Perang Candu Pertama
Perang Candu Pertama (Hanzi: 第 一次 鴉片戰爭; Pinyin: Dìyīcì Yāpiàn Zhànzhēng), Perang Opium Pertama atau Perang Inggris-Tiongkok Pertama adalah perang antara Perusahaan Hindia Timur Britania melawan Dinasti Qing di Tiongkok dari tahun 1839 hingga 1842 dengan tujuan memaksa Tiongkok mengimpor opium dari Britania Raya. Pejabat Tiongkok melarang keras perdagangan opium, dan mengancam hukuman mati bagi yang melanggar. Hal ini menyebabkan pemerintah Inggris merasa tersinggung karena pada saat itu sedang mendominasi perdagangan dan jauh lebih kuat secara militer. Britania Raya memenangkan perang ini dan memperoleh kekuasaan terhadap Hong Kong serta menjatuhkan hukuman denda kepada Tiongkok dan pihak Barat mendapatkan hak-hak istimewa dalam bertransaksi dengan Tiongkok. Permintaan barang-barang mewah asal Tiongkok (terutama sutra, porselen, dan teh) menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan antara Tiongkok dan Inggris. Perdagangan perak global dari abad 16 hingga 18 dari Eropa ke Tiongkok harus mematuhi Sistem Kanton, yang membatasi perdagangan luar negeri Tiongkok hanya boleh masuk melalui kota pelabuhan di selatan yaitu Kanton. Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, Perusahaan Hindia Timur Britania mulai menanam candu di Benggala (sekarang masuk wilayah Bangladesh), dan mengizinkan para pedagang swasta Inggris menyelundupkan opium ke Tiongkok secara ilegal. Masuknya narkoba ilegal ini membalikkan neraca perdagangan Tiongkok yang tadinya surplus menjadi defisit, perekonomian menjadi tergerus karena transaksi perak, dan meningkatkan jumlah pecandu opium di dalam negeri, situasi yang sangat mengkhawatirkan bagi para pejabat Tiongkok. Pada tahun 1839, Kaisar Daoguang, menolak proposal untuk melegalkan opium termasuk pajaknya, ia menunjuk Raja Muda Lin Zexu untuk pergi ke Kanton guna menghentikan perdagangan opium sepenuhnya.[7] Lin menulis surat terbuka kepada Ratu Victoria, menuntut pertanggungjawaban moralnya untuk menghentikan perdagangan opium.[8] Ketika tidak mendapatkan tanggapan dari Ratu, dia awalnya berusaha agar perusahaan asing bersedia menutup toko opium mereka dengan imbalan teh, tetapi usaha ini juga tidak berhasil. Kemudian Lin terpaksa menggunakan kekuatan di daerah-daerah perdagangan pihak Barat. Dia menyita semua persediaan opium yang ada dan memerintahkan untuk melakukan blokade terhadap kapal-kapal asing agar mereka menyerahkan pasokan opiumnya. Lin menyita 20.283 peti opium (sekitar 1,120 ton).[9] Pemerintah Inggris menanggapinya dengan mengirimkan pasukan militer, dengan menggunakan kekuatan Angkatan Laut Britania Raya dan meriamnya, mengakibatkan Kekaisaran Tiongkok menderita serangkaian kekalahan telak,[10] taktik ini kemudian dikenal dengan istilah Diplomasi Kapal Perang. Pada tahun 1842, dinasti Qing dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Nanking - ini merupakan perjanjian pertama dari beberapa perjanjian susulan lainnya yang disebut sebagai Perjanjian Tidak Adil oleh pihak Tiongkok - yang mengharuskan Tiongkok memberikan ganti rugi dan wilayah ekstrateritorial kepada Inggris, membuka lima pelabuhan perjanjian untuk pedagang asing, dan menyerahkan Pulau Hong Kong kepada Inggris. Kegagalan Tiongkok untuk mematuhi syarat-syarat dalam Perjanjian Tidak Adil itu, yang isinya pada dasarnya adalah untuk kepentingan pihak Inggris dari segi perdagangan dan hubungan diplomatik, menyebabkan meletusnya Perang Candu Kedua (1856-60). Dan karena dinasti Qing dianggap terlalu lemah untuk menghadapi pihak Barat, hal ini kemudian menyebabkan terjadinya Pemberontakan Taiping, di mana dinasti Qing berperang melawan Kerajaan Surgawi Taiping.[11] Di Tiongkok, perang ini dianggap sebagai permulaan sejarah Tiongkok modern.[6] Kronologi kejadian utamaSebelum perang candu
Perang Candu Pertama (1839-1842)
Perang Candu Kedua (1856-1860)
Setelah perang candu
Latar BelakangPembentukan hubungan dagangPerdagangan maritim langsung antara Eropa dan Tiongkok dimulai pada 1557 ketika Imperium Portugis menyewa sebuah pos terdepan dari dinasti Ming di Makau. Negara-negara Eropa lainnya segera mengikuti langkah Portugis ini, dengan bergabung ke dalam jaringan perdagangan maritim Asia untuk bersaing dalam perdagangan intra-regional dengan para pedagang dari Arab, Tionghoa perantauan, India, dan Jepang.[12] Setelah Imperium Spanyol berhasil menaklukan Filipina, arus perdagangan dan barang dari Tiongkok ke Eropa dan sebaliknya meningkat secara dramatis. Sejak 1565 dan seterusnya, Galiung Manila membawa perak ke jaringan perdagangan Asia dari tambang perak yang ada di Peru, Amerika Selatan.[13] Tiongkok adalah tujuan utama untuk logam mulia, karena pemerintah kekaisaran mengamanatkan bahwa pembayaran barang-barang ekspor Tiongkok harus dalam bentuk perak atau emas.[14][15] Kapal-kapal Inggris mulai muncul secara sporadis di sekitar pantai Tiongkok sejak 1635 hingga seterusnya.[16] Karena tidak memiliki hubungan dengan jaringan Sistem anak sungai Tiongkok [b], di mana sebagian besar negara Asia bernegosiasi dengan Tiongkok melalui jaringan ini, maka para pedagang Inggris hanya diizinkan berdagang di pelabuhan Zhoushan, Xiamen, dan Guangzhou. Perdagangan resmi Inggris dilakukan melalui Perusahaan Hindia Timur Britania atau yang memegang Piagam kerajaan[c] untuk transaksi perdagangan di Timur Jauh. Kapal-kapal dagang milik Perusahaan Hindia Timur Britania ini datang secara bertahap dari pangkalannya di India yang akhirnya malah mendominasi perdagangan Tiongkok-Eropa dengan dukungan dari kekuatan armada Angkatan Laut Britania Raya.[17] Sektor perdagangan diuntungkan setelah dinasti Qing melonggarkan pembatasan perdagangan maritim pada tahun 1680-an. Taiwan pada tahun 1683 berada di bawah kendali dinasti Qing dan retorika mengenai "sistem anak sungai Tiongkok" untuk orang Eropa berhasil diredam.[18] Guangzhou (atau yang dikenal sebagai Kanton bagi orang Eropa pada saat itu) menjadi pelabuhan masuk utama untuk perdagangan luar negeri. Kapal-kapal dari perusahaan perdagangan sudah mencoba banyak pelabuhan lain, tetapi lokasi Kanton yang secara geografis berada di mulut Sungai Mutiara memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lainnya, selain itu kota ini juga sudah lama menjadi tempat transaksi perdagangan Tiongkok dengan para pedagang mancanegara.[19] Tahun 1700 dan selanjutnya Kanton adalah pusat perdagangan maritim Tiongkok, dan proses pasar ini secara bertahap dirumuskan oleh otoritas Qing ke dalam undang-undang yang dinamakan "Sistem Kanton".[19] Sejak awal Sistem Kanton ini diberlakukan pada tahun 1757, perdagangan di Tiongkok sudah sangat menguntungkan baik bagi para pedagang Eropa maupun Tiongkok sendiri karena barang-barang seperti teh, porselen, dan sutra dihargai sangat tinggi di Eropa sesuai dengan biaya dan lama perjalanan yang ditempuh pada saat itu. Sistem ini diatur dengan ketat oleh pemerintah Qing. Pedagang asing hanya diizinkan untuk melakukan bisnis melalui para Cohong dan dilarang belajar bahasa Mandarin. Orang asing hanya bisa tinggal di salah satu dari Tiga Belas Pabrik di Kanton dan tidak diizinkan masuk atau berdagang di daerah lain mana pun di Tiongkok. Hanya dapat berhubungan dengan para pejabat pemerintah tingkat rendah, dan pengadilan kekaisaran tidak dapat dilobi dengan alasan apa pun kecuali oleh pejabat diplomatik resmi.