Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Ghumah Baghi

Rumah Baghi Besemah di kaki Gunung Dempo

Ghumah Baghi atau Rumah Baghi, atau Ghumah Tatahan[1], merupakan rumah adat tradisional di Provinsi Sumatera Selatan yang dibangun oleh Suku Besemah (atau disebut juga Pasemah). Secara etimologis dalam Bahasa Indonesia Ghumah artinya Rumah, sedangkan Baghi (dibaca: bari) artinya tua.[2] Selain diartikan sebagai rumah lama, tua atau kuno, bisa juga Ghumah Baghi disebut sebagai "rumah peninggalan zaman dahulu kala".[3]

Bagi komunitas masyarakat Suku Besemah Ghumah Baghi tidak sekadar tempat tinggal saja, melainkan juga sebagai simbol strata bagi si pemilik rumah dan dianggap sakral.[4]

Bentuk Rumah

Semua Ghumah Baghi berbentuk rumah panggung dengan tinggi 2 meter dari permukaan tanah. Kolong rumah biasanya dijadikan tempat penyimpanan kayu bakar. Selain itu fungsinya adalah dalam rangka keamanan pemilik rumah. Agar binatang buas tidak bisa masuk sembarangan ke dalam rumah. Hal ini mengingat dahulu kala lingkungan sepi dan dikelilingi hutan belantara.[5]

Bangunan rumah tradisional ini sangatlah kuat. Bahan dasar pembuatannya adalah kayu-kayu berkualitas (misal kayu entenam) yang diambil dari hutan-hutan sekitar. Tidak hanya sebagai pondasi, tapi juga untuk dinding, lantai, dan kayu ukiran. Kayu-kayu ini jugalah yang membuat Ghumah Bhagi terkenal sangat kokoh.

Selain kuat Ghumah Baghi juga tahan gempa. Tiang Ghumah Baghi menempal di atas sebuah batu. Jadi ketika ada gempa bumi, tiang-tiang itu bergerak dinamis, hanya bergeser saja tidak sampai merobohkan bangunan. Sebagai bukti kekuatannya, ada Ghumah Baghi di Desa Bangke sudah berusia 300 tahun.

Ghumah Baghi (besemah) sebagian besar berbentuk menyerupai perahu besar. Contohnya yang berada di Kecamatan Dempo Utara, akan terlihat jika tiang rumahnya dilepas. Tidak mengherankan, karena nenek moyang Suku Besemah adalah pelaut. Mereka datang ke Besemah menaiki perahu.[1]

Atapnya terbuat dari serabut pohon aren dan kerangkanya menggunakan bambu. Sisi depan atap sepintas mirip rumah tradisional orang Minangkabau, runcing seperti tanduk. Namun jika dilihat dengan teliti, ternyata tidak seruncing Rumah Adat Suku Minangkabau.[6] Sisi depan yang runcing itu terbuat dari kayu yang sudah dibentuk terlebh dahulu.[2]

Rumah Baghi lama di Dataran Tinggi Besemah (atas) dan Rumah Baghi lama di sekitar situs megalitikum Gunung Megang, Muara Enim (bawah)

Konsep konstruksi Ghumah Baghi menggunakan pasak yang menghubungkan bagian rangka. Uniknya, bagian-bagian terhubung tidak menggunakan paku. Untuk lembaran-lembaran papan dinding dipasang kepada kerangka dinding melalui lubang alur sebagai pengunci agar menempel kuat layaknya seperti dipaku.

