Perang Napoleon
Perang Napoleon (1803–1815) atau adalah serangkaian konflik besar di Eropa yang mengacu pada Kekaisaran Prancis dan sekutunya, yang dipimpin oleh Napoleon I, melawan kekuatan yang berfluktuasi susunan Kekuatan Eropa dibentuk menjadi berbagai koalisi.Seri Perang Napoleon terutama terdiri dari 17 pertempuran besar Kaisar Napoleon. Ini menghasilkan periode dominasi Prancis atas sebagian besar benua Eropa. Perang berasal dari perselisihan yang belum terselesaikan terkait dengan Revolusi Prancis dan konflik yang dihasilkan. Perang sering dikategorikan ke dalam lima konflik, masing-masing disebut setelah koalisi yang melawan Napoleon: Koalisi Ketiga (1805), Keempat (1806– 07), Kelima (1809), Keenam (1813–14), dan Ketujuh (1815). Napoleon, setelah naik ke Konsul Pertama Prancis pada tahun 1799, telah mewarisi republik dalam kekacauan; dia kemudian menciptakan negara dengan keuangan yang stabil, birokrasi yang kuat, dan tentara yang terlatih. Pada tahun 1805, Austria dan Rusia membentuk Koalisi Ketiga dan mengobarkan perang melawan Prancis. Sebagai tanggapan, Napoleon mengalahkan tentara sekutu Rusia-Austria di Austerlitz pada bulan Desember 1805, yang dianggap sebagai kemenangan terbesarnya. Di laut, Inggris mengalahkan angkatan laut gabungan Prancis-Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar pada 21 Oktober 1805. Kemenangan ini mengamankan laut Inggris dan mencegah invasi Inggris sendiri. Prihatin tentang peningkatan kekuatan Prancis, Prussia memimpin pembentukan Koalisi Keempat dengan Rusia, Saxony, dan Swedia, dan dimulainya kembali perang pada Oktober 1806 Napoleon dengan cepat mengalahkan Prusia di Jena dan Rusia di Friedland, membawa perdamaian yang tidak menyenangkan ke benua itu. Namun, perdamaian gagal, ketika perang pecah pada tahun 1809, dengan Koalisi Kelima yang tidak dipersiapkan dengan baik, dipimpin oleh Austria. Pada awalnya, Austria memenangkan kemenangan yang menakjubkan di Aspern-Essling, tetapi dengan cepat dikalahkan di Wagram. Berharap untuk mengisolasi dan melemahkan Inggris secara ekonomi melalui Sistem Kontinental, Napoleon meluncurkan invasi Portugal, satu-satunya sekutu Inggris yang tersisa di benua Eropa. Setelah menduduki Lisbon pada November 1807, dan dengan sebagian besar pasukan Prancis hadir di Spanyol, Napoleon memanfaatkan kesempatan untuk berbalik melawan mantan sekutunya, menggulingkan keluarga kerajaan Spanyol yang berkuasa dan menyatakan saudaranya Raja Spanyol pada tahun 1808 sebagai José I. Spanyol dan Portugis memberontak dengan dukungan Inggris dan mengusir Prancis dari Iberia pada tahun 1814 setelah pertempuran enam tahun. Bersamaan dengan itu, Rusia, yang tidak mau menanggung konsekuensi ekonomi dari pengurangan perdagangan, secara rutin melanggar Sistem Kontinental, mendorong Napoleon untuk meluncurkan invasi besar-besaran ke Rusia pada tahun 1812. Kampanye yang dihasilkan berakhir dengan bencana dan hampir penghancuran Grande Armée Napoleon. Didorong oleh kekalahan, Austria, Prusia, Swedia, dan Rusia membentuk Koalisi Keenam dan memulai kampanye baru melawan Prancis, mengalahkan Napoleon secara meyakinkan di Leipzig pada Oktober 1813 setelah beberapa pertempuran yang tidak meyakinkan. Sekutu kemudian menyerbu Prancis dari timur, sementara Perang Semenanjung meluas ke Prancis barat daya. Pasukan koalisi merebut Paris pada akhir Maret 1814 dan memaksa Napoleon untuk turun tahta pada bulan April. Dia diasingkan ke pulau Elba, dan Bourbon dipulihkan ke kekuasaan. Tapi Napoleon melarikan diri pada Februari 1815, dan menguasai kembali Prancis selama sekitar seratus hari. Setelah membentuk Koalisi Ketujuh, Sekutu mengalahkannya secara permanen di Waterloo pada bulan Juni 1815 dan mengasingkannya ke Saint Helena, di mana dia meninggal enam tahun kemudian.[2] Kongres Wina menggambar ulang perbatasan Eropa dan membawa periode yang relatif damai. Perang memiliki konsekuensi mendalam pada sejarah global, termasuk penyebaran nasionalisme dan liberalisme, kebangkitan Inggris sebagai kekuatan angkatan laut dan ekonomi terkemuka dunia, munculnya gerakan kemerdekaan di Amerika Latin dan penurunan berikutnya dari Kekaisaran Spanyol dan Kekaisaran Portugis, reorganisasi mendasar wilayah Jerman dan Italia menjadi negara bagian yang lebih besar, dan pengenalan metode baru yang radikal melakukan peperangan, serta hukum sipil. Akhir Perang Napoleon akan memulai periode perdamaian relatif di benua Eropa, yang berlangsung hingga Perang Krimea. Latar belakang, 1789–1802Revolusi Prancis mengancam kerajaan-kerajaan lain di benua Eropa, dan menjadi persoalan yang lebih serius dengan ditangkapnya raja Louis XVI pada tahun 1792 dan pelaksanaan hukuman mati terhadapnya pada bulan Januari tahun 1793. Usaha pertama untuk menghancurkan Republik Prancis ini dimulai pada tahun 1792 ketika Austria, Kerajaan Sardinia, Kerajaan Napoli, Prusia, Spanyol, dan Kerajaan Britania Raya membentuk koalisi pertama. Dengan ditetapkan undang-undang Prancis yang baru, termasuk wajib militer secara serentak (levée en masse), pembaharuan sistem militer, dan perang secara total, memberikan kontribusi bagi kemenangan Prancis atas koalisi pertama. Perang berakhir ketika Austria dituntut oleh Napoleon menerima syarat-syarat dalam perjanjian Campo Formio. Kerajaan Britania Raya menjadi satu-satunya kerajaan yang