Norodom Sihanouk dilantik menjadi raja pada tahun 1941 di bawah pemerintahan jajahan Prancis. Setelah Perang Dunia Kedua, ia berkampanye untuk kemerdekaan negaranya dari penjajahan Prancis, yang akhirnya merdeka pada tahun 1953. Pada tahun 1955, Sihanouk turun takhta dan menyerahkan jabatan tersebut kepada ayahandanya Norodom Suramarit dan terjun ke dalam gerakan politik Sangkum. Partai Sangkum memenangi pemilihan umum 1955, dan Sihanouk diangkat menjadi Perdana Menteri Kamboja. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1960, Sihanouk mengajukan amendemen konstitusi agar ia menjadi Kepala Negara Kamboja, sebuah jabatan yang ia pegang sampai tahun 1970. Mulai dari tahun 1955 sampai 1970, Sihanouk memerintah Kamboja di bawah pemerintahan satu partai dengan dalih melerai perbedaan pandangan politik antara Partai Demokrat dan Pracheachon. Meskipun ia secara resmi mengambil posisi netral dalam hubungan luar negeri, pada pelaksanaannya ia lebih condong kepada dengan negara-negara komunis, terutama Tiongkok, ketimbang dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu anti-Komunisnya.
Pada bulan Maret 1970, Sihanouk dilengserkan oleh Lon Nol dan Sisowath Sirik Matak, dalam rangka pembentukan Republik Khmer. Ia melarikan diri ke Tiongkok dan Korea Utara untuk membentuk pemerintahan dalam pengasingan dan gerakan pemberontakan yang masing-masing dikenal sebagai Pemerintahan Kerajaan Uni Nasional Kamboja (GRUNK) dan Front Persatuan Nasional Kamboja. Sebagai pemimpin GRUNK, Sihanouk menggalang dukungan terhadap Khmer Merah, yang bertarung melawan Republik Khmer dalam Perang Saudara Kamboja. Setelah Khmer Merah menang, sebuah rezim baru, yaitu Kamboja Demokratik dibentuk. Dalam rezim tersebut Sihanouk kembali ke Kamboja dan menjadi kepala negara secara simbolis. Posisi tersebut tidak bertahan lama, seiring renggangnya hubungan dia dengan Khmer Merah. Pada tahun 1976, Sihanouk turun dari jabatannya dan diperintahkan untuk menjalani penahanan rumah sampai tahun 1979, saat invasi pasukan Vietnam mengusir Khmer Merah dari Phnom Penh. Sihanouk mengasingkan diri kembali. Pada tahun 1981, ia membentuk sebuah partai pemberontak yang bernama FUNCINPEC. Pada tahun berikutnya, Sihanouk dilantik sebagai Presiden Koalisi Pemerintahan Kamboja Demokratik (KPKD), yang terdiri dari tiga faksi pemberontak anti-Vietnam – FUNCINPEC, Khmer Merah dan Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (FPNRK).
Seiring jatuhnya Blok Timur pada akhir tahun 1980-an, perbincangan tak resmi dilakukan untuk mengakhiri pertikaian antara Republik Rakyat Kamboja (RRK) dan faksi-faksi pemberontak yang berada di bawah naungan KPKD. Pada 1990, Dewan Nasional Tertinggi Kamboja (DNT) dibentuk sebagai sebuah badan transisional untuk memperjuangkan kedaulatan Kamboja, dengan Sihanouk sebagai presidennya. Pada tahun 1991, perjanjian damai ditandatangani, dan Otoritas Transisional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja (OTPBBK) dibentuk pada tahun berikutnya. OTPBBK mengadakan pemilihan umum pada 1993. Sebagai bentuk transisi, dibentuk sebuah pemerintahan koalisi, dengan jabatan Perdana Menteri yang dipegang secara bersamaan oleh dua orang, yaitu Norodom Ranariddh dan Hun Sen. Pada bulan Juni 1993, Sihanouk kembali diangkat menjadi Kepala Negara Kamboja. Pada bulan September 1993, ia kembali menjadi raja dalam restorasi monarki Kamboja. Pada tahun 2004, Sihanouk turun takhta untuk terakhir kalinya dan menyerahkan jabatannya kepada putranya, Pangeran Norodom Sihamoni, yang menggantikannya sebagai raja. Ia dikenal sebagai raja-ayah sampai wafatnya pada tahun 2012. Di samping berpolitik, ia juga memiliki karir lain dalam bidang seni sepanjang masa hidupnya. Ia menulis sejumlah komposisi musikal, serta memproduksi 50 film antara tahun 1966 dan 2006 yang juga ia bintangi dan sutradarai.
Kehidupan awal dan naik takhta untuk pertama kali
Norodom Sihanouk adalah anak tunggal yang lahir dari pasangan Norodom Suramarit dan Sisowath Kossamak.[1] Diberi nasihat oleh astrolog kerajaan bahwa ia bakal meninggal pada usia muda bila ia dibesarkan di bawah asuhan keluarga pihak ayah, orangtuanya kemudian menyerahkan Sihanouk untuk diasuh oleh nenek Kossamak, Pat. Ketika Pat meninggal, Sihanouk dibawa Kossamak untuk tinggal dengan kakek dari garis keturunan ayahnya, Norodom Sutharot. Sutharot menyerahkan pengasuhan Sihanouk di bawah tanggung jawab putrinya, Norodom Ket Kanyamom.[2]
Sihanouk menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Francois Baudoin dan sekolah Nuon Moniram di Phnom Penh.[3] Pada masa tersebut, ia dibantu dengan bantuan keuangan dari kakek garis keturunan ibunya, Sisowath Monivong, untuk memimpin sebuah tim sepak bola dan kelompok pertunjukan amatir.[1] Pada 1936, Sihanouk dikirim ke Saigon dan menjalani pendidikan menengahnya di Lycée Chasseloup Laubat, sebuah sekolah asrama.[4]
Ketika Raja Monivong meninggal pada tanggal 23 April 1941, Gubernur Jenderal Indochina Prancis, Jean Decoux memilih Sihanouk untuk menggantikan Raja Monivong.[5] Pemilihan Sihanouk sebagai raja diresmikan pada hari berikutnya oleh Dewan Mahkota Kamboja,[6] dan acara penobatannya diadakan pada tanggal 3Mei 1941.[7] Pada masa pendudukan Jepang di Kamboja, ia menjalani sebagian besar waktunya untuk berolahraga, membuat film, dan melakukan tur ke seluruh penjuru negara.[8] Pada Maret 1945, militer Jepang, yang telah menduduki Kamboja sejak Agustus 1941, membubarkan pemerintahan jajahan Prancis. Di bawah tekanan Jepang, Sihanouk memproklamasikan kemerdekaan Kamboja[9] dan diangkat menjadi perdana menteri sekaligus menjabat sebagai raja pada waktu yang sama.[10]
Masa sebelum kemerdekaan dan pemerintahan sendiri
Sebagai perdana menteri, Sihanouk mencabut dekrit yang dikeluarkan oleh residen tertinggi terakhir Kamboja, Georges Gautier, untuk melatinkanabjad Khmer.[11] Setelah menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945, pasukan nasionalis yang dipimpin oleh Son Ngoc Thanh meluncurkan sebuah kudeta, yang berujung pada diangkatnya Son Ngoc Thanh menjadi perdana menteri.[12] Ketika Prancis kembali menduduki Kamboja pada bulan Oktober 1945, Thanh dilengserkan dari jabatannya dan digantikan oleh paman Sihanouk Sisowath Monireth.[13] Monireth bernegosiasi untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas dalam hal mengurusi urusan dalam negeri Kamboja yang akhirnya menghasilkan perjanjian Modus Vivendi yang ditandatangani pada bulan Januari 1946 yang memberikan otonomi penuh kepada Kamboja di dalam Uni Prancis.[14] Sebuah komisi Prancis-Kamboja bersama dibentuk setelah itu dengan tujuan untuk merancang konstitusi Kamboja,[15] dan pada bulan April 1946, Sihanouk memperkenalkan klausul untuk membentuk sebuah parlemen terpilih atas dasar hak pilih universal laki-laki serta kebebasan pers.[16] Konstitusi pertama tersebut ditandatangani oleh Sihanouk pada bulan Mei 1947.[17] Selama masa tersebut, Sihanouk melakukan dua kali perjalanan ke Saumur, Prancis untuk mengikuti pelatihan militer di Sekolah Pelatihan Cabang Kavaleri Bersenjata pada tahun 1946 dan 1948. Setelahnya ia diangkat menjadi seorang kapten pasukan cadangan untuk angkatan bersenjata Prancis.[18]
Pada awal tahun 1949, Sihanouk bertolak ke Paris dengan orangtuanya untuk berunding dengan pemerintah Prancis supaya meningkatkan otonomi Kamboja. Perjanjian Modus Vivendi digantikan oleh sebuah traktat Prancis-Khmer baru, yang mengakui kemerdekaan Kamboja dari Uni Prancis.[19] Pada pelaksanaannya, traktat tersebut hanya memberikan pemerintahan sendiri yang terbatas kepada Kamboja. Kamboja diberi kebebasan untuk mengurusi kementerian luar negerinya dan sebagian kecil urusan pertahanannya, namun sebagian besar kementerian-kementerian lainnya masih berada di bawah kendali Prancis.[20] Akibatnya, para legislator dari majelis nasional mulai menyerang pemerintahan yang dipimpin oleh perdana menteri Penn Nouth atas kegagalannya dalam menyelesaikan persoalan keuangan dan masalah-masalah korupsi yang melanda negara tersebut. Para legislator oposisi, yang dipimpin oleh Yem Sambaur, yang keluar dari Partai Demokrat pada bulan November 1948,[21] melengserkan Penn Nouth.[22] dan diangkat menjadi penggantinya, namun pelantikannya tidak sejalan dengan para anggota Partai Demokrat, yang meminta Sihanouk untuk membubarkan majelis nasional dan mengadakan pemilu.[23]
Pada Sepetember 1949, Sihanouk membubarkan parlemen tersebut karena ia sudah bosan dengan keadaan politik saat itu,[24] dan mengambil alih pemerintahan sampai diadakannya pemilu dua tahun kemudian dengan dasar dekrit yang ia keluarkan. Pada pemilu tersebut Partai Demokrat keluar sebagai pemenang.[25] Pada bulan Oktober 1951, Son Ngoch Thanh kembali ke Kamboja dan disambut oleh 100.000 pendukung, sebuah sambutan yang Sihanouk pandang sebagai hinaan atas kekuasannya sebagai raja.[26] Thanh menghilang enam bulan kemudian, diyakini bergabung dengan gerakan Khmer Issarak.[27] Sihanouk memerintahkan pemerintahan yang dipimpin Partai Demokrat untuk menangkap Thanh namun tidak dihiraukan.[28] Kemudian, unjuk rasa sipil yang dilakukan untuk menentang monarki dan Prancis pecah di negara tersebut[29] membuat gelisah Sihanouk, yang mulai menuduh bahwa Partai Demokrat terlibat dalam hal tersebut.[30] Pada bulan Juni 1952, Sihanouk menyingkirkan calon perdana menteri dari Partai Demokrat Huy Kanthoul dan menjadikan dirinya sebagai perdana menteri. Beberapa hari kemudian, Sihanouk secara pribadi mengungkapkan kekesalannya kepada kuasa usaha AS, Thomas Gardiner Corcoran, bahwa demokrasi parlementer tidak cocok untuk Kamboja.[30]
Pada bulan Januari 1952, Sihanouk menunjuk kembali Penn Nouth sebagai perdana menteri sebelum pergi ke Prancis. Di sana, Sihanouk menulis surat permintaan kepada Presiden Prancis Vincent Auriol untuk memberikan Kamboja kemerdekaan penuh dengan alasan merebaknya sentimen anti-Prancis yang terjadi pada masyarakat Kamboja.[31] Auriol meneruskan permintaan Sihanouk kepada komisioner Prancis untuk Wilyah Teritorial Seberang Laut, Jean Letourneau, yang langsung menolak usulan tersebut. Kemudian, Sihanouk pergi ke Kanada dan Amerika Serikat untuk melakukan wawancara radio untuk menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi di negaranya. Ia mengambil keuntungan dari sikap sentimen anti-komunis yang sedang terjadi di negara-negara tersebut, dengan menyatakan bahwa Kamboja menghadapi ancaman Komunis yang mirip dengan Viet Minh di Vietnam, dan solusinya adalah dengan memberi kemerdekaan penuh kepada Kamboja.[32] Sihanouk kembali ke Kamboja pada bulan Juni 1953 dan tinggal di Siem Reap.[33] Ia mengadakan kampanye-kampanye untuk menyerukan masyarakat Kamboja agar berjuang demi kemerdekaan, dan membentuk sebuah pasukan militer sipil yang diikuti oleh sekitar 130.000 orang yang berhasil direkrut.[34]
Pada bulan Agustus 1953, Prancis setuju untuk memberikan kuasa atas urusan dalam negeri dan yudisial kepada Kamboja, dan diikuti dengan urusan pertahanan pada bulan Oktober 1953. Pada akhir bulan, Sihanouk bertolak ke Phnom Penh,[35] untuk mendeklarasikan kemerdekaan Kamboja dari Prancis pada 9November 1953.[33] Pada Mei 1954, Sihanouk mengirim dua menteri kabinetnya, Nhiek Tioulong dan Tep Phan, untuk mewakili Kamboja di Konferensi Jenewa[36] yang kemudiannya menghasilkan sebuah perjanjian yang berisi tentang pengakuan kemerdekaan Kamboja dan mengijinkan bantuan militer dari negara manapun tanpa batasan.[37]
Pada masa yang sama, hubungan Sihanouk dengan partai Demokrat yang memerintah masih berada dalam ketegangan, karena mereka berusaha menghalang-halangi pengaruhnya dalam politik.[37] Untuk menangkis perlawanan dari Partai Demokrat, Sihanouk mengadakan sebuah referendum nasional untuk memperlihatkan persetujuan masyarakat terhadap upayanya dalam mewujudkan kemerdekaan nasional.[38] Meskipun hasilnya 99.8persen setuju, sejarawan AustraliaMilton Osborne menyatakan bahwa pemungutan suara tersebut dilakukan secara terbuka dan para pemilih ditakut-takuti untuk memberikan suara setuju di bawah pengawasan polisi.[39]
Pada tanggal 2 Maret 1955, Sihanouk turun takhta,[33][40] dan menyerahkan jabatan tersebut kepada ayahnya, Norodom Suramarit.[3] Penurunan takhta ini mengejutkan semua orang, termasuk orangtuanya sendiri.[41] Dalam pidato penurunan takhta, Sihanouk menyatakan bahwa ia turun takhta dalam rangka melepaskan diri dari "intrik" kehidupan istana dan memungkinkan akses yang lebih mudah kepada rakyat jelata sebagai "warga negara biasa". Menurut Osborne, penurunan takhta Sihanouk memberinya kebebasan untuk mengejar politik meskipun ia tetap menerima kehormatan dari rakyatnya ketika ia menjadi raja.[42] Selain itu, ia juga takut disingkirkan oleh pemerintah setelah mengetahui bahwa popularitasnya dibuat oleh pejabatnya sendiri.[43][41]
Pada bulan April 1955, sebelum meninggalkan pertemuan dengan negara-negara Asia dan Afrika di Bandung, Indonesia, Sihanouk mengumumkan pembentukan partai politiknya sendiri, Sangkum, dan menyatakan minatnya untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum yang diadakan pada bulan September 1955. Meskipun Sangkum merupakan sebuah partai politik, Sihanouk menyatakan bahwa Sangkum dipandang sebagai sebuah "organisasi" politik, dan menyatakan bahwa ia mengakomodasi orang-orang dengan orientasi-orientasi politik yang berbeda dengan syarat utamanya adalah mereka berjanji setia kepada raja dan kerajaan.[44] Pembentukan Sangkum dipandang sebagai sebuah langkah untuk membubarkan partai politik.[45][46]
Sangkum berdasarkan dari empat partai kecil, pendukung monarki, partai-partai sayap kanan yaitu Partai "Pemenang Timur Laut" yang dipimpin oleh Dap Chhuon, Partai Renovasi Khmer pimpinan Lol Nol,[47] Partai Rakyat,[45] dan Partai Liberal.[48] Pada saat yang sama, Sihanouk kehilangan kesabaran dengan Partai Demokrat dan partai sayap kiri Pracheachon, karena keduanya menolak untuk bergabung dengan partainya dan berkampanye untuk melawannya. Ia dilantik sebagai direktur keamanan nasional Dap Chhuon,[49] yang memerintahkan polisi nasional untuk menahan para pemimpin mereka dan membubarkan rapat umum pemilihan mereka.[50] Ketika pemilu diadakan, Sangkum meraih 83 persen suara sah dan menduduki seluruh kursi dalam Majelis Nasional, menggantikan Partai Demokrat, yang sebelumnya menjadi partai mayoritas.[51] Pada bulan berikutnya, Sihanouk dilantik menjadi perdana menteri.[52]
Menjadi Perdana Menteri (1955–1960)
Saat menjabat, Sihanouk memperkenalkan beberapa perubahan konstitusional, yang meliputi pemberian hak pilih dalam pemilu terhadap kaum wanita, mengadopsi bahasa Khmer sebagai bahasa resmi tunggal di negara tersebut[53] dan menjadikan Kamboja sebuah monarki konstitusional dengan memberikan kekuasaan eksekutif kepada perdana menteri ketimbang raja.[54] Ia memandang sosialisme sebagai sebuah konsep ideal untuk mendirikan kesetaraan sosial dan memajukan perpaduan nasional pada negara Kamboja yang baru saja merdeka. Pada bulan Maret 1956, ia mengeluarkan program nasional "sosialisme Buddhis", yang mempromosikan prinsip-prinsip sosialis pada satu sisi sementara mempertahankan budaya Buddhis di kerajaan tersebut pada sisi yang lain.[55]
Pada antara tahun 1955 dan 1960, Sihanouk naik-turun jabatan perdana menteri beberapa kali, dikarenakan kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan.[56] Majelis Nasional mencalonkan politikus-politikus berpengalaman seperti Sim Var dan San Yun untuk menjadi perdana menteri saat Sihanouk melepas jabatan, namun mereka sama-sama melepas jabatan mereka beberapa kali dalam beberapa bulan setelah mereka menjabat,[57] karena menteri-menteri kabinet bersikukuh tak menyetujui kebijakan-kebijakan publik yang diajukan oleh mereka.[58]
Pada bulan Mei 1955, Sihanouk menerima bantuan militer dari AS.[59] Pada bulan Januari berikutnya, saat ia berada di Filipina pada sebuah kunjungan kenegaraan, Central Intelligence Agency (CIA) menawarkannya agar Kamboja ditempatkan di bawah perlindungan Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO)[60] yang membuat Sihanouk mulai menduga bahwa AS berupaya untuk mengatur pemerintahannya dan menggalang dukungan kepada partai Demokrat, yang pada saat itu tak memiliki perwakilan parlementer di Majelis Nasional.[61] Pada sisi lain, Sihanouk membangun hubungan baik dengan Tiongkok, ketika perdana menteri Zhou Enlai, memberikannya sambutan hangat pada kunjungan kenegaraan pertamanya disana pada bulan Februari 1956. Mereka menandatangani sebuah traktat persahabatan, saat Tiongkok menjanjikan bantuan ekonomi sejumlah US$40juta kepada Kamboja.[62]
Ketika Sihanouk kembali dari Tiongkok, Sarit Thanarat dan Ngo Dinh Diem, yang masing-masing pemimpin Thailand dan Vietnam Selatan namun keduanya sama-sama simpatisan pro-Amerika, menuduhnya pro-Komunis. Vietnam Selatan kemudian melakukan embargo dagang terhadap Kamboja dengan cara mencegah kapal-kapal dagang berlayar dari sungai Mekong menuju Phnom Penh, melalui Saigon.[63] Ketika Sihanouk menyatakan bahwa ia mengambil posisi netral, Sarit dan Diem masih tak mempercayainya, terlebih lagi setelah ia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Tiongkok pada tahun 1958.[64]
Partai Demokrat masih mengkritik Sangkum dan Sihanouk dalam surat kabar mereka.[65] Pada bulan Agustus 1957, Sihanouk akhirnya hilang kesabaran dan mengajak para pemimpin Partai Demokrat untuk berdebat, yang mana permintaan tersebut direspon dengan hadirnya lima orang pemimpin partai Demokrat. Pada saat acara perdebatan yang diadakan di istana kerajaan, Sihanouk berpidato dengan nada yang lantang, menantang para pemimpin Demokrat untuk menghadirkan bukti kecacatan dalam pemerintahannya dan mengundang mereka untuk bergabung dengan Sangkum. Para pemimpin Partai Demokrat memberikan tanggapan ragu-ragu, dan menurut sejarawan Amerika David P. Chandler, acara tersebut memberikan kesan kepada para pendengarnya bahwa partai tersebut tidak setia dengan monarki.[61] Perdebatan tersebut berujung pada hilangnya pengaruh pada partai Demokrat, karena para pemimpinnya kemudian dilucuti oleh para tentara atas perintah Sihanouk.[66] Dengan hilangnya pengaruh Partai Demokrat, Sihanouk berfokus untuk mempersiapkan pemilihan umum yang diadakan pada bulan Maret 1958. Ia memajukan politikus-politikus sayap kiri, seperti Hou Yuon, Hu Nim, dan Chau Seng, untuk maju sebagai calon anggota majelis nasional dari Sangkum, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari sayap kiri.[67] Pracheachon menempatkan lima calon mereka pada pemilihan tersebut. Namun empat calonnya mengundurkan diri, karena mereka dicegah oleh polisi nasional untuk mengadakan kampanye. Ketika pemungutan suara diadakan, Sangkum memenangkan seluruh kursi dalam majelis nasional.[68]
