menguasai barat, musim gugur, elemen logam, berlambang macan putih.
(4) Hei-di (Kaisar Hitam) menguasai utara, musim dingin, elemen air, berlambang kura-kura dan ular.
(5) Huang-di (Kaisar Kuning) adalah sang koordinator, berada di pusat, menguasai elemen tanah dan berlambang kilin.
Dipandang dari aspek Sancai, dia adalah Tritunggal San-guan Da-di, yaitu:
(1) Tian-guan Da-di yaitu pengelola langit, dikenal luas sebagai Fu Xing (Bintang Bahagia), salah satu dari Tiga Dewa Bintang Fu Lu Shou.
(2) Di-guan Da-di yang mengelola bumi, tak lain adalah Fu De Zheng Shen atau Fu Shen.
(3) Shui-guan Da-di yang mengelola air.
Ditinjau dari pembagian kuasa, dialah Caturtunggal Si-yu (Empat Baginda) 四御:
(2) Tai Huang Da Di (Bei Ji Da Di) sebagai pengurus lika-liku keadaan di langit dan bumi, mengatur pergantian cuaca dan empat musim.
(3) Tian Huang Da Di sebagai penguasa kutub utara-selatan, keserasian Sancai, bintang-bintang, dan urusan militer di dunia.
(4) Houtu Huang Diqi (Hou Tu) sebagai Dewi yang mengatur perkembangbiakan segala makhluk hidup dan estetika (keindahan) di bumi. Dia adalah Dimu.
Dari aspek Empat Penjuru, dialah sang Caturtunggal Si Ji (Empat Kutub):
(1) Bei Ji Da Di (Kutub Utara). Pernah membagi diri dan menitis sebagai manusia, kemudian diangkat menjadi Xuan Tian Shang Di (Hian Thian Siang Tee) dan menguasai alam semesta utara (Xuan Tian).
(2) Nan Ji Chang Shou Da Di (Kutub Selatan) atau Nan Ji Xian Weng. Dia adalah Shou Xing (Bintang Panjang Umur) dari tiga serangkai Fu Lu Shou.
Nama "Shangdi" juga digunakan untuk menerjemahkan Allah Bapa ke dalam bahasa Tionghoa oleh beberapa misionaris Kristen. Hal tersebut menimbulkan perdebatan, dimana sebagian lebih memilih "Shangdi" dan yang lain "Shen" (神 "dewa").[18] Misionaris Inggris dan beberapa dari Katolik lebih memilih Shangdi untuk berhubungan dengan kepercayaan asli yang kuno dan primitif yang diduga berupa monoteisme, sementara misionaris Amerika dan Katolik yang lain memilih untuk menghindarinya karena nama yang sama ditakutkan akan menyebabkan Tuhan dalam Kekristenan terjebak ke dalam politeisme di Tiongkok.[18]
^The Shu Jing menyebutkan: "Surga yang Besar tidak memiliki perasaan yang berat sebelah: Ia hanya mendukung kebajkan ".
^The Zuo Zhuan berkata: "Kecuali seseorang bajik, masyarakat tidak akan berada dalam keharmonisan dan roh-roh tidak akan menerima persembahannya. Apa yang membuat roh-roh tertarik adalah kebajikan seseorang ".
^Xu Yahui. Caltonhill, Mark & al., trans. Ancient Chinese Writing: Oracle Bone Inscriptions from the Ruins of Yin. Academia Sinica. Nat'l Palace Museum (Taipei), 2002. Govt. Publ. No. 1009100250.
^Contohnya, Kitab Hikayat mencatat bahwa Adipati Zhou membangun kuil langit yang baru pada sisi barat Luo.
^Lam, Joseph S.C. 1998. State Sacrifices and Music in Ming China: Orthodoxy, Creativity, and Expressiveness. Albany, NY: Sate University of New York Press.
^"JSDJ". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-12-14. Diakses tanggal 2013-03-11.
^Bidang Litbang PTITD/ Matrisia Jawa Tengah. Juli 2007. "Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma", Ediri Pertama. Semarang: Benih Bersemi.