Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Islam di Papua Barat

Masjid Tua Patimburak (dibangun k. 1870) di Fakfak, Papua Barat.

Islam di Papua Barat adalah agama minoritas yang dipeluk oleh 38,06% penduduk provinsi ini,dari keseluruhan jiwa 1.150.000 penduduk berdasarkan sensus tahun 2021.[1] Islam diperkirakan masuk ke Papua Barat melalui beberapa kerajaan di Kepulauan Maluku, yang kekuasaannya mencapai bagian barat Pulau Papua. Populasi muslim Papua Barat saat ini terkonsentrasi di wilayah kepulauan dan pesisir, seperti di Raja Ampat, Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, dan Manokwari.

Sejarah

Awal masuknya Islam

Hikayat Bacan menceritakan bahwa sekitar tahun 1512 ada seorang saudara muda Sultan Bacan bernama Kaicil Jelman yang diangkat menjadi penguasa Pulau Misool, yang kemudian menjadi penguasa muslim pertama di wilayah itu.[2] Demikian pula terjadi pada Waigeo dan pulau-pulau lainnya yang pernah berada di bawah pengaruh Kesultanan Bacan. Pada masa pertengahan abad ke-15, penyebaran agama yang dilakukan Kesultanan Bacan membuat banyak kepala-kepala suku di pesisir barat Pulau Papua mulai memeluk Islam.[3]

Teori masuknya Islam di Tanah Papua

Setidaknya ada tujuh teori sumber masuknya islam di Tanah Papua yang saat ini menjadi penyebab siapa dan mengapa Islam bisa menyebar di Tanah Papua.[4]

Teori Papua

Merujuk pada legenda adat sebaagian warga asli yang saat ini mendiami daerah-daerah yang beragama islam seperti Fakfak, Kaimana, Bintuni, dan Manokwari. Menurut legenda Islam berasal dari Papua sendiri, tidak ada yang membawa dari luar. Mereka meyakini adam dan hawa di turunkan di Tanah Papua, meskipun terasa janggal namun ada sebagian warga papua yang mempercayai teori ini.[4]

Teori Aceh

Kajian tentang sejarah masuknya islam di Fakfak oleh pemerintah daerah Fakfak tahun 2006 menyimpulkan bahwa islam datang ke Papua pada 8 Agustus 1360 M oleh mubaligh Aceh bernama Abdul Ghafar di Fatagar Lama, kampung Rumbati Fakfak. Sumber dari penelitian ini adalah penuturan lisan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw). Menurut penuturannya Abdul Ghafar berdakwah selama 1360 m hingga 1374 M di Rumbati dan sekitarnya.[4]

Teori Arab

Teori satu ini merujuk pada sejarah lisan, bahwa islam masuk di Onin (Patimunin-Fakfak) oleh Syarif Muaz Al-Qathan alias Syaikh Jubah Biru. Diperkirakan kedatangannya pada pertengahan abad 16 dengan bukti adanya masjid Tunasgain yang dibangun tahun 1587 M. Teori ini sebagai kesimpulan pada seminar "Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangannya di Papua" di Fakfak pada tanggal 23 Juni 1997.[4]

Teori Jawa

Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan tanggal 15 Juni 1946, konon orang Papua pertama yang masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan Siti Hawa Farouk, seorang pendakwah asal Cirebon. Setelah masuk Islam, Kalawen mengganti namanya menjadi Bayajid. Diperkirakan peristiwa ini terjadi pada tahun 1600 M. Jika dilihat dari silsilah keluarga, Kalawen merupakan nenek moyang keluarga Arfan yang pertama kali masuk Islam.[4]

Teori Banda

Menurut Halwany Michrob, Islamisasi di Papua khususnya di Fakfak diciptakan oleh para pedagang Bugis dari Banda yang dilanjutkan ke Fakfak dari Seram bagian timur oleh seorang pedagang Arab bernama Haweten Attamimi yang menetap di Ambon dalam waktu yang cukup lama. Michrob juga mengatakan bahwa proses atau proses islamisasi dilakukan oleh dua orang khatib asal Banda yang bernama Salahuddin dan Jainun, yaitu proses islamisasi dilakukan dengan cara khitanan namun dengan ancaman dari masyarakat setempat namun yang disunat. Meninggal, kedua khatib tersebut akan dibunuh, namun pada akhirnya mereka berhasil melakukan sunat dan penduduk sekitar pun bergegas masuk Islam.[4]

Teori Bacan

Kesultanan Bacan pada masa Sultan Mohammad Al-Bakir berdasarkan piagam Kesiratan yang dicanangkan oleh bapak pendiri Mamlakatul Mulukiyah atau Moloku Kie Raha (empat kerajaan di Maluku: Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo) oleh Ja'far Ash-Shadiq (1250 M), melalui keturunannya, menyebarkan dakwah Islam di Sulawesi, Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua.[4]

