Perang Candu Kedua
Perang Candu Kedua (Hanzi: 第二 次鴉片戰爭; Pinyin: Dì'èrcì Yāpiàn Zhànzhēng), juga dikenal sebagai Perang Anglo-Tiongkok Kedua, Perang Tiongkok Kedua, Perang Panah, atau Ekspedisi Anglo-Prancis ke Tiongkok [4] adalah perang antara Inggris,Prancis, dan Amerika Serikat melawan Dinasti Qing Tiongkok, yang berlangsung dari 1856 sampai 1860. Ini adalah perang besar kedua dalam Perang Candu, yang berkaitan dengan masalah ekspor candu ke Tiongkok, dan mengakibatkan kekalahan kedua bagi Dinasti Qing. Kesepakatan Konvensi Peking menyebabkan Semenanjung Kowloon menjadi bagian dari Hong Kong. NamaIstilah "Perang Kedua" dan "Perang Panah" keduanya digunakan dalam literatur. "Perang Candu Kedua" mengacu pada salah satu tujuan strategis Inggris: melegalkan perdagangan candu, memperluas perdagangan umum lainnya, membuka semua akses ke Tiongkok untuk para pedagang Inggris, dan membebaskan impor asing dari bea transit internal.[butuh rujukan] "Perang Panah" diambil dari nama Kapal yang menjadi penyebab terjadinya konflik ini. Kronologi kejadian utamaSebelum perang candu
Perang Candu Pertama (1839-1842)
Perang Candu Kedua (1856-1860)
Setelah perang candu
Asal usul perangPerang ini merupakan kelanjutan dari Perang Candu Pertama. Pada tahun 1842, Perjanjian Nanking - yang merupakan perjanjian pertama dari apa yang orang Tiongkok kemudian sebut sebagai Perjanjian Tidak Adil - memberi ganti rugi dan hak ekstrateritorial kepada Inggris, pembukaan lima pelabuhan perjanjian, dan pengambilalihan Pulau Hong Kong. Kegagalan perjanjian ini untuk memenuhi keinginan Inggris dalam meningkatkan hubungan perdagangan dan diplomatik memicu pecahnya Perang Candu Kedua (1856-1860).[5][6] Di Tiongkok sendiri, Perang Candu Pertama dianggap sebagai awal dari sejarah Tiongkok modern. Selama Perang Candu Pertama dan Kedua, Inggris berkali-kali mengalami serangan agresif di Tiongkok sehingga pada tahun 1847 Inggris meluncurkan Ekspedisi ke Kanton untuk menyerang dan mengambil dengan cara coup de main [b], benteng di Bocca Tigris [c] yang dibombardir oleh meriam Inggris sebanyak 879 kali.[7] Meletusnya Perang Candu KeduaKarena melihat perkembangan yang pesat dan hasil yang diperoleh dari penyebaran imperialisme Barat tahun 1850an, negara-negara kekuatan Barat yang mempunya kesamaan visi dan misi semakin bersemangat untuk memperluas pasar perdagangan luar negeri dan menambah pelabuhan perjanjian yang baru di berbagai negara. Prancis dalam Perjanjian Huangpu dan Amerika dalam Perjanjian Wanghia, keduanya berisi klausul yang memungkinkan untuk melakukan negosiasi ulang perjanjian tersebut setelah 12 tahun berlaku. Dalam upaya untuk memperluas hak istimewa mereka di Tiongkok, Inggris menuntut pihak berwenang Qing untuk menegosiasi ulang Perjanjian Nanking yang ditandatangani pada tahun 1842, dengan menyebutkan status "Negara yang paling disukai" oleh mereka. Permintaan-permintaan dari pihak Inggris antara lain: mendirikan berbagai perusahan Inggris di Tiongkok, melegalkan perdagangan opium, membebaskan impor asing dari bea transit internal, mengatasi masalah perompak, regulasi yang mengatur perdagangan kuli, mengizinkan duta besar Inggris untuk bertempat tinggal di Beijing dan dalam semua Perjanjian, versi bahasa Inggris lebih diutamakan daripada bahasa Mandarin.[butuh rujukan] Supaya kapal-kapal dagang Tiongkok juga bisa beroperasi di sekitar pelabuhan perjanjian, salah satu hak istimewa yang diperoleh Inggris dari Perjanjian Nanjing, maka otoritas Inggris mendaftarkan kapal-kapal Tiongkok tersebut di Hong Kong atas nama Inggris. Pada bulan Oktober 1856, marinir Tiongkok di Kanton menangkap sebuah kapal kargo bernama "Arrow" (Panah) karena dicurigai melakukan perompakan, menahan selusin awak kapal dari total empat belas awak kapal yang berasal dari Tiongkok sendiri. Kapal Panah ini sebelumnya pernah digunakan oleh para perompak, lalu ditangkap oleh pemerintah Tiongkok, tetapi kemudian dijual kembali. Pada saat ditahan, kapal ini terdaftar sebagai kapal Inggris meskipun sudah kadaluwarsa masa berlakunya dan masih mengibarkan bendera Inggris. Kapten kapalnya adalah Thomas Kennedy, dia melaporkan melihat marinir Tiongkok menarik dan menurunkan bendera Inggris dari kapal tersebut.[8] Konsul Inggris di Kanton, Harry Parkes, menghubungi komisioner kekaisaran Ye Mingchen yang juga adalah Raja Muda Liangguang[d], untuk menuntut pembebasan segera para kru kapal itu, dan permintaan maaf karena diduga ada aksi pelecehan terhadap bendera Inggris. Ye membebaskan sembilan anggota kru, tetapi menolak untuk melepaskan tiga kru terakhir.[butuh rujukan] Pada tanggal 23 Oktober Inggris menghancurkan empat benteng penghalang.[9] Pada tanggal 25 Oktober Inggris mengajukan permintaan untuk diizinkan memasuki kota. Keesokan harinya, Inggris mulai membombardir kota, melepaskan satu tembakan setiap 10 menit.[9] Ye Mingchen memberi hadiah bagi siapa saja yang bisa mengambil kepala orang Inggris.[9] Pada 29 Oktober, tembok kota diledakan sehingga berlubang untuk digunakan sebagai jalan masuk pasukan, bendera Amerika Serikat ditancapkan oleh James Keenan (Konsul AS) pada tembok tersebut dan juga di tempat tinggal Ye Mingchen. Kejadian ini menewaskan 3 orang dan 12 lainnya luka-luka. Negosiasi gagal dan kota tetap dibombardir. Pada tanggal 6 November 23 kapal-kapal Jung diserang dan dihancurkan.[10] Ada jeda selama berlangsungnya negosiasi, tetapi secara berkala Inggris tetap membombardir yang menyebabkan kebakaran di beberapa titik, kemudian pada 5 Januari 1857, Inggris kembali ke Hong Kong.[9] Penundaan InggrisPemerintah Inggris kalah voting di Parlemen karena insiden kapal "Panah" tersebut dan apa yang telah terjadi di Kanton hingga akhir tahun pada 3 Maret 1857. Setelah itu ada pemilihan umum di Inggris pada April 1857 yang meningkatkan suara mayoritas pemerintah.[butuh rujukan] Pada bulan April, pemerintah Inggris bertanya kepada Amerika Serikat dan Rusia apakah mereka tertarik dengan aliansi, tetapi pertanyaan itu dijawab dengan penolakan.[butuh rujukan] Pada bulan Mei 1857, Pemberontakan di India menjadi serius. Pasukan Inggris yang tadinya ditempatkan di Tiongkok dialihkan ke India,[7] karena keadaan di India dianggap sebagai masalah prioritas.[butuh rujukan] Intervensi PrancisPrancis bergabung dengan Inggris melawan Tiongkok karena adanya pengaduan dari utusan mereka, Baron Jean-Baptiste Louis Gros mengenai seorang misionaris Prancis bernama Pastor Auguste Chapdelaine (namanya dalam bahasa Mandarin adalah Ma Lai, 馬賴)[11] yang dieksekusi mati oleh otoritas lokal Tiongkok di provinsi Guangxi, yang pada waktu itu tertutup orang asing.[12] Inggris dan Prancis bergabung dengan Laksamana Sir Michael Seymour dari Angkatan Laut Britania Raya. Tentara Inggris dipimpin oleh James Bruce, 8th Earl of Elgin (Lord Elgin) dan tentara Prancis yang dipimpin oleh Jean-Baptiste Louis Gros, mereka bersama-sama menyerang dan menduduki Kanton (Guangzhou), pada akhir 1857 Komite gabungan Aliansi dibentuk. Sekutu membiarkan gubernur kota tetap dengan jabatan aslinya untuk bekerja menjaga ketertiban atas nama Sekutu. Aliansi Inggris-Perancis mengendalikan Kanton selama hampir empat tahun.[butuh rujukan] Aliansi ini kemudian bergerak ke utara untuk menguasai Benteng Taku dekat kota Tientsin (sekarang Tianjin) pada Mei 1858.[butuh rujukan] Intervensi oleh negara-negara lainAmerika Serikat dan Rusia mengirim utusan ke Hong Kong untuk menawarkan bantuan militer kepada Inggris dan Prancis, meskipun pada akhirnya Rusia tidak jadi mengirimkan bantuan militer.[13] AS terlibat dalam konflik kecil bersamaan selama perang, meskipun mereka mengabaikan tawaran aliansi Inggris dan tidak berkoordinasi dengan pasukan Inggris-Prancis. Pada tahun 1856, pasukan garnisun Tiongkok di Kanton menembaki kapal uap milik Angkatan Laut Amerika Serikat.[10] Angkatan Laut AS membalas dalam Pertempuran Benteng Sungai Mutiara. Kapal-kapal AS membombardir dan kemudian menyerang serta merebut benteng-benteng yang ada di tepian sungai dekat Kanton. Upaya diplomatik diperbarui setelah kejadian tersebut, hasilnya pemerintah Amerika dan Tiongkok menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa AS berada dalam posisi netral selama Perang Candu Kedua.[butuh rujukan] Terlepas dari janji netralitas pemerintah AS, kapal perang AS USS San Jacinto tetap membantu aliansi Inggris-Prancis dalam pemboman selama terjadi Pertempuran Benteng Taku 1859. Pertempuran Kanton (1857)Tahun 1857, pasukan Inggris mulai berkumpul di Hong Kong, bergabung dengan pasukan Prancis. Pada bulan Desember 1857, mereka memiliki cukup banyak kapal dan sumber daya manusia untuk menyelesaikan masalah tidak terpenuhinya kewajiban seperti yang tercantum dalam Perjanjian, di mana mereka ternyata tidak diperbolehkan masuk ke Kanton.[7] Parkes menyampaikan ultimatum, didukung oleh Gubernur Hong Kong Sir John Bowring dan Laksamana Sir Michael Seymour, mengancam pada 14 Desember untuk membombardir Kanton jika orang-orang itu (para kru kapal "Panah") tidak dibebaskan dalam 24 jam.[9] [14] Kru yang tersisa dari kapal Panah itu kemudian dibebaskan, tanpa permintaan maaf dari Raja Muda Liangguang Ye Mingchen, dia juga menolak untuk menghormati isi Perjanjian. Seymour, Mayor Jenderal Charles van Straubenzee dan Laksamana Charles Rigault de Genouilly menyetujui rencana untuk menyerang Kanton sesuai perintah.[7] Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Insiden Panah dan memberikan nama alternatif dari konflik berikutnya.[15] Pendudukan Kanton terjadi pada 1 Januari 1858,[9] sebuah kota dengan populasi lebih dari 1.000.000 orang pada saat itu,[16] termasuk 6.000 pasukannya, korban di pihak Inggris dan Prancis berjumlah 15 tewas dan 113 terluka. Sekitar 200 sampai 650 penduduk lokal juga ikut menjadi korban.[butuh rujukan] Raja Muda Liangguang Ye Mingchen ditangkap dan diasingkan ke Kalkuta, India, tempat dia menderita kelaparan sampai mati.[17] Serangan InggrisMeskipun Inggris tertunda oleh Pemberontakan yang terjadi di India, mereka tetap menindaklanjuti Insiden "Panah" pada tahun 1856 dan menyerang Guangzhou dari Sungai Mutiara. Raja Muda Liangguang Ye Mingchen memerintahkan semua prajurit Tiongkok yang berjaga di benteng untuk tidak melawan serbuan Inggris. Dengan hanya mengeluarkan sedikit usaha saja maka Angkatan Darat Inggris berhasil merebut benteng itu, kemudian mereka menyerang Guangzhou.[butuh rujukan] Sementara itu di Hong Kong terjadi Insiden Esing Bakery, suatu upaya untuk meracuni John Bowring dan keluarganya pada Januari 1857. Namun, jika hal itu memang disengaja, maka Cheong Ah-lum, tukang roti itu terlalu ceroboh mencampurkan racun aresenik ke dalam adonan rotinya, sehingga para korban sekitar 500 orang asing yang baru makan rotinya langsung muntah sehingga racun belum terlalu banyak yang terserap oleh tubuh. Para petugas segera berkeliling kota untuk memberitahukan masyarakat agar waspada terhadap roti Esing ini dan disarankan untuk mengkonsumsi telur mentah atau ke dokter jika sakit terus berlanjut.[18] Ketika insiden Panah terdengar di Inggris (dan reaksi militer Inggris), insiden ini menjadi subjek yang kontroversial. Majelis Rendah Inggris pada 3 Maret meloloskan resolusi setelah menang 263 suara dibanding 249 terhadap pemerintah dengan mengatakan:
Sebagai tanggapan, Lord Palmerston menyerang patriotisme Whig yang mensponsori resolusi dan Parlemen dibubarkan, menyebabkan diadakannya Pemilu Inggris pada Maret 1857.[butuh rujukan] Masalah Tiongkok menjadi perhatian utama dalam pemilihan umum, dan Palmerston menang suara mayoritas yang kian meningkat, membungkam suara-suara di dalam faksi Whig yang mendukung Tiongkok. Parlemen baru memutuskan untuk mencari ganti rugi dari Tiongkok berdasarkan laporan tentang Insiden "Panah" yang diajukan oleh Harry Parkes. Kekaisaran Prancis, Amerika Serikat, dan Kekaisaran Rusia akhirnya menerima permintaan Inggris untuk membentuk Aliansi. Perjanjian TientsinPada bulan Juni 1858, bagian pertama perang berakhir dengan Perjanjian Tientsin, yang melibatkan empat pihak kekuatan Barat: Inggris, Prancis, Rusia, dan AS dengan pemerintah Tiongkok. Perjanjian ini termasuk membuka 11 pelabuhan perjanjian tambahan untuk perdagangan pihak Barat. Pihak Tiongkok pada awalnya menolak untuk meratifikasi perjanjian. Poin-poin utama dalam Perjanjian itu adalah:
Perjanjian AigunSebelumnya pada tanggal 28 Mei 1858, secara terpisah Perjanjian Aigun ditandatangani dengan Rusia untuk merevisi perbatasan Tiongkok dan Rusia sebagaimana yang ditentukan dalam Perjanjian Nerchinsk pada tahun 1689. Rusia memperoleh sisi kiri dari Sungai Amur, mendorong perbatasan ke selatan dari pegunungan Stanovoy. Dalam perjanjian Konvensi Peking pada tahun 1860, memberi Rusia kendali atas daerah yang tidak beku di pantai Pasifik, di mana Rusia mendirikan kota Vladivostok pada tahun 1860. Fase keduaTiga pertempuran Benteng TakuPada tanggal 20 Mei Pertempuran Pertama Benteng Taku berhasil dimenangkan pihak Aliansi, tetapi perjanjian perdamaian mengembalikan benteng-benteng itu kepada tentara Qing. Pada Juni 1858, tak lama setelah majelis kekaisaran Qing menyetujui perjanjian tidak adil itu, menteri hawkish menang atas Kaisar Xianfeng untuk menentang perambahan Barat. Pada 2 Juni 1858, Kaisar Xianfeng memerintahkan jenderal Mongol Sengge Rinchen untuk menjaga Benteng Taku (juga diromanisasi sebagai Benteng Ta-ku dan juga disebut Benteng Daku) di dekat Tianjin. Sengge Rinchen memperkuat benteng-benteng dengan artileri tambahan. Dia juga membawa 4.000 kavaleri Mongol dari Chahar dan Suiyuan. Pertempuran Benteng Taku berlangsung pada Juni 1859. Sebuah pasukan angkatan laut Inggris dengan 2.200 tentara dan 21 kapal, di bawah komando Laksamana Sir James Hope, berlayar ke utara dari Shanghai menuju Tianjin membawa para diplomat Inggris-Prancis yang baru ditunjuk untuk menempati kantor legasi (kedutaan kecil) di Beijing. Mereka berlayar ke mulut Sungai Hai yang dijaga oleh pasukan Benteng Taku dekat Tianjin dan meminta mereka untuk melanjutkan perjalanan melalui jalan darat ke Beijing. Sengge Rinchen menjawab bahwa para diplomat Inggris-Prancis bisa mendarat di pantai Beitang dan melanjutkan perjalanan darat ke Beijing, tetapi ia menolak untuk mengizinkan pasukan bersenjata menemani para diplomat itu ke ibu kota Tiongkok. Pasukan Inggris-Perancis bersikeras mendarat di Taku bukannya di Beitang dan mengawal para diplomat ke Beijing. Pada malam 24 Juni 1859, sekelompok kecil pasukan Inggris meledakkan rintangan besi yang dipasang oleh tentara Tiongkok di Sungai Baihe. Keesokan harinya, pasukan Inggris secara paksa berusaha untuk berlayar di sungai, dan menembaki Benteng Taku. Namun, air surut serta lumpur lunak mencegah pendaratan mereka, dan tembakan akurat dari meriam Sengge Rinchen menenggelamkan empat kapal perang dan merusak dua kapal lainnya. Laksamana Amerika Josiah Tattnall, meskipun berada di bawah perintah untuk menjaga netralitas, menyatakan "darah lebih tebal daripada air," dan ia menembaki pihak Sengge Rinchen untuk melindungi konvoi mundur Inggris. Kegagalan merebut Benteng Taku adalah pukulan besar terhadap reputasi Inggris, dan perlawanan anti-asing mencapai puncaknya dalam istana kekaisaran Qing.[21] Begitu Pemberontakan India akhirnya berhasil dipadamkan, Colin Campbell, Baron Clyde 1, panglima tertinggi di India, bebas untuk mengumpulkan pasukan dan pasokan untuk aksi selanjutnya di Tiongkok. Sebagai seorang 'jenderal tentara', pengalaman Campbell tentang korban akibat penyakit dalam Perang Candu Pertama membuatnya memberikan bahan dan perlengkapan yang lebih dari cukup kepada pasukan Inggris, dan hasilnya korban karena penyakit sangat sedikit di pihak pasukan Inggris.[22] Pertempuran Benteng Taku terjadi pada musim panas 1860. London sekali lagi mengirim Lord Elgin dengan pasukan Inggris-Perancis yang terdiri dari 11.000 tentara Inggris di bawah Jenderal James Hope Grant dan 6.700 pasukan Prancis di bawah Jenderal Charles Cousin-Montauban. Mereka meluncur ke utara dengan 173 kapal dari Hong Kong dan merebut kota-kota pelabuhan Yantai dan Dalian kemudian menyegel Teluk Bohai. Pada 3 Agustus mereka melakukan pendaratan di dekat Beitang, sekitar 3 kilometer (1,9 mi) dari Benteng Taku, yang berhasil mereka kuasai setelah tiga minggu pada 21 Agustus. Buruh Tiongkok selatan bekerja kepada pasukan Prancis dan Inggris. Seorang pengamat mencatat bahwa "kuli Tiongkok", demikian ia memanggil mereka, "meskipun mereka adalah pengkhianat bagi Tiongkok, tapi mereka melayani Inggris dengan setia dan riang gembira... Pada serangan ke Benteng Peiho pada tahun 1860 mereka membawa tangga-tangga pasukan Prancis masuk ke dalam parit yang tergenang air setinggi leher mereka, menahan tangga-tangga itu dengan tangannya sehingga pasukan Prancis dapat menyeberang, mereka tidak biasa dilibatkan dalam perang, namun demikian mereka sanggup menanggung risiko dari bahaya desingan peluru dengan ketenangan yang luar biasa, menunjukkan keinginan yang kuat untuk akrab dengan rekan senegaranya, dan terlibat pertempuran dengan sesama mereka sampai titik darah penghabisan dengan menggunakan bambu-bambu mereka."[23] Insiden diplomatikSetelah menguasai Tianjin pada tanggal 23 Agustus, pasukan Anglo-Prancis mars berbaris menuju Beijing. Kaisar Xianfeng kemudian mengirim menteri untuk mengadakan perundingan damai, tetapi utusan diplomatik Inggris, Sir Harry Smith Parkes menghina utusan kekaisaran dan tersiar kabar bahwa Inggris telah menculik kepala polisi Tianjin. Parkes kemudian ditangkap sebagai pembalasan pada 18 September. Parkes dan rombongannya dipenjara dan diinterogasi. Setengah dari mereka dilaporkan telah dieksekusi dengan cara lingchi dan juga menggunakan "tourniquet" untuk memutilasi anggota badan guna memperpanjang penyiksaan. Hal ini membuat Inggris murka ketika mereka menemukan mayat-mayat yang berantakan dan tidak bisa dikenali lagi itu. Pembakaran Istana Musim PanasPasukan Anglo-Prancis bentrok dengan kavaleri Mongol Sengge Rinchen pada 18 September dalam Pertempuran Zhangjiawan sebelum berlanjut sampai ke pinggiran Beijing dalam pertempuran yang menentukan di Tongzhou (diromanisasi sebagai Tungchow).[24] Pada tanggal 21 September, di Pertempuran Palikao, 10.000 pasukan Sengge Rinchen termasuk kavaleri elit Mongol, dimusnahkan setelah berhadapan secara frontal dengan kekuatan senjata yang sudah terkonsentrasi dari pasukan Anglo-Prancis, yang memasuki Beijing pada 6 Oktober. Dengan hancurnya pasukan Qing, Kaisar Xianfeng melarikan diri dari ibu kota dan meninggalkan saudaranya, Pangeran Gong untuk memimpin negosiasi perdamaian. Xianfeng pertama kali melarikan diri ke Gunung Resor Chengde dan kemudian ke provinsi Rehe.[25] Pasukan Inggris-Prancis di Beijing mulai menjarah Istana Musim Panas (Yiheyuan) dan Istana Musim Panas Lama (Yuanmingyuan), karena di istana-istana ini penuh dengan karya seni yang sangat berharga. Setelah Parkes dan para tahanan diplomatik yang masih hidup dibebaskan pada 8 Oktober, Lord Elgin memerintahkan Istana Musim Panas untuk dihancurkan, mulai tanggal 18 Oktober. Beijing tidak diduduki, Pasukan Anglo-Perancis tetap berada di luar kota. Penghancuran Kota Terlarang didiskusikan, seperti yang diusulkan oleh Lord Elgin untuk mencegah Kekaisaran Qing menggunakan penculikan sebagai alat tawar-menawar, dan untuk membalas dendam atas perlakuan buruk terhadap tahanan mereka.[26] Keputusan Lord Elgin selanjutnya dimotivasi karena penyiksaan kejam dan pembunuhan hampir dua puluh tahanan orang Barat, termasuk dua utusan Inggris dan seorang jurnalis The Times.[27] Diplomat Rusia Nicholas Pavlovich Ignatiev dan diplomat Prancis Jean-Baptiste Louis Gros memilih membakar Istana Musim Panas sebagai gantinya, karena hal itu dinilai sebagai "yang paling sedikit risiko keberatannya" dan tidak akan membahayakan penandatanganan perjanjian.[26] PenghargaanBaik Inggris (Second China War Medal) maupun Prancis ((Commemorative medal of the 1860 China Expedition) mengeluarkan medali kampanye. Medali Inggris memiliki jepitan sebagai berikut: Tiongkok 1842, Fatshan 1857, Kanton 1857, Benteng Taku 1858, Benteng Taku 1860, Peking 1860. 7 penghargaan berbentuk Salib Victoria, semua untuk Gallantry ditunjukkan pada 21 Agustus 1860 oleh tentara dari Resimen Kaki ke-44 (Essex Timur) dan Resimen Kaki ke-67 di Pertempuran Benteng Taku (1860). Medali KehormatanResimen-resimen berikut yang berjuang dalam kampanye:
KelanjutannyaSetelah Kaisar Xianfeng dan rombongannya melarikan diri dari Beijing, Perjanjian Tianjin pada Juni 1858 disahkan oleh saudara kaisar yaitu Pangeran Gong, dalam Konvensi Peking pada 18 Oktober 1860, mengakhiri Perang Opium Kedua. Inggris, Prancis, dan — berkat skema Ignatiev — Rusia diberi hak untuk menempatkan diplomat permanen di Beijing (sesuatu yang dilawan oleh Kekaisaran Qing sampai saat terakhir ketika ia menyarankan kesetaraan antara Tiongkok dan kekuatan Eropa). Tiongkok harus membayar 8 juta tael ke Inggris dan Prancis. Inggris mengakuisisi Kowloon (di sebelah Hong Kong). Perdagangan opium dilegalkan dan orang-orang Kristen diberikan hak sipil penuh, termasuk hak untuk memiliki properti, dan hak untuk menginjili. Menyerahkan District No.1 Kowloon (arah selatan dari Boundary Street saat ini) ke Inggris. Isi Konvensi Peking antara lain:
Dua minggu kemudian, Ignatiev memaksa pemerintah Qing untuk menandatangani "Perjanjian Tambahan Peking", yang isinya menyerahkan Provinsi Maritim di sebelah timur Sungai Ussuri (membentuk bagian dari Manchuria Luar ) kepada Rusia, yang kemudian membangun pelabuhan Vladivostok antara 1860-61. Kemenangan Inggris-Perancis digembar-gemborkan dalam pers Inggris sebagai kemenangan Perdana Menteri Inggris Lord Palmerston, yang membuat popularitasnya naik ke sampai ke level ketinggian yang baru. Para pedagang Inggris sangat senang dengan prospek ekspansi perdagangan di Timur Jauh. Kekuatan asing lainnya juga senang dengan hasilnya, karena mereka berharap untuk mendapat keuntungan dari terbukanya Tiongkok. Kekalahan tentara Qing oleh pasukan militer Anglo-Perancis yang relatif kecil (setidaknya 1 banding 11 dengan jumlah tentara Qing) ditambah lagi dengan pelarian Kaisar Xianfeng disusul dengan kematiannya setelah itu dan pembakaran Istana Musim Panas adalah mengejutkan hal-hal yang sangat mengejutkan bagi dinasti Qing yang dulunya sangat digdaya. "Di luar keraguan, pada tahun 1860 peradaban kuno Tiongkok telah dikalahkan dan dipermalukan oleh Barat.[28] Setelah perang, ada sebuah gerakan modernisasi yang dikenal sebagai Gerakan Penguatan Diri, dimulai di Tiongkok pada tahun 1860-an dan beberapa reformasi kelembagaan dimulai. Perdagangan opium menimbulkan perdebatan sengit antara Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone saat itu dan mantan Perdana Menteri Inggris Henry John Temple, 3rd Viscount Palmerston.[29] Sebagai anggota Parlemen, Gladstone menyebutnya "paling terkenal dan kejam", mengacu pada perdagangan opium antara Tiongkok dan India Inggris pada khususnya.[30] Gladstone sangat menentang kedua Perang Candu, menentang keras perdagangan opium Inggris ke Tiongkok, dan mengecam kekerasan Inggris terhadap Tiongkok.[31] Gladstone mengecamnya sebagai "Perang Opium Palmerston" dan mengatakan bahwa ia merasa "takut akan hukuman Tuhan atas Inggris karena kesalahan nasional kita terhadap Tiongkok" pada Mei 1840.[32] Pidato terkenal dibuat oleh Gladstone di Parlemen yang menentang Perang Candu Pertama.[33][34] Gladstone mengkritiknya sebagai "perang yang lebih tidak adil lagi pada awalnya, perang lebih diperhitungkan dalam kemajuannya untuk menutupi negara ini dengan aib permanen".[35] Permusuhannya terhadap opium karena melihat efek kecanduan opium yang dialami oleh Helen, adiknya.[36] Karena perang Candu Pertama yang dibawa oleh Palmerston, Gladstone awalnya enggan bergabung dengan pemerintahan Robert Peel sebelum 1841.[37] Catatan
Referensi
Daftar pustaka
Sumber
Bacaan lebih lanjut
|