Enmerkar dan penguasa Aratta adalah hikayat Sumer dari zaman Kemaharajaan Sumer Baru (ca. abad ke-21 SM) yang terlestarikan di dalam naskah-naskah salinan dari zaman pasca-Kemaharajaan Sumer Awal.
Hikayat ini adalah bagian dari serangkai kisah pertikaian Enmerkar, Raja Unug Kulaba (Uruk) dengan Raja Aratta (mungkin di Iran atau Armenia sekarang ini) yang tidak disebutkan namanya.
Karena memuat keterangan bangsa Sumer tentang peristiwa "kekacaubalauan bahasa", dan meriwayatkan usaha Enmerkar membangun kuil-kuil di Eridu dan Uruk, hikayat ini kerap dibanding-bandingkan dengan riwayat Menara Babel di dalam Kitab Kejadian semenjak Samuel Kramer masih hidup.[1]
Ikhtisar
Hikayat ini dibuka dengan uraian sebagai berikut: "Pada hari-hari silam, tatkala segala takdir disuratkan, pemimpin-pemimpin besar mengizinkan mercu E-ana di Unug Kulaba menjulang tinggi. Kemakmuran, kawanan ikan, dan curah hujan penumbuh jelai yang berbelang-belang kian bertambah di Unug Kulaba kala itu. Sebelum jadi negeri Dilmun, sudah lama E-ana berdiri di Unug Kulaba."[2]
E-ana, yang berarti "bait An" atau "haikal An", adalah kuil pemujaan Dewi Inanna "junjungan segala negeri" yang dibangun di Uruk. Di lain pihak, penguasa Aratta menobatkan diri menjadi raja atas nama Dewi Inanna, juga dengan maksud memuliakan sang dewi. Meskipun demikian, tindakan penguasa Aratta tidak berkenan kepada Dewi Inanna sebagaimana kuil batu-bata sang dewi yang dibangun di Uruk.
Maka Enmerkar, yang "dipilih Inanna di dalam hatinya yang suci dari gunung gemilang", memohon kepada sang dewi agar mengizinkannya memperhamba Aratta dan memerintahkan rakyat Aratta mempersembahkan aneka logam mulia dan ratna mutu manikam sebagai upeti pembangunan kuil Abzu yang megah bagi Dewa Enki di Eridu, dan untuk menghiasi E-ana, haikal sang dewi yang berdiri megah di Uruk. Oleh karena itu Dewi Inanna menasehati Enmerkar untuk memberangkatkan seorang pewarta melintasi pegunungan Susin dan pegunungan Anshan untuk menghadap penguasa Aratta dan memerintahkannya untuk menaklukkan diri dan mempersembahkan upeti.
Seturut nasihat sang dewi, Enmerkar mengutus seorang pewarta untuk menyampaikan ancaman bahwa ia akan membinasakan Aratta dan mencerai-beraikan penduduknya jika tidak bersedia mempersembahkan upeti kepadanya - "supaya jangan seperti kebinasaan yang menimpakan kehancuran, yang didalamnya Inanna bangkit, menjerit menyaringkan suaranya, Aku pun menimpakan kebinasaan di tempat itu." Kemudian ia merapal "mantra Nudimmud", suatu kidung permohonan kepada Enki agar memulihkan (atau dalam beberapa terjemahan, agar mengacau-balaukan) kesatuan bahasa di wilayah-wilayah yang didiami manusia, yakni Syubur, Hamazi, Sumer, Uri-ki (wilayah sekeliling Akkad), dan negeri Martu:
"Pada hari itu, manakala tiada ular, manakala tiada kalajengking, manakala tiada dubuk, manakala tiada singa, manakala tiada baik anjing maupun serigala, manakala karena itu tiada ketakutan dan kegentaran, manusia tak tertandingi! Ketika itulah, semoga Syubur dan Hamazi, negeri-negeri beraneka bahasa itu, dan Sumer, pegunungan agung segala me yang elok, dan Akkad, negeri yang empunya segala sesuatu yang patut, dan negeri Martu, beristirahat dalam ketenteraman — segenap alam, orang-orang yang terkawal dengan baik — semoga mereka semua berkata-kata kepada Enlil bersama-sama dalam suatu bahasa tunggal! Oleh karena ketika itulah, bagi penguasa-penguasa yang berkemauan keras, bagi pemimpin-pemimpin yang berkemauan keras, bagi raja-raja yang berkemauan keras, Enki, bagi penguasa-penguasa yang berkemauan keras, bagi pemimpin-pemimpin yang berkemauan keras, bagi raja-raja yang berkemauan keras, bagi penguasa-penguasa yang berkemauan keras, bagi pemimpin-pemimpin yang berkemauan keras, bagi raja-raja yang berkemauan keras — Enki, penguasa atas kelimpahan dan atas keputusan-keputusan yang teguh, penguasa negeri yang bijak bestari, yang cendekia di antara dewata, terpilih sebab berhikmat, penguasa atas Eridug, akan mengubah perkataan di mulut mereka, sebanyak yang telah ia tempatkan di sana, dan demikianlah perkataan manusia sungguh-sungguh satu."[3]
Pewarta itu tiba di Aratta, dan mendaraskan pesan ini kepada rajanya, dan memohon jawaban untuk dipersembahkan kepada tuannya Enmerkar, yang ia sebut sebagai "keturunan dari dia yang janggutnya berkilau-kilau, yang oleh lembunya yang kokoh dilahirkan di pegunungan segala me yang bersinar-sinar, yang dibesarkan di atas bumi Aratta, yang menyusu pada ambing lembu yang baik, yang layak atas jabatan di Kulaba."
Raja Aratta menjawab bahwa mustahil ia takluk kepada Uruk, sebab Inanna sendiri telah memilihnya untuk menduduki jabatannya dan memegang kekuasaannya. Akan tetapi pewarta itu kemudian memberitahukan kepadanya bahwa Inanna telah dinobatkan sebagai ratu di E-ana dan bahkan telah berjanji kepada Enmerkar untuk menjadikan Aratta tunduk kepada Uruk.
Hancur mendengar warta ini, penguasa Aratta pun memberikan jawabannya: ia sudah lebih dari siap untuk beradu kekuatan dengan Uruk, yang dipandangnya tidak sebanding dengan kekuatannya; akan tetapi ia bersedia takluk, asalkan Enmerkar mengirimkan kepadanya sejumlah besar butiran jelai, dan agar Inanna meyakinkannya bahwa ia telah menelantarkan Aratta dan menegaskan kesetiaannya kepada Uruk.
Pewarta itu kembali ke hadapan Enmerkar dengan membawa jawaban ini, dan pada hari berikutnya Enmerkar pun mengirimkan jelai ke Aratta, bersama dengan pewarta itu dan tuntutan lain untuk mengirimkan bahkan lebih banyak lagi ratna mutu manikam.
Penguasa Aratta, demi menjaga martabatnya, menolak dan sebaliknya meminta agar Enmerkar sendiri mengantarkan kepadanya ratna mutu manikam itu. Tatkala mendengar berita ini, Enmerkar pun menyiapkan sebuah tongkat kerajaan penuh hiasan selama sepuluh tahun, kemudian mengirimkannya ke Aratta bersama pembawa pesannya. Hal ini membuat penguasa Aratta menjadi takut, karena ia sekarang menyaksikan sendiri bahwa Inanna benar-benar telah meninggalkannya, akan tetapi ia justru mengusulkan pertarungan satu lawan satu antara dua petarung unggulan dari dua kota itu untuk memutuskan hasil dari pertikaian yang masih diplomatis itu. Raja Uruk menanggapinya dengan menerima tantangan itu, sambil menambah tuntutannya kepada rakyat Aratta untuk memberikan persembahan yang berharga bagi E-ana dan abzu, atau harus berhadapan dengan penghancuran dan tercerai-berai. Untuk meringankan beban si pewarta, yang karena terlampau bersusah-payah, tidak mampu lagi mengingat keseluruhan pesan yang harus disampaikannya, Enmerkar kemudian memanfaatkan sebuah penemuan baru: tulisan pada loh-loh yang terbuat dari tanah liat. Si pewarta sekali lagi melintasi "tujuh pegunungan" menuju Aratta, dengan membawa serta loh-loh itu, dan tatkala raja Aratta mencoba membaca pesan itu, Isykur, dewa badai, mencurahkan hujan deras yang menghasilkan gandum liar dan kacang-kacangan yang kemudian dipersembahkan kepada raja. Melihat itu semua, raja mengumumkan bahwa Inanna sebenarnya tidaklah menelantarkan Aratta sebagai kota yang utama, lalu memanggil petarung unggulannya.
Pada sisa naskah terdapat banyak lacunae-(hilangnya baris-baris naskah) sehingga kelanjutan kisah menjadi tidak jelas, akan tetapi tampaknya diakhiri dengan kemenangan Enmerkar, mungkin sekali ditabalkan oleh Inanna untuk menduduki tahta Aratta, dan diakhiri pula dengan kisah penduduk Aratta mempersembahkan upeti bagi E-ana, dan menyediakan bahan-bahan untuk pembangunan Apsû.
Sebuah naskah berisi hikayat lain, Enmerkar dan En-suhgir-ana, tampaknya merupakan kelanjutan dari wiracarita ini.
Referensi
Pranala luar
|
---|
Geografi | | |
---|
Sejarah | |
---|
Bahasa | |
---|
Budaya | |
---|
Mitologi | |
---|
Arkeologi | |
---|