Pada bulan Desember 1958, Ngo Dinh Nhu—adik dan penasehat utama Diem—melancarkan gagasan untuk mengadakan sebuah kudeta menggulingkan Sihanouk.[69] Nhu kemudian menghubungi Dap Chhuon, Menteri Dalam Negeri Sihanouk, yang dikenal sebagai simpatisan pro-Amerika, untuk mempersiapkan sebuah kudeta melawan Sihanouk.[70] Chhuon mendapatkan bantuan keuangan dan militer dari Thailand, Vietnam Selatan, dan CIA.[71] Pada bulan Januari 1959, Sihanouk mengetahui rencana kudeta tersebut melalui para perantara yang memiliki kontak dengan Chhuon.[72] Sebulan kemudian, Sihanouk mengirim tentara untuk menangkap Chhuon, yang kemudian dieksekusi mati sesaat setelah ditangkap, yang secara efektif mengakhiri upaya kudeta tersebut.[73] Sihanouk kemudian menuduh Vietnam Selatan dan Amerika Serikat merancang upaya kudeta tersebut.[74] Enam bulan kemudian, pada tanggal 31 Agustus 1959, sebuah paket hadiah kemasan kayu kecil, yang berisi sebuah bom parsel, dikirim ke istana kerajaan. Norodom Vakrivan, kepala protokoler kerajaan, tewas seketika saat ia membuka kemasan tersebut. Orangtua Sihanouk, Suramarit dan Kossamak, yang duduk di ruang lainnya tak jauh dari Vakrivan, berhasil melarikan diri tanpa luka sedikit pun. Sebuah penyelidikan menyatakan bahwa bom parsel tersebut berasal dari sebuah pangkalan militer Amerika di Saigon.[75] Sihanouk secara terbuka menuduh Ngo Dinh Nhu merupakan dalang di balik serangan bom tersebut, meskipun pada saat yang sama ia diam-diam menduga bahwa AS juga terlibat.[76]Peristiwa tersebut makin memperkeruh hubungannya dengan AS.[77]
Tahun-tahun awal sebagai Kepala Negara (1960–1965)
Setelah beberapa bulan kesehatannya menurun, Suramarit, ayah Sihanouk, wafat pada 3 April 1960[78] yang membuat Sihanouk menuduh bahwa kematian ayahnya disebabkan syok akibat serangan bom parsel.[75] Pada hari berikutnya, dewan takhta kerajaan bertemu untuk memilih Monireth sebagai pemangku raja.[79] Pada dua bulan berikutnya, Sihanouk memperkenalkan amendemen-amendemen konstitusional untuk membentuk jabatan baru Kepala Negara Kamboja, yang posisi dan kekuasaannya setara dengan raja. Sebuah referendum diadakan pada 5Juni 1960 menyetujui usulan Sihanouk, dan Sihanouk secara resmi dilantik menjadi Kepala Negara pada tanggal 14Juni 1960.[80] Sebagai kepala negara, Sihanouk mengambil berbagai tugas seremonial raja, seperti menyelenggarakan audiensi publik[81] dan memimpin Upacara Musim Tanam Kerajaan meskipun di saat yang bersamaan, ia tetap memainkan peran aktif dalam politik sebagai pemimpin Sangkum.[82]
Pada tahun 1961, jurubicara Pracheachon, Non Suon, mengkritik Sihanouk karena gagal menangani inflasi, pengangguran, dan korupsi di negara tersebut. Kritikan Non Suon membuat Sihanouk memutuskan untuk menangkap para pemimpin Pracheachon, dan menurutnya, ia menemukan rencana-rencana yang dibuat oleh partai tersebut untuk memantau perkembangan politik Kamboja melalui perantara kekuatan-kekuatan asing.[83] Pada bulan Mei 1962, Tou Samouth, sekretaris-jenderal Pracheachon, menghilang, dan aliansi ideologinya, Partai Komunis Kamboja, menduga bahwa Samouth secara diam-diam ditangkap dan dibunuh oleh polisi.[84] Namun, Sihanouk memperbolehkan para politikus sayap kiri Sangkum untuk maju kembali pada pemilihan umum 1962, yang semua kursi Majelis Nasional mereka menangkan.[85] Ia sempat melantik dua politikus sayap kiri, Hou Yuon dan Khieu Samphan, masing-masing sebagai menteri perencanaan dan komersil setelah pemilihan tersebut.[86]
Pada bulan November 1962 Sihanouk menyeru AS untuk berhenti mendukung Khmer Serei, yang secara diam-diam ia percayai telah bersekongkol dengan CIA. Ia mengancam akan memutus semua bantuan ekonomi dari AS jika mereka tidak menanggapi permintaannya,[87] sebuah ancaman yang kemudian ia sampaikan pada 19November 1963.[88] Pada masa yang sama, Shianouk juga menasionalisasikan perdagangan, sektor, dan industri di negara tersebut.[89] Untuk mengatur materi-materi dan kebijakan-kebijakan luar negeri pada perdagangan di negara tersebut, ia membentuk Badan Pelaksana dan Perusahaan Ekspor-Impor Nasional, yang lebih dikenal sebagai "SONEXIM".[90] Ketika Sarit, Diem, dan presiden AS John F. Kennedy meninggal pada bulan November dan Desember 1963, Sihanouk bersukacita atas kematian mereka, karena ia menuduh mereka berupaya membuat Kamboja menjadi tidak stabil. Ia mengadakan konser-konser dan memberikan para PNS tambahan hari libur untuk merayakan peristiwa tersebut. Ketika pemerintah AS menentang perayaan tersebut, ia merespon dengan menarik duta besar Kamboja untuk AS, Nong Kimny.[91]
Pada awal tahun 1964, Sihanouk menandatangani sebuah perjanjian rahasia dengan Vietnam Utara dan Viet Cong, yang memperbolehkan bantuan militer Tiongkok diberikan kepada mereka dengan dikirim melalui pelabuhan Sihanoukville. Sebagai balasannya, tentara Kamboja akan dibayar untuk mengirim bantuan pangan kepada Viet Cong, dan waktu yang sama, 10persen perangkat keras militer dikirimkan juga.[92] Selain itu, ia juga mengijinkan Viet Cong untuk membangun sebuah jalur di timur Kamboja, sehingga pasukan mereka mendapatkan bantuan dari Vietnam Utara. Jalan tersebut kemudian dikenal sebagai Jalur Sihanouk.[93] Saat AS mengetahui kepentingan Viet Cong di timur Kamboja, mereka memulai sebuah kampanye pengeboman di sepanjang wilayah tersebut,[94] yang membuat Sihanouk memutus hubungan diplomatik dengan AS pada bulan Mei 1965.[93] Sebagai hasil dari sebuah perjanjian rahasia, negara-negara Komunis, yang meliputi Tiongkok, Uni Soviet, dan Cekoslowakia, memberikan bantuan militer kepada Kamboja.[95]
Tahun-tahun selanjutnya sebagai kepala negara (1966–1970)
Pada bulan September 1966, pemilihan umum diadakan,[96] dan para legislator Sangkum yang memegang paham konservatif dan sayap kanan mendominasi majelis nasional. Selain itu, mereka menominasikan Lon Nol, seorang jenderal militer yang menjadi simpatisan politik mereka, sebagai perdana menteri. Namun, pilihan mereka tidak dikehendaki oleh Sihanouk.[97] Untuk menyeimbangkan pengaruh dari konservatif dan sayap kanan, pada bulan Oktober 1966, Sihanouk membentuk pemerintahan bayangan yang terdiri dari para legislator Sangkum yang memegang paham sayap kiri.[98] Pada akhir bulan, Lon Nol ditawarkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya, namun ironisnya dihentikan oleh Sihanouk.[99] Pada bulan April 1967, Pemberontakan Samlaut terjadi, para petani lokal bertarung melawan pasukan pemerintah di Samlaut, Battambang.[100] Karena pasukan pemerintah berhasil mengendalikan pertarungan tersebut,[101] Sihanouk mulai menduga bahwa tiga legislator Sangkum sayap kiri—Khieu Samphan, Hou Yuon dan Hu Nim—merupakan dalang di balik pemberontakan tersebut.[102] Saat Sihanouk mengancam akan membawa Khieu Samphan dan Hou Yuon ke pengadilan militer, mereka lari ke dalam hutan untuk bergabung dengan Khmer Merah, meninggalkan Hu Nim.[103]
Lon Nol mengundurkan diri dari jabatan sebagai perdana menteri pada awal bulan Mei 1967, dan Sihanouk melantik Son Sann sebagai penggantinya.[102] Pada saat yang sama, Sihanouk mengganti para menteri-menteri berpaham konservatif yang dilantik oleh Lon Nol dengan para politikus berpaham sayap kiri dan teknokrat.[103] Pada akhir bulan, setelah mendapatkan berita bahwa kedutaan besar Tiongkok di Kamboja menerbitkan dan menyebarkan propaganda Komunis kepada masyarakat Kamboja yang memuji Revolusi Kebudayaan,[104] Sihanouk menuduh Tiongkok menghasut pendukung lokal Tionghoa Kamboja melakukan aktivitas "terselubung" dan "subversif".[105] Pada bulan Agustus 1967, Sihanouk mengirim Menteri Luar Negeri-nya, Norodom Phurissara, ke Tiongkok. Namun, ia gagal mendesak Perdana Menteri Zhou Enlai untuk memberhentikan kedutaan besar Tiongkok di Kamboja menyebarkan propaganda Komunis.[106] Sebagai tanggapannya, Sihanouk menutup Asosiasi Persahabatan Kamboja–Tiongkok pada bulan September 1967. Saat pemerintah Tiongkok melayangkan protes,[107] Sihanouk mengancam akan menutup kedutaan besar Tiongkok di Kamboja.[108] Zhou mengambil langkah untuk menenangkan Sihanouk,[109] dan berkompromi dengan menyuruh kedutaan besarnya untuk menyerahkan publikasi-publikasinya kepada kementerian informasi Kamboja untuk diperiksa sebelum publikasi tersebut disebarluaskan.[108]
Karena hubungan dengan Tiongkok memburuk, Sihanouk memutuskan untuk menjalin kembali hubungan dengan AS. Ia tahu bahwa janda Kennedy, Jacqueline Kennedy, pernah menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Angkor Wat.[110] Melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan untuk memulihkan hubungan dengan AS, Sihanouk mengundangnya untuk mengunjungi Kamboja dan secara pribadi mendampingi perjalanannya pada bulan Oktober 1967.[111] Kunjungan Jacqueline Kennedy menjadi langkah maju Sihanouk untuk bertemu dengan Chester Bowles, duta besar AS untuk India. Kepada Bowles, Sihanouk menyatakan keinginannya untuk mengembalikan hubungan bilateral dengan AS, memberitahu keberadaan pasukan Viet Cong di Kamboja, dan menyatakan bahwa ia tidak akan ikut campur saat pasukan AS memasuki Kamboja untuk menyerang Viet Cong.[112]
Sihanouk mengatakan kepada Bowles bahwa dia tidak menyukai orang Vietnam sebagai suatu bangsa, dengan mengatakan bahwa "dia tidak menyukai orang Vietnam, merah, biru, Utara atau Selatan".[110]Kenton Clymer mencatat bahwa pernyataan ini "tidak dapat ditafsirkan secara masuk akal bahwa Sihanouk menyetujuinya". Serangan bom B-52 yang intensif dan berkelanjutan yang diluncurkan AS di bagian timur Kamboja dimulai pada bulan Maret 1969 sebagai bagian dari Operasi Menu, Kenton Clymer menambahkan: "Bagaimanapun, tidak ada yang bertanya kepadanya. ... Sihanouk tidak pernah diminta untuk menyetujui pemboman B-52, dan dia tidak pernah memberikan persetujuannya."[113] Pemboman itu memaksa Viet Cong untuk melarikan diri dari persembunyian hutan mereka dan mencari perlindungan di kota-kota dan desa-desa berpenduduk.[114] Akibat dari itu Sihanouk menjadi khawatir bahwa Kamboja akan dianggap terlibat dalam Perang Vietnam. Pada bulan Juni 1969, ia membuat pengakuan diplomatik kepada Pemerintah Revolusioner Provisional Republik Vietnam Selatan (PRPRVS),[115] dengan harapan agar ia dapat membuat pasukan Viet Cong meninggalkan Kamboja saat mereka memenangkan perang. Pada saat yang sama, ia juga secara terbuka membongkar keberadaan pasukan Viet Cong di Kamboja untuk pertama kalinya[116] dalam rangka memulihkan hubungan diplomatik formal AS dengan Kamboja yang diwujudkan tiga bulan kemudian.[117]
Karena ekonomi Kamboja tersendat karena korupsi sistematis,[118] Sihanouk membuka dua kasino—di Phnom Penh dan Sihanoukville—pada bulan Januari 1969.[119] Meskipun kasino tersebut berhasil meraih keuntungan sejumlah 700 juta riel pada tahun tersebut, hal tersebut juga menyebabkan peningkatan tajam terhadap jumlah kebangkrutan dan bunuh diri.[119] Pada bulan Agustus 1969, Lon Nol kembali diangkat menjadi Perdana Menteri, dengan Sisowath Sirik Matak sebagai deputinya. Dua bulan kemudian, Lon Nol meninggalkan Kamboja untuk mendapatkan perawatan medis, menugaskan Sirik Matak menjalankan pemerintahan untuk sementara waktu. Antara bulan Oktober dan Desember 1969, Sirik Matak melakukan beberapa perubahan kebijakan yang berseberangan dengan keinginan Sihanouk, seperti memperbolehkan bank-bank swasta dibuka kembali di negara tersebut dan mendevaluasi riel. Ia juga meminta para duta besar untuk melayangkan pesan kepada Lon Nol secara langsung, yang membuat Sihanouk menjadi naik pitam.[120] Pada awal Januari 1970, Sihanouk meninggalkan Kamboja untuk perawatan medis di Prancis.[121] Tak lama setelah ia pergi, Sirik Matak mengambil kesempatan untuk menutup kasino-kasino.[122]
Penggulingan dari jabatan, GRUNK dan tahun-tahun Khmer Merah
Pada bulan Januari 1970, Norodom Sihanouk bertolak meninggalkan Kamboja untuk cuti liburan selama dua bulan di Prancis, menghabiskan waktunya di sebuah penginapan mewah di daerah Riviera Prancis.[123] Pada tanggal 11 Maret 1970, sebuah unjuk rasa besar terjadi di luar kompleks kedutaan besar Vietnam Utara dan kompleks Kedutaan Besar Pemerintahan Revolusioner Sementara Republik Vietnam Selatan, dengan tuntutan para pengunjuk rasa untuk meminta pasukan Viet Cong keluar dari Kamboja. Unjuk rasa tersebut menjadi kisruh, karena para pengunjuk rasa menjarah kedua kompleks kedutaan besar tersebut dan membakar gedung kedutaan, membuat Sihanouk khawatir.[124] Sihanouk, yang berada di Paris pada waktu itu, mengalami dilema antara memilih pulang untuk menenangkan situasi, atau memilih mengunjungi Moskwa, Beijing, dan Hanoi. Ia memilih pilihan kedua, dengan berpikir bahwa ia dapat bertemu dan membujuk para pemimpin negara itu untuk mengembalikan kembali pasukan Viet Cong ke wilayah hutan yang menjadi tempat asal mereka.[125]
Lima hari kemudian, Oum Mannorine, saudara tiri dari istri Sihanouk, Monique, dipanggil menghadap ke Majelis Nasional untuk menjawab tuduhan-tuduhan korupsi yang disangkakan kepadanya.[126] Pada malam setelah ia dipanggil, Mannorine memerintahkan para pasukan di bawah komandonya untuk menangkap Lon Nol dan Sirik Matak, namun berakhir dengan ditangkap balik oleh pasukan Lon Nol. Pada tanggal 18Maret 1970, Majelis Nasional memutuskan untuk menggulingkan Sihanouk,[127] mengizinkan Lon Nol dapat memegang kekuasaan darurat.[128] Pada saat yang bersamaan, Sihanouk berada di Moskwa menemui Menteri Luar Negeri Soviet Alexei Kosygin, yang menyampaikan berita tersebut saat ia mengantar Sihanouk menuju bandar udara Moskwa.[129][130] Dari Moskwa, Sihanouk terbang ke Beijing dan ia disambut oleh Perdana Menteri Zhou Enlai. Zhou kemudian meminta Perdana Menteri Vietnam Utara, Pham Van Dong untuk terbang dari Hanoi ke Beijing dan mengatur pertemuannya dengan Sihanouk.[131] Zhou menyambut Sihanouk dengan hangat dan menyampaikan kepadanya bahwa Tiongkok masih mengakui Sihanouk sebagai pemimpin Kamboja yang sah serta akan menekan Korea Utara bersama dengan beberapa pemimpin negara Timur Tengah dan Afrika untuk tidak mengakui pemerintahan Lol Nol.[132] Zhou dan Dong mendorong Sihanouk untuk melawan tindakan Lon Nol dan memberikannya bantuan keuangan dan militer.[129]
Sekutu yang gelisah
Pada tanggal 23Maret 1970, Sihanouk mengumumkan pembentukan gerakan perlawanannya, Front Persatuan Nasional Kamboja (FUNK). Ia mengajak masyarakat Kamboja untuk bergabung dengannya dan bertarung melawan pemerintahan Lon Nol. Sihanouk telah dianggap oleh kaum tani Kamboja sebagai sosok seperti dewa, dan dukungannya terhadap Khmer Merah memiliki efek langsung.[129] Keluarga Kerajaan Kamboja begitu dihormati, sehingga setelah menggulingkan Sihanouk, Lol Nol langsung menuju istana kerajaan untuk berlutut di hadapan ibu suri seraya meminta ampun dari ibu suri karena telah menggulingkan anaknya.[129]
Pasukan Khmer Merah menyiarkan pesan Sihanouk ke seluruh belahan negara Kamboja menyebabkan terjadinya banyak unjuk rasa yang kemudian direspon dengan tindakan brutal oleh pasukan Lon Nol.[133] Beberapa hari kemudian, pada tanggal 5Mei 1970, Sihanouk mengumumkan pembentukan pemerintahan dalam pengasingan yang dikenal sebagai Pemerintahan Kerajaan Uni Nasional Kamboja (GRUNK), yang membuat negara-negara Komunis yang meliputi Tiongkok, Vietnam Utara, dan Korea Utara untuk memutuskan hubungan dengan rezim Lon Nol.[134] Di Phnom Penh, sebuah pengadilan militer bersidang pada tanggal 2Juli 1970 mendakwa Sihanouk telah melakukan pengkhianatan dan korupsi pada saat ia menjabat sebagai Kepala Negara. Setelah tiga hari persidangan, para hakim memutuskan bahwa Sihanouk dinyatakan bersalah atas dakwaan tersebut dan memutuskan hukuman mati secara in absentia padanya pada tanggal 5Juli 1970.[135]
Antara tahun 1970 dan 1975, Sihanouk menumpang tinggal di wisma negara Tiongkok di Beijing dan wisma negara Korea Utara di Pyongyang, yang ng merupakan ibu kota negara Tiongkok dan Korea Utara.[136] Pada bulan Februari 1973, Sihanouk berkunjung ke Hanoi untuk memulai perjalanan panjang bersama Khieu Samphan dan pemimpin Khmer Merah lainnya. Konvoi dilakukan di sepanjang jalur Ho Chi Minh dan mencapai perbatasan Kamboja di Provinsi Stung Treng pada bulan berikutnya. Dari sana, mereka menjelajahi provinsi Stung Treng, Preah Vihear, dan Siem Reap. Sepanjang perjalanannya, Sihanouk menghadapi pengeboman-pengeboman dari pesawat Amerika yang terlibat dalam Operasi Freedom Deal.[137] Di Siem Reap, Sihanouk mengunjungi candi Angkor Wat, Banteay Srei, dan Bayon.[138] Pada bulan Agustus 1973, Sirik Matak menulis sebuah surat terbuka yang meminta Sihanouk untuk mengakhiri Perang Saudara Kamboja dan menyarankan kepulangannya kembali ke Kamboja. Saat surat tersebut diterima Sihanouk, ia dengan tegas menolak permintaan-permintaan Sirik Matak.[139]
Setelah Republik Khmer jatuh ke tangan Khmer Merah pada tanggal 17 April 1975, sebuah pemerintahan baru di bawah naungan Khmer Merah, yang bernama Kamboja Demokratik dibentuk. Sihanouk dilantik menjadi Kepala Negara Kamboja Demokratik, sebuah jabatan seremonial.[140] Pada bulan September 1975,[141] Sihanouk kembali ke Kamboja untuk melarung abu ibunya,[142] sebelum kembali lagi ke luar negeri untuk melobi pengakuan diplomatik terhadap Kamboja Demokratik yang baru dibentuk.[143] Ia pulang ke Kamboja pada tanggal 31Desember 1975 dan memimpin sebuah pertemuan untuk merancang konstitusi Kamboja Demokratik.[144] Pada bulan Februari 1976, Khieu Samphan bersama Sihanouk melakukan kunjungan ke seluruh belahan negara Kamboja. Sihanouk kaget melihat penggunaan buruh paksa dan pemindahan-pemindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintahan Khmer Merah, yang dikenal sebagai Angkar. Setelah kunjungan tersebut, Sihanouk memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Negara.[145] Angkar awalnya menolak permintaan pengunduran dirinya, meskipun mereka kemudian menerima pengunduran dirinya pada pertengahan bulan April 1976, yang secara resmi tanggal pengunduran dirinya dibuat menjadi tanggal 2 April 1976.[146]
Menjadi tahanan rumah
Setelah itu, Sihanouk ditahan di bawah penahanan rumah di istana kerajaan. Pada September 1978, ia dipindahkan ke apartemen lainnya di pinggiran kota Phnom Penh untuk tinggal sampai akhir tahun.[147] Sepanjang penahanannya, Sihanouk membuat beberapa permintaan kepada Angkar untuk pergi ke luar negeri namun tidak berhasil.[148] Pada akhir tahun 1978, Vietnam menginvasi Kamboja. Pada 1 Januari 1979, Sihanouk dipindahkan dari Phnom Penh ke Sisophon untuk menetap selama tiga hari sampai 5Januari, ketika ia dipulangkan ke Phnom Penh.[149] Sihanouk bertemu dengan Pol Pot, yang menyampaikan rencana Angkar untuk memukul mundur pasukan Vietnam.[150]
Pada tanggal 6Januari 1979, Sihanouk terbang dari Phnom Penh ke Beijing dan ia disambut oleh Deng Xiaoping, pengganti Perdana Menteri Zhou Enlai.[151] Keesokan harinya, pada tanggal 7 Januari 1979, ibukota Phnom Penh berhasil dikuasai pasukan Vietnam. Pada 9 Januri 1979, Sihanouk terbang dari Beijing ke New York untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB dan ia mengutuk keras bahwa Khmer Merah-lah yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida Kamboja serta pendudukan Vietnam di Kamboja.[152] Sihanouk kemudian meminta suaka kepada Tiongkok setelah dua kali gagal meminta suaka kepada AS dan Prancis.[153]
FUNCINPEC dan tahun-tahun PKKD
Gerakan perlawanan
Setelah rezim Khmer Merah lengser, sebuah pemerintahan baru Kamboja Republik Rakyat Kamboja (RRK) dibentuk dengan dukungan oleh Vietnam. Pemimpin Tiongkok, Deng Xiaoping, menjadi tak senang[154] dengan pengaruh Vietnam pada pemerintah RRK. Deng mengusulkan kepada Sihanouk agar ia bekerja sama dengan Khmer Merah untuk melengserkan pemerintahan RRK, namun ditolak oleh Sihanouk[155] karena ia menentang kebijakan genosida yang diterapkan oleh Khmer Merah saat mereka berkuasa.[154] Pada bulan Maret 1981, Sihanouk mendirikan sebuah gerakan perlawanan FUNCINPEC yang didalamnya terdapat sebuah pasukan pemberontak kecil yang dikenal sebagai Armée Nationale Sihanoukiste (ANS).[156] Ia mengangkat In Tam, yang pernah secara singkat menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Khmer, sebagai ketua komandan ANS.[157] ANS membutuhkan bantuan militer dari Tiongkok, dan Deng mengambil kesempatan untuk meminta Sihanouk bekerja sama dengan Khmer Merah.[158] Sihanouk menyetujuinya meskipun dengan rasa terpaksa, dan memulai perbincangan pada Maret 1981 dengan Khmer Merah dan Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (FPNRK) yang dipimpin Son Sann pada sebuah gerakan pemberontakan anti-RRK yang bersatu.[159]
Negosiasi dan hasilnya
Setelah beberapa kali pelaksanaan negosiasi yang dimediasi oleh Deng dan perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew,[160] FUNCINPEC, KPNLF, dan Khmer Merah sepakat untuk membentuk Koalisi Pemerintahan Kamboja Demokratik (KPKD) pada bulan Juni 1982. KPKD dikepalai oleh Sihanouk, dan bertindak sebagai pemerintahan dalam pengasingan.[161]Perserikatan Bangsa Bangsa menolak resolusi untuk mengakui RRK sebagai pemerintah Kamboja yang sah dan secara otomatis mengakui Norodom Sihanouk selaku Pemimpin Kamboja yang sah di mata dunia internasional.[162]
Sebagai ketua KPKD, Sihanouk gagal bernegosiasi bersama dengan pemerintah Tiongkok selama lebih dari lima tahun berikutnya, untuk menengahi penyelesaian politik dalam rangka mengakhiri pendudukan Vietnam di Kamboja.[163] Pada masa-masa tersebut, Sihanouk melantik dua putranya, Norodom Chakrapong dan Norodom Ranariddh, untuk memimpin ANS. Chakrapong dilantik sebagai wakil ketua staf untuk ANS pada Maret 1985,[164] sementara Ranariddh memegang dua jabatan sekaligus yakni sebagai Panglima dan Kepala Staf ANS pada bulan Januari 1986, menggantikan Tam.[165]
Pada Desember 1987, Perdana Menteri pemerintahan RRK, Hun Sen, bertemu pertama kalinya dengan Sihanouk untuk membicarakan akhir Perang Kamboja-Vietnam.[166] Pada bulan Juli 1988, Menteri Luar NegeriIndonesia pada waktu itu, Ali Alatas, menjadi mediator pembicaraan pertama antara empat faksi Kamboja yang berperang yang terdiri dari FUNCINPEC, Khmer Merah, KPNLF, dan pemerintah RRK terkait masa depan Kamboja. Dua pertemuan berikutnya diadakan di Februari dan Mei 1989; karena seluruh kegiatan tersebut diadakan di Istana Bogor, sekitaran Jakarta, pertemuan tersebut dikenal sebagai Jakarta Informal Meetings (JIM).[167]
Pada bulan Juli 1989, Ali Alatas bergabung dengan Menteri Luar Negeri Prancis Roland Dumas dalam pembukaan Konferensi Perdamaian Paris. Konferensi tersebut ditujukan terkait rencana penarikan pasukan Vietnam dan rencana pembagian kekuasaan dalam pemerintahan Kamboja pada masa mendatang.[167] Pada bulan berikutnya, Sihanouk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden FUNCINPEC[168] namun masih tetap menjabat di organisasi tersebut sebagai anggota biasa.[169] Pada bulan September 1990, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung pendirian Dewan Nasional Tertinggi Kamboja (DNTK), sebuah badan administratif yang bertugas untuk mengurusi urusan kedaulatan Kamboja untuk sementara waktu sampai pemilihan yang didukung PBB diadakan.[170] Pembentukan DNTK kemudian diratifikasi dengan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 668.[171] Pada bulan Juli 1991, Sihanouk keluar dari FUNCINPEC dan terpilih sebagai ketua DNTK.[172]
Masa kepemimpinan OTPBBK
Perjanjian perdamaian Paris dan kembali ke Kamboja
Pada tanggal 23 Oktober 1991, Sihanouk memimpin FUNCINPEC, Khmer Merah, KPNLF, dan RRK dalam penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paris. Perjanjian tersebut mengakui DNTK sebagai "perwakilan sah dari kedaulatan Kamboja" dan membentuk Otoritas Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja (OTPBBK) untuk bertindak sebagai pemerintahan transisi antara tahun 1992 dan 1993.[173] Sehingga, OTPBBK diberikan mandat untuk menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Kamboja dalam mengawasi pelucutan senjata dari empat faksi di Kamboja yang berperang dan kemudian melaksanakan pemilihan umum pada tahun 1993.[174] Sihanouk kemudian kembali ke Phnom Penh pada tanggal 14November 1991. Bersama dengan Hun Sen, Sihanouk menaiki sebuah limousine beratap terbuka dari Bandar Udara Pochentong menuju istana kerajaan, sepanjang perjalannya ia menyapa para warga yang berbaris di pinggiran jalan untuk menyambut kepulangannya.[175] Pemerintahan OTPBBK dibentuk pada bulan Februari 1992, namun mengalami rintangan dalam melaksanakan operasi penjagaan perdamaiannya karena Khmer Merah menolak bekerjasama untuk melucuti senjata tentaranya.[176] Sebagai tanggapannya, Sihanouk meminta OTPBBK untuk mengabaikan Khmer Merah dari proses penjagaan perdamaian yang dilaksanakan sebanyak dua kali, pada bulan Juli dan September 1992. Pada bulan-bulan tersebut, Sihanouk menjalani sebagian besar waktunya dengan tinggal di Siem Reap dan melakukan perjalanan menggunakan helikopter untuk memantau persiapan pemilihan di daerah-daerah basis KPNLF, FUNCINPEC, dan Khmer Merah.[177]
Sihanouk pergi ke Beijing pada bulan November 1992 untuk mendapatkan perawatan medis[178] untuk dirawat selama enam bulan berikutnya sampai ia kembali ke Kamboja pada Mei 1993, pada malam sebelum pemilu.[179] Saat di Beijing, Sihanouk mengusulkan bentuk pemerintahan sistem presidensial untuk Kamboja kepada Sekretaris Jenderal PBB saat itu Boutros Boutros-Ghali, namun ia kemudian mengurungkan idenya tersebut setelah ditentang Khmer Merah.[180]
Pemilu tahun 1993 dan masa-masa sebelum restorasi kerajaan
Saat pemilihan umum diadakan, FUNCINPEC, yang diketuai oleh putra Sihanouk Norodom Ranariddh, meraih kemenangan, sementara Partai Rakyat Kamboja (PRK) yang diketuai oleh Hun Sen menempati urutan kedua.[181] PRK merasa tidak puas dengan hasil pemilu tersebut, dan pada tanggal 3Juni 1993 Hun Sen dan Chea Sim meminta Sihanouk untuk memimpin pemerintahan. Sihanouk mengiyakannya, dan mengumumkan pembentukan Pemerintahan Nasional Sementara yang dipimpin olehnya, dengan Hun Sen dan Ranariddh sebagai deputinya.[182] Ranariddh dikagetkan dengan pengumuman Sihanouk tersebut, karena ia tidak diberitahu tentang rencana ayahnya tersebut dan bergabung dengan Australia, Tiongkok, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk menentang rencana tersebut. Keesokan harinya, Sihanouk meyampaikan pengumumannya tersebut melalui siaran radio nasional.[183]
Pada tanggal 14 Juni 1993, Sihanouk diangkat kembali menjadi kepala negara dalam sidang majelis konstituante yang dipimpin oleh Ranariddh, yang justru mengambil kesempatan tersebut untuk mendeklarasikan kudeta pada tahun 1970 yang menggulingkan Sihanouk sebagai tindakan "ilegal".[184] Sebagai Kepala Negara, Sihanouk mengganti nama resmi militer Kamboja dengan nama yang dipakai pada masa sebelum tahun 1970, yaitu Angkatan Bersenjata Kerajaan Kamboja. Sihanouk juga mengeluarkan perintah untuk mengganti nama resmi negara tersebut dari Negara Kamboja menjadi "Kamboja" saja, lalu menetapkan kembali Nokor Reach sebagai Lagu Kebangsaan Kamboja dengan sedikit perubahan pada bagian liriknya, dan kembali menetapkan bendera resmi negara sesuai dengan desain bendera Kamboja pra-1970.[185] Pada masa yang sama, Sihanouk melantik Ranariddh dan Hun Sen menjadi perdana menteri, dengan kekuasaan yang setara.[186] Pengaturan tersebut bersifat sementara dan diratifikasi oleh Majelis Konstituen pada tanggal 2Juli 1993.[184] Pada tanggal 30 Agustus 1993,[187] Ranariddh dan Hun Sen bertemu dengan Sihanouk dan mengusulkan dua rancangan konstitusi, yang satu mempertahankan bentuk negara monarki konstitusional yang dipimpin oleh seorang raja, atau berubah bentuk menjadi sebuah negara republik yang dipimpin oleh seorang kepala negara. Sihanouk memilih rancangan yang mempertahankan Kamboja sebagai monarki konstitusional,[188] dan kemudian diratifikasi oleh majelis konstituante pada tanggal 21September 1993.[189]
Naik takhta untuk kedua kalinya
Restorasi monarki dan pengaruh politik
Konstitusi yang baru dikeluarkan pada tanggal 24 September 1993, dan Sihanouk diangkat kembali menjadi Raja Kamboja.[190] Sebuah pemerintahan koalisi permanen dibentuk antara FUNCINPEC, PKRK dan sebuah partai politik ketiga, Partai Demokratik Liberal Buddhis (PDLB). Sihanouk juga menjadikan Ranariddh dan Hun Sen masing-masing sebagai Perdana Menteri Pertama dan Kedua.[191] Tak lama setelah itu, Sihanouk pergi ke Beijing untuk menghabiskan waktu beberapa bulan untuk pengobatan kankernya.[192] Pada bulan April 1994, Sihanouk kembali,[193] dan bulan berikutnya memanggil pemerintah untuk mengadakan pemilu baru sehingga Khmer Merah bisa bekerja sama dalam pemerintahan. Ranariddh dan Hun Sen menolak usulan tersebut,[194][195] namun Sihanouk menekan mereka berdua, dan merencanakan lebih lanjut pemerintahan persatuan nasional yang terdiri dari FUNCINPEC, PRK, dan Khmer Merah yang akan ia kepalai sendiri.[196] Lagi-lagi, Rannaridh dan Hun Sen menolak usulan Sihanouk, dengan menyatakan bahwa tindakan Khmer Merah pada masa lalu membuat usulan itu menjadi tidak realistis.[197][198] Sihanouk akhirnya mengalah, dan menyatakan rasa frustasinya terhadap Hun Sen dan Ranariddh yang telah mengabaikannya. Norodom Sirivudh[199] dan Julio Jeldres, yang merupakan adik tirinya dan biografet resminya, melihat peristiwa tersebut sebagai pertanda yang jelas bahwa kemampuan monarki untuk mengendalikan urusan-urusan nasional telah berkurang, sampai pada tahap membutuhkan persetujuan dari para perdana menterinya.[200]
Pada bulan Juli 1994, salah satu putranya, Norodom Chakrapong, memimpin sebuah upaya kudeta untuk menggulingkan pemerintah.[201] Setelah upaya kudeta tersebut gagal, Chakrapong bersembunyi di sebuah hotel di Phnom Penh, namun pasukan pemerintah berhasil menemukan persembunyiannya dan mengepung hotel tersebut. Chakrapong meminta Sihanouk, yang bernegosiasi dengan para perwakilan pemerintah untuk mengijinkan Chakrapong mengasingkan diri ke Malaysia.[202] Pada bulan November, Sirivudh dituduh berencana membunuh Hun Sen dan ditahan. Sihanouk kemudiannya mengintervensi kasus Sirivudh dengan tujuan untuk mengamankan Sirivudh ke markas besar kementerian dalam negeri, dengan menyatakan bahwa rencana pembunuhan rahasia tersebut akan berlanjut bila ia mendekam di penjara.[203] Setelah Sirivudh dipindahkan ke tempat yang lebih aman, Sihanouk mengajukan banding kepada Hun Sen supaya Sirivudh diasingkan ke Prancis bersama dengan keluarganya, dan Hun Sen menerima usulan banding tersebut.[204]
Hubungan antara dua perdana menteri, Ranariddh dan Hun Sen, meretak pada bulan Maret 1996,[205] ketika Ranariddh menuduh PRK menghalangi proses pembagian jabatan pemerintahan tingkat rendah kepada para anggota FUNCINPEC.[206] Ranariddh mengancam akan keluar dari pemerintahan koalisi[207] dan mengadakan pemilu pada tahun yang sama jika permintaannya tidak diwujudkan,[208] mempersulit Hun Sen dan para pejabat PRK lainnya.[208] Pada bulan berikutnya, Sihanouk memimpin sebuah pertemuan antara beberapa anggota keluarga kerajaan dan pejabat FUNCINPEC senior di Paris. Sihanouk berupaya untuk meredam ketegangan antara FUNCINPEC dan PRK dengan jaminan FUNCINPEC tidak akan meninggalkan pemerintahan koalisi dan tak ada perencanaan unsur-unsur balas dendam untuk melengserkan Hun Sen atau PRK.[209]
Pada bulan Maret 1997, Sihanouk menyampaikan keinginannya untuk turun takhta, mengklaim bahwa meningkatnya sentimen anti-loyalis pada masyarakat akan mengancam keberadaan monarki.[210] Hun Sen menanggapi keinginan Sihanouk tersebut dengan memperingatkannnya bahwa ia akan mengeluarkan amendemen konstitusional yang melarang para anggota keluarga kerajaan ikut campur dalam politik jika Sihanouk tetap ngotot melaksanakan keinginannya itu.[211] Seperti yang Widyono katakan, Sihanouk masih populer diantara para pemilih, dan Hun Sen khawatir bila ia turun takhta dan masuk ke ranah politik, ia akan memenangkan pemilu-pemilu apapun pada masa mendatang, yang bisa melemahkan pengaruh politik PRK.[210]
Pada bulan Juli 1997, pertikaian memuncak di Phnom Penh antara pasukan infanteri yang secara terpisah bersekutu dengan PRK dan FUNCINPEC, yang berujung pada pelengseran Ranariddh setelah pasukan FUNCINPEC dikalahkan.[212] Sihanouk tidak menganggap Hun Sen mendalangi pertikaian tersebut, namun tetap menyebut pelengseran Ranariddh sebagai sebuah "kudeta", sebuah istilah yang sering digunakan para anggota FUNCINPEC.[213] Saat Majelis Nasional memilih Ung Huot sebagai Perdana Menteri Pertama untuk menggantikan Ranariddh pada tanggal 6 Agustus 1997,[214] Sihanouk menyatakan bahwa pelengseran Ranariddh adalah ilegal dan menyampaikan kembali tawarannya untuk turun takhta namun tidak dia lakukan.[215] Pada bulan September 1998, Sihanouk mengadakan pembicaraan politik di Siem Reap setelah FUNCINPEC dan Partai Sam Rainsy (PSR) mengadakan unjuk rasa melawan pemerintahan yang dipimpin PRK karena melakukan kecurangan pada pemilihan umum 1998. Pembicaraan tersebut menjadi berantakan pada akhir bulan setelah Hun Sen selamat dari upaya pembunuhan, yang membuatnya menuduh Sam Rainsy sebagai dalangnya.[216] Dua bulan kemudian, pada bulan November 1998, Sihanouk mengadakan pembicaraan politik untuk kedua kalinya antara PRK dan FUNCINPEC[217] dalam rangka membuat sebuah perjanjian untuk pemerintahan koalisi lainnya antara PRK dan FUNCINPEC.[216]
Tahun-tahun terakhir sebagai raja
Sihanouk mengeluarkan sebuah buletin bulanan yang berisi komentar-komentar buatannya tentang masalah-masalah politik dan menampilkan foto-foto lama Kamboja pada tahun-tahun 1950-an sampai 1960-an. Pada 1997, sebuah karakter yang dikenal dengan nama "Ruom Rith" pertama kali muncul dalam buletin bulanannya, yang mengekspresikan kritikan-kritikan terhadap Hun Sen dan pemerintahannya. Hun Sen menjadi geram terhadap kritikan-kritikan Ruom Rith, dan setidaknya dua kali pada tahun 1998 dan tahun 2003 meminta Sihanouk untuk berhenti mempublikasikan kritikan-kritikannya.[218][219] Menurut klaim Ranariddh, Ruom Rith merupakan sebuah istilah yang merujuk kepada diri Sihanouk, sebuah klaim yang kemudian dibantah.[220] Pada bulan Juli 2002, Sihanouk menyatakan keprihatinan atas tidak adanya ketentuan konstitusional yang terperinci mengenai organisasi dan fungsi dewan takhta Kamboja.[221] Saat Hun Sen menolak keprihatinan Sihanouk, yang kemudian disusul pada bulan September 2002 dengan ancaman turun takhta, sehingga para anggota dewan takhta melakukan persidangan untuk memilih seorang penguasa monarki baru.[222]
Pada bulan Juli 2003, pemilihan umum diadakan kembali, dan dimenangkan oleh PRK. Namun, mereka gagal mendapatkan dua per tiga kursi mayoritas di parlemen, seperti yang disyaratkan oleh konstitusi untuk dapat membentuk sebuah pemerintahan baru. Partai pemenang kedua dan ketiga dari pemilihan tersebut, yang masing-masing adalah FUNCINPEC dan PSR, mencegah PRK untuk melakukannya.[223] Sehingga, pada bulan Agustus 2003, mereka membawakan dakwaan ke Dewan Konstitusional atas dakwaan kecurangan dalam pemilu.[224] Setelah pengaduan mereka ditolak, FUNCINPEC dan PSR mengancam akan memboikot acara pembacaan sumpah jabatan para anggota parlemen. Sihanouk meminta kedua partai tersebut untuk menahan keputusan mereka, dengan menyatakan bahwa ia juga tidak akan memimpin acara tersebut jika mereka tidak mengiyakan keinginan-keinginannya.[225] Kedua partai tersebut kemudian menarik ancaman mereka, dan pembacaan sumpah jabatan para anggota parlemen dilaksanakan pada bulan Oktober 2003, dan dihadiri Sihanouk.[226] PRK, FUNCINPEC, dan PSR mengadakan pembicaraan tambahan pada 2004 untuk mengakhiri kebuntuan politik, namun gagal. Pada masa yang sama, Sihanouk mengusulkan sebuah pemerintahan persatuan yang sama-sama dipimpin oleh para politikus dari seluruh tiga partai politik tersebut, namun ditolak oleh Hun Sen dan Ranariddh.[227][228]
Pada bulan Februari 2004, Sihanouk menyarankan dan secara terang-terangan mendukung pernikahan sesama jenis, yang saat itu merupakan hal yang tabu dan bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat saat itu. Ia dipuji atas dukungannya terhadap kalangan LGBT di negaranya.[229][230]
Sihanouk juga terlibat dalam kegiatan amal dengan mendirikan organisaasi "Samdech Euv Team" yang bertujuan untuk menolong proyek dan kegiatan kemanusiaan di negaranya dan berdedikasi penuh terhadap kegiatan ini pada masa-masa setelah ia turun takhta.[231]
Turun takhta dan tahun-tahun terakhir
Pada tanggal 6 Juli 2004 dalam sebuah surat terbuka, Sihanouk mengumumkan rencananya untuk turun takhta lagi. Pada masa yang sama, ia mengkritik Hun Sen dan Ranariddh karena tidak menghiraukan sarannya tentang bagaimana menyelesaikan kebuntuan politik pada tahun lampau. Sementara itu, Hun Sen dan Ranariddh telah bersepakat untuk memperkenalkan sebuah amendemen konstitusional yang berisi tentang pengimplementasian sebuah sistem pemungutan suara terbuka, mengajak para anggota DPR untuk memilih para menteri kabinet dan presiden Majelis Nasional dengan mengangkat tangan. Sihanouk menolak sistem pemungutan suara terbuka, dan meminta Presiden Senat Chea Sim untuk tidak menandatangani amendemen tersebut. Ketika Chea Sim menerima nasihat Sihanouk, ia pergi dari negara tersebut tak lama sebelum Majelis Nasional bersidang untuk memberikan suara terhadap amendemen tersebut pada tanggal 15Juli.[232] Pada tanggal 17Juli 2004, PRK dan FUNCINPEC sepakat untuk membentuk sebuah pemerintahan koalisi, meninggalkan PSR sebagai partai oposisi.[233] Pada tanggal 6Oktober 2004, Sihanouk menulis sebuah surat panggilan untuk dewan takhta kerajaan agar segera bersidang dan memilih seorang penggantinya. Senat dan Majelis Nasional mengadakan pertemuan darurat untuk membuat undang-undang yang memperbolehkan seorang penguasa monarki turun takhta. Pada tanggal 14Oktober 2004, dewan takhta memutuskan memilih Norodom Sihamoni sebagai pengganti Sihanouk.[234] Sihamoni dinobatkan sebagai Raja Kamboja pada tanggal 29Oktober 2004.[235]
Pada bulan Maret 2005, Sihanouk menuduh Thailand, Laos, dan Vietnam telah melanggar batas dan masuk ke dalam wilayah Kamboja, melalui pelaksanaan perjanjian demarkasi perbatasan unilateral yang dilakukan tanpa kehadiran dan keikutsertaan Kamboja. Dua bulan kemudian, Sihanouk membentuk Dewan Nasional Tertinggi Urusan Perbatasan (DNTUP), yang ia kepalai, untuk menangani masalah tersebut.[235] Sementara SRP dan Chea Sim menyatakan dukungan terhadap Sihanouk untuk pembentukan PNTUP, Hun Sen memutuskan untuk membentuk sebuah badan terpisah, Otoritas Nasional Urusan Perbatasan (ONUP), untuk menangani masalah perbatasan, dengan DNTUP hanya menjabat sebagai badan penasehat.[236] Setelah Hun Sen menandatangani sebuah traktat perbatasan dengan Vietnam pada bulan Oktober 2005, Sihanouk membubarkan DNTUP.[237] Pada bulan Agustus 2007, Komite Aksi Kamboja untuk Keadilan dan Kesetaraan, sebuah organisasi non-pemerintah hak asasi manusia yang berbasis di AS, meminta imunitas negara Sihanouk untuk ditingkatkan, sehingga memperbolehkannya untuk mengurusi Dewan Luar Biasa dalam Pengadilan Kamboja (DLBPK).[238] Sihanouk menanggapi permintaan tersebut dengan mengundang pejabat urusan masyarakat DLBPK, Peter Foster, pada sebuah sesi diskusi tentang pengalaman pribadinya pada masa rezim Khmer Merah.[239] Hun Sen dan FUNCINPEC mengkritik permintaan tersebut, dengan menuduh organisasi tersebut tidak sopan.[238] DLBPK kemudian menolak undangan Sihanouk.[240]
Pada tahun berikutnya, hubungan bilateral antara Thailand dan Kamboja menjadi menegang karena perebutan klaim awal wilayah di sekitaran Candi Preah Vihear. Sihanouk mengeluarkan sebuah pernyataan resmi pada bulan Juli 2008 yang menyatakan bahwa candi tersebut berarsitektur Khmer dan Mahkamah Internasional menyatakan kekuasaan Kamboja atas candi tersebut pada 1962.[241] Pada bulan Agustus 2009, Sihanouk menyatakan bahwa ia akan berhenti memposting pesan-pesan pada situs web pribadinya karena ia terlalu tua, yang membuatnya kesulitan untuk mengerjakan tugas-tugas pribadinya.[242] Antara tahun 2009 sampai 2011, Sihanouk menjalani sebagian besar waktunya di Beijing untuk perawatan medis. Ia tampil di depan publik untuk terakhir kalinya di Phnom Penh pada hari ulang tahunnya yang ke-89 dan peringatan Perjanjian Damai Paris ke-20 pada tanggal 30Oktober 2011. Setelah itu, Sihanouk menyatakan keputusannya untuk menetap di Kamboja,[243] namun kembali ke Beijing pada bulan Januari 2012 untuk pengobatan medis lanjutan atas nasihat dokter-dokter Tiongkok-nya.[244]
Pada bulan Januari 2012, Sihanouk mengeluarkan sebuah surat untuk menyatakan keinginannya untuk dikremasi setelah ia meninggal, dan abunya dimasukkan dalam guci emas.[245] Beberapa bulan kemudian, pada bulan September 2012, Sihanouk berkata bahwa ia tak akan kembali ke Kamboja dari Beijing pada hari ulang tahunnya yang ke-90, dengan alasan kelelahan.[246] Pada tanggal 15Oktober 2012, Sihanouk meninggal akibat serangan jantung pada pukul 01:20malam, waktu Phnom Penh.[247] Saat berita wafatnya tersiar, Sihamoni, Hun Sen, dan para pejabat pemerintah lainnya terbang ke Beijing untuk memberikan penghormatan terakhir padanya.[248] Pemerintah Kamboja mengumumkan masa berkabung resmi selama tujuh hari dari tanggal 17Oktober sampai tanggal 24Oktober 2012, dan memerintahkan pengibaran bendera negara sepertiga tiang. Dua hari kemudian, jenazah Sihanouk dibawa dari Beijing menggunakan penerbangan Air China,[249] dan sekitar 1.2juta orang berbaris di jalanan dari bandar udara sampai istana kerajaan untuk menyaksikan kedatangan jenazah Sihanouk.[250]
Pada akhir bulan November 2012, Hun Sen berkata bahwa acara pemakaman dan kremasi Sihanouk diadakan pada bulan Februari 2013. Jenazah Sihanouk disemayamkan di istana raja selama[251] tiga bulan sampai pemakaman kenegaraan dilaksanakan pada tanggal 1Februari 2013.[252] Sebuah prosesi perjalanan sejauh 6.000-meter (20.000 ft) diadakan, dan jenazah Sihanouk ditempatkan ke dalam krematorium kerajaan sampai jenazahnya dikremasi pada tanggal 4Februari 2013 [253] Pada hari berikutnya,keluarga kerajaan melarung sebagian abu Sihanouk di ke sungai Tonle Sap, sementara sisanya disimpan di ruangan takhta istana selama setahun.[254] Pada bulan Oktober 2013, sebuah stupa yang menampilkan patung perunggu Sihanouk didirikan di sebelah Monumen Kemerdekaan.[255] Pada tanggal Juli 2014, abu Sihanouk dipindahkan ke pagoda perak untuk ditempatkan di sebelah abu salah satu putrinya, Kantha Bopha.[256]
Peninggalan dan warisan
Sihanouk berada di garis depan kehidupan publik Kamboja selama lebih dari 60 tahun, menjabat dalam berbagai kapasitas dan merupakan salah satu pemimpin paling berpengaruh dalam sejarah Kamboja modern.[257][258] Terlebih, seperti yang dikatakan jurnalis terkenal Martin Woollacott dari The Guardian, “Tidak ada raja di zaman modern yang mewujudkan kehidupan dan nasib negaranya selengkap Norodom Sihanouk".[259]
Hal ini tercermin dalam dirinya sebagai pemegang Rekor Dunia Guinness untuk "Peran kenegaraan paling banyak dipegang oleh anggota kerajaan modern." Dalam urutan posisi yang ia jabat, Sihanouk menjabat dalam peran berikut: raja, perdana menteri, kepala negara, pemangku raja, kepala pemerintahan di pengasingan, presiden, presiden di pengasingan, kepala pemerintahan di pengasingan, presiden Dewan Nasional Tertinggi, kepala negara, raja.[260]
Dipuji sebagai salah satu 'penyintas hebat' dari kehidupan politik Asia kontemporer dan digambarkan sebagai sosok yang lincah,[261][262][263] para pengamat memandang warisan Sihanouk sebagai salah satu warisan kompleks yang sulit untuk diukur secara akurat dengan hasil pencapaian dan kegagalan mendekati ukuran yang hampir sama. Sihanouk sendiri, pernah merujuk William Shakespeare, sebagai sarana untuk melakukan 'keadilan sastra' terhadap warisannya. David Chandler dan Milton Osborne, cendekiawan terkemuka di Kamboja, merefleksikan gagasan ini, mengakui bahwa di satu sisi, sebagai bapak kemerdekaan Kamboja selama era protektorat Prancis, ia layak mendapat pujian besar atas upaya instrumentalnya menghasilkan pemerintahan sendiri Kamboja. Di sisi lain, kerja samanya (meskipun secara singkat) dengan Khmer Merah setelah digulingkan dalam kudeta Kamboja 1970 oleh Lon Nol, menodai reputasinya, meskipun diyakini Sihanouk tidak mengetahui niat genosida Khmer Merah, karena ia juga terkena dampak oleh rezim tersebut, ditandai dengan penahanan rumahnya dan kematian beberapa anggota keluarganya. Sihanouk kemudian secara resmi mengutuk rezim Khmer Merah dan ekses terburuknya.[258][264][265][266]
Namun, seperti yang dicatat Woollacott, mengingat konteks sejarah negara Kamboja yang penuh gejolak, "bagi orang Kamboja, Sihanouk mewakili kesinambungan ketika di negara mereka telah dihancurkan begitu banyak. Mereka menghargai kehangatan dan kepeduliannya yang nyata terhadap rakyatnya, sambil mengakui bahwa dia telah membuat banyak kesalahan."[258][264] Memang, kehidupan Sihanouk yang bergejolak terkadang digambarkan sebagai cerminan dari negaranya dan dia juga menyatakan penyesalan atas beberapa kesalahannya selama dia memimpin Kamboja.[267][268] Chandler dan Osborne juga mengamati bahwa terlepas dari kekurangannya, dia secara konsisten mengabdi pada negaranya.[258][264] Selain itu, pandangan ini juga digaungkan oleh Jamie Metzl, mantan Wakil Presiden Eksekutif Asia Society, yang memuji patriotisme Sihanouk dan mengatakan bahwa "totalitas pekerjaan hidupnya menunjukkan komitmen yang tak tergoyahkan" ke Kamboja, terlepas dari kesalahan-kesalahan dalam reputasinya yang disebutkan di atas.[269]
Untuk itu, ia memerintahkan kesetiaan dan rasa hormat yang mendalam dari orang-orang Kamboja yang "selama kudeta, perang, perubahan rezim dan kelaparan - bahkan genosida skala penuh", yang terjadi dikehidupan Sihanouk, yang mereka anggap sebagai "raja-dewa", sebagai "satu pengaruh yang stabil dalam kehidupan mereka yang bergejolak", ditegaskan juga oleh statusnya sebagai figur pemersatu negara.[257][265][270] Ini terbukti dalam data jajak pendapat yang dirilis oleh Pusat Informasi Kamboja dalam rentang waktu antara tahun 1986 sampai tahun 1997, mengungkapkan bahwa dia adalah pemimpin paling populer di negara itu, dengan peringkat persetujuan mulai dari yang terendah 56% hingga tertinggi 72%, menurut responden yang disurvei.[271] Bahkan, menurut Henri Locard, seorang sejarawan yang ahli dalam bidang studi Kamboja, ia percaya status Sihanouk dalam kesadaran nasional secara keseluruhan adalah pada tingkat yang sama dengan simbol utama Kamboja, seperti Angkor dan bendera nasional, menyebutnya sebagai "simbol negara."[272]
Sihanouk memproduksi sekitar 50 film sepanjang masa hidupnya.[273] Ia mengembangkan minat dalam bidang perfilman pada usia muda, yang ia wujudkan dengan melakukan perjalanan untuk keperluan perfilman bersama orangtuanya.[1] Tak lama setelah menjadi raja pada tahun 1941, Sihanouk membuat beberapa film amatir,[274] dan mengirim para pelajar Kamboja untuk belajar pembuatan film di Prancis.[275] Ketika film Lord Jim dirilis pada tahun 1965, Sihanouk mengecam penggambaran negatif film tersebut terhadap Kamboja.[276] Ia menanggapi dengan memproduksi film pertamanya, Apsara, pada tahun 1966. Ia memproduksi, menyutradarai, dan berakting dalam lebih dari delapan film antara tahun 1966 sampai 1969, menjadikan para anggota keluarga kerajaan dan jenderal militernya untuk membintangi film-filmnya.[277] Sihanouk menyatakan bahwa film-filmnya dibuat untuk menampilkan Kamboja dalam sisi positif;[278] Milton Osborne juga menyatakan bahwa film-film tersebut disaring dengan tema-tema Perang Dingin[279] dan propaganda nasionalis.[280] Mantan penasehat Sihanouk, Charles Meyer, berkata bahwa film-filmnya yang dibuat dari tahun 1960-an merupakan film standar amatir, sementara sutradara Institut Reyum, Ly Daravuth, berkomentar serupa pada 2006 dengan menyatakan bahwa film-filmnya kurang memiliki kualitas artistik.[274]
Pada tahun 1967, salah satu filmnya, The Enchanted Forest dinominasikan di Festival Film Internasional Moskwa ke-5.[281] Pada tahun 1968, Sihanouk meluncurkan Festival Film Internasional Phnom Penh, yang diadakan untuk kedua kalinya pada 1969. Pada kedua tahun tersebut, Sihanouk menjadi satu-satunya nominasi sekaligus menjadi pemenang untuk kategori penghargaan khusus dirancang dengan nama Penghargaan Apsara Emas.[280] Setelah Sihanouk digulingkan pada tahun 1970, ia berhenti memproduksi sementara film-film sampai tahun 1987.[282] Pada tahun 1997, Sihanouk meraih sebuah penghargaan juri khusus dari Festival Film Internasional Moskwa. Ia menyampaikan bahwa ia telah menghabiskan biaya untuk memproduseri setiap filmnya berkisar dari US$20,000 sampai US$70,000 yang bersumber dari pemerintah Kamboja. Enam tahun kemudian, Sihanouk menyumbangkan arsip-arsip filmnya kepada École française d'Extrême-Orient di Prancis dan Universitas Monash di Australia.[274] Pada tahun 2006, ia memproduksi film terakhirnya, Miss Asina,[275] dan kemudian menyatakan pensiun dari pembuatan film pada bulan Mei 2010.[283]
Musik
Sihanouk menulis sekitar 48 komposisi musik antara akhir 1940-an dan awal 1970-an,[284] dengan mengkombinasikan tema-tema Barat dan Khmer tradisional dalam karya-karyanya.[285] Dari 1940-an sampai 1960-an, komposisi musik Sihanouk sebagian besar didasari pada tema-tema sentimental, percintaan dan patriotis. Lagu-lagu percintaan Sihanouk menampilkan sejumlah hubungan percintaannya, terutama hubungannya dengan istrinya Monique,[286] dan lagu-lagu seperti "My Darling" dan "Monica" didedikasikan kepada istrinya. Ia juga mengarang lagu-lagu nasional, yang menampilkan keindahan kota-kota provinsi dan pada saat yang sama memberikan rasa patriotisme dan persatuan nasional pada masyarakat Kamboja. Komposisi-komposisi musiknya yang terkenal, seperti "Flower of Battambang", "Beauty of Kep City", "Phnom Kulen", dan "Phnom Penh", adalah beberapa contohnya. Beberapa komposisi lainnya, yang meliputi "Luang Prabang", "Nostalgia of China", dan "Goodbye Bogor" adalah lagu-lagu sentimental[287] tentang negara-negara tetangga yang meliputi Laos, Indonesia, dan Tiongkok.[288]
Setelah ia dilengserkan sebagai kepala negara pada 1970, Sihanouk menulis beberapa lagu-lagu bergaya revolusioner[289] yang memuji para pemimpin negara Komunis, seperti lagu "Hommage Khmer au Maréchal Kim Il Sung" dan "Merci, Piste Ho Chi Minh". Lagu-lagu tersebut ditujukan untuk menunjukan kekagumannya terhadap para pemimpin Komunis tersebut, yang telah mendukung perjuangan GRUNK antara tahun 1970 dan 1975.[290] Dari masa muda,[1] Sihanouk belajar memainkan beberapa alat musik seperti klarinet, saksofon, piano, dan akordion.[281] Pada tahun 1960-an, Sihanouk memimpin sebuah grup musik yang didirikan oleh para kerabatnya, yang menampilkan lagu-lagu Prancis dan komposisi-komposisi pribadi miliknya sendiri untuk para diplomat di istana kerajaan.[291] Dalam turnya ke seluruh provinsi Kamboja, Sihanouk diiringi oleh orkestra militer kerajaan dan para penyanyi pop Kamboja.[288] Kemudian, saat Sihanouk tinggal di pengasingan pada 1980-an, ia mengadakan konser untuk menghibur para diplomat saat ia mengunjungi Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City.[292] Setelah ia diangkat kembali menjadi raja pada 1993, Sihanouk tetap mengadakan konser yang diselenggarakan di istana kerajaan pada acara tertentu.[293]
Sihanouk dikenal dengan berbagai gelar resmi dan tak resmi sepanjang masa hidupnya,[294] dan Guinness Book of World Records mencatat bahwa Sihanouk adalah raja yang memegang jumlah jabatan politik dan negara terbanyak.[295] Ketika Sihanouk menjadi raja pada tahun 1941, ia menyandang gelar resmi "Preah Bat Samdech Preah Norodom Sihanouk Varman", yang ia digunakan pada saat ia naik takhta dari tahun 1941 sampai tahun 1955 dan dari tahun 1993 sampai 2004.[7] Ia kembali menyandang gelar Pangeran setelah ia turun takhta pada tahun 1955, dan pada tahun tersebut ia diberikan gelar oleh ayahnya yang juga merupakan penerusnya sebagai raja dengan gelar "Samdech Preah Upayuvareach",[33] yang artinya "Pangeran yang telah menjadi Raja".[296] Pada awal tahun 1960-an ketika ia menjadi Kepala Negara,[297] Sihanouk dikenal oleh sebagian besar rakyat Kamboja sebagai "Samdech Euv",[298] yang artinya "Pangeran-Ayah".[295]
Pada tahun 2004, setelah ia turun takhta untuk kedua kalinya, Sihanouk diberikan gelar sebagai Raja-Ayah Kamboja,[299] dengan gelar resmi "Preah Karuna Preah Bat Sâmdach Preah Norodom Sihanouk Preahmâhaviraksat" (bahasa Khmer: ព្រះករុណាព្រះបាទសម្តេចព្រះ នរោត្តម សីហនុ ព្រះមហាវីរក្សត្រ).[295] Ia juga disebut dengan gelar kehormatan lainnya, "Yang Mulia Raja Norodom Sihanouk Sang Raja Heroik Besar Raja-Ayah Kemerdekaan, Integritas teritorial dan Persatuan Nasional Khmer" (ព្រះករុណា ព្រះបាទសម្ដេចព្រះ នរោត្តម សីហនុ ព្រះមហាវីរក្សត្រ ព្រះវររាជបិតាឯករាជ្យ បូរណភាពទឹកដី និងឯកភាពជាតិខ្មែរ).[300] Pada waktu yang sama, ia mengeluarkan sebuah dekret kerajaan yang meminta agar ia dipanggil dengan sebutan "Samdech Ta" atau "Samdech Ta-tuot",[301] yang artinya "Kakek" dan "Kakek Buyut".[302] Ketika Sihanouk meninggal pada bulan Oktober 2012, ia diberikan gelar secara anumerta oleh putranya Sihamoni dengan gelar kehormatan "Preah Karuna Preah Norodom Sihanouk Preah Borom Ratanakkot" (bahasa Khmer: ព្រះករុណាព្រះនរោត្តម សីហនុ ព្រះបរមរតនកោដ្ឋ), yang artinya "Raja yang berada di Guci Berlian".[303]
Kehidupan pribadi
Nama Sihanouk berasal dari dua kata Sansekerta "Siha" dan "Manu", yang artinya "Singa" dan "Rahang".[304][305] Ia bisa berbicara dalam bahasa Khmer, Prancis, dan Inggris,[306] dan juga mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin di SMA.[307] Pada masa SMA-nya, Sihanouk bermain sepak bola, basket, voli, dan juga berkuda.[1] Ia mengidap diabetes dan depresi pada tahun 1960-an,[308] dan terserang kembali pada akhir tahun 1970-an saat tinggal di dalam penahanan rumah pada zaman Khmer Merah.[309] Pada bulan November 1992, Sihanouk mengidap stroke[310] yang disebabkan oleh penebalan arteri koroner dan aliran darah.[311] Pada tahun 1993, ia didiagnosa dengan penyakit limfomasel B dalam prostat[312] dan diobati dengan kemoterapi dan pembedahan.[313] Penyakit Limfoma Sihanouk berkurang pada tahun 1995,[314] namun kambuh lagi pada tahun 2005 di daerah lambungnya. Ia terserang penyakit limfoma untuk ketiga kalinya pada tahun 2008,[312] dan setelah dilakukan pengobatan, penyakit limfomanya berkurang pada tahun berikutnya.[315]
Pada tahun 1960, Sihanouk membangun sebuah tempat tinggal pribadi di Distrik Chamkarmon untuk tinggal selama lebih dari sepuluh tahun berikutnya sebagai Kepala Negara.[316] Setelah dilengserkan pada tahun 1970, Sihanouk pindah ke Beijing untuk ia tinggal di Wisma Tamu Negara Diaoyutai pada tahun pertamanya disana. Pada tahun 1971, Sihanouk pindah ke sebuah tempat tinggal yang lebih besar di kota tersebut yang sempat dijadikan sebagai kedutaan besar Prancis.[317] Tempat tinggal tersebut dilengkapi dengan kolam renang, pengatur suhu,[136] bioskop[318] serta dilengkapi dengan tujuh orang juru masak yang memasak santapannya.[319] Pada tahun 1974, pemimpin Korea Utara Kim Il-sung membangun Changsuwon, sebuah kediaman 40 ruang, untuk Sihanouk.[320] Changsuwon dibangun di dekat sebuah danau buatan, dan Sihanouk menjalani waktu dengan melakukan perjalanan menggunakan perahu di sana dan juga melakukan pengambilan gambar terhadap beberapa film di tempat tersebut.[321] Pada Agustus 2008, Sihanouk mendeklarasikan aset-asetnya di situs webnya, yang menurutnya terdiri dari sebuah rumah kecil di Siem Reap dan 30,000 Euro yang ditabung di sebuah bank Prancis. Ia juga menyatakan bahwa tempat-tempat tinggalnya di Beijing dan Pyongyang merupakan wisma-wisma negara yang masing-masing dimiliki oleh pemerintah Tiongkok dan Korea Utara, dan mengatakan tempat-tempat tinggal tersebut bukanlah miliknya.[322]
Keluarga
Pada tanggal 4 Maret 1955 Sihanouk menikahi Norodom Thavet Norleak, istri resminya yang juga masih merupakan seorang sepupunya dari garis keturunan ibunya. Sehari kemudian Sihanouk menikah dengan Paule Monique Izzi, putri dari Pomme Peang—seorang perempuan Kamboja, dan Jean-François Izzi, seorang bankir Prancis keturunan Italia.[323] Monique menjadi pasangan seumur hidup Sihanouk,[121] dan pada tahun 1990-an ia mengubah namanya menjadi Monineath.[324] Sebelum adanya pernikahan-pernikahan tersebut, Sihanouk telah menikah dengan empat wanita lainnya yang meliputi Phat Kanhol, Sisowath Pongsanmoni, Sisowath Monikessan dan Mam Manivan Phanivong.[325] Monikessan meninggal saat melahirkan pada 1946, dan pernikahannya dengan istrinya yang lain semuanya berakhir dengan perceraian.[326] Sihanouk memperoleh empat belas anak dengan lima istri yang berbeda kecuali Thavet Norleak, yang tidak menganugerahinya anak.[327] Pada zaman Khmer Merah, lima anak dan empat belas cucu menghilang; Sihanouk percaya bahwa mereka dibunuh oleh Khmer Merah.[328][329]
^Vong Sokheng & Robert Carmichael (27 September 2002). "King mulls abdication". Phnom Penh Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-08-17. Diakses tanggal 1 July 2015.
^ abLiam Cochrane (5 November 2004). "Sihamoni crowned new King". Phnom Penh Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-08-17. Diakses tanggal 6 July 2015.
^Facebook; Twitter; options, Show more sharing; Facebook; Twitter; LinkedIn; Email; URLCopied!, Copy Link; Print (2012-10-15). "Norodom Sihanouk dies at 89; former king of Cambodia". Los Angeles Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-22.
^Poppy McPherson (7 November 2014). "A gift that keeps on giving". Phnom Penh Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-30. Diakses tanggal 30 September 2015.
Jeldres, Julio A (2003). The Royal House of Cambodia. Phnom Penh Cambodia: Monument Books. OCLC54003889.
Jeldres, Julio A (2005). Volume 1–Shadows Over Angkor: Memoirs of His Majesty King Norodom Sihanouk of Cambodia. Phnom Penh Cambodia: Monument Books. ISBN974-92648-6-X.
Jeldres, Julio A (2017). The Royal House of Cambodia (2nd ed.). Cambodia: The Sleuk Rith Institute. ISBN9789924907855.
Mehta, Harish C. & Julie B. (2013). Strongman: The Extraordinary Life of Hun Sen: The Extraordinary Life of Hun Sen. Singapore: Marshall Cavendish International Asia Pte Ltd. ISBN981-4484-60-1.
Mehta, Harish C. (2001). Warrior Prince: Norodom Ranariddh, Son of King Sihanouk of Cambodia. Singapura: Graham Brash. ISBN981-218-086-9.
Narong, Men S. (2007). Who's Who, The Most Influential People in Cambodia. Phnom Penh Cambodia: Media Business Networks. ISBN99950-66-00-9.
Widyono, Benny (2008). Dancing in Shadows: Sihanouk, the Khmer Rouge, and the United Nations in Cambodia. Lanham, Maryland, Amerika Serikat: Rowman & Littlefield. ISBN0-7425-5553-4.
Laporan
Baumgärtel, Tilman (2010). "KON – The Cinema of Cambodia"(PDF). Department of Media and Communication–Royal University of Phnom Penh. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2015-08-26. Diakses tanggal 8 Juli 2015.
Scott-Maxwell, Aline (Januari 2008). "Royal songs and royal singing: Music in the Norodom Sihanouk archival collection, Monash University Library". Fontes Artis Musicae. 5 (1): 180–190. JSTOR23512420.