[20] Undang-undang Kekaisaran yang menegakkan Sistem Kanton ini secara kolektif dikenal sebagai Undang-Undang Pencegahan Barbar (防範外夷規條).[21] Posisi Cohong sangat kuat dalam perdagangan Tiongkok saat itu, karena mereka ditugasi untuk menilai produk asing, membeli atau menolak barang-barang impor, dan menjual ekspor Tiongkok dengan harga yang pantas.[22] Cohong biasanya terdiri dari 6 hingga 20 keluarga pedagang (tergantung ketentuan dari politik di Kanton). Sebagian besar rumah keluarga pedagang ini dipimpin oleh seorang "mandarin",[d] tetapi ada juga yang dari orang Kanton atau Han biasa.[23] Fungsi utama lainnya dari Cukong adalah membuat perjanjian tradisional yang ditandatangani antara anggota Cohong dan pedagang asing. Perjanjian ini menyatakan bahwa anggota Cohong bertanggung jawab atas perbuatan dan muatan pedagang asing yang bertransaksi dengannya selama di Tiongkok.[24] Selain berurusan dengan Cohong, para pedagang Eropa diharuskan membayar bea cukai, tugas pengukuran, memberikan hadiah, dan menyewa navigator.[24] Meskipun ada pembatasan, namun sutra dan porselen semakin populer di Eropa. Apalagi dengan banyaknya permintaan teh Tiongkok yang seakan tidak ada habisnya dari Inggris, menyebabkan transaksi perdagangan terus berlanjut. Sejak pertengahan abad ke-17 dan seterusnya Tiongkok telah mendapatkan penghasilan sekitar 28 juta kilogram perak, terutama dari negara-negara kekuatan Eropa, sebagai hasil dari penjualan produk-produk Tiongkok.[25] Defisit perdagangan EropaTransaksi perdagangan antara Tiongkok dengan negara-negara kekuatan Barat berlangsung selama lebih dari seabad. Perdagangan ini sangat disukai orang-orang oleh Tiongkok, tetapi bagi negara-negara Eropa justru mengalami defisit perdagangan yang besar karena permintaan masyarakat Eropa akan barang-barang dari Tiongkok terus meningkat. Namun karena penjajahan dan penaklukan Benua Amerika, negara-negara Eropa (yaitu Spanyol, Inggris, dan Prancis) mendapatkan pasokan perak dari tambang-tambang perak yang murah, sehingga ekonomi Eropa tetap relatif stabil walaupun mengalami defisit dalam perdagangan dengan Tiongkok. Perak ini dikirim melintasi Samudra Pasifik, terutama melalui Filipina yang dikuasai Spanyol. Berbeda sekali dengan situasi di Eropa, dinasti Qing di Tiongkok berhasil mempertahankan surplus perdagangan. Perak asing membanjiri Tiongkok dengan imbalan barang-barang Tiongkok, memperluas ekonomi Tiongkok sekaligus juga menyebabkan inflasi dan Tiongkok mulai tergantung kepada perak Eropa.[26] Ekspansi ekonomi Eropa yang berkelanjutan pada abad 17 dan 18 secara bertahap meningkatkan kebutuhan Eropa akan perak, yang digunakan untuk mencetak koin baru. Meningkatnya kebutuhan mata uang keras ini mengurangi persediaan perak untuk pembayaran perdagangan dengan Tiongkok. Beberapa kebijakan diambil misalnya menaikkan biaya yang menyebabkan persaingan antara para pedagang domestik di benua Eropa dengan para pedagang Eropa di luar negeri yang berdagang dengan Tiongkok.[27] Keadaan pasar ini mengakibatkan defisit perdagangan kronis bagi pemerintahan di Eropa, yang terpaksa mengambil risiko kekurangan perak di dalam negeri mereka sendiri demi untuk memasok kebutuhan para pedagang mereka di Asia Timur (yang sebagai perusahaan swasta masih menghasilkan keuntungan dengan menjual barang-barang Tiongkok yang berharga kepada konsumen di Eropa).[21][28] Kondisi ini semakin diperburuk oleh serangkaian perang kolonial skala besar antara Inggris dan Spanyol pada pertengahan abad ke-18, konflik dan perang ini sangat mengganggu pasar perak internasional dan akhirnya muncul negara-negara kuat yang baru memerdekakan diri seperti Amerika Serikat dan Meksiko.[22][29] Tanpa pasokan perak murah yang biasa mereka dapatkan dari koloni-koloni untuk menopang perdagangan mereka, para pedagang Eropa yang berdagang dengan Tiongkok mulai mengambil perak secara langsung dari perak-perak yang beredar di perekonomian Eropa yang sudah lemah untuk membayar barang-barang perdagangan mereka di Tiongkok.[23] Akibatnya kondisi perekonomian Eropa makin menyusut dan hal ini membuat pemerintah di Eropa gusar, mereka semakin marah ketika Tiongkok mulai membatasi transaksi perdagangan dengan pihak Eropa.[28][30] Perekonomian Tiongkok sendiri tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga perak, karena Tiongkok mampu mengimpor perak dari Tambang Perak Iwami Ginzan di Jepang untuk menstabilkan jumlah uang perak yang beredar di dalam negeri Tiongkok.[14] Permintaan barang-barang Eropa sangat rendah di Tiongkok, dan keadaan seperti ini terus berlanjut.[29] Terlepas dari ketegangan ini, perdagangan antara Tiongkok dan Eropa tumbuh sekitar 4% setiap tahun menjelang dimulainya perdagangan opium.[23][31] Perdagangan opiumOpium atau candu sebagai bahan obat sudah ada dalam teks-teks Tiongkok sejak zaman Dinasti Tang, tetapi penggunaannya sebagai rekreasi masih sangat terbatas informasinya. Seperti halnya di India, opium (dalam bentuk bubuk kering, sering diminum dengan teh atau air) diperkenalkan ke Tiongkok dan Asia Tenggara oleh para pedagang Arab.[32] Dinasti Ming melarang tembakau karena dianggap sebagai barang perusak moral pada tahun 1640, dan opium dipandang sebagai masalah kecil yang serupa. Pembatasan opium disahkan pertama kali oleh dinasti Qing pada 1729 ketika madak [e] dilarang.[7] Pada saat itu, produksi madak menggunakan sebagian besar opium yang diimpor ke Tiongkok, karena opium murni sulit untuk diawetkan. Konsumsi opium orang Jawa meningkat pada abad ke-18, dan setelah Perang Napoleon, pedagang dari Inggris menjadi pedagang utama opium di Pulau Jawa.[33] Inggris menyadari bahwa mereka dapat mengurangi defisit perdagangan mereka dengan cara melakukan Countertrade [f] perdagangan opium dengan pabrik-pabrik di Tiongkok, dan dengan demikian menghasilkan lebih banyak lagi opium di koloni Kemaharajaan Britania. Tahun 1781 Inggris membatasi penjualan opium di India, Perusahaan Hindia Timur Britania memperketat pengawasannya terhadap India, padahal ekspor ke Tiongkok sedang meningkat.[15][30] Opium Inggris diproduksi di Benggala dan pinggiran Sungai Gangga. Daripada mengembangkan sendiri industri opium di India, Inggris berhasil mewarisi industri opium yang sudah ada dari Kekaisaran Mughal yang saat itu sedang merosot, yang selama berabad-abad mendapatkan keuntungan dengan menjual opium mentah di dalam lingkungan kekaisaran sendiri. Namun, tidak seperti Mughal, Inggris melihat opium sebagai barang ekspor yang sangat bernilai.[34] Perusahaan Hindia Timur Britania sendiri tidak memproduksi atau mengirim opium, tetapi menetapkan hukum hortikultura yang mengizinkan pembudidayaan opium dan memfasilitasi pengangkutan narkoba ke pelabuhan yang dikendalikan oleh perusahaan.[35] Di Kalkuta, Dewan Bea Cukai, Garam, dan Opium Perusahaan Hindia Timur Britania sangat fokus pada pengendalian mutu dengan mengatur bagaimana opium itu dikemas dan dikirim. Tidak ada bunga popi yang bisa diolah tanpa izin dari perusahaan, dan bisnis swasta untuk memurnikan opium juga dilarang oleh perusahaan. Semua opium di India dijual kepada perusahaan ini dengan harga tetap, dan perusahaan menyelenggarakan serangkaian lelang opium publik setiap tahun dari November hingga Maret. Perusahaan memperoleh untung dari selisih harga yang ditetapkan oleh perusahaan untuk opium mentah dengan harga jual opium yang disuling pada saat lelang kemudian dikurangi oleh biaya operasional.[22] Selain mengamankan bunga popi yang dibudidayakan di bawah kendali langsungnya, Dewan Direksi Perusahaan Hindia Timur Britania juga mengeluarkan izin khusus untuk negara-wilayah kerajaan independen dari Malwa, di mana sejumlah besar bunga popi ditanam di sana.[35] Pada akhir abad ke-18, Perusahaan Hindia Timur Britania dan lahan pertanian Malwa (yang secara tradisional ditanamin kapas) sangat terpukul oleh kehadiran kain katun yang baru diperkenalkan dan diproduksi oleh pabrik dengan menggunakan kapas yang ditanam di Mesir atau Amerika Selatan. Oleh karena itu, opium dianggap sebagai pengganti yang sangat menguntungkan, dan sering dilelang dalam jumlah yang lebih besar lagi di Kalkuta.[22] Pedagang swasta yang memiliki piagam kerajaan Inggris (berhak untuk melakukan perdagangan di kawasan Asia) bisa menawar dan memperoleh barang yang di lelang di Kalkuta sebelum berlayar ke Tiongkok selatan. Kapal-kapal Inggris membawa muatan mereka ke pulau-pulau di lepas pantai Tiongkok, terutama ke Pulau Lintin, di mana para pedagang Tiongkok dengan kapal kecil namun cepat dan bersenjata lengkap membawa opium tersebut ke Tiongkok daratan untuk didistribusikan, pemmbayaran opium dilakukan dengan menggunakan perak.[22] Pemerintahan Qing pada awalnya menoleransi impor opium karena mendapat penghasilan dari pajak yang dikenakan terhadap opium. Dengan meningkatnya pasokan perak melalui penjualan opium, mendorong orang Eropa untuk membeli lebih banyak lagi barang-barang produksi Tiongkok. Para pedagang Inggris yang ada di Tiongkok juga meningkatkan ekspor teh dari Tiongkok ke Inggris, memberikan keuntungan besar kepada sistem monopoli Qing atas transaksi ekspor teh yang dipegang oleh perbendaharaan kekaisaran dan agen-agennya di Kanton.[35][36] Penggunaan opium ternyata terus meningkat di Tiongkok, yang berdampak buruk terhadap stabilitas masyarakat. Berawal dari Kanton, kebiasaan menghisap candu ini menyebar ke utara dan barat Tiongkok, mempengaruhi semua lapisan masyarakat Tiongkok.[37] Pada awal abad ke-19 para pedagang Amerika mulai bergabung dan memperkenalkan opium dari Turki ke pasar Tiongkok, opium ini kualitasnya lebih rendah tetapi harganya juga lebih murah, dan terjadilah perang harga antara pedagang Inggris dengan Amerika yang saling berlomba menurunkan harga opium, alhasil terjadi banjir opium di Tiongkok.[29] Para pedagang lokal Tiongkok bisa menjual opium sampai ke pelosok-pelosok daerah di seluruh penjuru Tiongkok, suatu hal yang tidak bisa dilakoni oleh para pedagang asing saat itu. Kebutuhan akan opium yang seakan tak pernah terpuaskan itu menarik lebih banyak lagi pedagang Eropa yang sangat tertarik dengan pangsa pasar Tiongkok yang menggiurkan tersebut. Mengutip kata-kata dari agen opium di Tiongkok: "Opium itu seperti emas. Saya bisa menjualnya kapan saja dengan mudah dan cepat."[38] Dari 1804 hingga 1820, merupakan periode di mana perbendaharaan Qing memerlukan biaya besar untuk menumpas pemberontakan seperti Pemberontakan Seroja Putih dan konflik lainnya, aliran uang secara bertahap menjadi terbalik, dan para pedagang Tiongkok lebih banyak mengeluarkan perak untuk membayar opium daripada arus masuk perak dari Eropa yang membayar barang-barang Tiongkok.[39] Kapal-kapal Eropa dan Amerika tiba di Kanton dengan muatan penuh berisi opium, menjual barang-barang mereka, kemudian membeli produk Tiongkok, dan menghasilkan keuntungan dalam bentuk perak batangan,[14] Sementara itu, opium tetap merupakan barang primadona yang paling menguntungkan untuk diperdagangkan di Tiongkok, pedagang asing mulai mengekspor kargo lain, seperti kain katun pintal mesin, rotan, ginseng, bulu, jam, dan alat baja. Namun, barang-barang ini tidak pernah selaris sang primadona: opium, dan hasilnya juga tidak terlalu menguntungkan.[40][41] Majelis kekaisaran Qing berdiskusi dan berdebat tentang bagaimana caranya mengakhiri perdagangan opium, tetapi upaya mereka dipersulit oleh pejabat setempat dan Cohong yang sudah terbiasa mendapat banyak keuntungan dari perdagangan narkoba jenis candu itu.[37] Usaha dari para pejabat Qing untuk mengekang impor opium melalui peraturan tentang pembatasan konsumsi candu malah mengakibatkan meningkatnya penyelundupan opium oleh para pedagang Eropa dan Tiongkok, bahkan korupsi dan suap-menyuap merajalela di mana-mana.[42][43] Mengubah kebijakan perdaganganRevolusi Industri 1750-1850 dan perumusan ekonomi klasik oleh Adam Smith yang diamini oleh parlemen Inggris, membuat Inggris mulai menggunakan kekuatan angkatan lautnya yang perkasa untuk menyebarkan sistem ekonomi liberal secara luas, mencakup pasar terbuka sesuai dengan teori ekonomi Adam Smith. Perdagangan sistem ini dimaksudkan untuk membuka pasar asing ke sumber daya koloni Inggris, serta memberi publik Inggris akses yang lebih besar ke jenis barang konsumsi misalnya teh.[44][45] Berbeda dengan ekonomi model baru ini, dinasti Qing tetap menggunakan sistem ala Konfusianisme-Modernisme, suatu filosofi ekonomi yang sangat terorganisir di mana pemerintah mengintervensi dunia industri demi menjaga stabilitas sosial.[22] Pemerintah Qing tidak secara eksplisit anti-perdagangan, namun karena kurangnya kebutuhan impor dan pajak yang semakin berat pada barang mewah membuat pemerintah tidak punya alasan untuk membuka pelabuhan baru bagi perdagangan internasional.[46] Sistem hirarki pedagang Tiongkok yang kaku juga menghalangi upaya untuk membuka pelabuhan baru bagi kapal dan bisnis asing.[47] Sementara para pedagang Tiongkok yang beroperasi di daerah pedalaman Tiongkok berusaha menghindari fluktuasi pasar yang disebabkan oleh sistem ekonomi liberal yang akan dilakukan oleh Inggris di mana nantinya barang asing impor akan bersaing dengan produk dalam negeri Tiongkok, keluarga Cohong di Kanton malah mendapat untung besar dengan mempertahankan kota mereka menjadi satu-satunya pintu masuk bagi produk asing.[46][47][48][49] Pada pergantian abad ke-19 negara-negara seperti Inggris, Belanda, Denmark, Rusia, dan Amerika Serikat mulai mencari hak dagang tambahan di Tiongkok.[50] Upaya oleh kedutaan Inggris dipimpin oleh duta besarnya Macartney, dikenal sebagai misi Macartney pada 1793, sebuah misi Belanda juga dilakukan oleh Jacob Pieter van Braam pada 1794, kemudian Rusia dipimpin oleh Yury Golovkin pada tahun 1805, mereka berusaha untuk menegosiasikan meningkatkan akses yang lebih besar ke pasar Tiongkok, tapi semuanya diveto oleh Kaisar Jiaqing.[28] Inggris yang masih penasaran kemudian mengirim utusannya lagi yaitu Earl William Amherst I pada tahun 1816, tapi lagi-lagi ditolak oleh kaisar. Setelah pertemuannya dengan Kaisar Jiaqing, Amherst yang sangat kecewa dengan penolakan kaisar tersebut, ia lalu ganti menolak untuk melakukan tradisi kekaisaran kowtow, tindakannya ini dipandang Qing sebagai pelanggaran etiket yang parah dan bersikap menentang kaisar. Amherst dan rombongannya diusir dari Tiongkok, sebuah teguran diplomatik yang malah membuat marah pemerintah Inggris.[51] Pedagang asing di KantonKarena perdagangan dengan Tiongkok terus meningkat dengan pesat, kehadiran orang-orang asing di Kanton dan Makau juga makin meningkat. Distrik Tiga Belas Pabrik Kanton terus berkembang, dan diberi julukan "markas orang asing".[22] Sejumlah kecil pedagang mulai tinggal di Kanton sepanjang tahun (sebagian besar pedagang tinggal di Makau selama musim panas, kemudian pindah ke Kanton di musim dingin).[52] Yang paling menonjol adalah William Jardine dan James Matheson (yang kemudian mendirikan Perusahaan Jardine Matheson, mereka adalah pedagang Inggris yang mengoperasikan bisnis pengiriman dari dan ke Kanton serta Makau. Selain berbisnis barang legal, keduanya juga mendapat untung besar dari penjualan opium. Jardine khususnya yang aktif dalam lingkungan politik Kanton sehingga memungkinkan lebih banyak narkoba yang diselundupkan ke Tiongkok.[35] Dia juga sering melecehkan sistem hukum Tiongkok, dengan menggunakan pengaruh ekonominya untuk merusak pihak otoritas Tiongkok.[35] Seperti ketika mengajukan permohonan bagi pemerintah Inggris (dengan dukungan Matheson) agar mendapatkan hak dagang dan pengakuan politik dari Kekaisaran Tiongkok, ia akan menggunakan kekerasan jika memang diperlukan. Selain berdagang, beberapa misionaris barat juga mulai berdatangan dan mulai menyebarkan agama Kristen kepada orang Tiongkok. Beberapa pejabat tidak mempermasalahkan hal ini (aliran Jesuit yang berbasis di Makau malah telah aktif di Tiongkok sejak awal abad ke-17), tetapi ada juga beberapa pejabat yang bentrok dengan umat Kristen Tiongkok, meningkatkan ketegangan antara pedagang barat dan pejabat Qing.[49][53] Sementara komunitas asing di Kanton mulai bertumbuh dan berpengaruh, pemerintah setempat justru mulai menderita karena banyak terjadi perselisihan dan pemberontakan di Tiongkok. Pemberontakan Seroja Putih (1796-1804) menguras harta perak dinasti Qing, sehingga pemerintah terpaksa menaikkan pajak yang tinggi kepada para pedagang. Pajak ini tidak kembali turun setelah pemberontakan berhasil dihancurkan, karena pemerintah Tiongkok mulai membangun proyek-proyek besar untuk memperbaiki properti milik negara misalnya di Sungai Kuning, yang disebut sebagai Konservasi Sungai Kuning.[54] Pajak-pajak ini sangat membebani para pedagang dan Cohong. Pada tahun 1830-an, Cohong yang dulunya makmur sekarang kekayaan mereka tinggal separuhnya. Mereka selanjutnya malah diminta untuk berkontribusi membantu pemerintah memerangi para bandit. Selain itu, penurunan nilai mata uang domestik Tiongkok mengakibatkan banyak orang di Kanton menggunakan koin perak asing. Koin perak Spanyol yang paling dihargai karena mengandung kadar perak yang lebih tinggi, diikuti oleh koin perak Amerika.[55] Menjelang penumpasan opium oleh pemerintah Qing, seorang pejabat Tiongkok menggambarkan perubahan dalam masyarakat yang disebabkan oleh candu itu:
Meningkatnya keteganganKekaisaran Tiongkok telah berkali-kali mengeluarkan dekret untuk menghentikan perdagangan candu ini, ringkasannya adalah sebagai berikut:
Tampaknya tidak ada yang bisa menghentikan perdagangan opium yang sangat menguntungkan ini. Pada tahun 1813, sebuah kotak opium dari India dijual seharga 2.400 Rupee, sementara modalnya hanya 240 Rupee. Pada 1835 tercatat minimal ada 2 juta orang penghisap rokok opium di Tiongkok. Pada 1838, Inggris menjual sekitar 1.400 ton opium per tahun ke Tiongkok. Tahun 1838 pemerintah mulai aktif menghukum mati para penyelundup narkoba ke Tiongkok.[57] Untuk menghindari peraturan yang semakin ketat di Kanton, pedagang asing membeli kapal tua dan mengubahnya menjadi gudang apung. Kapal-kapal yang telah dimodifikasi ini berlabuh di lepas pantai Tiongkok di muara Sungai Mutiara, untuk berjaga-jaga jika pihak berwenang Tiongkok mengadakan razia perdagangan opium, karena kapal-kapal angkatan laut Tiongkok kesulitan beroperasi di perairan terbuka.[37] Kapal opium yang masuk akan menurunkan sebagian muatannya ke gudang apung ini, yang kemudian dibeli oleh para pedagang opium Tiongkok.[35][58] Penindakan tegas terhadap opiumPada tahun 1839, Kaisar Daoguang mengangkat pejabat-cendekiawan Lin Zexu menjadi Komisaris Kekaisaran dengan tugas menghentikan perdagangan opium.[59] Lin menulis surat terbuka kepada Ratu Victoria yang isinya mempertanyakan alasan moral pemerintah Inggris. Lin mengatakan bagaimana Inggris dapat menyatakan dirinya bermoral, sementara para pedagangnya mendapat keuntungan dari penjualan narkoba secara legal di Tiongkok, padahal di Inggris sendiri penjualan narkoba dilarang. Dia menulis: "Yang Mulia belum pernah secara resmi diberitahukan, dan Anda mungkin tidak tahu tentang beratnya hukum di negara kami, tetapi sekarang saya pastikan bahwa Tiongkok akan benar-benar melarang narkoba berbahaya ini untuk selamanya."[60] Surat itu tidak pernah sampai ke Ratu, kabarnya surat itu hilang dalam perjalanan.[61] Lin berjanji bahwa tidak ada yang akan bisa menghentikannya dari misinya, "Jika lalu lintas opium ini tidak berhenti dalam beberapa dekade dari sekarang kita tidak hanya akan menjadi tanpa tentara untuk melawan musuh, tetapi juga membutuhkan perak untuk membentuk pasukan."[62] Lin melarang penjualan opium dan menuntut agar semua pasokan candu itu diserahkan kepada pihak berwenang Tiongkok. Dia juga menutup Sungai Mutiara, menjebak para pedagang Inggris di Kanton.[29] Selain merebut stok opium di gudang-gudang dan dari Tiga Belas Pabrik, pasukan Tiongkok juga menaiki kapal-kapal Inggris di Sungai Mutiara dan Laut China Selatan sebelum menghancurkan dan membakar opium yang ada di atas kapal-kapal itu.[63][64] Pengawas Perdagangan Inggris di Tiongkok, Inspektur Charles Elliot, memprotes keputusan Tiongkok yang secara paksa mengambil persediaan opium. Dia memerintahkan semua kapal yang membawa opium untuk melarikan diri dan bersiap untuk melakukan pertempuran. Lin menanggapinya dengan mengepung para pedagang asing di kawasan asing Kanton, dan mencegah mereka berkomunikasi dengan kapal-kapal mereka yang ada di pelabuhan.[62] Untuk meredakan situasi, Elliot meyakinkan para pedagang Inggris untuk bekerja sama dengan pemerintah Tiongkok dan menyerahkan persediaan opium mereka dan menjanjikan bahwa kerugian mereka akan diganti oleh pemerintah Inggris.[29] Hal ini merupakan pengakuan tersirat bahwa pemerintah Inggris tidak menyetujui perdagangan opium, dan kejadian tersebut akan menguras kas bendahara kerajaan Inggris. Janji ini, dan ketidakmampuan pemerintah Inggris untuk membayar kerugian para pedagangnya tanpa menyebabkan badai politik, adalah suatu casus belli penting untuk serangan Inggris berikutnya.[65] Selama bulan April dan Mei 1839, pedagang Inggris dan Amerika menyerahkan 20.283 peti dan 200 karung opium. Timbunan itu dihancurkan di depan umum di pinggir pantai di luar Kanton.[62] Setelah opium tersebut dihancurkan, perdagangan dimulai kembali dengan syarat ketat agar opium tidak dikirim lagi ke Tiongkok. Guna bekerja secara efektif mengawasi perdagangan luar negeri dan memberantas korupsi, Lin dan para penasihatnya memutuskan untuk mereformasi sistem jaringan kerja yang sudah ada. Dengan sistem baru ini, seorang kapten asing dan pedagang atau Cohong yang telah membeli barang-barang dari kapalnya harus bersumpah bahwa kapal itu tidak membawa barang-barang ilegal. Setelah memeriksa catatan pelabuhan, Lin geram ketika mendapati bahwa dalam 20 tahun sejak opium dinyatakan ilegal, tidak ada satu pun pelanggaran yang dilaporkan.[66] Sebagai konsekuensinya, Lin menuntut agar semua pedagang asing dan pejabat Qing menandatangani perjanjian baru yang isinya tidak akan berurusan dengan opium dan akan dihukuman mati jika kedapatan melanggar perjanjian.[67] Pemerintah Inggris menentang penandatanganan perjanjian itu karena melanggar prinsip perdagangan bebas, tetapi beberapa pedagang yang tidak berdagang opium seperti Olyphant & Co. bersedia menandatangani dan menentang perintah Elliot. Perdagangan barang-barang reguler terus berlanjut, dan kelangkaan opium yang disebabkan oleh perebutan gudang-gudang asing menyebabkan pasar gelap berkembang.[68] Keributan kecil di KowloonPada awal Juli 1839 sekelompok pelaut Inggris di Kowloon mabuk setelah mengonsumsi arak dari beras. Dua pelaut menjadi tempramen dan memukuli Lin Weixi, seorang penduduk desa dekat Tsim Sha Tsui.[69][70] Inspektur Elliot memerintahkan penangkapan kedua pria itu, dan membayar kompensasi kepada keluarga Lin. Namun ia menolak permintaan untuk menyerahkan para pelaut ke pihak berwenang Tiongkok, karena khawatir mereka akan dibunuh sesuai dengan hukum Tiongkok.[71] Komisaris Lin melihat hal ini sebagai penghalang keadilan, dan memerintahkan para pelaut untuk diserahkan.[72] Sebaliknya, Elliot malah mengadakan persidangan terhadap para pelaut tersebut di atas kapal perang, dengan dirinya sendiri yang bertindak sebagai hakim dan kapten pedagang yang bertindak sebagai juri. Dia mengundang otoritas Qing untuk mengamati dan mengomentari persidangan, tetapi tawaran itu ditolak.[73] Pengadilan angkatan laut menghukum 5 pelaut karena penyerangan dan kerusuhan, dan menghukum mereka dengan denda ditambah dengan kerja keras di Inggris (vonis ini nantinya akan dibatalkan di pengadilan Inggris).[73][74] Marah oleh pelanggaran kedaulatan Tiongkok, Komisaris Lin Zexu menarik kembali pekerja Tiongkok dari Makau dan mengeluarkan dekret yang mencegah penjualan makanan ke Inggris.[73] Kapal-kapal perang jung Tiongkok dikerahkan ke mulut Sungai Mutiara, dan untuk menakut-nakuti Inggris, pihak Qing sengaja menyebarkan isu bahwa mereka telah meracuni mata air tawar yang secara tradisional digunakan untuk mengisi persedian air di kapal-kapal dagang asing. [75] Pada tanggal 23 Agustus, sebuah kapal milik pedagang opium terkemuka diserang oleh perompak Laskar saat melakukan perjalanan ke hilir dari Kanton ke Makau. Isu menyebar di antara orang Inggris bahwa tentara Tiongkok yang telah menyerang kapal, dan Elliot memerintahkan semua kapal Inggris untuk meninggalkan pantai Tiongkok pada 24 Agustus.[76] Pada hari yang sama, Makau melarang kapal-kapal Inggris bersandar pelabuhannya atas permintaan Komisioner Lin. Ketika Lin melakukan perjalanan secara pribadi ke kota, dia disambut oleh beberapa penduduk sebagai pahlawan yang telah memulihkan hukum dan ketertiban.[77] Pada akhir Agustus, ada rombongan dari Makau yang melihat sekitar 60 kapal Inggris dan lebih dari 2.000 orang berhenti di pantai Tiongkok karena kehabisan persediaan makanan dan minuman. Pada 30 Agustus kapal HMS Volage tiba untuk memperkuat armada Inggris dari kemungkinan serangan Tiongkok, dan Elliot memperingatkan pihak berwenang Qing di Kowloon bahwa embargo makanan dan air harus segera diakhiri.[78][79] Pada awal 4 September, Elliot mengirimkan sekunar (kapal layar bertiang dua) dan perahu cutter keduanya dilengkapi dengan senjata, menuju Kowloon untuk membeli perbekalan dari para petani Tiongkok. Kedua kapal itu mendekati tiga kapal perang jung Tiongkok di pelabuhan dan meminta izin untuk mendaratkan orang-orang guna membeli pasokan makanan. Izin dan kebutuhan dasar diberikan kepada Inggris oleh para pelaut Tiongkok, tetapi komandan Tiongkok di dalam benteng Kowloon menolak mengizinkan penduduk setempat untuk menjual bahan makanan kepada Inggris dan mengurung warga kota di dalam pemukiman. Situasinya semakin sulit ketika hari terus berjalan, dan pada sore hari Elliot mengeluarkan ultimatum bahwa jika Tiongkok menolak untuk mengizinkan Inggris membeli persediaan bahan makanan dari penduduk setempat, mereka akan ditembaki. Batas waktu jam 3:00 sore yang ditetapkan oleh Elliot berlalu dan kapal-kapal Inggris mulai menembaki kapal-kapal Tiongkok. Kapal-kapal jung Tiongkok segera membalas tembakan, dan para penembak Tiongkok di darat juga mulai menembaki kapal-kapal Inggris. Malam tiba, mengakhiri pertempuran, dan kapal-kapal jung Tiongkok mundur, mengakhiri apa yang dikenal sebagai Pertempuran Kowloon. Banyak perwira Inggris ingin melancarkan serangan darat ke benteng Kowloon pada hari berikutnya, tetapi Elliot memutuskan untuk tidak melakukannya, dengan mengatakan bahwa tindakan seperti itu akan menyebabkan "cedera besar dan iritasi" bagi penduduk kota.[80] Setelah pertempuran kecil, Elliot mengedarkan kertas di Kowloon, isinya:
Setelah berhasil mengusir kapal-kapal Tiongkok, armada Inggris mulai membeli perbekalan dari penduduk desa setempat, sering kali dengan bantuan pejabat Tiongkok yang disuap di Kowloon.[82] Lai Enjue, komandan lokal di Kowloon, menyatakan bahwa telah menang melawan Inggris.[82] Dia mengklaim bahwa dua kapal perang Inggris telah ditenggelamkan dan 40-50 orang Inggris telah terbunuh.[77] Dia juga melaporkan bahwa Inggris tidak dapat memperoleh pasokan, dan laporan lainnya yang intinya sangat mengecilkan kekuatan Angkatan Laut Britania Raya.[83][84] Pertempuran Chuenpee PertamaPada akhir Oktober 1839 kapal dagang "Thomas Coutts" yang dimiliki oleh Kaum Quaker tiba di Kanton. Mereka menolak berdagang opium dengan alasan agama, sebuah fakta yang baru disadari oleh otoritas Tiongkok. Kapten kapal, Warner, yakin Elliot telah melampaui otoritas hukumnya dengan melarang penandatanganan perjanjian "perdagangan tanpa candu"[85] dan bernegosiasi dengan gubernur Kanton. Warner berharap bahwa semua kapal Inggris yang tidak membawa opium dapat membongkar barang-barang mereka secara legal di Chuenpee (atau Chuenpi) , sebuah pulau dekat kota Humen.[86] Untuk mencegah kapal-kapal Inggris lain meniru kapal Thomas Coutts, Elliot memerintahkan blokade kapal-kapal Inggris di Sungai Mutiara. Pertempuran dimulai pada 3 November 1839, ketika kapal dagang Inggris Royal Saxon (buatan 1829) berusaha menerobos blokade untuk berlayar ke Kanton mengikuti jejak kapal Thomas Coutts. Angkatan Laut Britania Raya memerintahkan kapal HMS Volage (buatan 1825) dan HMS Hyacinth (buatan 1829) melepaskan tembakan peringatan ke Royal Saxon. Menanggapi keributan ini, armada kapal jung Tiongkok di bawah komando Guan Tianpei berlayar keluar untuk melindungi kapal Royal Saxon.[87] Pertempuran Chuenpee Pertama berikutnya mengakibatkan kehancuran 4 kapal perang Tiongkok dan penarikan mundur armada kedua belah pihak.[88] Laporan resmi angkatan laut Qing tentang Pertempuran Chuenpee mengklaim bahwa angkatan laut Tiongkok telah melindungi kapal dagang Inggris Royal Saxon dan melaporkan kemenangan besar untuk hari itu. Pada kenyataannya, armada Tiongkok kalah jauh dari kapal-kapal Inggris dan beberapa kapal Tiongkok dinonaktifkan.[88] Elliot melaporkan bahwa armadanya melindungi 29 kapal Inggris di Chuenpi, dan mulai mempersiapkan serangan. Khawatir bahwa Tiongkok akan menghindari kontak dengan Inggris dan akhirnya menyerang dengan rakit api, ia memerintahkan semua kapal untuk meninggalkan Chuenpi dan menuju Tung Lo Wan sekitar 20 mil (30 km) dari Macau, berharap bahwa jangkar lepas pantai berada di luar jangkauan Lin. Elliot meminta Adrião Acácio da Silveira Pinto, gubernur Portugis di Makau, untuk membiarkan kapal-kapal Inggris memuat dan menurunkan barang-barang mereka di sana dengan imbalan membayar sewa dan bea. Gubernur menolak karena khawatir Tiongkok akan menghentikan suplai makanan dan keperluan lainnya ke Makau, dan pada tanggal 14 Januari 1840 Kaisar Daoguang meminta semua pedagang asing di Tiongkok untuk menghentikan bantuan material kepada Inggris.[88] PerangSerangan Inggris dimulaiPada akhir Juni 1840, bagian pertama dari pasukan ekspedisi Inggris tiba di Tiongkok terdiri dari 15 kapal suplai, empat kapal perang bertenaga uap dan 25 perahu kecil.[89] Armada itu berada di bawah komando Laksamana Bremer. Inggris mengeluarkan ultimatum yang menuntut Pemerintah Qing membayar kompensasi atas kerugian perdagangan yang terganggu dan penghancuran opium, tetapi ditolak oleh otoritas Qing di Kanton.[90] Dalam surat-suratnya, Perdana Menteri Inggris Henry John Temple, 3rd Viscount Palmerston telah menginstruksikan kepada Kuasa Penuh Inspektur Elliot dan sepupunya Laksamana George Elliot untuk memperoleh penyerahan setidaknya satu pulau untuk perdagangan di pantai Tiongkok.[91] Dengan pasukan ekspedisi Inggris yang sudah siap di lokasi, serangan gabungan angkatan laut dan darat Inggris diluncurkan untuk menguasai Kepulauan Chusan. Pulau Zhoushan adalah pulau terbesar dan terbaik untuk membangun benteng pertahanan, menjadi target utama dalam serangan itu, demikian pula dengan pelabuhan vitalnya yaitu distrik Dinghai. Ketika armada Inggris tiba di Zhoushan, Elliot memerintahkan kota itu untuk menyerah. Komandan garnisun Tiongkok menolak perintah itu, dengan menyatakan bahwa ia tidak dapat menyerah dan mempertanyakan alasan Inggris untuk menggangu Dinghai.[92] Pertempuran dimulai, armada Tiongkok yang terdiri dari 12 kapal jung kecil dihancurkan Inggris dan marinirnya merebut daerah perbukitan di selatan Dinghai. Inggris berhasil menduduki Chusan setelah pemboman laut yang intens pada tanggal 5 Juli yang memaksa para prajurit Tiongkok yang masih hidup untuk mundur.[90] Inggris menguasai pelabuhan Dinghai dan bersiap untuk menggunakannya sebagai basis operasi militer di Tiongkok. Pada musim gugur 1840, wabah penyakit muncul di garnisun Dinghai, memaksa Inggris untuk mengevakuasi tentaranya ke Manila dan Kalkuta. Pada awal tahun 1841, dari 3.300 orang yang semula menduduki Dinghai hanya 1.900 orang yang tersisa, dan banyak dari mereka yang tidak mampu lagi untuk berperang. Diperkirakan 500 tentara Inggris meninggal karena penyakit, tentara sukarelawan Cameron dan Bengali yang paling banyak meninggal, sedangkan para anggota marinir relatif tidak terluka.[93] Setelah menduduki Dinghai, ekspedisi Inggris membagi pasukannya, armada pertama menuju selatan ke Sungai Mutiara dan armada kedua menuju utara ke Laut Kuning. Armada utara berlayar ke Peiho, tempat Elliot secara pribadi menyampaikan surat dari Palmerston kepada Kaisar melalui otoritas Qing yang ada di ibu kota, Beijing. Qishan, seorang pejabat tinggi Manchu, dipilih oleh Majelis Kekaisaran untuk menggantikan Lin Zexu karena dinilai telah gagal menyelesaikan masalah candu.[94] Negosiasi dimulai antara kedua belah pihak, Qishan sebagai negosiator utama untuk Qing dan Elliot sebagai wakil untuk Kerajaan Inggris. Setelah seminggu negosiasi, Qishan dan Elliot setuju untuk pindah ke Sungai Mutiara guna negosiasi lebih lanjut. Sebagai imbalan atas kesopanan Inggris untuk menarik diri dari Laut Kuning, Qishan berjanji untuk meminta dana kekaisaran sebagai ganti rugi bagi pedagang Inggris yang telah menderita kerusakan. Namun, perang itu belum berakhir dan kedua belah pihak masih terus terlibat pertempuran. Pada akhir musim semi tahun 1841 bala bantuan tiba dari India sebagai persiapan untuk serangan terhadap Kanton. Satu armada kecil membawa 600 Tentara Infanteri Madras ke-37 yang terlatih secara profesional. Mereka ditempatkan di Dinghai, kedatangan pasukan ini meningkatkan mental para tentara Inggris.[93] Kapal HMS "Nemesis" [g] yang baru dibuat tahun 1839 menyertai armada ini dan berlabuh di Makau. Kapal ini menjadi senjata andalan yang tidak dimiliki oleh Tiongkok.[95] Pada 14 Juli, armada Inggris di Sungai Yangtze mulai berlayar menyusuri sungai. Para prajurit pengintai memberi tahu Gough akan pentingnya menguasai logistik di kota Zhenjiang, dan rencana dibuat untuk merebut kota ini.[96] Ketika Inggris berhasil menguasai Zhenjiang, ternyata sebagian besar senjata di kota itu telah dipindahkan ke distrik Wusong. Para komandan Qing di dalam kota juga ternyata tidak terorganisir dengan baik, sumber Tiongkok menyebutkan bahwa lebih dari 100 pengkhianat yang telah memberikan informasi kepada pihak Inggris, sudah dieksekusi di Zhenjiang sebelum pertempuran.[97] Armada Inggris tiba di luar kota pada pagi hari tanggal 21 Juli, dan benteng Tiongkok di kota itu dibombardir hingga hancur berantakan. Para prajurit Tiongkok awalnya mundur ke bukit-bukit di sekitarnya. Pertempuran baru meletus ketika ribuan tentara Tiongkok muncul dari kota, menandai dimulainya Pertempuran Chinkiang. Teknisi Inggris membuka gerbang barat dan menyerbu masuk ke kota, di mana pertempuran sengit terjadi. Zhenjiang hancur berantakan akibat pertempuran itu, banyak tentara Tiongkok dan keluarga mereka memilih bunuh diri daripada menjadi tahanan Inggris.[5][98] 36 tentara Inggris tewas dalam pertempuran, yang sejauh ini merupakan jumlah korban terbanyak di pihak Inggris dalam sekali pertempuran.[99][100][101] Setelah menduduki Zhenjiang, armada Inggris memotong jalur vital Terusan Besar Tiongkok (sekarang menjadi Situs Warisan Dunia Unesco), yang melumpuhkan distribusi gandum ke seluruh Kekaisaran Tiongkok.[99][102] Inggris kemudian meninggalkan Zhenjiang pada 3 Agustus, berlayar ke Nanking. Mereka tiba di luar distrik Jiangning pada 9 Agustus, dan siap menyerang kota pada 11 Agustus. Meskipun izin untuk bernegosiasi belum diberikan oleh kaisar, namun pejabat Qing di dalam kota sudah menyetujui permintaan Inggris untuk bernegosiasi.[103] Pada 19 Agustus tiga kapal perang Inggris dan 380 marinir mengusir orang Tiongkok dari jembatan darat (dikenal sebagai "The Barrier") yang memisahkan Makau dari daratan Tiongkok.[104] Kekalahan tentara Qing ditambah dengan kedatangan kapal Nemesis (yang dijuluki sebagai kapal "iblis" oleh Tiongkok) di pelabuhan Makau menghasilkan gelombang dukungan pro-Inggris di kota itu, dan beberapa pejabat Qing diusir atau dibunuh. Portugis tetap netral dalam konflik ini, tetapi setelah pertempuran itu, Portugis bersedia mengizinkan kapal-kapal Inggris bersandar di Makau, sebuah keputusan yang memberi Inggris pelabuhan fungsional di Tiongkok selatan.[105] Dengan telah diamankannya pelabuhan-pelabuhan strategis di Dinghai dan Makau, maka Inggris mulai fokus pada perang di Sungai Mutiara. Lima bulan setelah kemenangan Inggris di Chusan, pasukan dan peralatan perang Inggris berlayar ke selatan menuju kota Humen, yang biasa disebut The Bogue oleh orang Inggris. Bremer menilai bahwa dengan mengendalikan Sungai Mutiara dan Kanton maka Inggris memiliki posisi yang kuat ketika bernegosiasi dengan pihak berwenang Qing, serta memungkinkan pembaruan perdagangan ketika perang berakhir.[106] Tanggal 21 Agustus akhirnya Kaisar Daoguang memberi wewenang kepada para utusannya untuk menandatangani perjanjian damai dengan Inggris, setelah melalui negosiasi selama beberapa minggu.[107][108] Perang Candu Pertama secara resmi berakhir pada 29 Agustus 1842 ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Nanking. Perjanjian ini merupakan perjanjian pertama dari serangkaian perjanjian susulan lainnya yang disebut sebagai Perjanjian Tidak Adil oleh pihak Tiongkok.[109] Dokumen itu ditandatangani oleh para pejabat kerajaan Inggris dan Qing di atas kapal HMS Cornwallis.[110] Pihak InggrisKeunggulan militer Inggris selama konflik sangat bergantung pada kekuatan Angkatan Laut Britania Raya.[95] Kapal perang Inggris membawa lebih banyak senjata dan bisa bermanuver dengan lincah untuk menghindari pihak Tiongkok. Kapal Uap seperti "Nemesis" (buatan 1839) mampu bergerak melawan angin dan melintasi air pasang surut di sungai-sungai Tiongkok, dipersenjatai dengan senjata berat dan roket congreve[h].[95] Beberapa kapal perang Inggris yang lebih besar seperti HMS Cornwallis, HMS Wellesley (buatan 1815) dan HMS Melville (buatan 1817) membawa lebih banyak senjata daripada seluruh armada kapal perang jung Tiongkok.[111] Angkatan laut Inggris yang superior ini memungkinkan mereka untuk menyerang benteng-benteng Tiongkok dengan risiko yang sangat kecil bagi keselamatan diri tentara mereka, karena meriam angkatan laut Inggris mengungguli sebagian besar artileri Qing.[111][112] Prajurit Inggris dilengkapi dengan senapan Brunswick[i] dan Brown Bess Musket (tipe senapan Brown Bess[j] yang telah dimodifikasi), keduanya memiliki jangkauan tembak efektif 200–300 meter.[113] Senjata para marinir Inggris sudah dilengkapi dengan tutup perkusi [k] sehingga jarang macet dan memungkinkan senjata api untuk digunakan di lingkungan yang lembab sekalipun. Dalam hal bubuk mesiu, produk Inggris jauh lebih baik karena mengandung lebih banyak sulfur daripada produk campuran yang digunakan Tiongkok.[113] Efeknya berpengaruh dalam hal jangkauan, akurasi, dan kecepatan proyektil. Artileri Inggris lebih ringan (karena metode tempaan yang lebih baik) sehingga lebih mudah bermanuver daripada meriam-meriam yang digunakan oleh Tiongkok. Sama seperti keunggulan artileri angkatan laut, dengan kualitas senjata yang digunakan oleh tentara Inggris saja sudah dapat mengalahkan meriam Tiongkok.[112] Dalam hal taktik, pasukan Inggris mengikuti doktrin selama Perang Napoleon yang telah diadaptasi dalam berbagai perang kolonial tahun 1820-an dan 1830-an. Banyak tentara Inggris yang dikerahkan ke Tiongkok adalah para veteran perang kolonial di India dan memiliki pengalaman memerangi tentara yang jumlahnya lebih banyak tetapi secara teknologi lebih rendah.[114] Dalam pertempuran, pasukan infanteri Inggris akan maju ke arah musuh dari arah kiri dan kanan membentuk seperti kolom. Ketika mereka telah mendekati jarak tembak ideal, pasukan akan mulai menembak secara voli ke dalam barisan musuh sampai mereka mundur. Sementara pasukan infanteri ringan Inggris akan membuat gangguan-gangguan terhadap pihak musuh supaya kacau sambil memantau dan menjaga formasi pasukan barisan kolom yang menjepit posisi musuh dari arah kiri dan kanan. Jika suatu posisi perlu diambil, maju dengan menggunakan bayonet juga biasa dilakukan.[115][116] Artileri Inggris yang lebih mumpuni digunakan untuk menghancurkan artileri Qing dan memecah formasi musuh. Selama konflik, keunggulan Inggris dalam hal jangkauan, laju tembakan, dan akurasi memungkinkan infanteri untuk memberikan kerusakan signifikan sebelum tentara Tiongkok dapat membalas tembakan.[117] Penggunaan artileri angkatan laut untuk mendukung operasi pasukan infanteri memungkinkan Inggris untuk menguasai kota dan benteng Tiongkok dengan korban minimal.[118][119] Strategi keseluruhan Inggris selama perang adalah untuk menghambat keuangan Kekaisaran Qing, dengan tujuan akhir untuk memperoleh kepemilikan kolonial di pantai Tiongkok. Hal ini bisa dicapai dengan menguasai kota-kota Tiongkok dan dengan memblokade aliran sungai utama.[120] Setelah benteng atau kota berhasil dikuasai, Inggris akan menghancurkan gudang senjata lokal dan menonaktifkan semua senjata yang disita.[119] Mereka kemudian akan pindah ke target berikutnya sambil meninggalkan garnisun kecil di belakang. Strategi ini direncanakan dan dilaksanakan oleh Mayor Jenderal Gough, yang tetap dapat beroperasi walaupun hanya mendapat bantuan minimal dari pemerintah Inggris setelah Inspektur Elliot dipanggil kembali pada tahun 1841.[121] Sejumlah besar pedagang swasta Inggris dimintai kontribusinya dan kapal Perusahaan Hindia Timur Britania dikerahkan dari koloni-koloni Inggris seperti Singapura dan India untuk memastikan bahwa pasukan Inggris di Tiongkok mendapat pasokan yang memadai.[9][122]