Ghumah Baghi tidak memiiki jendela. Hanya ada satu daun pintu di tengah yang terbuat dari sekeping kayu dengan engsel sumbu, dimana posisinya ada di atas dan di bawah daun pintu. Jika pintu dibuka atau ditutup terdengar bunyi yang khas. Fungsinya menyerupai bel, sebagai tanda panggilan untuk empunya rumah.[5]

Lalu menjadi pertanyaan, bagaimana orang-orang Suku Besemah membawa kayu-kayu berat itu dari hutan? Konon yang membawa kayu-kayu tersebut adalah kekuatan gaib. Makanya saat Ghumah Baghi hendak dibangun warga disekitarnya dilarang keluar rumah pada malam hari, karena akan ada pengiriman kayu. Keesokan harinya pada pagi hari kayu-kayu untuk membangun sudah ada di area pembangunan.[3]

Proses pembangunan Ghumah Baghi didahului dengan musyawarah adat dan melewati serangkaian upacara adat.[4] Ada empat upacara yang berkaitan dengan Ghumah Baghi, yakni Upacara Memancang Tiang (Sedekah Negah Ka Tiang), Naikkan Bumbungan (Sedekah Negah Mubungan), Menempati Ghumah (Sedekah Nunggu Ghumah) dan Upacara Menguji Ghumah Baghi (Sedekah Nyimak Ghumah)

Bagian Dalam

Lantai Ghumah Baghi terbuat dari bambu. Tidak ada sekat atau kamar di dalam Ghumah Baghi. Ini merupakan simbol dari kebersamaan anggota keluarga inti. Meskipun demikian terdapat bagian tertentu di dalam rumah yang lantainya dibuat berjenjang, sesuai strata yang berlaku dalam Suku Basemah. Jenjang paling atas untuk Jurei Tue (sesepuh), di bawahnya untuk Pangeran Tue dan Pangeran Mude. Lalu jenjang paling bawah ditempati Cincingan, Cerite Layang, dan Rabu Samad. Hanya saja lantai berjenjang saat ini hanya dipakai bilamana ada upacara penjemputan pusaka yang pada umumya diadakan hanya sekali dalam empat tahun. Acara ini dilaksanakan jika sang sesepuh mempunyai firasat untuk menjemput pusaka.[5]

Motif Ukiran

Ciri khas Ghumah Baghi adalah adanya ukiran. Rumah ini terbagi dalam dua jenis, Rumah Tatahan, yang menggunakan ukiran dan Rumah Digedelapan, tidak menggunakan ukiran. hal tersebut menunjukkan bahwa pemilik Rumah Tatahan memiliki status sosial lebih tinggi daripada pemilik Rumah Digedelapan. Biaya membangun Ghumah Baghi dengan ukiran tentu saja lebih besar daripada yang tidak menggunakan ukiran.[2] Ditambah lagi kayu Rumah Tatahan lebih berkualitas ketimbang Rumah Digedelapan.[3]

Dahulu kala, pengukir Ghumah Baghi merupakan profesi bergengsi, karena mereka bekerja kepada orang-orang "berkelas" yang tingkat ekonominya tinggi. Seperti yang telah dikatakan tadi, Hanya orang-orang kaya saja yang sanggup membangun Rumah Tatahan.

Biaya membuat ukiran saja bisa seharga sepertiga dari harga pembuatan rumah. Menjadi sangat mahal karena yang mengerjakan ukiran adalah orang yang memiliki keterampilan dibidang itu dan sangat jarang. Pengerjaannya pun membutuhkan waktu lama. Proses mengukir satu rangkaian balok kayu bisa hingga tiga bulan.[5]

Tahap memahat ukirannya pun tidak boleh sembarangan. Setiap selesai satu kayu diukir, si empunya rumah harus memotong seekor ayam. Hal ini dilakukan untuk menghormati nenek moyang mereka.

Motif ukiran di Rumah Baghi biasanya adalah bunga, seperti bunga matahari dan teratai. Motif lainnya yang sering digunakan umumnya adalah lingkaran, atau bubulan.[3] Posisi bunga bisa vertikal dan horizontal.

Bunga vertikal merupakan simbol dari doa dan pengharapan si pemilik rumah agar rezeki mereka terus bertambah. Sedangkan bunga horizontal melambangkan persatuan dan gotong royong.