tersisa dari koalisi pertama yang memerangi Prancis sampai dengan tahun 1797. Koalisi kedua dibentuk pada tahun 1798, yang terdiri atas beberapa kerajaan: Austria, Britania Raya, Kerajaan Napoli, Kesultanan Utsmaniyah, Negara Gereja, Portugal, dan Rusia. Napoleon Bonaparte, sang arsitek utama kemenangan Prancis pada tahun lalu atas koalisi pertama, melancarkan aksi militer ke Mesir (beberapa ilmuwan diikutsertakan dalam ekspedisi ini termasuk Jean Baptiste Joseph Fourier dan Jean-Francois Champollion). Napoleon kembali ke Prancis pada tanggal 23 Agustus 1799. Kemudian ia mengambil alih pemerintahan pada tanggal 9 November 1799 dalam sebuah kudeta yang kemudian disebut Kudeta 18 Brumaire. Napoleon menata ulang sistem militer Prancis dan membuat pasukan cadangan untuk mendukung aksi militer di sekitar Rhine dan Italia. Di semua pertempuran, Prancis lebih unggul. Di Italia, Napoleon memenangkan perang dengan Austria dalam Marengo pada tahun 1800. Tetapi pertempuran yang menentukan terjadi di Rhein, dalam Pertempuran Hohenlinden pada tahun 1800. Dengan kalahnya Austria, kekuatan koalisi kedua hancur. Akan tetapi Britania Raya tetap kuat dan memberi pengaruh yang besar kepada negara-negara lainnya agar dapat mengalahkan Prancis. Napoleon menyadari bahwa tanpa kekalahan Inggris atau perjanjian damai dengannya, maka ia tidak akan pernah mencapai perdamaian secara penuh di benua Eropa. Perang Inggris dan Prancis, 1803–1814Tidak seperti anggota koalisi lainnya, Inggris tetap berperang secara kecil-kecilan dengan Prancis. Dengan perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat, seperti yang diucapkan Admiral Jervis "Saya tidak menjamin bahwa Prancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut", Inggris dapat tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan di darat secara global selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan Prancis dalam perang Peninsular pada tahun 1808-1814. Dilindungi oleh kondisi alam yang menguntungkan, serta dibantu dengan pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis ini sukses mengganggu pasukan Prancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada tahun 1815, tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo. Sebenarnya perjanjian damai (Perjanjian Amiens) antara Inggris dan Prancis telah disepakati pada tanggal 25 Maret 1802. Tetapi kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer kedua belah pihak selalu merusak perjanjian ini seperti misalnya Prancis ikut andil dalam kericuhan sipil di Swiss (Stecklikrieg) dan menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris menduduki Malta. Napoleon juga berusaha mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat berubah menjadi bencana. Komandan Prancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir sebagian besar tentaranya meninggal akibat wabah penyakit kuning, dan juga karena serangan musuh. Napoleon menjadi Kaisar Prancis pada tanggal 18 Mei 1804 dan menobatkan dirinya sendiri sebagai penguasa Notre-Dame pada tanggal 2 Desember. Koalisi ketiga, 1805Napoleon berencana menyerang Inggris,[3][4][5] dan mengumpulkan 180.000 tentara di Boulogne. Namun, untuk invasinya, ia membutuhkan keunggulan laut - atau paling tidak dapat memukul mundur Britania dari Selat Inggris. Rencana untuk menarik perhatian Britania dengan mengganggu jajahan mereka di India Barat gagal ketika armada Prancis-Spanyol di bawah Laksamana Villeneuve mundur setelah pertempuran Cape Finisterre pada 22 Juli 1805. Angkatan Laut Kerajaan Inggris kemudian memblokade Villeneuve di Cádiz sampai ia pergi menuju Naples pada 19 Oktober; skuadron Britania mengejar dan mengalahkan armadanya dalam Pertempuran Trafalgar pada tanggal 21 Oktober (komandan Britania, Lord Nelson, tewas dalam pertempuran). Napoleon tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menantang Britania di laut. Napoleon membatalkan semua rencananya untuk menyerang Kepulauan Britania, dan membalikan perhatiannya ke musuhnya di Benua Eropa sekali lagi. Tentara Prancis meninggalkan Boulogne dan bergerak menuju Austria. Pada bulan April 1805, Inggris dan Rusia menandatangani kesepakatan dengan tujuan mengusir Prancis dari Belanda dan Swiss. Austria ikut serta dalam aliansi ini setelah pencaplokan wilayah Genoa dan penobatan Napoleon sebagai Raja Italia pada tanggal 17 Maret 1805. Austria memulai peperangan dengan menginvasi Bavaria dengan bala tentaranya yang berjumlah 70 ribu prajurit, di bawah pimpinan Karl Mack von Leiberich. Dengan segera tentara Prancis keluar dari Boulogne pada akhir Juli 1805 untuk menghadapinya. Keduanya bertemu di Ulm (25 September – 20 Oktober). Napoleon mengepung tentara Mack, kemudian memaksanya menyerah tanpa kerugian yang signifikan. Dengan dikalahkannya tentara uatama Austria di utara pegunungan Alpen (tentara lainnya di bawah pimpinan Adipati Agung Charles melawan tentara Prancis di Italia pimpinan marsekal André Masséna), Napoleon menduduki Wina. Jauh di belakang garis suplainya, ia berhadapan dengan bala tentara Austria-Rusia yang lebih besar di bawah komandan Mikhail Kutuzov, dimana Kaisar Alexander dari Rusia turut serta. Pada tanggal 2 Desember, Napoleon mengalahkan tentara pasukan Austro–Rusia di Moravia dalam Pertempuran Austerlitz (biasanya dianggap sebagai kemenangan terbesarnya). Napoleon menyebabkan 25.000 korban jiwa pada pasukan musuh yang unggul secara numerik, sementara mempertahankan kurang dari 7.000 korban dari pasukannya sendiri. Austria kemudian menandatangani kesepakatan Pressburg pada tanggal 26 Desember 1805 dan keluar dari koalisi. Perjanjian ini memaksa Austria menyerahkan wilayah Venesia kepada kerajaan Italia-yang didominasi Prancis dan Tyrol kepada Bavaria. Dengan mundurnya Austria dari perang ini, tentara Napoleon mencatat kemenangan terus-menerus di daratan, akan tetapi kekuatan penuh tentara Rusia belumlah ikut serta saat itu. Napoleon sekarang telah mengkonsolidasikan cengkeramannya di Prancis, telah menguasai Belgia, Belanda, Swiss, dan sebagian besar Jerman Barat dan Italia utara. Pengagumnya mengatakan bahwa Napoleon ingin berhenti sekarang, tetapi terpaksa melanjutkan untuk mendapatkan keamanan yang lebih besar dari negara-negara yang menolak untuk menerima penaklukannya. Sejarawan Charles Esdaile menolak penjelasan itu dan sebaliknya mengatakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menghentikan ekspansi, karena negara-negara besar siap menerima Napoleon apa adanya: Pada tahun 1806 baik Rusia maupun Inggris sangat ingin berdamai, dan mereka mungkin telah menyetujui persyaratan yang akan membuat imperium Napoleon hampir sepenuhnya utuh. Adapun Austria dan Prusia, mereka hanya ingin dibiarkan sendiri. Untuk mendapatkan perdamaian kompromi, maka, akan relatif mudah. Tapi Napoleon siap untuk tidak membuat konsesi.[6] Koalisi keempat, 1806–1807Koalisi keempat terbentuk beberapa bulan setelah runtuhnya koalisi ketiga dan terdiri dari Prusia, Rusia, Saxon, Swedia, dan Inggris. Pada bulan Juli 1806, Napoleon membentuk Konfederasi Rhein dari banyak negara kecil Jerman yang membentuk Rhineland dan sebagian besar bagian barat Jerman lainnya. Dia menggabungkan banyak negara bagian yang lebih kecil menjadi elektorat, kadipaten, dan kerajaan yang lebih besar untuk membuat pemerintahan Jerman non-Prusia menjadi lebih lancar. Napoleon mengangkat para penguasa dari dua negara bagian Konfederasi terbesar, Saxony dan Bavaria, dengan status raja. Akibat terpecahnya kerajaan-kerajaan Jerman, dan atas desakan Napoleon, Kaisar Franz II dari Austria menyatakan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci yang dipimpinnya pada tanggal 6 Agustus 1806. Sejak itu berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang berlangsung hampir selama 850 tahun. Pada Agustus 1806, raja Prusia, Friedrich Wilhelm III, memutuskan untuk berperang secara independen dari kekuatan besar lainnya. Tentara Rusia, sekutu Prusia, khususnya, terlalu jauh untuk membantu. Pada bulan September, Napoleon menggerakkan seluruh pasukannya yang berada di timur Rhein ke Prusia. Napoleon mengalahkan tentara Prusia di Jena pada tanggal 14 Oktober 1806, dan Marsekal Davout mengalahkan pasukan lainnya di Auerstädt pada hari yang sama. Sekitar 160,0000 tentara Prancis (bertambah jumlahnya seiring dengan berjalannya kampanye) menyerang Prusia, bergerak dengan sangat cepat sehingga mereka menghancurkan seluruh tentara Prusia sebagai kekuatan militer yang efektif. Dari 250.000 pasukan, Prusia menderita 25.000 korban, kehilangan 150.000 lagi sebagai tahanan, 4.000 artileri, dan lebih dari 100.000 senapan. Di Jena, Napoleon hanya melawan satu detasemen pasukan Prusia. Pertempuran di Auerstädt melibatkan satu korps Prancis yang mengalahkan sebagian besar tentara Prusia. Napoleon memasuki Berlin pada tanggal 27 Oktober 1806. Dia mengunjungi makam Friedrich yang Agung dan menginstruksikan seluruh marsekalnya untuk melepas topi mereka untuk memberi penghormatan seraya berucap
Dalam perang melawan Prusia ini, Napoleon hanya membutuhkan waktu 19 hari saja dari awal serangannya ke Prusia hingga menghentikannya dari perang dengan merebut Berlin dan penghancuran tentara utamanya di Jena dan Auerstädt. Sachsen meninggalkan Prusia, dan bersama dengan negara-negara kecil dari Jerman utara, bersekutu dengan Prancis. Selama konflik ini tercatat Malta mengirimkan bantuan kepada Rusia dan Prusia dengan harapan mereka mendapat aliansi politis melawan Napoleon dan Prancis, akan tetapi hal ini tidak berhasil karena bajak laut di sekitar Pantai Barbari menghadang dan merampas bantuan tersebut. Babak selanjutnya dari peperangan era Napoleon ini, adalah dipaksanya Rusia keluar dari Polandia oleh Prancis dan didirikan negara baru bernama Kadipaten Warsawa. Kemudian Napoleon beralih ke utara untuk berhadapan dengan sisa-sisa tentara Rusia, dan berusaha untuk menduduki ibu kota sementara Prusia, Koenigsberg. Dengan taktik berpindah di Pertempuran Eylau (7 Februari – 8 Februari 1807), Prancis berhasil memaksa Rusia mundur ke utara lebih jauh lagi. Napoleon kemudian mengepung mereka di Pertempuran Friedland (14 Juni 1807). Akibat kekalahan ini, Tsar Alexander terpaksa mengadakan perdamaian dengan Napoleon di Tilsit (7 Juli 1807). Pada bulan September, Marsekal Brune secara menyeluruh berhasil menduduki Pomerania. Meskipun demikian, dia tetap mengizinkan pasukan Swedia yang kalah untuk mundur bersama peralatan perang mereka. Koalisi kelima, 1809Koalisi kelima terdiri dari Britania Raya dan Austria yang dibentuk untuk melawan Prancis di daratan. Sementara di laut, sekali lagi Inggris berperang sendirian melawan sekutu-sekutu Napoleon. Tercatat sejak koalisi kelima terbentuk, angkatan laut kerajaan Inggris mencapai kesuksesan di daerah koloni Prancis dan memperoleh kemenangan yang besar melawan Denmark di Pertempuran Kopenhagen (2 September 1807). Di daratan, koalisi kelima berusaha memperluas wilayah tetapi dengan pergerakan militer terbatas. Seperti yang terjadi pada ekspedisi Walcheren pada tahun 1809, yang melibatkan angkatan darat Inggris dibantu oleh angkatan lautnya untuk membebaskan tentara Austria yang berada dalam tekanan tentara Prancis. Ekpedisi ini berakhir menjadi bencana setelah tentara yang dikomandani oleh John Pitt (pangeran kedua dari Chatham) gagal mencapai target yaitu pangkalan angkatan laut Prancis di Antwerpen. Dalam tahun-tahun selama koalisi kelima ini, pergerakan militer Inggris di daratan, terkecuali di jazirah Iberia (Al-Andalus), masih terbatas pada taktik serang dan lari dibantu oleh angkatan laut yang mendominasi laut setelah sukses menghancurkan hampir seluruh kemampuan angkatan laut Prancis dan sekutunya dan juga memblokade laut di sekitar pangkalan-pangkalan milik Prancis yang masih dipertahankan dengan kuat. Serangan kilat ini mirip dengan metode serangan yang dilancarkan oleh para gerilyawan. Umumnya angkatan laut membantu angkatan darat untuk menghancurkan kapal-kapal Prancis, mengganggu pengiriman, komunikasi, dan garnisun-garnisun militer di sekitar pantai. Dan sering juga angkatan laut datang menolong dengan menurunkan tentara mereka untuk membantu operasi militer yang dilancarkan bermil-mil jauhnya dari pantai. Kapal-kapal milik angkatan laut Inggris bahkan membantu dengan gempuran artileri dari moncong-moncong meriam mereka jika tentara Prancis yang bertempur tersesat hingga dekat dengan garis pantai. Tetapi bagaimanapun juga, kualitas dan kemampuan dari angkatan darat-lah yang sangat berpengaruh dari sukses tidaknya suatu operasi militer. Sebagai contoh, ketika taktik ini dilancarkan di Spanyol, kadang kala angkatan laut gagal mencapai target karena kurangnya kualitas dan kemampuan tentaranya. Peperangan ini juga merembet ke perang ekonomi antara sistem kontinental yang diterapkan oleh Prancis menghadapi blokade laut oleh Inggris di setiap wilayah kekuasaan Prancis. Kedua belah pihak selalu membuat konflik baru agar sistem mereka bisa dilaksanakan. Inggris berperang dengan Amerika antara tahun 1812-1815, sementara Prancis ikut serta dalam perang di Semenanjung Eropa selama tahun 1808-1814. Konflik di Iberia dimulai ketika Portugal melanjutkan perdagangan dengan Inggris meskipun ada larangan dari pihak Prancis. Ketika Spanyol mengalami kegagalan untuk mempertahankan aliansinya dengan Prancis, dengan segera tentara Prancis menyerang dan menduduki ibu kota Madrid. Austria yang sebelumnya menjadi sekutu Prancis, mengambil kesempatan untuk mengembalikan wilayah mereka di Jerman yang pernah dikuasainya sebelum mengalami kekalahan dalam perang di Austerlitz. Mereka memperoleh beberapa kemenangan atas tentara marsekal Davout yang memang terlalu sedikit dalam menjaga seluruh front timur. Napoleon hanya menempatkan sekitar 170.000 tentaranya untuk menjaga seluruh front timur ini. (bandingkan dengan tahun 1790-an, ada sekitar 800.000 tentara yang menjaga front timur ini bahkan lebih pendek jaraknya saat itu). Napoleon sangat gembira dengan keberhasilan pasukannya merebut Spanyol dan menduduki Madrid dengan mudah, dan memaksa mundur sejumlah besar tentara Inggris dari Andalusia (Pertempuran Corunna, 16 Januari 1809). Akan tetapi serangan yang dilancarkan Austria mencegah Napoleon menyelesaikan pengusiran tentara Inggris dari Andalusia karena dia harus pergi ke Austria untuk memimpin pasukan dan tidak pernah kembali ke arena pertempuran di jazirah ini. Karena ketidakhadirannya beserta marshal terbaiknya (Davout tetap memimpin di timur selama peperangan), situasi di Spanyol makin memburuk, terutama ketika Jenderal Inggris Sir Arthur Wellesley yang terkenal itu tiba untuk memimpin pasukan. Tentara Austria menyerbu ke kadipaten Warsawa tetapi mengalami kekalahan pada Pertempuran Radzyn pada tanggal 19 April 1809. Tentara Polandia menduduki Galicia barat menambah daftar kesuksesan mereka. Kemudian Napoleon memimpin sendiri tentaranya untuk melakukan serangan balik ke Austria. Setelah melalui beberapa pertempuran kecil, Austria akhirnya dipaksa mundur dari Bayern, sementara Napoleon terus bergerak memasuki Austria. Akibat keinginannya untuk segera menyeberangi sungai Danube mengakibatkan pertempuran besar yang terkenal dengan nama Pertempuran Aspern-Essling (22 Mei 1809) — Kekalahan telak pertama yang diderita Napoleon dari pasukan Austria yang dipimpin oleh Jenderal Archduke Karl. Baru pada awal bulan Juli (5 Juli – 6 Juli), Napoleon berhasil merebut Vienna dengan mengalahkan tentara Austria pada Pertempuran Wagram. (Pada saat berlangsung pertempuran ini, Napoleon mencopot Marsekal Bernadotte dari jabatannya dan mempermalukan dia di hadapan marsekal senior lainnya. Segera setelah kejadian ini, Bernadotte menerima tawaran dari Swedia untuk mengisi posisi sebagai pangeran. Selanjutnya dia secara aktif berpartisipasi dalam peperangan ini melawan Napoleon.) Perang koalisi kelima ini berakhir dengan kesepakatan Schönbrunn (14 Oktober 1809). Selanjutnya di timur hanya pemberontak Tyrol-lah yang dipimpin oleh Andreas Hofer yang tetap melanjutkan perlawanan terhadap tentara Prancis-Bayern sampai akhirnya mereka dikalahkan pada bulan November 1809, sementara itu perang di semenanjung Eropa Barat tetap berlanjut. Kekaisaran Prancis mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1810 dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Sementara itu Inggris dan Portugal tetap menjaga area di sekitar Lisbon (di belakang garis depan di Torres Vedras) dan untuk mengepung Cadiz. Napoleon menikah dengan Marie-Louise, Putri dari Austria, dengan maksud untuk mempererat aliansi dengan Austria dan memperoleh keturunan untuk menjadi putra mahkota baru. Hal ini tidak didapatkannya dari istri pertama, Josephine. Sebagai kaisar Prancis, Napoleon mengontrol negara-negara konfederasi Swiss, konfederasi Rhine, kadipaten Warsawa dan kerajaan Italia. Wilayah-wilayah di bawah kekaisaraan Prancis termasuk:
Invasi ke Rusia, 1812Seperti yang disebutkan di atas, hasil dari pakta Tilsit tahun 1807 mengakibatkan perang Anglo-Rusia 1807–1812. Tsar Alexander I menyatakan perang kepada Inggris setelah Inggris menyerang Denmark pada bulan September tahun 1807. Banyak pelaut Inggris yang ikut membantu armada laut Swedia selama perang Finlandia dan memperoleh kemenangan atas Rusia di teluk Finlandia pada bulan Juli tahun 1808 dan bulan Agustus tahun 1809, tetapi kemenangan tentara Rusia di daratan memaksa Swedia menandatangani perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1809 dan dengan Prancis pada tahun 1810 juga harus bergabung untuk memblokade Inggris. Meski begitu hubungan Prancis dan Rusia menjadi semakin buruk setelah tahun 1810, sementara perang Rusia dan Inggris telah berakhir. Pada bulan April tahun 1812, Rusia, Inggris dan Swedia menandatangani perjanjian rahasia untuk bergabung melawan Napoleon. Napoleon menginvasi Rusia pada tahun 1812 dengan maksud memaksa kaisar Alexander I tetap mengikuti sistem kontinental yang diterapkannya dan memperkecil kemungkinan ancaman Rusia yang akan menginvasi Polandia. Dengan membawa pasukan dalam jumlah besar yaitu sekitar 650.000 orang (270.000 orang Prancis, sisanya tentara dari berbagai wilayah lain) pada tanggal 23 Juni 1812 mereka menyeberangi sungai Niemen. Rusia menyatakan ini sebagai perang patriotik membela negara sementara Napoleon menyatakannya sebagai perang Polandia Kedua. Hal ini tidak seperti harapan rakyat Polandia (ada sekitar 100.000 tentara Polandia yang bergabung dalam invasi ini) yakni Napoleon ternyata tidak ingin bernegosiasi dengan Rusia. Rusia menerapkan strategi membumihanguskan kota sambil mundur teratur.[7][8] Pertempuran hanya terjadi di Borodino pada tanggal 7 September 1812. Pada tanggal 14 September 1812, pasukan Napoleon berhasil masuk kota Moskwa yang sebenarnya sudah ditinggalkan penduduknya dan dibumihanguskan atas perintah gubernur-nya: Pangeran Fyodor Vasilievich Rostopchin.[9][10] Pada Pertempuran Maloyaroslavets, Prancis mencoba mencapai kota Kaluga, di mana mereka bisa mendapatkan persediaan makanan dan pakan ternak. Tentara Rusia yang telah pulih memblokir jalan, dan Napoleon terpaksa mundur dengan cara yang sama seperti saat dia datang ke Moskow, melalui daerah yang rusak parah di sepanjang jalan Smolensk. Pada minggu-minggu berikutnya, Grande Armée mendapat pukulan telak akibat dimulainya Musim Dingin Rusia, kurangnya perbekalan, dan perang gerilya yang terus-menerus dilakukan oleh para petani Rusia dan pasukan irregular. Akhirnya dimulailah penarikan pasukan secara besar-besaran dari Kota Moskwa akibat cuaca yang sangat dingin dan juga makin hebatnya serangan Rusia yang memang memanfaatkan cuaca dingin sebagai senjata. Korban mencapai sekitar 380.000 jiwa (kebanyakan akibat kelaparan dan kedinginan) dan 100.000 ditawan.[11] Korban jiwa pada pihak Rusia sekitar 210.000 jiwa.[12] Pada bulan November, sisa dari pasukan besar ini menyeberangi sungai Berezina dan hanya sekitar 27.000 tentara yang masih dalam kondisi fit. Napoleon kemudian meninggalkan tentaranya dan kembali ke Prancis untuk menyiapkan pertahanan di Polandia dari serangan tentara Rusia. Koalisi keenam, 1812-1814Melihat adanya kemungkinan untuk mengalahkan Napoleon yang sudah lemah akibat kekalahan besar di Rusia, dengan segera Prusia, Swedia, Austria, dan beberapa negara kecil di Jerman ikut dalam peperangan lagi. Napoleon bersumpah dia akan membentuk tentara baru sebesar tentara yang dia kirimkan ke Rusia, dan memang dengan secara cepat dia membentuk tentaranya di timur dari 30.000 menjadi 130.000 dan pada akhirnya mencapai 400.000 orang. Pertempuran pun segera terjadi di Lützen (2 Mei 1813) dan Bautzen (20-21 Mei 1813) yang mengakibatkan kerugian besar di pihak koalisi yaitu sekitar 40 ribu jiwa. Tercatat lebih dari 250.000 tentara yang terlibat dalam dua pertempuran ini. Sementara itu pada peperangan di semenanjung Eropa tepatnya di kota Vitoria ( 21 Juni 1813), pasukan Arthur Wellesley meraih kemenangan atas pasukan Joseph Bonaparte sehingga hancurlah kekuatan Prancis di Spanyol dan memaksa mereka mundur melewati pegunungan Pyrene. Kedua belah pihak menyatakan gencatan senjata yang mulai efektif tanggal 4 Juni sampai dengan 13 Agustus 1813. Selama masa damai ini kedua belah pihak berusaha pulih dari kerugian yang dideritanya sejak bulan April yang telah menelan korban jiwa hampir seperempat juta. Pihak koalisi juga berhasil memengaruhi Austria