Angkor Wat (aksara Khmer: អង្គរវត្ត, artinya "kota candi" atau "kota percandian")[2] adalah bangunan keagamaan (percandian) terbesar di dunia dari segi luas areal[3] karena menempati lahan seluas 162,6 hektar (1,626 km²).[4] Angkor Wat dibangun pada awal abad ke-12 sebagai candi kenegaraan oleh Raja Suryawarman II[5] di Yasodarapura (aksara Khmer: យសោធរបុរៈ, sekarang Angkor), ibu kota Kerajaan Kambujadesa.[6][7] Candi pendarmaan Raja Suryawarman II ini pada mulanya adalah candi agama Hindu yang dibaktikan kepada Dewa Wisnu, kemudian dialihfungsikan menjadi candi agama Buddha menjelang akhir abad ke-12.[7][8]
Sebagai candi paling terawat di situs arkeologi Angkor, Angkor Wat adalah satu-satunya bangunan yang masih difungsikan sebagai pusat kegiatan religius sejak didirikan. Mahakarya arsitektur Khmer langgam klasik ini merupakan salah satu situs peziarahan utama umat Buddha Kamboja maupun umat Buddha dari seluruh penjuru dunia.[9] Candi ini sudah menjadi lambang negara Kamboja,[10] corak hias bendera Kamboja, dan daya tarik wisata utama di Kamboja.[11] Angkor Wat juga turut berjasa mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Buddha.[8]
Angkor Wat merupakan perpaduan dua langgam utama bangunan candi Khmer, yakni langgam candi gunungan dan langgam candi berserambi. Angkor Wat dirancang sebagai lambang Mahameru, persemayaman para dewa menurut kosmologiHindu-Buddha. Percandian yang dikelilingi waduk sepanjang lebih dari 5 kilometer (3 mil)[12] dan dipagari tembok sepanjang 3,6 kilometer (2,2 mil) ini memiliki tiga serambi persegi panjang dengan ketinggian yang berbeda-beda satu sama lain. Di tengah-tengah percandian berdiri lima candi menara dalam tatanan pancayatana. Berbeda dari candi-candi Angkor pada umumnya, Angkor Wat dibangun menghadap ke barat. Belum ada kesepakatan di kalangan para ahli mengenai alasan yang melatarbelakangi perbedaan tersebut. Percandian ini dikagumi karena kemegahan tampilan maupun keselarasan tata bangunannya, relief-relief rendahnya yang berlimpah ruah, serta arca-arca para Buddha dan dewa yang terpahat pada dinding-dindingnya.
Etimologi
Nama Khmer modern untuk percandian ini, yakni Angkor Wat (aksara Khmer: អង្គរវត្ត) atau Nokor Wat (aksara Khmer: នគរវត្ត),[13] berarti "kota candi" atau "kota percandian". Angkor (aksara Khmer: អង្គរ) adalah lafalan daerah setempat untuk kata nokor (aksara Khmer: នគរ), yang berarti "kota" atau "ibu kota". Kata nokor berasal dari kata nagara (aksara Dewanagari: नगर) dalam bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang berarti "kota".[14]Wat (aksara Khmer: វត្ត) artinya "lingkungan candi", dari kata wāṭa (aksara Dewanagari: वाट) dalam bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang berarti "lingkungan".[2]
Nama aslinya adalah Wrah Wisnuloka atau Parama Wisnuloka (aksara Dewanagari: परमविष्णुलोक; aksara Khmer: បរមវិស្ណុលោក, Barom Wisnulōk), yakni nama anumerta Raja Suryawarman II.[8][15]
Sejarah
Angkor Wat terletak 5,5 kilometer (3,4 mil) di sebelah utara kota modern Siem Reap, tidak jauh di sebelah selatan dan sedikit ke timur dari bekas ibu kota Kerajaan Kambujadesa yang berpusat di candi Baphuon. Angkor Wat adalah situs terselatan di dalam lingkup kawasan utama situs-situs arkeologi Angkor.[butuh rujukan]
Menurut mitos, Angkor Wat dibangun atas perintah Dewa Indra untuk dijadikan istana putranya, Preca Ket Mealea.[16] Menurut keterangan musafir Tiongkok dari abad ke-13, Zhou Daguan, ada pihak-pihak yang percaya bahwa Angkor Wat dibangun hanya dalam semalam oleh dewa undagi.[17]
Tahap awal perancangan dan pengerjaan Angkor Wat terlaksana pada paruh pertama abad ke-12, pada masa pemerintahan Raja Suryawarman II (memerintah tahun 1113 sampai kira-kira tahun 1150). Bertolak belakang dengan kebijakan raja-raja pendahulunya yang menganut aliran Saiwa, Suryawarman II membaktikan Angkor Wat kepada Dewa Wisnu. Percandian ini dibangun untuk digunakan sebagai kuil kenegaraan sekaligus ibu kota kerajaan. Nama asli Angkor Wat tidak diketahui, karena tidak ditemukan yupa prasasti maupun prasasti-prasasti lain dari masa pembangunannya yang menyebut-nyebut keberadaan percandian ini, tetapi mungkin saja namanya adalah "Warah Wisnulok", seperti nama dewa yang dipuja di dalamnya. Kegiatan pembangunan tampaknya terhenti tidak lama sesudah sang raja mangkat, terbukti dari sejumlah ukiran relief rendah yang belum rampung dikerjakan.[18] Istilah Wrah Wiṣṇuloka atau Parama Wiṣṇuloka secara harfiah berarti "raja yang sudah berpindah ke kahyangan luhur Dewa Wisnu". Istilah tersebut adalah gelar anumerta yang diberikan kepada Suryawarman II dengan maksud mengabadikan kegemilangan dan kenangan akan dirinya.[15]
Pada tahun 1177, kira-kira 27 tahun sesudah Suryawarman II mangkat, kota Angkor diserbu bangsa Campa, musuh bebuyutan bangsa Khmer.[19] Kedaulatan negara Kambujadesa dipulihkan raja baru, Jayawarman VII. Sang raja mendirikan ibu kota dan candi kenegaraan baru beberapa kilometer di sebelah utara Angkor Wat, yakni kota Angkor Thom dan candi Bayon, yang ia baktikan untuk kepentingan agama Buddha, karena merasa sudah dikecewakan dewa-dewi Hindu. Angkor Wat juga sedikit demi sedikit diubah menjadi sebuah situs agama Buddha, dan banyak ukiran bertema Hindu diganti dengan karya seni agama Buddha.[20]
Muka bangunan Angkor Wat, digambar Henri Mouhot sekitar tahun 1860
Sketsa Angkor Wat, digambar Louis Delaporte sekitar tahun 1880
Menjelang akhir abad ke-12, sedikit demi sedikit Angkor Wat diubah dari sebuah pusat peribadatan agama Hindu menjadi pusat peribadatan agama Buddha. Fungsi baru ini bertahan sampai sekarang.[7] Tidak seperti candi-candi Angkor lainnya, Angkor Wat tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan orang, kendati sebagaian besar bangunannya sudah telantar selepas abad ke-16.[21] Empat belas prasasti dari abad ke-17 yang ditemukan di area Angkor membuktikan bahwa para peziarah Buddha dari Jepang pernah mendirikan permukiman-permukiman kecil yang berdampingan dengan kampung-kampung pribumi Khmer.[22] Para musafir Jepang pada masa itu menyangka Angkor Wat adalah Jetawana, taman Sang Buddha yang sesungguhnya terletak di Kerajaan Magada, India.[23] Yang paling terkenal adalah prasasti yang menyebutkan bahwa Ukondayu Kazufusa merayakan Tahun Baru Khmer di Angkor Wat pada tahun 1632.[24]
Salah seorang di antara musafir-musafir Barat pertama yang sampai ke situs Angkor Wat adalah António da Madalena. Padri Portugis yang berkunjung pada tahun 1586 ini mengungkapkan bahwa Angkor Wat "sungguh bangunan yang luar biasa sampai-sampai mustahil digambarkan lewat tulisan, terutama karena tidak ada satu pun bangunan lain di dunia ini yang menyerupainya. Bangunan ini dilengkapi menara-menara, hiasan-hiasan, dan segala macam keindahan yang dapat dibayangkan manusia."[25]
Pada tahun 1860, Angkor Wat secara efektif ditemukan Henri Mouhot, naturalis sekaligus penjelajah berkebangsaan Prancis yang memopulerkan situs ini di Dunia Barat lewat penerbitan catatan perjalanannya. Ia mengungkapkan di dalam catatannya sebagai berikut:
Salah satu di antara kuil-kuil tersebut setanding dengan Haikal Sulaiman dan seakan-akan dibangun oleh seorang Michelangelo purba, sehingga layaklah kiranya disejajarkan gedung-gedung kita yang paling indah. Kuil ini lebih megah daripada segala peninggalan Yunani maupun Romawi, dan sayangnya kontras sekali dengan peri kehidupan barbar yang kini menjerat bangsa ini.[26]