Motif lainnya yang sering dipahat umumnya adalah lingkaran, atau bubulan, biasanya terletak di samping dinding rumah. Hal ini simbol bahwa ada kekompakan antara sesama penghuni rumah. Pada bagian tengah bubulan umumnya terdapat lubang untuk mengintip bagaimana situasi di luar rumah.

Diambang Kepunahan

Faktor

Keberadaan Ghumah Baghi semakin lama semakin sedikit jumlahnya. Tidak diketahui pasti berapa total Ghumah Baghi yang tersisa di Sumatera Selatan. Sebagai gambaran, sekitar tahun 1977 diperkirakan masih berdiri tegak 40-an rumah tradisional ini di Desa Bangke, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat. Namun pada tahun 2017 hanya tinggal sekitar 13 unit saja.

Banyak Ghumah Baghi yang tidak terawat dengan baik karena tidak dihuni, atau bahkan lebih parah lagi, ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja. Tentu saja kondisi rumah menjadi rusak, kayunya dimakan rayap.

Kalaupun hendak merenovasinya, jenis kayu Ghumah Baghi semakin sulit didapat. Kondisi ini diperparah lagi dengan habisnya kemampuan pengukir karena tidak ada regenerasi.[5] Seandainya pun dilakukan, tanpa sadar keaslian rumah malah hilang setelah direnovasi.[2]

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah karena keunikan motif ukirannya dan kualitas kayunya yang baik (berumur ratusan tahun), jadilah Ghumah Baghi diburu oleh kolektor barang-barang antik.

Diminati Kolektor

Lucunya, peminat Ghumah Baghi justru bukan dari Suku Besemah. Setelah dibeli lantas mereka mempretelinya satu persatu untuk kemudian dijual ke Pulau Jawa atau Bali,[1]

Ketidakmampuan merawat Ghumah Baghi dan adanya penawaran dengan harga yang tinggi, membuat pemilik atau pewaris tergoda untuk menjual saja rumah bersejarah tersebut.

Untuk beberapa keping papan bisa dihargai sampai Rp 4,5 juta. Bahkan ada kolektor yang sampai menawar Rp. 100 juta untuk tiang rumahnya saja.[2] Jika tidak ada intervensi dari pemerintah bukan tidak mungkin akan punah.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c "Hebatnya Ghumah Baghi Besemah Tahan Gempa, Berbentuk Perahu, Kaya Motif". pagaralampos online. 27 Maret 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-17. Diakses tanggal 14 Maret 2019. 
  2. ^ a b c d e Sepriansyah, Darwin (5 Maret 2017). "Eksklusif: Rumah Baghi Lahat Diincar Kolektor, Papan Dihargai Rp 4,5 Juta". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-05. Diakses tanggal 14 Maret 2019. 
  3. ^ a b c d Brata, Wisnu Aji Dewa; Wahyudi, M. Zaid; Wijaya, Buyung Kusuma (April 2010). Nurhan, Kenedi, ed. Jelajah Musi Eksotika Sungai di Ujung Senja (Laporan Jurnalistik Kompas). Jakarta: Penerbit Buku Kompas, PT. Kompas Media Nusantara. ISBN 978-979-709-485-0. 
  4. ^ a b Budi Laksana, Robert (September 2014). Tesis Ornamen Mendale Kencane Mandukike Pada Ghumah Baghi Besemah di Dusun Pelang Kenidai iKecamatan Dempo Tengah Kota Pagaralam. Surakarta: ISI Surakarta. 
  5. ^ a b c d e Jati, Rhama Purna (21 Januari 2017). Wiwoho, Laksono Hari, ed. "Melestarikan Rumah Baghi Pasemah". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-23. Diakses tanggal 14 Maret 2019. 
  6. ^ Apriyono, Ahmad (7 Maret 2019). "Menghayati Pagi dari Rumah Baghi yang Kaya Makna Filosofi". Liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-07. Diakses tanggal 17 Maret 2019. 
Kembali kehalaman sebelumnya