Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia.[1] Menurut laporan UNESCO (1995) "Sangiran diakui oleh para ilmuwan untuk menjadi salah satu situs yang paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia, disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (Cina), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan), dan lebih baik dalam penemuan daripada yang lain."[2]
Daerah terdiri dari sekitar 56 km² (7 km x 8 km). Lokasi ini terletak di Jawa Tengah, sekitar 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo. Secara administratif, kawasan Sangiran terbagi antara 2 kabupaten: Kabupaten Sragen (Kecamatan Gemolong, Kecamatan Kalijambe, dan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo). Fitur penting dari situs ini adalah geologi daerah. Awalnya kubah terbentuk jutaan tahun yang lalu melalui kenaikan tektonik. Kubah itu kemudian terkikis yang mengekspos isi dalam kubah yang kaya akan catatan arkeologi.[3]
Sejarah eksplorasi
1883: Situs sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C schemulling. Ketika aktif melakukan eksplorasi pada akhir abad ke-19, Eugene Dubois pernah melakukan penelitian di sini, namun tidak terlalu intensif karena kemudian ia memusatkan aktivitas di kawasan Trinil, Ngawi.
1934: Ahli antropologiGustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut, setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta ("tulang buta/raksasa") oleh warga dan diperdagangkan. Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa") oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 km timur Sangiran. Dengan dibantu tokoh setempat, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosilHomo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil H. erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar, termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya. Selain manusia purba, ditemukan pula berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern).
1977: Pemerintah Indonesia ditunjuk seluas 56 km2 di sekitar Sangiran sebagai Daerah Cagar Budaya.[4]
1988: Sebuah situs museum dan konservasi laboratorium lokal sederhana didirikan di Sangiran.
1996: UNESCO mendaftarkan Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia di Daftar Warisan Dunia sebagai Sangiran Early Man Site.[5]
2011: Museum saat ini dan pusat pengunjung dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 15 Desember.
2012: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi museum pada bulan Februari didampingi 11 menteri kabinet.
Seiring waktu, setelah pekerjaan awal oleh Dubois dan von Koenigswald di Sangiran, sarjana lain termasuk arkeolog Indonesia melakukan pekerjaan di lokasi tersebut. Sarjana Indonesia termasuk Teuku Jacob, Etty Indriati, Sartono, Fachroel Aziz, Harry Widianto, Yahdi Zaim, dan Johan Arif.[6]
Penggalian oleh tim von Koenigswald yang berakhir 1941 dan koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran, yang kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich.
Sebuah museum yang sederhana ada di Sangiran selama beberapa dekade sebelum modern, yang berfungsi dengan baik sebagai museum dan pusat pengunjung dibuka pada Desember 2011. Gedung baru, sebuah museum modern, berisi tiga ruang utama dengan menampilkan luas dan diorama mengesankan daerah Sangiran yang diyakini seperti sekitar 1 juta tahun yang lalu. Beberapa pusat lainnya berada di bawah konstruksi serta (awal 2013), sehingga pada 2014 diharapkan akan ada empat pusat di tempat yang berbeda dalam keseluruhan situs Sangiran. Empat pusat direncanakan adalah:[7]
Krikilan: situs yang ada dengan pusat pengunjung utama dan museum.
Ngebung: mengandung sejarah penemuan situs Sangiran.
Bukuran: untuk memberikan informasi tentang penemuan fosil manusia prasejarah di Sangiran.
Dayu: untuk menyajikan informasi tentang penelitian terbaru.
Museum saat ini dan pusat pengunjung memiliki tiga ruang utama. Ruang pertama berisi sejumlah diorama yang memberikan informasi tentang manusia purba dan hewan yang ada di situs Sangiran sekitar 1 juta tahun yang lalu. Ruang kedua, yang lebih luas, menyajikan banyak bahan rinci tentang berbagai fosil yang ditemukan di Sangiran dan tentang sejarah eksplorasi di situs. Ruang ketiga, dalam presentasi yang mengesankan terpisah, berisi diorama besar yang memberikan pandangan seluruh wilayah keseluruhan Sangiran, dengan gunung berapi seperti Gunung Lawu di latar belakang dan manusia dan hewan di latar depan, seperti yang dibayangkan sekitar 1 juta tahun yang lalu. Beberapa presentasi di aula ketiga ini menarik pada karya pematung paleontologis internasional Elisabeth Daynes.
Sosial dan isu-isu lain
Pengembangan Situs Sangiran secara keseluruhan bukan tanpa kontroversi. Penggalian yang tidak terkontrol dan perdagangan fosil ilegal telah terjadi di berbagai kesempatan sejak situs ini pertama kali ditemukan. Dalam beberapa periode, penduduk desa warga di daerah yang sering menggali dan menjual kepada pembeli fosil lokal. Setelah diberlakukannya UU Nasional Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya, ada kontrol yang kuat pada kegiatan ini.[8] Namun, kegiatan ilegal kadang-kadang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.[9] Pada tahun 2010, misalnya, warga negara Amerika yang mengaku sebagai seorang ilmuwan ditangkap di dekat Sangiran saat bepergian dengan truk yang berisi 43 jenis fosil dalam kotak dan karung dengan nilai pasar sekitar $ 2 juta.[10]
Baru-baru ini, ada diskusi di media Indonesia tentang cara pengembangan situs Sangiran yang telah gagal untuk membawa manfaat yang nyata yang signifikan terhadap masyarakat pedesaan di daerah setempat.[11]
^Choi, Kildo; Driwantoro, Dubel (2007). "Shell tool use by early members of Homo erectus in Sangiran, central Java, Indonesia: cut mark evidence". Journal of Archaeological Science. 34: 48. doi:10.1016/j.jas.2006.03.013.
^Etty Indriati, Warisan budaya dan munusia purba Indonesia Sangiran [Cultural heritage and ancient Indonesian man Sangiran], PT Citra Aji Parama, Yogyakarta, 2009.
^Sri Rejeksi, 'Sangiran, Bumi manusia Jawa yang tandus' [Sangiran, Java's barren homelands], Kompas, 16 March 2013. Also Sri Rejeksi, 'Tanah Air: Wajah Kontradiktif Sangiran' [Homeland: The Contradictory Face of Sangiran], Kompas, 16 March 2013.
A booklet prepared by Dr Etty Indriati from Gadjah Mada University in Yogyakarta provides a useful guide to the site in Indonesian. See Etty Indriati, Warisan budaya dan munusia purba Indonesia Sangiran [Cultural heritage and ancient Indonesian man Sangiran], PT Citra Aji Parama, Yogyakarta, 2009. This booklet, along with other notes, may be purchased at the entry to the museum.
Sulistyanto, B. 2011. Warisan Dunia Situs Sangiran, Persepsi Menurut Penduduk Sangiran. Sari dari Disertasi.