Instrumen Kimigayo buatan Fenton dalam bentuk midi
Bermasalah memainkan berkas-berkas ini? Lihat bantuan media.
Kimigayo[1] (君が代code: ja is deprecated , pengucapan bahasa Jepang: [kimiɡajo]; "Kekuasaan Yang Mulia") adalah lagu kebangsaanJepang. Liriknya termasuk yang tertua di dunia. Dengan panjang lirik hanya 30 aksara, menjadikannya sebagai lagu kebangsaan terpendek di dunia. Liriknya berasal dari sebuah antologi wakazaman Heian berjudul Kokin Wakashū.[2] Melodinya diubah pada tahun 1880 untuk menggantikan melodi buatan John William Fenton pada 11 tahun sebelumnya.
Etimologi
"Kimi" telah digunakan baik sebagai kata benda untuk menunjukkan seorang kaisar atau tuan (atau master) setidaknya sejak periode Heian.[3][4] Contohnya, protagonis Hikaru Genji(光源氏) dari the Tale of Genji disebut "Hikaru no Kimi" atau "Hikaru-gimi"(光の君 atau 光君). Namun sebelum periode Nara, kaisar sering disebut "opokimi" (tuan agung); jadi kontroversial apakah kata "kimi" dalam "kimigayo" awalnya berarti kaisar.
Pada periode Kamakura, "Kimigayo" digunakan sebagai lagu pesta di kalangan samurai dan kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat pada periode Edo. Di bagian akhir periode Edo, "Kimigayo" digunakan di oku (harem dari Kastil Edo) dan Satsuma-han (sekarang Prefektur Kagoshima) sebagai lagu perayaan tahun baru yang umum. Dalam konteks itu, "kimi" tidak pernah berarti kaisar tetapi hanya shōgun Tokugawa, klan Shimazu yang sebagai penguasa Satsuma-han, tamu kehormatan atau semua anggota pesta minum yang meriah. Setelah Restorasi Meiji, para pasukan samurai dari Satsuma-han menguasai pemerintahan Kekaisaran Jepang dan mereka mengadopsi "Kimigayo" sebagai lagu kebangsaan Jepang. Sejak saat itu hingga kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, "Kimigayo" dipahami sebagai masa pemerintahan kaisar yang panjang. Dengan diadopsinya Konstitusi Jepang pada tahun 1947, kaisar tidak lagi menjadi penguasa yang diperintah oleh hak ilahi, tetapi seorang manusia yang merupakan simbol negara dan persatuan rakyat.[5] Departemen Pendidikan tidak memberikan arti baru untuk "Kimigayo" setelah perang; ini memungkinkan lagu itu berarti "orang Jepang". Kementerian juga tidak secara resmi meninggalkan arti "Kimigayo" sebelum perang.[6]
Pada tahun 1999, dalam pembahasan UU Bendera dan Lagu Kebangsaan, definisi resmi "Kimi" atau "Kimi-ga-yo" dipertanyakan berulang kali. Usulan pertama, yang diberikan oleh Sekretaris Kabinet Hiromu Nonaka, menyatakan bahwa kimi berarti "kaisar sebagai simbol Jepang", dan seluruh liriknya menginginkan perdamaian dan kemakmuran Jepang. Dia menyebut status baru kaisar sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 Konstitusi Jepang sebagai alasan utama usulan tersebut.[7] Selama sesi yang sama, Perdana Menteri Keiz Obuchi menegaskan arti ini dengan sebuah pernyataan pada tanggal 29 Juni 1999:
Kata "kimi" menunjukkan arti "Kaisar", yang merupakan simbol negara dan persatuan rakyat, dan yang posisinya berasal dari kehendak yang berbasis konsensus warga negara Jepang, dengan siapa yang memegang kekuasaan berdaulat. Dan, frasa "Kimigayo" menunjukkan negara kita, Jepang, yang memiliki Kaisar bertahta sebagai simbol negara dan persatuan rakyat dengan kehendak berbasis konsensus warga negara Jepang. Dan masuk akal untuk mengambil lirik "Kimigayo" berarti harapan untuk kemakmuran dan perdamaian abadi negara.[7][8]
Partai-partai yang menentang Partai Demokrat Liberal, yang memegang kendali pemerintahan pada saat Obuchi menjadi perdana menteri, sangat menentang pengertian pemerintah tentang "kimi" dan "Kimigayo". Para anggota dari Partai Demokrat Jepang keberatan, karena kurangnya ikatan sejarah dengan maknanya. Kritikus terkuat adalah Kazuo Shii, ketua Partai Komunis Jepang l, yang dengan tegas menyatakan bahwa "Jepang" tidak dapat diturunkan dari "Kimigayo", karena liriknya hanya menyebutkan harapan agar kaisar memiliki pemerintahan yang panjang. Shii juga keberatan dengan penggunaan lagu tersebut sebagai lagu kebangsaan karena bagi negara demokrasi, lagu tentang kaisar tidak pantas.[7]
Pandangan
Menurut survei yang diadakan oleh TV Asahi, mayoritas warga Jepang menganggap Kimigayo sangat penting, terlepas dari segala kontroversi yang pernah ada di masa lalu.[9] Namun, menurut survei yang diadakan oleh Mainichi Shimbun di tahun yang sama, mayoritas responden mengaku tidak setuju dengan disahkannya UU Bendera dan Lagu Kebangsaan. Mereka juga meminta agar Parlemen meninjau kembali UU tersebut.[10] Di dunia pendidikan, banyak anak-anak yang mengeluh karena setiap hari dipaksa untuk menyanyikan lagu tersebut, padahal mereka sendiri tidak pernah diajari tentang makna dan tujuan dari lagu tersebut.[11]
(Semoga) kekuasaan Yang Mulia
(Terus berlanjut hingga) seribu, delapan ribu generasi
Hingga batu kecil
(Berubah) menjadi batu besar
(Yang) diselimuti lumut
Semoga Kaisar
dan Negara Jepang
kekal abadi
selama-lamanya.
Kontroversi
Kimigayo dianggap sebagai lagu kebangsaan paling kontroversial di dunia.[13] Selain karena sejarahnya yang kelam, juga karena penerapannya di dunia pendidikan yang terasa dipaksakan.[14] Berikut daftar kasus kontroversial yang pernah terjadi:
Dinas Pendidikan Prefektur Tokyo mewajibkan semua sekolah negeri di Tokyo untuk mengibarkan Hinomaru dan menyanyikan Kimigayo setiap mengadakan acara sekolah. Kepala sekolah dan/atau guru yang menolak perintah tersebut terancam dipecat.[15]
Pada tahun 1999, beberapa guru bersitegang dengan Dinas Pendidikan Kota Hiroshima karena mereka menolak untuk menyanyikan Kimigayo. Puncaknya, salah satu wakil kepala sekolah memutuskan untuk bunuh diri.[13]
Pada tahun 2010, 32 orang guru menolak menyanyikan lagu Kimigayo, ditambah 9 orang guru di tahun 2011, dan 8 orang guru di tahun 2012. Wali kota Osaka saat itu, Hashimoto Toru berkomentar, "Akhirnya, para penista (lagu kebangsaan) yang selama ini berada di bawah tanah satu persatu mulai muncul ke permukaan." Para guru akhirnya dihukum.[16]
Lagu kebangsaan Jepang dianggap sebagai lagu kebangsaan paling kontroversial di dunia karena sejarah pascaperangnya. Dunia pendidikan sejak lama terjebak dalam pusaran kontroversi lagu kebangsaan dan bendera nasional. Mewajibkan sekolah-sekolah di bawah naungannya untuk mengumandangkan Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru setiap acara sekolah. Perintah tersebut mengharuskan guru sekolah untuk menghormati kedua simbol tersebut atau berisiko kehilangan pekerjaan bila tidak dilaksanakan. Pada tahun 1999, beberapa guru di Hiroshima menolak untuk menyanyikan lagu kebangsaan ketika Dinas Pendidikan Hiroshima mewajibkannya. Saat ketegangan muncul di antara mereka, seorang wakil kepala sekolah memilih bunuh diri. Kejadian serupa terjadi di Osaka pada tahun 2010, di mana 32 orang guru menolak untuk menyanyikan lagu tersebut dalam sebuah upacara. Pada tahun 2011, sembilan orang guru bergabung dengan aksi penolakan, bersama delapan guru lainnya pada tahun 2012.[17] Wali kota Osaka saat itu, , menyebut "syukurlah para oknum guru yang menistakan lagu kebangsaan satu persatu " Beberapa memprotes bahwa aturan tersebut melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi ManusiaPerserikatan Bangsa-Bangsa dan klausul "kebebasan berpikir, berkeyakinan dan hati nurani" dalam Konstitusi Jepang,[18] namun dinas pendidikan berdalih sekolah adalah lembaga negeri sehingga mereka memiliki kewajiban untuk mengajari siswanya bagaimana menjadi warga negara Jepang yang baik. Para guru gagal mengajukan tuntutan pidana terhadap Gubernur Tokyo Shintarō Ishihara dan para pejabat senior karena mewajibkan guru untuk menghormati Hinomaru dan Kimigayo.[19] Setelah melalui banyak perdebatan, Persatuan Guru Jepang akhirnya memilih menerima aturan tersebut. Sedangkan Persatuan Guru dan Staf Seluruh Jepang bersikukuh menolak aturan tersebut diimplementasikan dalam dunia pendidikan.[20]
Pada tahun 2006, Katsuhisa Fujita, seorang pensiunan guru di Tokyo, diancam dengan hukuman penjara dan denda 200.000 yen (sekitar 17 juta rupiah) setelah ia dituduh mengganggu upacara kelulusan di Sekolah Menengah Itabashi dengan mendesak para peserta untuk tetap duduk selama lagu kebangsaan dikumandangkan.[21] Pada saat Fujita dijatuhi hukuman, 345 guru telah dihukum karena menolak ambil bagian dalam acara yang berhubungan dengan lagu kebangsaan, meskipun Fujita adalah satu-satunya orang yang dihukum sehubungan dengan hal itu.