Kayu bersertifikat adalah kayu yang dihasilkan dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dalam skema sertifikasi oleh pihak ketiga, suatu lembaga penyusun standar yang independen membuat sebuah standar pengelolaan hutan yang baik (misalnya standar pengelolaan hutan lestari), yang pada gilirannya standar itu digunakan oleh suatu lembaga sertifikasi—yang juga independen—untuk menilai kinerja pengelolaan hutan yang diselenggarakan oleh suatu unit pengelola hutan (atau, unit manajemen hutan). Dengan sertifikasi, akan berkembang standar manajemen hutan yang baik.[1]
Syarat
Program sertifikasi hutan umumnya membutuhkan praktik manajemen hutan yang sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. Dasar persyaratan atau karakteristik dari sertifikasi hutan mencakup:[2]
Perlindungan keanekaragaman hayati, spesies dan habitat satwa liar yang terancam kepunahan
Sertifikasi dan audit dari pihak ketiga yang dilakukan oleh badan sertifikasi terakreditasi
Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) usaha kehutanan yang lebih dari satu
Tersedianya mekanisme komplain dan pengajuan gugatan
Sejarah singkat
Isu sertifikasi pengelolaan hutan tidak bisa dilepaskan dari maraknya aksi boikot kayu tropis yang dikampanyekan berbagai ornop (organisasi non-pemerintah) tingkat dunia di akhir dekade 1980-an. Aksi-aksi tersebut dilandasi oleh keprihatinan masyarakat dunia akan nasib hutan tropis yang terus mengalami kehancuran dan kerusakan lingkungan. Pada tahun 1987 dibentuk Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO, International Tropical Timber Organization) untuk menyepakati perlunya pengelolaan hutan yang lestari, sekaligus untuk memastikan bahwa pemanfaatannya (dan perdagangan kayunya) dapat terus berlangsung bagi kepentingan masyarakat dan hutan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan, timbul kesadaran dan keinginan di kalangan industriawan dan konsumen kayu internasional untuk mengetahui asal-usul kayu yang digunakan, dan bahwa kayu-kayu itu berasal dari sumber yang dikelola secara bertanggung jawab, baik secara sosial maupun lingkungan.[3]
Sejak saat itu muncul berbagai inisiatif dan gagasan untuk membangun standar sertifikasi; mulanya diawali oleh ornop-ornop seperti Greenpeace, Rainforest Alliance dan lain-lain, tetapi juga oleh Soil Association (SA). Masing-masing ornop menyusun standar, dan kemudian atas permintaan konsumen yang menghubunginya, menyelenggarakan suatu penilaian sertifikasi terhadap unit pengelola hutan tertentu sesuai permintaan. Di Indonesia, Perum Perhutani adalah yang pertama memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari pada tahun 1990, menurut standar sertifikasi SmartWood yang dilansir oleh Rainforest Alliance.[4]
Standar sertifikasi hutan pihak ketiga disediakan pertama kali oleh FSC (Forest Stewardship Council) pada tahun 1993, dengan kolaborasi antara organisasi lingkunganswadaya, perusahaan produk kehutanan, dan masyarakat. Segera program dan sistem yang serupa muncul di seluruh dunia. Namun banyak kalangan yang menilai bahwa banyak pula sistem dan standar yang ternyata dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan, yang secara spesifik bertujuan untuk mengelabui konsumen melalui nama yang bermiripan namun dengan standar yang kurang ketat.[5]
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Lestari untuk Hutan Tropis Alami (Criteria and Indicators for The Sustainable Management of Natural Tropical Forest) dihasilkan oleh ITTO pada tahun 1998, setelah sebelas tahun berproses.[3] Sementara di Indonesia, berdasarkan adaptasi atas versi-versi awal kriteria dan pedoman ITTO, pada tahun 1993 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menerbitkan rancangan kriteria penilaian pengelolaan hutan Indonesia; namun standar ini kurang memperoleh sambutan sehingga akhirnya hanya digunakan secara internal. Dalam pada itu, antara 1993 hingga 1998, dirintis pembentukan organisasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan penyusunan kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) yang kemudian diterapkan secara voluntari (sukarela) bagi pengelolaan hutan di Indonesia.[6]
Program
Saat ini, terdapat lebih dari 50 program sertifikasi di seluruh dunia[7] yang mencakup berbagai jenis hutan dengan masa berlaku yang berbeda-beda. Dua program sertifikasi hutan internasional terbesar yaitu Forest Stewardship Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). PEFC adalah yang terbesar dilihat dari wilayah hutan yang disertifikasi olehnya, yang mencakup dua per tiga dari seluruh hutan yang tersertifikasi. Sedangkan FSC adalah yang tercepat berkembang.[8]
Di Indonesia, sistem sertifikasi kayu yang bersifat mandatori (wajib) dilakukan oleh Departemen Kehutanan dalam program Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang pelaksanaannya berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010. Sistem ini telah diinformasikan ke 144 negara di dunia agar dipastikan bahwa negara tersebut hanya menerima kayu dari Indonesia yang telah disertifikasi dan tidak menerima kayu ilegal.[9] Indonesia adalah negara pertama di dunia yang melakukan sertifikasi kayu,[10] sedangkan negara lain selama ini menyerahkan program sertifikasi produk kayunya kepada lembaga non pemerintah. Akan tetapi berlainan dengan sertifikat pengelolaan hutan lestari, sertifikat VLK hanya menyatakan bahwa produk kayu (yang tersertifikasi) tersebut memiliki asal-usul yang sah secara legal.