Heraklius (bahasa Latin: Flavius Heraclius[1][2]; bahasa Yunani: Ἡράκλειος, Iraklios) adalah Kaisar Romawi Timur dari tahun 610 sampai tahun 641 M. Heraklius pertama kali tampil di panggung politik pada tahun 617 M, saat memimpin pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar Fokas bersama-sama ayahnya, Heraklius Tua.
Pada masa pemerintahannya, Kekaisaran Romawi Timur melancarkan sejumlah kampanye militer. Heraklius naik takhta pada saat perbatasan-perbatasan negaranya dirongrong pihak asing. Ia segera melancarkan perang melawan Kekaisaran Persia Sasani yang berlangsung dari tahun 602 sampai 628. Pertempuran-pertempuran pertama dari perang ini dimenangkan pihak Persia. Angkatan bersenjata Persia menerjang sampai ke Selat Bosforus, tetapi Konstantinopel dilindungi tembok-tembok yang kukuh dan angkatan laut yang tangguh sehingga Heraklius luput dari kekalahan telak. Tidak lama kemudian, ia memprakarsai usaha-usaha untuk menata ulang dan memperkuat militer Kekaisaran Romawi Timur. Heraklius akhirnya mampu mengusir bangsa Persia dari Asia kecil, bahkan menerjang masuk ke wilayah kedaulatan Persia dan mengalahkan angkatan bersenjata negara itu secara telak dalam Pertempuran Niniwe pada tahun 627. Syah Khosrau II digulingkan dan dihukum mati putranya sendiri, Syah Kawad II. Kaisar Persia yang baru ini segera mengupayakan kesepakatan damai dengan menawarkan pengembalian semua daerah yang sudah dicaplok Persia dari Romawi Timur. Lewat cara ini, hubungan damai di antara kedua negara kembali terjalin.
Banyak daerah yang baru direbut kembali dari Persia akhirnya jatuh ke tangan pasukan Muslim-Arab. Dari Jazirah Arab, pasukan Muslim menyerbu Kekaisaran Persia Sasani dan berhasil menundukkannya dalam waktu singkat. Pada tahun 634, pasukan Muslim menyerbu Suriah dan mengalahkan Teodorus, adik Kaisar Heraklius. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, pasukan Muslim-Arab mendaulat Mesopotamia, Armenia, dan Mesir.
Heraklius memprakarsai hubungan diplomatik dengan bangsa Kroasia dan bangsa Serbia di Jazirah Balkan. Ia berusaha mengakhiri skisma antarumat Kristen akibat bidat Monofisit dengan merumuskan sebuah doktrin kompromi yang disebut Monotelitisme. Gereja di Timur (lazim disebut Gereja Nestorian) turut dilibatkan.[3] Pada akhirnya usaha pemulihan kesatuan ini ditolak semua pihak yang bertikai.
Pada tahun 629, Muhammad, nabi Islam, sudah berhasil mempersatukan semua suku di Jazirah Arab, yang sebelumnya terpecah belah sehingga tidak berdaya menghadapi tantangan militer Romawi Timur maupun Persia. Dengan agama Islam sebagai unsur pemersatu, bangsa Arab menjadi salah satu negara terkuat di kawasannya.[4] Konflik pertama Romawi Timur dengan kaum Muslim-Arab adalah Pertempuran Mu'tah pada bulan September 629. Sepasukan kecil Muslim-Arab menyerbu provinsi Arabia sesudah duta Muslim tewas dibunuh wali negeri Arabia dari Bani Ghassan, tetapi serbuan ini dapat dipatahkan. Karena tidak kalah, pemerintah Romawi Timur tidak berusaha mengubah tatanan militer yang sudah ada di provinsi Arabia.[5] Lagi pula Romawi Timur sangat jarang bertempur melawan bangsa Arab, malah lebih jarang lagi bertempur melawan laskar jihad yang dipersatukan seorang nabi.[6] Bahkan Stategikon Maurikios, buku panduan perang yang dipuji-puji karena keberagaman jenis musuh yang dijabarkan di dalamnya, tidak menjabarkan perang melawan bangsa Arab secara panjang lebar.[6]
Pada tahun berikutnya, pasukan Muslim-Arab menyerbu daerah Araba di selatan Danau Tiberias, dan merebut Alkarak. Beberapa kali penyerbuan dilancarkan ke Negeb hingga mencapai Gaza.[7] Dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, pasukan Muslim-Arab berhasil mengalahkan pasukan Romawi Timur yang lebih besar. Dalam waktu tiga tahun, Syam kembali mereka kuasai. Saat Heraklius mangkat di Konstantinopel pada tanggal 11 Februari 641, hampir seluruh wilayah Mesir sudah dikuasai pasukan Muslim.[8]
Keluarga
Heraklius menikah dua kali: yang pertama dengan Fabia Eudokia, anak perempuan Rogatus, dan kemudian dengan kemenakannya sendiri, Martina. Ia mendapatkan dua anak dari perkawinannya dengan Fabia, dan sekurang-kurangnya sembilan anak dari perkawinannya dengan Martina, yang sebagian besar sakit-sakitan.[A 1][11] Sekurang-kurangnya dua dari anak-anak Martina menyandang cacat fisik, yang dianggap sebagai hukuman atas kawin sumbang: Fabius (Flavius) menderita kelumpuhan pada lehernya, dan Teodosios menderita bisu-tuli. Teodosios menikah dengan Nike, anak perempuan Senapati Persia, Syahrbaraz, atau anak perempuan Niketas, sepupu Heraklius.[butuh rujukan]
Dua putra Heraklius kelak menjadi Kaisar: Heraklius Konstantinus (Konstantinus III, memerintah 613–641), putranya dari Fabia, dan Konstantinus Heraklius (Heraklonas, memerintah 638–641), putranya dari Martina.[11]
Heraklius sekurang-kurangnya memiliki seorang anak di luar nikah, Ioannes Atalarikhos, yang bersekongkol melawan Heraklius dengan sepupunya, magister Teodorus, dan bangsawan Armenian, David Saharuni.[A 2] Ketika Heraklius mengetahui persekongkolan itu, ia memerintahkan agar Atalarikhos dijatuhi hukuman potong hidung dan kedua tangan serta hukuman buang ke Prinkipo, salah satu pulau di Kepulauan Pangeran.[15] Teodorus dijatuhi hukuman yang sama, tetapi dibuang ke Gaudomelete (mungkin di Pulau Gozo sekarang ini), ditambahi pula dengan hukuman potong sebelah kaki.[15]
Pada tahun-tahun menjelang akhir hayatnya, semakin jelas terlihat adanya persaingan antara Heraklius Konstantinus dan Martina. Heraklius Konstantinus pernah mencoba meracuni putra Martina, Heraklonas, yang juga tercantum dalam daftar pewaris takhta. Heraklius mangkat dengan meninggalkan wasiat agar kekaisaran diperintah bersama-sama oleh Heraklius Konstantinus dan Heraklonas, dengan Martina selaku maharani.[11]
Keterangan
^Jumlah dan urutan kelahiran anak-anak Heraklius dari Martina tidak diketahui dengan jelas. Menurut beberapa sumber, ada sembilan orang anak,[9] sementara menurut sumber-sumber lain, ada sepuluh.[10]
^Nama anak di luar nikah ini tercatat dengan sejumlah ejaan yang berbeda, di antaranya: Atalarikhos,[12] Athalarik,[13] At'alarik,[14] dst.
Alexander, Suzanne Spain (April 1977). "Heraclius, Byzantine Imperial Ideology, and the David Plates". Medieval Academy of America. 52 (2): 217–237. JSTOR2850511.
Baert, Barbara (2008). "Héraclius, l'Exaltation de la Croix et le Mont-Saint-Michel au XIe siècle: une lecture attentive du ms. 641 de la Pierpont Morgan Library à New York". Cahiers de Civilisation médiévale (51): 03–20.
Bellinger, Alfred Raymond; Grierson, Philip. Catalogue of the Byzantine coins in the Dumbarton Oaks Collection and in the Whittemore Collection, Volume 2, Parts 1–2 (edisi ke-1992). Dumbarton Oaks. ISBN0-88402-024-X.
Bury, John Bagnell. A history of the later Roman empire from Arcadius to Irene (edisi ke-2005). Adamant Media Corporation. ISBN1-4021-8368-2. - Total pages: 579
Cameron, Averil (1979). "Images of Authority: Elites and Icons in Late Sixth-century Byzantium". Past and Present. 84: 3. doi:10.1093/past/84.1.3.
Conrad, Lawrence I (2002). Heraclius in early Islamic Kerygma In "The reign of Heraclius (610–641): crisis and confrontation" (edisi ke-2002). Peeters Publishers. ISBN978-90-429-1228-1. - Total pages: 319
Dodgeon, Michael H.; Greatrex, Geoffrey; Lieu, Samuel N. C. (2002). The Roman Eastern Frontier and the Persian Wars (Part I, 226–363 AD). Routledge. ISBN0-415-00342-3.
El-Cheikh, Nadia Maria (1999). "Muḥammad and Heraclius: A Study in Legitimacy". Studia Islamica. Maisonneuve & Larose. 62 (89): 5–21. doi:10.2307/1596083. ISSN0585-5292.
Olster, David Michael. The politics of usurpation in the seventh century: rhetoric and revolution in Byzantium (edisi ke-1993). A.M. Hakkert. - Total pages: 209
Theophanes the Confessor — Cyril Mango (trans.) & Roger Scott (trans.). The Chronicle of Theophanes Confessor (edisi ke-July 10, 1997). Oxford University Press. ISBN0-19-822568-7. - Total pages: 848