Tidak ada bekas-bekas tempat tinggal biasa, rumah-rumah, maupun jejak-jejak permukiman, termasuk perabot masak, senjata, atau barang-barang sandang yang lazim ditemukan di situs-situs kuno. Yang ada hanya monumen-monumen.[27]
Warisan artistik Angkor Wat dan monumen-monumen Khmer lainnya di daerah Angkor mendorong Prancis menjadikan Kamboja sebagai salah satu negara protektoratnya pada tanggal 11 Agustus 1863, dan menginvasi Siam agar dapat sepenuhnya menguasai reruntuhan monumen-monumen tersebut. Langkah Prancis ini memampukan negara Kamboja untuk mendaulat kembali daerah-daerah di ujung barat laut wilayahnya yang dijajah bangsa Siam sejak tahun 1351 Masehi menurut Manich Jumsai (2001) atau sejak tahun 1431 Masehi menurut sumber-sumber lain.[28]
Keindahan Angkor Wat dipertontonkan di museum cor-coran lepa Louis Delaporte yang diberi nama musée Indo-chinois di gedung pameran Palais du Trocadéro dari sekitar tahun 1880 sampai pertengahan era 1920-an.[29]
Pada abad ke-20, Angkor Wat menjalani pemugaran besar-besaran.[30] Sedikit demi sedikit, tim-tim pekerja dan arkeolog membabat hutan yang sudah menjalari batu-batu gedung Angkor Wat, sehingga sinar matahari kembali menerangi sudut-sudut gelap kuil itu. Angkor Wat memikat perhatian dan imajinasi sejumlah besar orang Eropa ketika paviliun Kamboja Protektorat Prancis, sebagai bagian dari Indocina Prancis, memamerkan replika Angkor Wat seukuran aslinya di ajang Pameran Kolonial Paris pada tahun 1931.[31]
Kamboja beroleh kemerdekaan dari Prancis pada tanggal 9 November 1953, dan sejak saat itu meguasai Angkor Wat. Boleh dikata sejak zaman kolonial sampai dinominasikan sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1992, Angkor Wat sudah menjadi unsur penting dalam pembentukan konsep modern warisan-budaya-terbangun yang lama-kelamaan mengglobal.[32]
Kegiatan pemugaran sempat macet akibat meletusnya Perang Saudara Kamboja dan berkuasanya rezim Khmer Merah pada era 1970-an dan 1980-an, tetapi kerusakan yang timbul pada kurun waktu tersebut relatif sedikit. Pasukan-pasukan Khmer Merah yang berkemah di situs Angkor Wat mengambil segala macam kayu yang tertinggal di bangunan tersebut untuk dijadikan kayu bakar, dan tembak-menembak di antara pasukan Khmer Merah dan pasukan Vietnam mengakibatkan cacatnya sebuah relief akibat terhujam peluru nyasar. Kerusakan yang lebih besar justru timbul seusai perang, akibat ulah para pencuri benda seni yang berpangkalan di Muangthai. Pada akhir dasawarsa 1980-an dan awal dasawarsa 1990-an, para pencuri tersebut menggasak hampir semua kepala arca yang dapat diangkut keluar dari situs Angkor Wat, termasuk kepala-kepala arca hasil rekonstruksi.[33]
Candi ini adalah salah satu lambang penting negara Kamboja, dan merupakan sumber utama kebanggaan nasional yang menjadi unsur penting di dalam hubungan diplomatik Kamboja dengan Prancis, Amerika Serikat, dan Muangthai. Gambar Angkor Wat sudah menjadi bagian dari berbagai versi bendera Kamboja, mulai dari versi pertama yang diperkenalkan sekitar tahun 1863.[34] Meskipun demikian, dari sudut pandang historis dan bahkan lintas-budaya yang lebih luas, candi Angkor Wat tidak menjadi sebuah lambang kebanggaan nasional dengan sendirinya, tetapi terjadi lewat suatu proses politik-budaya yang lebih besar sebagai bagian dari warisan sejarah kolonial Prancis, karena pemerintah kolonial Prancislah yang mengantarkan Angkor Wat ke pentas dunia lewat pameran-pameran dunia maupun pameran negeri-negeri jajahan Prancis yang digelar di Paris dan Marseille antara tahun 1889 sampai 1937.[35]
^Editors, History com. "Angkor Wat". History.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 5 April 2021.
^ abCambodian-English Dictionary by Robert K. Headley, Kylin Chhor, Lam Kheng Lim, Lim Hak Kheang, and Chen Chun (1977, Catholic University Press)
^Society, National Geographic (1 Maret 2013). "Angkor Wat". National Geographic Society (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-07. Diakses tanggal 23 April 2020.
^daguan Zhou (2007). A Record of Cambodia: The Land and Its People. Translated by Peter Harris. Silkworm Books.
^"Angkor Wat, 1113–1150". The Huntington Archive of Buddhist and Related Art. College of the Arts, The Ohio State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-01-06. Diakses tanggal 27 April 2008.
^Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. penerjemah. Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. hlm. 164. ISBN978-0-8248-0368-1.
^Falser, Michael: Clearing the Path towards Civilization – 150 Years of "Saving Angkor". Dalam: Michael Falser (penyunting) Cultural Heritage as Civilizing Mission. From Decay to Recovery. Springer: Heidelberg, New York, hlmn. 279–346.
^Russell Ciochon; Jamie James (14 October 1989). "The Battle of Angkor Wat". New Scientist. hlm. 52–57. Diakses tanggal 22 November 2015.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Briggs, Lawrence Robert (1951, cetak ulang tahun 1999). The Ancient Khmer Empire. White Lotus. ISBN974-8434-93-1.
Falser, Michael (2020). Angkor Wat – A Transcultural History of Heritage. Jilid 1: Angkor in France. From Plaster Casts to Exhibition Pavilions. Jilid 2: Angkor in Cambodia. From Jungle Find to Global Icon. Berlin-Boston DeGruyter ISBN978-3-11-033584-2
Forbes, Andrew; Henley, David (2011). Angkor, Eighth Wonder of the World. Chiang Mai: Cognoscenti Books. ASINB0085RYW0O
Freeman, Michael and Jacques, Claude (1999). Ancient Angkor. River Books. ISBN0-8348-0426-3.
Higham, Charles (2001). The Civilization of Angkor. Phoenix. ISBN1-84212-584-2.
Higham, Charles (2003). Early Cultures of Mainland Southeast Asia. Art Media Resources. ISBN1-58886-028-0.
Hing Thoraxy. Achievement of "APSARA": Problems and Resolutions in the Management of the Angkor Area.
Jessup, Helen Ibbitson; Brukoff, Barry (2011). Temples of Cambodia – The Heart of Angkor (Sampul keras). Bangkok: River Books. ISBN978-616-7339-10-8.
Petrotchenko, Michel (2011). Focusing on the Angkor Temples: The Guidebook, 383 halaman, Penerbit Percetakan Amarin, edisi ke-2, ISBN978-616-305-096-0
Ray, Nick (2002). Lonely Planet guide to Cambodia (edisi ke-4). ISBN1-74059-111-9.
Buckley, Michael (1998), Vietnam, Cambodia and Laos Handbook, Avalon Travel Publications, laman daring Pengarauan Lautan Susu, temu balik tanggal 25 Juli 2005.
Glaize, Maurice (terjemahan Inggris edisi tahun 2003 dari edisi ketiga Prancis tahun 1993), Monumen-Monumen Kelompok Angkor, temu balik tanggal 14 Juli 2005
Universitas Heidelberg, Jerman, Jawatan Sejarah Seni Rupa Global, Proyek (Michael Falser): Heritage as a Transcultural Concept – Angkor Wat from an Object of Colonial Archaeology to a Contemporary Global Icon[1]