Menurut Arnold, raja Bacan yang pertama masuk Islam, namanya Zainal Abidin, yang memerintah pada tahun 1521 M, memerintah suku-suku Papua dan pulau-pulau barat laut, seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati. Kemudian, Sultan Bacan memperluas kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin, di barat laut Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan pengaruh para saudagar muslim, para kepala suku pulau tersebut masuk Islam. Pada saat itu masyarakat pedalaman masih menganut animisme, sedangkan masyarakat pesisir menganut agama Islam. Melalui bukti tertulis dan lisan serta bukti warisan nama tempat dan keturunan raja Bacan yang menjadi raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Oleh karena itu, diduga orang pertama yang menyebarkan Islam di Papua adalah Kesultanan Bacan sekitar pertengahan abad ke-15. Pada abad ke-16, sebuah kerajaan kecil didirikan di Pulau Raja Ampat.[4]

Teori Tidore

Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan Papua. Setelah tiba di wilayah pulau Misool, Raja Ampat, maka Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di kepulauan Raja Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, Misool/Sailolof, Batanta, dan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makassar, Buton, Banda, Seram, Gorom, dan lain–lain.[4]

Era Kolonial Belanda

Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Papua tak luput dari masa penjajahan Belanda. Terhitung sejak tahun 1616, Belanda memasuki Papua dengan bendera monopoli dagangnya, yakni VOC. Namun beberapa sumber menjelaskan bahwa Inggris pun juga pernah mendirikan benteng di Papua. Hal ini menandakan ada jeda beberapa tahun atas pendudukan Belanda di Papua. Beberapa benteng Inggris didirikan untuk mengawasi monopoli dagang Belanda.[4]

Tercatat sejak 1898, Belanda sudah mulai menjejakkan administrasi negera di Papua. Beberapa pos pemerintahan mulai didirikan di Fakfak dan Manokwari.Lambat laun pengaruh Belanda akan menguasai hingga Hollandia (Jayapura). Sisi barat Papua dikuasai dahulu karena adanya pengaruh dari Kesultanan sebelumnya. Hingga VOC dan kemudian Belanda menguasai Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan. Alhasil Belanda juga merasa berhak menguasai Papua bagian barat sebagai mandala dari kesultanan Maluku tersebut.[4]

Islam saat era kolonial ini cenderung mengalami penyusutan. Dikarenakan adanya semboyan Gold, Glory, dan Gospel yang berarti pemerintahan kolonial berfokus pada penyebaran injil, berhasil memakzulkan dakwah Islam di Tanah Papua. Terbukti dengan adanya berbagai dukungan pada kelompok injili seperti mendatangkan guru-guru injil, fasilitas pendidikan untuk umat kristen, dan berbagai dukungan lain yang bersifat perseorangan, kelompok (LSM) dan kenegaraan.[4]

Selain membatasi penyebaran islam secara halus, Belanda juga membatasi penyebaran islma secara kasar. Yaitu dengan memenjarakan beberapa tokoh muslim yang ingin menyebarkan islam di tanah papua, seperti Muhammad Aminuddin Arfan yang mengantarkan C.W.Ottow dan J.G. Geissler ke Pulau Mansinam. Ia dibuang ke Maros dan tidak diijinkan untuk kembali ke Salawati hingga meninggal dunia. Tokoh islam marak melakukan pemberontakan karena ruang gerak dalam keislaman mereka dibatasi sedemikian rupa, selain itu juga pemberontakan mereka juga dapat dikatakan karena Belanda mengurangi eksistensi kerajaan islam di Papua.[4]

Aksi yang dilakukan Belanda dalam mengurangi eksistensi kerajaan islam antara lain dengan tidak mendirikan sekolah khusus islam. Hal ini menjadikan pergolakan dalam sisi keagamaan umat islam, berbagai daerah yang mayoritas islam hanya difasilitasi dengan sekolah Openbare Vervogschool (OVVS) sebagai sekolah terbuka untuk semua umat beragama. Namun untuk umat beragama kristen, pemerintah kolonial memberikan fasilitas di hampir seluruh tanah papua. Hal ini yang menyebabkan banyak anak muslim harus bersekolah di sekolah kristen yang didirikan oemerintah kolonial maupun yayasan yang didirikan oleh Zending.[4]

Perkembangan Islam di Papua Barat saat ini

Islam berkembang di beberapa kota, hingga menjadi sebuah komunitas baru di tengah komunitas nasrani papua. Perkembangan islam di Papua dapat dilihat dari masing-masing wilayah.