agar berperang melawan Prancis. Akhirnya dua inti dari pasukan Austria yang berjumlah 300.000 orang ikut serta dalam koalisi sehingga menambah kekuatan mereka di Jerman. Total jumlah pasukan koalisi saat itu mencapai 800.000 tentara di garis depan Jerman, dengan cadangan mencapai 350.000 tentara. Napoleon berhasil membawa pasukan kekaisaran di wilayah itu menjadi sekitar 650.000 — meskipun hanya 250.000 yang berada di bawah komando langsungnya, sementara 120,000 tentara lainnya berada di bawah komando Marsekal Nicolas Charles Oudinot dan 30.000 di bawah komando Marsekal Davout. Negara-negara yang bergabung dalam konfederasi Rhine, terutama Saxon dan Bayern adalah penyumbang tentara terbesar untuk Napoleon. Di selatan, Kerajaan Napoli dan Kerajaan Italia turut menambah kekuatan dengan menyediakan sekitar 100.000 tentara. Sementara di Spanyol masih ada sekitar 150-200 ribuan tentara Prancis meskipun saat itu mereka sudah dipaksa mundur oleh Inggris dari wilayah tersebut. Jadi ada sekitar 900.000 tentara Prancis yang tersebar di semua medan pertempuran berhadapan dengan sekitar 1 juta tentara koalisi (belum termasuk tentara cadangan di Jerman). Setelah masa gencatan senjata selesai, tampaknya Napoleon akan meraih kembali masa kejayaannya setelah meraih kemenangan besar atas tentara koalisi di Dresden pada bulan Agustus tahun 1813. Akan tetapi di medan pertempuran lain semua marsekalnya mengalami kekalahan sehingga kemenangan ini menjadi tidak ada artinya lagi. Pada Pertempuran Leipzig di Saxon (16-19 Oktober 1813) yang juga dikenal dengan nama pertempuran banyak bangsa, sekitar 190.000 tentara Prancis berhadapan dengan 300.000 tentara koalisi, yang pada akhirnya memaksa mereka mundur sampai ke kampung halamannya sendiri, Prancis. Kemudian Napoleon masih memimpin beberapa pertempuran lagi termasuk pertempuran Arcis-sur-Aube di Prancis sendiri, akan tetapi karena banyaknya jumlah tentara koalisi yang terlibat pertempuran membuat mereka kewalahan. Akhirnya pasukan koalisi memasuki Paris pada tanggal 30 Maret 1814. Tercatat Napoleon masih memimpin pasukannya dan mendapat kemenangan berkali-kali atas pasukan koalisi yang maju terus menuju Paris. Akan tetapi dia hanya memimpin sekitar 70.000 tentara melawan 500.000 tentara koalisi, suatu jumlah yang tidak sebanding. Pada tanggal 9 Maret 1814 diadakan perjanjian Chaumont yang menyetujui agar koalisi tetap dipertahankan sampai pasukan Napoleon dapat dikalahkan seluruhnya. Napoleon memutuskan tetap bertempur, meskipun dia sudah di ambang kekalahan. Selama masa ini tercatat dia mengeluarkan 900.000 surat keputusan wajib militer tetapi hanya beberapa saja yang berhasil dilaksanakan. Akhirnya Napoleon kalah dan turun takhta pada tanggal 6 April 1814, tetapi pasukannya di Italia, Spanyol dan Belanda masih terus melakukan perlawan selama musim semi tahun 1814. Pihak koalisi memutuskan untuk mengasingkan Napoleon ke pulau Elba, dan mengembalikan Prancis menjadi kerajaan serta mengangkat Louis XVIII sebagai raja. Mereka juga mengadakan perjanjian di Fontainebleau (11 April 1814) serta kongres di Wina untuk menata ulang peta wilayah di Eropa. Perang Denmark-Inggris, 1807-1814Selama peperangan era Napoleon, sebenarnya Denmark - Norwegia menyatakan sebagai negara netral dan hanya mengadakan perdagangan dengan Prancis. Akan tetapi pihak Inggris yang terus-menerus menyerang, menangkap dan menghancurkan sebagian besar armada laut Denmark pada pertempuran Kopenhagen pertama (2 April 1801) dan hal ini diulangi lagi pada pertempuran Kopenhagen kedua (Agustus-September 1807) mengakibatkan Denmark melakukan perang gerilya terhadap armada Inggris di laut Denmark-Norwegia dengan menggunakan kapal-kapal kecil yang dilengkapi meriam. Perang ini akhirnya berhenti setelah Inggris meraih kemenangan pada pertempuran Lyngor pada tahun 1812, yang mengakibatkan kerusakan pada kapal Denmark yang terakhir, yaitu kapal perang Najaden. Koalisi ketujuh, 1815Koalisi ketujuh yang terdiri atas Britania Raya, Rusia, Prusia, Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah negara kecil di Jerman terbentuk pada tahun 1815 setelah larinya Napoleon dari pulau Elba (tercatat sekitar seratus hari dia kembali memimpin Prancis). Napoleon mendarat di Cannes pada tanggal 1 Maret 1815. Dalam perjalanannya ke Paris, ia mengumpulkan tentara yang masih setia kepadanya, dan akhirnya menggulingkan raja Louis XVIII. Pihak koalisi segera mengumpulkan pasukan kembali untuk berhadapan dengannya. Napoleon berhasil mengumpulkan 280.000 orang, yang ia pecah menjadi beberapa kesatuan. Untuk menambah kekuatan, Napoleon memanggil kembali seperempat juta veteran perang serta membuat keputusan untuk mengadakan kembali wajib militer agar dapat menambah jumlah pasukan menjadi 2,5 juta tentara yang pada kenyataannya tidak berhasil dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghadapi pasukan koalisi yang berjumlah sekitar 700.000 tentara. Dengan membawa 124.000 pasukannya yang berada di utara, Napoleon melakukan serangan kejutan ke posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Serangan ini dia lakukan dengan harapan mendorong Inggris mundur ke laut dan memaksa Prusia keluar dari peperangan. Serangan kejutan ini mencapai sukses, memaksa Prusia bertempur di Ligny pada tanggal 16 Juni 1815 dan berhasil mengalahkan mereka sehingga mundur dalam keadaan kacau-balau. Pada hari yang sama tetapi di lain tempat, pasukan sayap kiri pimpinan Marsekal Michel Ney sukses menahan bala bantuan yang akan datang dari tentara Wellington dalam Pertempuran Quatre Bras. Tetapi Ney gagal membersihkan persimpangan jalan Quatre Bras ini sehingga tentara Wellington dapat memperkuat kembali posisinya. Dengan mundurnya Prusia, pasukan Welington yang tadinya ingin membantu menjadi mundur juga. Mereka kembali ke posisi semula di tebing Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan desa Waterloo. Napoleon membawa cadangan pasukannya yang ada di utara, dan bergabung dengan pasukan Ney untuk mengejar Wellington. Tetapi hal ini dia lakukan sebelum menginstruksikan kepada marsekal Grouchy untuk memimpin pasukan sayap kanan menahan tentara Prusia yang sudah bersatu kembali. Grouchy gagal melaksanakan perintah ini, meskipun sebenarnya pasukan von Thielmann berhasil mengalahkan barisan belakang pasukan Prusia di Pertempuran Wavre pada tanggal 18-19 Juni, sisa pasukan Prusia tetap menuju Waterloo. Napoleon menunda Pertempuran Waterloo beberapa jam di pagi hari pada tanggal 18 Juni, karena belum mengeringnya tanah akibat hujan pada malam sebelumnya. Ternyata sampai petang hari, pasukan Prancis belum mampu menaklukkan pasukan Wellington. Ketika pasukan Prusia akhirnya datang dan menyerang sayap kanan Prancis dalam jumlah besar, gagallah strategi Napoleon untuk tetap memecah kekuatan koalisi. Marsekal Grouchy menebus kesalahannya di atas dengan sukses mengorganisasikan pasukan yang mundur dari kota Paris, sementara marsekal Davout dengan 117.000 tentaranya berhadapan dengan 116.000 tentara Blucher-Wellington. Secara militer sangat dimungkinkan Prancis mengalahkan gabungan kedua tentara ini akan tetapi situasi politik membuktikan bahwa kekaisaran sudah mulai jatuh. Jadi, meskipun akhirnya Davout sukses mengalahkan kedua gabungan pasukan ini, sekitar 400.000 tentara Rusia dan Austria tetap maju terus dari arah timur tidak terpengaruh akan kekalahan ini. Ketika tiba di Paris pada hari ketiga sesudah kekalahan di Waterloo, Napoleon sebenarnya masih berharap timbulnya perlawanan rakyat untuk membela negara terhadap datangnya pasukan asing yang ingin menguasai Prancis. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kenyataan karena secara umum rakyat Prancis menolak. Para politisi memaksa Napoleon untuk turun takhta lagi pada tanggal 22 Juni 1815. Meskipun akhirnya kaisar turun takhta, pertempuran sporadis masih terus berlanjut di sepanjang perbatasan timur dan di luar kota Paris sampai disepakatinya gencatan senjata tanggal 4 Juli. Baru pada tanggal 15 Juli, Napoleon menyerahkan dirinya ke skuadron Inggris di Rochefort yang selanjutnya membuangnya kembali ke pulau Saint Helena, tempat dia akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 Mei 1821. Sementara itu di Italia, Joachim Murat yang masih menjadi Raja Napoli setelah menyerahnya Napoleon, sekali lagi menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada saudara iparnya itu dengan melancarkan perang Neapolitan (bulan Maret sampai Mei 1815). Dia berharap mendapat dukungan para nasionalis yang saat itu sedang dilanda ketakutan atas berkembangnya pengaruh Habsburg. Tetapi dukungan yang diharapkannya tidaklah datang, dan akhirnya datanglah pasukan Austria sehingga pecah pertempuran Tolentino pada tanggal 2-3 Mei 1815 yang memaksanya untuk melarikan diri. Dinasti Bourbon akhirnya kembali menduduki takhta Napoli pada tanggal 20 Mei 1815. Murat dieksekusi di depan regu tembak pada tanggal 13 Oktober 1815. Pengaruh politikPeperangan era Napoleon membawa perubahan besar di Eropa. Meskipun hampir semua wilayah di Eropa Barat di bawah kekuasaan Napoleon (prestasi yang hanya bisa dibandingkan dengan kekaisaran Romawi tempo dulu), peperangan antara Prancis dengan kekuatan lain di benua Eropa selama lebih dari dua dekade akhirnya sampai pada titik penghabisan. Setelah peperangan era Napoleon berakhir, dominasi Prancis di Eropa praktis lenyap, dan kembali lagi seperti pada masa Louis XIV. Inggris akhirnya muncul sebagai negara superpower di dunia dan tidak dapat dibantah lagi bahwa angkatan laut Inggris menjadi yang terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju di bidang ekonomi dan industri. Hampir di semua negara Eropa, cita-cita dari Revolusi Prancis (seperti demokrasi, hak dan persamaan dalam bidang hukum, dll.) mulai diadopsi. Hal ini mengakibatkan sulitnya para raja di Eropa mengembalikan hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum yang diterapkan oleh Napoleon. Bahkan hingga hari ini beberapa dari hukum tersebut masih dipakai, misalnya di banyak negara Eropa hukum sipilnya jelas-jelas mengadopsi kode Napoleon. Faham nasionalisme yang relatif baru saat itu dengan cepat berkembang di Eropa dan nantinya banyak memengaruhi jalannya sejarah di sana, mulai dari berdirinya negara baru atau berakhirnya suatu negara. Peta politik di Eropa berubah drastis setelah era Napoleon, tidak lagi berbasis aristrokat atau monarki mutlak tetapi berdasarkan kerakyatan. Era Napoleon telah menyebarkan benih bagi berdirinya negara Jerman modern dan Italia modern dengan bergabungnya negara-negara bagian dan juga kerajaan-kerajaan kecil. Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walaupun dia sendiri gagal mewujudkannya) adalah harapannya untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini digulirkan lagi setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ide ini kini sudah diwujudkan dengan adanya mata uang tunggal Uni Eropa, Euro. Warisan militerPeperangan era Napoleon juga memberikan perubahan yang sangat besar di dunia militer. Sebelum era Napoleon, negara-negara di Eropa biasanya memiliki tentara dalam jumlah sedikit dan itu pun banyak diisi oleh tentara bayaran - kadang kala mereka bertempur melawan negara asalnya sendiri. Inovasi militer yang timbul dalam era Napoleon yaitu mulai dikenalnya kekuatan rakyat yaitu jika seluruh rakyat ikut berperang. Napoleon mempraktikkan inovasinya seperti yang dipertunjukkan pada pertempuran Austerlitz tahun 1805. Dengan taktik yang brilian untuk menghadapi musuh yang berjumlah lebih besar, ia memerintahkan pasukannya untuk senantiasa berpindah posisi secara cepat dari satu tempat ke tempat lainnya. Tentara Prancis juga memperbaiki aturan main untuk divisi artileri mereka, menjadi kesatuan terpisah dan dapat bergerak cepat. Hal ini mengubah tradisi sebelumnya, yaitu tradisi artileri hanya digunakan sebagai alat untuk mendukung suatu pasukan. Napoleon juga membuat standardisasi ukuran bola-bola meriam agar mudah dibawa dan bisa dipakai di semua jenis artileri. Prancis memiliki populasi terbesar kedua di dunia saat itu, yaitu sekitar 28 juta jiwa (dibandingkan dengan Inggris 12 juta jiwa dan Rusia sekitar 30 sampai 40 juta jiwa), Napoleon dapat mengambil keuntungan dari diberlakukannya wajib militer. Banyak pengamat militer saat ini yang salah persepsi dengan menyatakan bahwa ide wajib militer ini sudah berkembang sejak revolusi Prancis bukan dari Napoleon. Memang tidak semua inovasi militer dari era Napoleon. Lazare Carnot yang memberi sumbangan besar dalam menata ulang tentara Prancis dari tahun 1793 sampai dengan tahun 1794. Besarnya jumlah pasukan yang terlibat telah mengubah dunia militer saat itu. Sebelum era Napoleon, pada saat perang 7 tahun (1756-1763), hanya sedikit yang terlibat, paling banyak 200 ribu orang saja. Bandingkan dengan Prancis pada tahun 1790-an, telah memperbanyak jumlah personel-nya menjadi 1,5 juta jiwa. Dan total sekitar 2,8 juta personel yang bertempur di daratan dan 150 ribu di laut, sehingga jumlah keseluruhan tentara yang terlibat menjadi hampir 3 juta personel. Inggris memiliki 747.670 tentara antara tahun 1792 sampai dengan 1815. Ditambah lagi dengan seperempat juta personel di laut. Pada bulan September 1812, Rusia memiliki sekitar 904 ribu tentara yang terdaftar, dan antara tahun 1799 sampai dengan 1815 memiliki total 2,1 juta personel, kemungkinan sekitar 400 ribu bergabung antara tahun 1792 sampai dengan 1799. Sedangkan di laut, Rusia memiliki 200 ribu tentara sejak tahun 1792 hingga 1815. Austria memiliki 576 ribu tentara dan hanya sedikit atau tidak memiliki kekuatan di lautan. Mereka memberikan perlawanan terus-menerus kepada Prancis sehingga kemungkinan besar tentara yang terlibat bisa mencapai 1 juta sampai berakhirnya perang. Prusia hanya mempunyai 320 ribu tentara saja selama perang ini, sedangkan Spanyol sekitar 300 ribu ditambah beberapa unit pasukan yang bergerilya. Amerika Serikat mengirim 286.730 personel, sedangkan konfederasi Maratha, Kesultanan Utsmaniyah, Italia, Napoli dan Kadipaten Warsawa menyumbang lebih dari 100 ribu personel. Bahkan setelah perang berakhir, banyak negara-negara kecil yang memiliki pasukan berkekuatan besar juga. Tetapi data jumlah tentara yang disebutkan tadi berasal dari sumber militer resmi dan sering pada kenyataannya jumlahnya jauh lebih sedikit dikarenakan banyaknya tentara yang desersi, penipuan oleh komandan lapangan yang menyetor daftar prajurit yang dilebih-lebihkan untuk mengambil keuntungan dari gaji yang diberikan pemerintah kepada unitnya, kematian, dan di beberapa negara bahkan terang-terangan berbohong untuk memenuhi jumlah tentara yang ditargetkan. Bangkitnya Revolusi Industri sendiri pada tahap awal banyak dipengaruhi oleh besarnya jumlah pasukan militer. Karena hal ini menjadikan banyak pabrik yang harus memproduksi senjata dan peralatan militer lainnya dalam jumlah besar. Inggris merupakan produsen peralatan perang yang terbesar selama konflik ini, mereka mengirimkan sebagian besar senjata ini kepada sekutu-sekutunya (dan hanya memakainya sedikit). Sebaliknya Prancis yang juga menjadi produsen peralatan perang nomor dua terbesar, memproduksinya untuk memperlengkapi pasukannya sendiri dan juga sekutu-sekutunya. Warisan untuk dunia militer lainnya adalah digunakannya semaphore oleh Prancis untuk saling berkomunikasi antara Menteri Perang, Lazare Carnot, dengan pasukan di perbatasan selama tahun 1790-an. Dan Prancis tetap mempergunakan sistem ini sampai peperangan era Napoleon berakhir. Dan perlu ditambahkan pula bahwa pada konflik inilah pertama kali Prancis menggunakan balon udara untuk memantau posisi musuh pada pertempuran Fleurus, 26 Juni 1794, juga digunakannya roket serta meriam yang telah disempurnakan. Peperangan era Napoleon dalam Budaya populerPerang Napoleon adalah peristiwa yang menentukan pada awal abad ke-19, dan mengilhami banyak karya fiksi, sejak saat itu hingga saat ini. Buku
Film
Permainan video
Lihat pula
Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar |