Naraka (Dewanagari: नरक; ,IAST: Naraka,; Hanzi: 地獄/奈落; Pinyin: Dìyù/Nàiluò; Jepang: 地獄/奈落) adalah suatu istilah dalam kosmologi Buddhis[1] yang biasaya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai "neraka", atau sepadan dengan "purgatori".[2][3] Istilah lain yang mengandung konsep serupa ialah niraya.[4] Alam-alam naraka dalam Buddhisme sepadan dengan Diyu, alam neraka dalam mitologi Tionghoa. Sebuah naraka berbeda dengan konsep neraka di agama samawi dalam dua hal: pertama, makhluk yang berada di Naraka tidak sedang menjalani hukuman dari Tuhan; kedua, jangka waktu suatu yang dijalani makhluk saat berada di naraka tidaklah selama-lamanya,[5][6] meskipun biasanya berlangsung dengan sangat lama.[7][8]
Meurut Buddhisme, suatu makhluk terlahir (tidak dikirim) ke alam Naraka merupakan akibat dari akumulasi perbuatan semasa hidupnya, dan ia berada di sini dalam jangka waktu tertentu sampai hasil karma buruknya habis.[9][10] Setelah karma burknya habis, suatu makhluk akan terlahir ke alam yang lebih tinggi sebagai akibat dari menjalani sisa karma yang belum sempat dinikmati.[11]
Menurut ajaran Buddha, anggapan bahwa neraka adalah tempat hidup yang kekal abadi bagi semua makhluk yang selama masa hidup sebelumnya banyak berbuat karma buruk, adalah keliru. Tidak ada yang kekal-abadi, termasuk didalam neraka sekalipun. Setelah habisnya Kamma buruk yang menyebabkan mereka “tercebur” kedalam alam penuh derita ini (sama-sekali tidak ada kesenangan, hanya derita yang ada), makhluk-makkhluk yang hidup dialam ini akan lahir kembali dalam alam-alam lain sesuai timbunan kamma-kamma mereka sendiri, yang telah mereka pupuk selama ribuan tahun rentang pengembaraannya dalam samsara.[12]
Neraka besar
terdiri atas delapan alam:
Sañjîva Alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat karma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Kâïasutta Alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Sanghâta Alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Dhûmaroruva Alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Jâlaroruva Alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Tâpana Alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Patâpana Alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Avîci Alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil
terdiri atas delapan alam:
Angârakâsu: Alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
Loharasa: Alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
Kukkula: Alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
Aggisamohaka: Alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
Lohakhumbhî: Alam neraka yang merupakan panci tembaga
Gûtha: Alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
Simpalivana: Alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri
Vettaranî: Alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
(306)Abhūtavādī nirayaṃ upeti, yo vāpi katvā na karomi cāha;
ubhopi te pecca samā bhavanti, nihīnakammā manujā parattha.
Orang yang selalu berbicara tidak benar dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata, "Aku tidak melakukannya" akan masuk neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini, mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.
(307) Kāsāvakaṇṭhā bahavo, pāpadhammā asaññatā;
pāpā pāpehi kammehi, nirayaṃ te upapajjare.
Bila seseorang menjadi bhikkhu dengan mengenakan jubah kuning tetapi masih berkelakuan buruk dan tidak terkendali, maka akibat perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri, ia akan masuk ke alam neraka.
(308) Seyyo ayoguḷo bhutto, tatto aggisikhūpamo;
yañce bhuñjeyya dussīlo, raṭṭhapiṇḍamasaññato.
Lebih baik menelan bola besi panas seperti bara api daripada selalu menerima makanan dari orang lain dan tetap berkelakuan buruk serta tak terkendali.
apuññalābhaṃ na nikāmaseyyaṃ, nindaṃ tatīyaṃ nirayaṃ catutthaṃ.
Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat ganjaran, yaitu: pertama, ia akan menerima akibat buruk, kedua, ia tidak dapat tidur dengan tenang, ketiga, namanya tercela, dan keempat, ia akan masuk ke alam neraka.
(310) Apuññalābho ca gatī ca pāpikā, bhītassa bhītāya ratī ca thokikā;
rājā ca daṇḍaṃ garukaṃ paṇeti, tasmā naro paradāraṃ na seve.
Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah pada kehidupannya yang akan datang. Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh lelaki dan wanita yang ketakutan, dan rajapun akan menjatuhkan hukuman berat. Karena itu, janganlah seseorang berzina dengan istri orang lain.
(311) Kuso yathā duggahito, hatthamevānukantati;
sāmaññaṃ dupparāmaṭṭhaṃ, nirayāyupakaḍḍhati.
Bagaikan rumput kusa, bila dipegang secara salah akan melukai tangan, begitu juga kehidupan seorang pertapa, apabila dijalankan secara salah akan menyeret orang ke neraka.
saṅkassaraṃ brahmacariyaṃ, na taṃ hoti mahapphalaṃ.
Bila suatu pekerjaan dikerjakan dengan seenaknya, suatu tekad tidak dijalankan dengan selayaknya, kehidupan suci tidak dijalankan dengan sepenuh hati, maka semuanya ini tidak akan membuahkan hasil yang besar.
(313) Kayirā ce kayirāthenaṃ, daḷhamenaṃ parakkame;
sithilo hi paribbājo, bhiyyo ākirate rajaṃ.
Hendaknya orang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati. Suatu kehidupan suci yang dijalankan dengan seenaknya akan membangkitkan debu nafsu yang lebih besar.
Sebaiknya seseorang tidak melakukan perbuatan jahat, karena di kemudian hari perbuatan itu akan menyiksa dirinya sendiri. Lebih baik seseorang melakukan perbuatan baik, karena setelah melakukannya ia tidak akan menyesal.
evaṃ gopetha attānaṃ, khaṇo vo mā upaccagā. khaṇātītā hi socanti, nirayamhi samappitā.
Bagaikan perbatasan negara yang dijaga kuat di bagian dalam dan luar, begitu pula seharusnya engkau menjaga dirimu, janganlah membiarkan kesempatan baik (dalam era ajaran Sang Buddha) ini berlalu. Karena mereka yang melepaskan kesempatan ini akan bersedih hati bila nanti berada di alam neraka.
(316) Alajjitāye lajjanti, lajjitāye na lajjare;
micchādiṭṭhisamādānā, sattā gacchanti duggatiṃ.
Mereka yang merasa malu terhadap apa yang sebenarnya tidak melakukan, dan sebaliknya tidak merasa malu terhadap apa yang sebenarnya memalukan, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara.
(317) Abhaye bhayadassino, bhaye cābhayadassino;
micchādiṭṭhisamādānā, sattā gacchanti duggatiṃ.
Mereka yang merasa takut terhadap apa yang sebenarnya tidak menakutkan, dan sebaliknya tidak merasa takut terhadap apa yang sebenarnya menakutkan, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara.
(318) Avajje vajjamatino, vajje cāvajjadassino;
micchādiṭṭhisamādānā, sattā gacchanti duggatiṃ.
Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela, dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara.
(319) Vajjañca vajjato ñatvā, avajjañca avajjato;
sammādiṭṭhisamādānā, sattā gacchanti suggatiṃ.
Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tecela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia.
Referensi
^Thakur, Upendra (1992). India and Japan, a Study in Interaction During 5th Cent. – 14th Cent. A.D. Abhinav Publications. ISBN8170172896.
^Braavig (2009), p. 257. Early translators of the Buddhist Canon seem to have preferred using the term purgatory instead of hell for Naraka because, unlike the Christian imagination of hell, it is not eternal.
^Laut, Jens Peter (2013). "Hells in Central Asian Turkic Buddhism and Early Turkic Islam". Tra Quattro Paradisi: Esperienze, Ideologie e Riti Relativi Alla Morte Tra Oriente e Occidente: 20. ISBN978-88-97735-10-6 – via Università Ca' Foscari Venezia.
^Braavig (2009), p. 259. "Niraya" (Sanskrit: निरय, Script error: The function "langx" does not exist.) was used in earlier Hindu writings that depicted hells. nir-r means "to go out" or "to go asunder" referring to hell as a place where the bad deeds, therefore their bad karma, are destroyed.
^Saddharmasmṛtyupasthānasūtra, T 84, 33b (translated by Rhodes (2000) on page 30). One example to illustrate the long time one spends in just one Naraka (in this instance the Revival Naraka) is described in the Saddharmasmṛtyupasthānasūtra as: "Fifty years of a human life equals one day and night in the heaven of the Four Heavenly Kings. The life span there is five hundred years. The life span (of the beings) in the Heaven of the Four Heavenly Kings equals one day and night in this hell.... [End. The life span is based upon the Abhidharmakosa.... The same is true of the following six (hells).] The Yu p 'o sai chieh ching holds that one year in the first heaven (i. e., the Heaven of the Four Heavenly Kings) equals one day and night of the first hell (i. e., Revival Hell)."
^Braavig (2009), p. 272. In Buddhist tradition the age of the universe was not counted in millenia but in kalpas. Kalpas are eternally recurring and are "[...] long. It is not easy to calculate how many years it is, how many hundreds of years it is, how many thousand of years it is, how many hundred thousands of years it is."