[22] Pada tanggal 21 September 2006, Pengadilan Distrik Tokyo memerintahkan Pemerintah Metropolitan Tokyo untuk membayar kompensasi kepada para guru yang telah dijatuhi hukuman di bawah arahan Dewan Pendidikan Tokyo. Perdana MenteriJunichiro Koizumi berkomentar, "Merupakan hal yang sangat wajar untuk memperlakukan lagu kebangsaan secara khidmat". Pemerintah Metropolitan kemudian mengajukan banding atas keputusan tersebut.[23] Sejak 23 Oktober 2003 hingga 2008, 410 guru dan pekerja sekolah dihukum karena menolak berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan sesuai perintah kepala sekolah.[24] Guru juga bisa dihukum jika siswanya tidak berdiri saat Kimigayo dikumandangkan saat upacara sekolah.[18]
Pada tanggal 30 Mei 2011 dan 6 Juni 2011, dua panelis Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa kewajiban guru untuk berdiri di depan Hinomaru dan menyanyikan Kimigayo selama upacara sekolah sudah sesuai dengan amanat konstitusi. Dalam membuat keputusan, panel meratifikasi keputusan Pengadilan Tinggi Tokyo dalam memutuskan 13 guru yang mengajukan banding setelah didisiplinkan antara tahun 2003 dan 2005 karena menolak untuk berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan.[25]
Di luar dunia pendidikan, ada kontroversi mengenai Kimigayo segera setelah berlakunya undang-undang tahun 1999. Sebulan setelah undang-undang itu diberlakukan, rekaman yang berisi penampilan Kimigayo oleh musisi rock Jepang Kiyoshiro Imawano dihapus oleh Polydor Records dari albumnya Fuyu no Jujika. Polydor tidak ingin dituntut pasal penistaan terhadap negara oleh kelompok sayap kanan. Menanggapi hal tersebut, Imawano kembali merilis album tersebut melalui label independen dengan lagu yang sama.[26]
^Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia (Nelson) menulisnya Kimigayo, begitu pula dengan MOFA dan situs pemerintah Jepang. Alternatif penulisan menurut Kamus Jepang-Indonesia (Matsuura) adalah Kimi-ga-yo, di mana tanda - berarti boleh ada spasi. Alih aksara bahasa Jepang tidak mengatur kapitalisasi dan spasi.
^君が代の源流. Furuta's Historical Science Association (dalam bahasa Jepang). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2013. Diakses tanggal 10 Mei 2008."Inside "Kimigayo"". Furuta's Historical Science Association. Diakses tanggal 10 Mei 2008.
^"国旗・国歌法制化について" (dalam bahasa Jepang). TV Asahi. 18 Juli 1999. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-23. Diakses tanggal 2008-03-11.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |home= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Flag-anthem law no end to controversy" (dalam bahasa (dalam bahasa Inggris)). Japan Times. 1999-07-09. Diakses tanggal 21 Desember 2015.Parameter |home= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"National Flag and Anthem"(PDF). Web Japan. Japanese Ministry of Foreign Affairs. 2000. Diakses tanggal 2009-12-11.
^ abMarshall, Alex (2016). Republic or Death! Travels in Search of National Anthems. London: Windmill Books. hlm. 99–100. ISBN9780099592235. Semua lagu kebangsaan menimbulkan kontroversi di beberapa poin... Tapi tidak peduli seberapa panas kontroversi seperti itu, tidak ada yang menyamai Kimigayo. Ini adalah konflik yang telah terjadi di sekolah-sekolah Jepang selama lebih dari 70 tahun. Guru kehilangan pekerjaan karenanya. Mereka telah menerima ancaman pembunuhan karenanya. Para orang tua dibiarkan linglung olehnya, mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka. Dan ya, Toshihiro Ishikawa bunuh diri karenanya.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hebert, David G. (2011), "National Identity in the Japanese School Band", Wind Bands and Cultural Identity in Japanese Schools, Landscapes: the Arts, Aesthetics, and Education, 9, Springer, hlm. 239, doi:10.1007/978-94-007-2178-4_16, ISBN978-94-007-2178-4