Pihak Dinasti QingSejak awal perang, kekuatan armada angkatan laut Tiongkok sudah kalah jauh. Kapal jung Tiongkok idealnya digunakan untuk melawan perompak atau jenis kapal yang setara, dan hanya efektif untuk pertempuran sungai jarak dekat saja. Selain kapal jung ini bergerak lambat, para kapten kapal armada Qing juga kewalahan dengan gerakan kapal-kapal perang Inggris yang tidak hanya bergerak lebih cepat, namun juga bisa bermanuver dengan lincah, akibatnya orang-orang Tiongkok hanya bisa menggunakan senapan busur mereka.[123] Ukuran kapal-kapal Inggris yang besar membuat taktik menyerang pasukan Tiongkok dengan cara memanjat badan kapal untuk menaiki dan menguasai kapal musuh menjadi tidak berguna, kapal-kapal jung juga membawa persenjataan yang lebih sedikit dengan kualitas yang rendah.[124] Kapal-kapal Tiongkok yang berlapis baja juga sangat buruk mutu baja dan besi tempaannya, dalam beberapa pertempuran, peluru dan roket Inggris dapat menembus lambung kapal Tiongkok dan meledakkan bubuk mesiu setelahnya. Kapal uap yang gesit bermanuver seperti HMS Nemesis dapat dengan mudah memusnahkan armada kecil jung Tiongkok.[111] Satu-satunya kapal perang bergaya Barat yang ada di Angkatan Laut Qing adalah kapal Cambridge Indiaman Timur yang telah dimodifikasi, namun kapal ini sudah dihancurkan dalam Pertempuran Bar Pertama.[125] Karena Pemerintah Qing selama ini hanya bersikap bertahan menunggu terjadinya konflik atau pemberontakan, mengakibatkan Tiongkok sangat mengandalkan keberadaan benteng-benteng yang banyak dan luas. Kaisar Kangxi (1654-1722) baru mulai membangun pertahanan sungai untuk memerangi perompak, dan mendorong penggunaan meriam gaya Barat. Pada saat Perang Candu Pertama, banyak benteng yang melindungi kota-kota besar Tiongkok dan saluran air. Meskipun benteng-benteng itu dipersenjatai dengan meriam dan ditempatkan secara strategis, kekalahan Qing memperlihatkan kelemahan utama dalam desain mereka. Meriam yang digunakan dalam pertahanan Qing adalah koleksi meriam lawas dari Portugis, Spanyol, dan Inggris sendiri.[126] Meriam Tiongkok yang diproduksi di dalam negeri dibuat dengan teknik penempaan yang di bawah standar, sehingga kemampuan dan efektivitasnya terbatas dalam pertempuran serta cepat menyebabkan aus dan korosi. Campuran bubuk mesiu Tiongkok juga mengandung lebih banyak arang daripada campuran buatan Inggris.[113] Meskipun komposisi campuran seperti itu membuat bahan peledak lebih stabil dan lebih mudah disimpan, namun daya dorongnya lemah, akibatnya mengurangi jangkauan proyektil dan akurasi.[113][127] Secara keseluruhan, teknologi meriam Tiongkok saat itu ketinggalan 200 tahun dari Inggris.[128] Benteng-benteng Tiongkok tidak dapat menahan serangan artileri Eropa, karena dirancang tanpa kemiringan glacis dan banyak yang tidak dipersenjatai dengan baik.[120][129] Daya jangkau meriam Qing yang terbatas ini memungkinkan Inggris membombardir pertahanan Qing dari jarak yang aman, kemudian mendaratkan pasukannya untuk menyerbu musuh dengan risiko minimal. Banyak meriam-meriam Tiongkok yang lebih besar, namun ditempatkan di emplasemen yang permanen sehingga tidak dapat bermanuver untuk menembaki kapal-kapal Inggris.[130] Kegagalan dari fungsi benteng Qing ditambah dengan meremehkan kemampuan Angkatan Laut Britania Raya membuat Inggris dapat berlayar dengan mudah di sungai-sungai utama di Tiongkok dan menghambat serta menggangu lalu-lintas logistik Qing.[120] Yang paling penting, rangkaian benteng yang ada di dekat kota Humen berada pada posisi yang strategis untuk menghentikan penyerbu dari hulu menuju Kanton. Pihak Tiongkok tidak mengira musuh akan sanggup menyerang dan merebut rangkaian benteng ini, tapi ternyata Inggris mampu melakukannya.[131] Pada awal perang, pasukan Qing terdiri lebih dari 200.000 tentara, dan sekitar 800.000 pasukan cadangan yang siap dipanggil untuk berperang. Pasukan ini terdiri dari pasukan Delapan Panji, Hijau Standar, milisi provinsi, dan garnisun kekaisaran. Tentara Qing dipersenjatai dengan senjata api sistem matchlock, yang memiliki jangkauan efektif 100 meter.[113] Sejarawan Tiongkok memperkirakan 30-40% dari pasukan Qing dipersenjatai dengan senjata api jenis ini.[132] Prajurit Tiongkok juga dilengkapi dengan tombak kapak halberd, pedang, dan panah. Dinasti Qing juga banyak menggunakan baterai artileri lainnya dalam pertempuran itu.[106] Strategi dinasti Qing selama perang adalah untuk mencegah Inggris merebut wilayah Tiongkok.[106] Strategi pertahanan ini gagal karena Qing terlalu meremehkan kemampuan militer Inggris yang jumlahnya lebih sedikit. Pertahanan Qing di sungai Mutiara dan Yangtze tidak efektif dalam menghentikan pergerakan Inggris yang menerobos masuk ke daratan, dan artileri angkatan laut Inggris yang jauh lebih superior mencegah Tiongkok untuk merebut kembali kota-kota yang sudah berhasil diduduki oleh Inggris.[29][133] Birokrasi kekaisaran Qing terlalu lambat mengantisipasi serangan Inggris, sementara para pejabat dan komandan sering melaporkan informasi yang salah atau tidak lengkap kepada atasan mereka.[134] Dengan kondisi sistem birokrasi dan militer Qing yang demikian, membuatnya sulit untuk menghadapi pasukan Inggris yang terus bergerak dengan sangat dinamis.[135] Selain itu, di saat yang sama terjadi konflik dengan Sikh di perbatasan Tiongkok-India dan akhirnya meletus Perang Tiongkok-Sikh, beberapa unit pasukan Qing yang paling berpengalaman ditempatkan di sana.[136]
Perubahan ekonomi dan sosialPerubahan ekonomiSetelah perjanjian Nanking, Tiongkok membuka diri dan perekonomiannya terhadap kekuatan asing dan sebaliknya. Tiongkok mengekspor lebih dari 50 juta ton teh, dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Melalui Inggris, Tiongkok mengekspor 20.000 bola bulu ke Eropa pada tahun 1840, yang sebelumnya 12.000. Para pedagang asing berupaya memperkuat posisi mereka dan menetap terutama di Shanghai (konsesi Inggris pada 1841, konsesi Amerika pada 1845, kemudian konsesi internasional). Shanghai menjadi konsesi Prancis pada tahun 1849 (daerah kantong hukum yang memiliki kemiripan arsitektur dengan kota-kota di Prancis). Perdagangan opium terus tumbuh, statusnya masih belum legal tetapi ditoleransi, 40.000 transaksi perdagangan sampai tahun 1838, 50.000 pada tahun 1850, 80.000 pada tahun 1863 (dua kali lipat dalam 25 tahun). Perubahan sosialDi pedesaan, para petani semakin banyak yang berhutang kepada tuan tanah. Para petani itu akhirnya malah memohon kepada para bandit supaya diizinkan bergabung dengan kelompok mafia. Sementara itu keadaan di kota, para pengrajin hanya bisa merenungi nasibnya karena produk asing yang terbuat dari kapas dan benang membanjiri pasar domestik Tiongkok. Sebagian masyarakat kota adalah pengangguran, sebagian lagi malah banyak yang mati kelaparan. Antara 1841 dan 1849, rakyat banyak yang memberontak sehingga terjadi puluhan aksi yang biasa dinamakan sebagai pemberontakan, pertempuran maupun insiden, seperti Pemberontakan Taiping. Tetapi pada umumnya aksi-aksi ini berhasil ditumpas oleh dinasti Qing. Selain itu ada beberapa kelompok masyarakat juga yang protes bahkan bermusuhan terhadap orang asing di Kanton dan Fuzhou. Lihat jugaCatatan
Referensi
Bacaan lebih lanjut
|