Islam di Fakfak

Fakfak bagi umat Islam Papua Barat dapat dikatakan sebagai Serambi Madinah, karena di kabupaten ini banyak ulama dan guru agama dilahirkan dan berdakwah ke segala penjuru tanah Papua. Sebagai kota dengan peradaban Islam tertua di Papua, menjadikan kota ini memiliki fundamental agama Islam yang cukup kuat, sebagai produk dari kuatnya fundamental tersebut lahirlah berbagai pendakwah dari Fakfak. Meskipun perkembangan islam cukup masif di Fakfak juga masih ada agama lain yang masih dihormati, sebagai wujud toleransi tersebut maka di cetuskan moto Satu Tungku Tiga Batu sebagai moto kabupaten Fakfak.[4]

Saat ini Fakfak terdapat dua suku besar, yaitu Onim-Iha dan Mbaham-Matta. Dari dua suku ini muncul puluhan marga yang dapat dikatakan sebagai marga asli Fakfak. Dua suku ini hingga sekarang memiliki akar kekerabatan yang kuat, sehingga meskipun berbeda agama tidak menjadikan soal besar.[4]

Islam di Kaimana

Awalnya Kaimana merupakan bagian dari Fakfak, hingga pada 12 April 2003 menjadi kabupaten otonomi tersendiri. Salah satu kerajaan yang menjadi pionir dalam penyebaran Islam di Papua terdapat di Kaimana, yaitu kerajaan Namatota. Namun perlahan kerajaan Namatota bergabung dengan kerajaan Sran Eman Muun (Sran Kaimana) dan beralih menjadi Kerajaan Kaimana. Pada tahun 1898, Naro'e muncul dan mengklaim sebagai penguasa. Mekanisme kemunculan penguasa seperti ini biasa disebut Raja Komisi atau penduduk lokal menyebutnya sebagai Rat Umis.

Berbeda dengan Fakfak, Kaimana biasa menjadi tempat persinggahan, sehingga banyak akulturasi budaya terjadi di Kaimana. Terpengaruh oleh beberapa pendatang yang silih berganti singgah di Kaimana. Dan karena hal itu Kaimana memiliki banyak sekali suku diantaranya:

  1. Madewana, menghuni bagian selatan Semenanjung Bomberai.
  2. Irarutu, menghuni bagian timur Semenanjung Bomberai.
  3. Iresim, menghuni pesisir selatan Teluk Cenderawasih, sebelah barat Nabire.
  4. Kambrauw, menghuni Teluk Kamberau.
  5. Kamoro, menghuni pantai selatan Papua daerah Asmat-Kamoro (Mimika).
  6. Koiwai, menghuni daerah pulau-pulau di selatan Kaimana.
  7. Mairasi, menghuni Teluk Arguni hingga ke Teluk Wondama.
  8. Mer, menghuni daerah mata air Wosimi dan hulu sungai Urema yang saat ini masuk distrik Teluk Etna.
  9. Mor, menghuni teluk di pantai Bintuni.
  10. Semimi, menghuni Teluk Etna hingga Teluk Triton.

Seperti halnya Fakfak, nilai toleransi di Kaimana terjaga hingga saat ini. Toleransi antar umat beragama dirawat dengan baik. Terlebih lagi di Kaimana dalam satu marga bisa memiliki dua agama, Islam dan Kristen seperti Marga Warfete. Toleransi ini dirawat sedemikian rupa, sehingga jika ada perayaan hari raya antar umat beragama juga saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Selain itu pada MTQ ke 4 yang diadakan di Kaimana, panitianya tidak hanya muslim tapi umat kristiani juga ikut membantu dalam terselenggaranya acara tersebut. Bahkan yang menyanyikan mars MTQ adalah tim Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi).[5]

Distribusi geografi

Berikut merupakan sebaran umat Islam per-kota/kabupaten di provinsi Papua Barat (Sensus 2010):

Kota/kabupaten Muslim[6] %
Fakfak 40.517 60,63%
Kaimana 19.397 41,94%
Teluk Wondama 4.779 18,16%
Teluk Bintuni 23.808 45,42%
Manokwari 57.747 30,76%
Sorong Selatan 8.211 21,66%
Sorong 38.996 55,22%
Raja Ampat 13.530 31,83%
Tambrauw 201 3,27%
Maybrat 224 0,68%
Kota Sorong 128.884 44,39%
Total 292.026 38,40%

Referensi

  1. ^ "Sebanyak 54% Penduduk Papua Barat Beragama Kristen pada Juni 2020 | Databoks". databoks.katadata.co.id. Diakses tanggal 2021-12-30. 
  2. ^ Pacific Islands year book (1972), Volume 12, hlm. 182, Pacific Publications Cornell University, 1977. Diakses 8 Mei 2013.
  3. ^ Wanggai, Toni Victor Mandawiri (2009). Rekonstruksi sejarah umat Islam di tanah Papua. Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama, R.I. ISBN 978-979-797-263-9. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Mashad, Dhurorudin (2020). Muslim Papua: membangun harmoni berdasar sejarah agama di bumi cendrawasih (edisi ke-Cetakan pertama). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. ISBN 978-979-592-881-2. 
  5. ^ Media, Kompas Cyber (2013-08-12). "Toleransi di Kaimana Lahir dari Pandangan Agama Keluarga Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-09-30. 
  6. ^ Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: Provinsi Papua Barat, Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik.

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya