Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Jalan Mulia Berunsur Delapan

Roda Dhamma yang sering kali digunakan sebagai lambang Jalan Mulia Berunsur Delapan

Jalan Mulia Berunsur Delapan (Pali: ariya aṭṭhaṅgika magga; Sanskerta: आर्याष्टाङ्गमार्ग, āryāṣṭāṅgamārga), juga dikenal sebagai Jalan Mulia Beruas Delapan, merupakan ajaran utama Buddhisme yang menjelaskan praktik menuju lenyapnya penderitaan (dukkha) dan mencapai Nirwana.[1] Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan bagian keempat dari Empat Kebenaran Mulia. Jalan Beruas Delapan terdiri dari delapan praktik: pandangan benar, kehendak/niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan/pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.[2]

Tiga kelompok

Jalan Mulia Berunsur Delapan sering kali dikelompokkan dalam tiga bagian:

  1. Pandangan/Pengertian Benar (sammā-diṭṭhi)
  2. Kehendak/Niat Benar (sammā-saṅkappa)
  1. Ucapan/Perkataan Benar (sammā-vācā)
  2. Perbuatan Benar (sammā-kammanta)
  3. Penghidupan/Pencaharian Benar (sammā-ājīva)
  • Konsentrasi (Pali: samādhi)
  1. Upaya/Usaha Benar (sammā-vāyāma)
  2. Perhatian Benar (sammā-sati)
  3. Konsentrasi/Keheningan Benar (sammā-samādhi)

Kedelapan unsur tersebut menyandang kata "benar" yang diterjemahkan dari kata sammā (Pali) atau samyañc (bahasa Sanskerta). Istilah tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai "sempurna" (perfect) atau "sesuai" (ideal).[3]

Ariyena nu kho, ayye, aṭṭhaṅgikena maggena tayo khandhā saṅgahitā udāhu tīhi khandhehi ariyo aṭṭhaṅgiko maggo saṅgahito ti? (Bhante, apakah tiga kelompok dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, atau jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok?)

Na kho, āvuso visākha, ariyena aṭṭhaṅgikena maggena tayo khandhā saṅgahitā; tīhi ca kho, āvuso visākha, khandhehi ariyo aṭṭhaṅgiko maggo saṅgahito. Yā cāvuso visākha, sammāvācā yo ca sammākammanto yo ca sammā-ājīvo ime dhammā sīlakkhandhe saṅgahitā. Yo ca sammāvāyāmo yā ca sammāsati yo ca sammāsamādhi ime dhammā samādhikkhandhe saṅgahitā. Yā ca sammādiṭṭhi yo ca sammāsaṅkappo, ime dhammā paññākkhandhe saṅgahitā ti (Saudara Visakha, tiga kelompok tidak dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, tetapi jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok. Setiap ucapan benar, setiap perbuatan benar dan setiap mata pencaharian benar: dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok moral (Sila), setiap usaha benar, setiap kesadaran benar, konsentrasi benar; dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Meditas (Samadhi), setiap pandangan benar dan setiap pikiran benar: dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Kebijaksanaan (Panna).)
— Culavedalla Sutta, [4][5]

Pengertian

Berdasarkan beberapa diskursus dalam Tipitaka, Jalan Mulia Berunsur Delapan ditemukan kembali oleh Siddharta Gautama dalam upayanya mencapai kecerahan. Sutta menggambarkannya sebagai sebuah jalan tua yang dilalui dan diteladani olah para buddha sebelumnya. Jalan Mulia Berunsur Delapan membantu pemeluk agama Buddha menuju ke kehidupan yang mulia

Maggānaṭṭhaṅgiko seṭṭho, saccānaṁ caturo padā; virāgo seṭṭho dhammānaṁ, dvipadānañca cakkhumā. (Di antara semua jalan, maka "Jalan Mulia Berunsur Delapan" adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, maka "Empat Kebenaran Mulia" adalah yang terbaik.)

Eseva‚ maggo natthañño, dassanassa visuddhiyā; etañhi tumhe paṭipajjatha, mārassetaṁ pamohanaṁ. (Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua mahluk hidup, maka orang yang 'melihat' adalah yang terbaik. Inilah satu-satunya 'Jalan'. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).)

Etañhi tumhe paṭipannā, dukkhassantaṁ karissatha; akkhāto vo‚ mayā maggo, aññāya sallakantanaṁ. (Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula yang kutunjukkan setelah aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).)

Tumhehi kiccamātappaṁ, akkhātāro tathāgatā; paṭipannā pamokkhanti, jhāyino mārabandhanā. (Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan 'Jalan'. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki 'Jalan' ini akan terbebas dari belenggu Mara.)
— Dhammapada 273-276, [6][7]

Kebijaksanaan (Paññā)

Pandangan Benar

Pandangan Benar atau Pengertian Benar (sammā-ditthi) yang merupakan kunci utama agama Buddha, Tipitaka menjelaskan [8]

Katamā ca, bhikkhave, sammādiṭṭhi? (Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar?)

Yaṁ kho, bhikkhave, dukkhe ñāṇaṁ, dukkhasamudaye ñāṇaṁ, dukkhanirodhe ñāṇaṁ, dukkhanirodhagāminiyā paṭipadāya ñāṇaṁ – ayaṁ vuccati, bhikkhave, sammādiṭṭhi. (Pengetahuan tentang Dukkha, pengetahuan tentang asal usul Dukkha, pengetahuan tentang berhentinya Dukkha, pengetahuan tentang cara berlatih yang membawa pada berhentinya Dukkha – Inilah, para bhikkhu, yang dikatakan pandangan benar.)
— Magga-vibhanga Sutta, [9]

Pandangan Benar mencakup pengetahuan tentang:

Bhikkhu Sariputta menjelaskan lebih lanjut mengenai "Pandangan Benar" dalam Sammaditthi Sutta (Pali:Sammādiṭṭhi Sutta), di mana dijelaskan pula bahwa pandangan benar dapat dicapai melalui pandangan yang lebih mendalam akan kebijakan dan ketidak-bijakan, empat jenis makanan (cattaro ahara), dua belas nidana atau tiga noda (asava). "Pengertian Salah" timbul karena ketidaktahuan (avijjā), yang merupakan penyebab dari pemikiran salah, ucapan salah, perbuatan salah, pencaharian salah, daya-upaya salah, pandangan salah, dan konsentrasi salah. Praktisi (penganut agama Buddha) harus menggunakan daya-upaya benar untuk meninggalkan pandangan salah dan mempertahankan pandangan benar. Perhatian benar digunakan untuk senantiasa berada pada pandangan benar.

Perniatan Benar

Pandangan Benar mengakibatkan Perniatan Benar atau Pemikiran Benar (sammā-sankappa). Oleh karena itu, faktor kedua dari jalan mulia ini, mempunyai dua tujuan:

  • melenyapkan pikiran-pikiran jahat, dan ;
  • mengembangkan pikiran-pikiran baik. Pikiran baik terdiri dari tiga bagian, yaitu:
  1. Nekkhamma; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
  2. Abyapada; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
  3. Avihimsa; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan

Kemoralan (Sīla)

Ucapan Benar

Ucapan Benar (sammā-vācā) adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musāvādā), memfitnah (pisuṇāvācā), berucap kasar / caci-maki (pharusavācā), dan percakapan yang tidak bermanfaat / pergunjingan (samphappalāpā). Berikut syarat untuk sebuah ucapan dikategorikan sebagai ucapan benar.[10]

  • Ucapan itu benar
  • Ucapan itu beralasan
  • Ucapan itu berfaedah
  • Ucapan itu tepat pada waktunya

Pangeran, demikian juga dengan ucapan atau kata-kata semacam itu yang diketahui oleh Tathagata bukan mewakili apa keadaannya tidaklah sesuai dengan kebenaran dan tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan mana adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain. Tathagata tidak mengatakan ucapan-ucapan semacam itu.

Ucapan semacam itu yang diketahui oleh Sang Tathagata mewakili apa keadaannya, sesuai dengan kenyataan, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka ucapan-ucapan itu tidak diucapkan oleh Tathagata.

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita, berhubungan dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, tidaklah mewakili keadaan, tidak cocok dengan realita dan tidak berhubungan dengan kebaikan tetapi ucapan itu disetujui oleh orang-orang lain : ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang Tathagata.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, mewakili keadaannya sesuai dengan realita, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan ini disenangi dan disetujui oleh orang-orang lain; ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang Tathagata.

Ucapan yang diketahui Tathagata, mewakili keadaannya, sesuai dengan realita dan berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini disenangi dan disetujui oleh orang-orang lain; Tathagata mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu. Mengapa ? Sebab Tathagata mempunyai rasa kasih sayang terhadap makhluk-makhluk itu.
— Abhayarajakumara Sutta, [11]

Perbuatan Benar

Perbuatan Benar (sammā-kammanta) juga dapat diartikan sebagai "tindakan benar". Praktisi (dalam hal ini penganut agama Buddha) diharapkan untuk bertindak benar secara moral, tidak melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun orang lain. Tipitaka menjelaskan:

Katamo ca, bhikkhave, sammākammanto? (Dan apakah , para bhikkhu, perbuatan benar?)

Yā kho, bhikkhave, pāṇātipātā veramaṇī, adinnādānā veramaṇī, abrahmacariyā veramaṇī – ayaṃ vuccati, bhikkhave, sammākammanto. (Menahan diri dari pembunuhan, menahan diri dari pencurian, menahan diri dari hal-hal yang berhubungan dan melakukan kegiatan seksual – Inilah, para bhikkhu, yang disebut perbuatan benar.)
— Magga-vibhanga Sutta, [9]

Penghidupan Benar

Penghidupan Benar (sammā-ājīva) berarti bahwa praktisi (pengikut Agama Buddha) tidak sepatutnya berhubungan dengan usaha atau pekerjaan yang, secara langsung atau tidak langsung, melukai mahluk hidup lainnya. Tipitaka menjelaskan:[8]

Katamo ca, bhikkhave, sammā-ājīvo? (Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar?)

Idha, bhikkhave, ariyasāvako micchāājīvaṃ pahāya sammā-ājīvena jīvitaṃ kappeti – ayaṃ vuccati, bhikkhave, sammā-ājīvo. (Ada kasus di mana seorang murid dari Yang Mulia, meninggalkan penghidupan tidak jujur, hidup dengan penghidupan benar – Inilah, para bhikku, yang disebut penghidupan benar.)
— Magga-vibhanga Sutta, [9]

Lima jenis bisnis yang seharusnya tidak dilakukan olah seorang umat awam:[12]

  1. Bisnis Senjata
  2. Bisnis Manusia
  3. Bisnis Daging
  4. Bisnis barang yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
  5. Bisnis Racun

Konsentrasi (Samādhi)

Daya-upaya Benar

Daya-upaya Benar (sammā-vāyāma) juga dapat diartikan dengan "usaha benar". Untuk hal ini, praktisi (pengikut agama Buddha) harus berupaya keras untuk meninggalkan seluruh pikiran yang salah dan dapat merugikan, perkataan, dan perbuatan. Praktisi (penganut agama Buddha) sebaliknya harus berupaya keras untk meningkatkan apa yang baik dan berguna untuk diri mereka sendiri dan orang lain dalam pemikiran mereka, perkataan dan perbuatan, tanpa mengikut-sertakan pemikiran akan kesulitan atau kekhawatiran. Tipitaka menjelaskan:[8]

Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar?

(i) Di mana seorang bhikkhu memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk tidak memunculkan hal buruk, kualitas tidak terampil yang belum muncul.
(ii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk meninggalkan hal buruk, kualitas yang tidak terampil yang telah muncul.
(iii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kualitas terampil yang belum muncul.
(iv) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk mempertahankan, mengerti, menambah, memperbanyak, mengembangkan, & mengumpulkan kualitas terampil yang telah muncul:
Ini, para bhikkhu, yang disebut usaha benar.

Keempat daya-upaya benar dimaksud di atas adalah:[13]

  • Usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul,
  • Usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul,
  • Usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul, dan
  • Usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.

Perhatian Benar

Perhatian Benar (sammā-sati), juga dapat diartikan sebagai "Ingatan Benar" atau "Kesadaran Benar". Dengan demikian penganut agama Buddha harus senantiasa menjaga pikiran-pikiran mereka terhadap fenomena yang memengaruhi tubuh dan pikiran. Mereka harus waspada dan berhati-hati supaya tidak bertindak laku atau berkata-kata karena kelalaian atau kecerobohan. Tipitaka menjelaskan hal ini demikian:[8]

Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar?

(i) Di mana ada seorang bhikkhu tetap fokus pada tubuh kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.
(ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.
(iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.
(iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.
Ini, para bhikkhu, yang disebut perhatian benar.

Konsentrasi Benar

Konsentrasi Benar (sammā-samādhi), seperti yang ditunjukkan dalam bahasa Pali, adalah melatih konsentrasi (samādhi). Dengan demikian seorang praktisi memusatkan pikiran kepada suatu objek pikiran hingga mencapai konsentrasi penuh dan masuk kedalam kondisi meditatif (Jhāna). Biasanya, pelatihan samadhi dapat ditempuh melalui pengaturan pernapasan (ānāpānasati), melalui visualisasi benda (kasiṇa), dan melalui pengulangan kalimat-kalimat tertentu. Samadhi dilakukan untuk menekan lima gangguan guna memasuki jhāna. Jhana merupakan sebuah media guna pengembangan kebijaksanaan dengan menanamkan pengertian dan menggunakannya untuk menguji kesungguhan suatu fenomena dengan pengenalan langsung. Hal ini membantu mengurani kekotoran, merealisasikan dhamma dan, pada akhirnya, mencapai kesadaran diri. Selama berlatih konsentrasi benar, seorang praktisi harus memeriksa dan membuktikan pandangan benar mereka. Pada proses demikian, pengetahuan benar akan timbul, dan diikuti dengan pembebasan sesungguhnya. Tipitaka menjelaskan:[8]

Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar?

(i) Di mana ada seorang bhikkhu — sepenuhnya melepaskan sensualitas, melepaskan kualitas (mental) tidak terampil — memasuki & berdiam dalam jhana pertama: kegirangan dan kenikmatan yang muncul dari pelepasan, disertai oleh pemikiran yang diarahkan & penilaian.
(ii) Dengan menenangkan pemikiran yang diarahkan & evaluasi, dia memasuki & berdiam di dalam jhana kedua: kegirangan dan kenikmatan muncul dari konsentrasi, penyatuan dari kesadaraan yang bebas dari pemikiran yang diarahkan & penilaian — kepastian dari dalam.
(iii) Dengan hilangnya kegirangan, dia tetap dalam ketenangan, perhatian & awas, dan merasakan kenikmatan dengan tubuhnya. Dia memasuki & berdiam di dalam jhana ketiga, yang dinyatakan oleh Yang Mulia, "Ketenangan & perhatian, dia memiliki kenikmatan yang terus menerus."
(iv) Dengan meninggalkan kenikmatan & sakit — bersamaan hilangnya kebahagiaan & penderitaan yang sebelumnya — dia memasuki & berdiam di dalam jhana keempat: kemurnian dari ketenangan & perhatian penuh, tidak nikmat ataupun sakit.
Ini, para bhikkhu, yang disebut konsentrasi benar.

Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran pada objek yang tepat sehingga batin mencapai keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Cara ini disebut dengan Samatha Bhavana. Empat Keadaan Batin yang Luhur:

  • Cinta kasih (Mettā)
  • Welas asih (Karuṇā)
  • Turut berbahagia (Mudita)
  • Keseimbangan batin (Upekkhā)

Dalam melakukan meditasi menggunakan objek-objek yang dipilih dengan hati hati dan sesuai dengan watak, pengikut agama Buddha melatih pengembangan 5 kemampuan batin yang luar biasa (Abhiñña) yaitu:

  • Mata-dewa (Dibbacakkhu)
  • Telinga-dewa (Dibbasota)
  • Ingatan akan kelahiran-kelahiran lampau (pubbenivāsānussati-ñāṇa)
  • Membaca pikiran (Paracitta vijañāṇa)
  • dan berbagai kemampuan batin lainnya (Iddhividhā)

Adapun kemampuan luar biasa tersebut tidak mutlak bagi pencapaian kecerahan.

Bhante, apakah yang dimaksud dengan konsentrasi, apakah tanda meditasi, apa perlengkapan meditas, bagaimana mengembangkan meditasi?

Saudara Visakha, suatu pemusatan pikiran adalah meditas, empat dasar perhatian (satipatthana) adalah tanda meditasi, empat usaha benar (sammappadhana) adalah perlengkapan meditasi: pengulangan berulang-ulang kali, pengembangannya dan mengusahakan meditasi adalah masuk dengan mengembangkan meditasi (samadhibhavana).
— Culavedalla Sutta

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Stephen J. Laumakis (2008). An Introduction to Buddhist Philosophy. Cambridge University Press. hlm. 150–151. ISBN 978-1-139-46966-1. 
  2. ^ Vetter, Tilmann (1988). The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism. BRILL. hlm. 11-14. ISBN 90-04-08959-4. Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  3. ^ (Inggris) A Basic Buddhism Guide: The Eight-Fold Path
  4. ^ Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II, Oleh Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha, Penerbit: Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994
  5. ^ "Tipitaka – Cūḷavedallasuttaṃ, Majjhimanikāyo 44 (MN 44)" (PDF) (dalam bahasa Pali). hlm. 191–192. 
  6. ^ Magga Vagga 273-276, Dhammapada. Diakses tanggal 20 Juni 2022. Sariputta.com. Pali
  7. ^ Magga Vagga 273-276, Dhammapada. Diakses tanggal 20 Juni 2022. Sariputta.com. Indonesia
  8. ^ a b c d e Magga-vibhanga Sutta Sebuah analisis dari sang Jalan
  9. ^ a b c "Tipitaka – Magga-Vibhaṅgasuttaṁ, Saṁyutta Nikaya 45.8 (SN 45.8)" (PDF) (dalam bahasa Pali). hlm. 4–5. 
  10. ^ Samanna Phala Sutta 44
  11. ^ Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II, Oleh: Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha, Penerbit: Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994
  12. ^ Bhikkhu Thannisaro. "Vanijja Sutta". Dhammacitta. Diakses tanggal 2009-07-26. 
  13. ^ "Intisari Agama Buddha, ditulis oleh Ven. Narada Mahathera dengan judul asli "Buddhism in Nutshell", Penerbit: Yayasan Dhamma Phala, Semarang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-17. Diakses tanggal 2009-07-26. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya