Efrátis (Εὐφράτης), nama Sungai Efrat dalam bahasa Yunani Kuno, seakan-akan terbentuk dari penggabungan kata eu (εὖ) yang berarti "baik" dan frato (ϕράζω) yang berarti "aku nyatakan", tetapi sesungguhnya diserap dari bahasa Persia Lama, Ufrātu (𐎢𐎳𐎼𐎠𐎬𐎢),[1] yang juga diserap dari bahasa Elamú-ip-ra-tu-iš (𒌑𒅁𒊏𒌅𒅖). Nama dalam bahasa Elam ini pun berasal dari sebuah nama yang dalam aksara paku tertulis 𒌓𒄒𒉣. Dalam bahasa Sumer, huruf-huruf ini dilafalkan "buranuna", tetapi dalam bahasa Akad dilafalkan "purattu". Ada banyak kata beraksara paku yang sama persis bentuknya, tetapi dilafalkan berlainan dalam bahasa Sumeria dan bahasa Akadia, kendati sama saja artinya. Purattu, nama sungai Efrat dalam bahasa Akad,[2] terlestarikan dalam bahasa-bahasa Semit (bdk. Pərāṯ dalam bahasa Suryani, dan Al Furāt dalam bahasa Arab) dan bahasa bangsa-bangsa lain di sekitarnya (bdk. Puranti dalam bahasa Huri , dan Uruttu dalam bahasa Subartu). Bentuk Elam, Akad, dan mungkin pula bentuk Sumer diduga berasal dari bahasa substratum yang tak tercatat.[3]Tamaz V. Gamkrelidze dan Vyacheslav Ivanov menduga bahwa kata *burudu dalam bahasa Proto-Sumer (urudu dalam bahasa Sumer), yang berarti "tembaga", adalah cikal bakal dari nama Sungai Efrat, dengan alasan bahwa Sungai Efrat adalah jalur pengangkutan bijih tembaga dengan menggunakan rakit, karena Mesopotamia adalah pusat kepandaian mengolah tembaga pada zaman Sumer.[4]
Rujukan tertua bagi Sungai Efrat tercantum dalam naskah-naskah beraksara paku yang ditemukan di kota Šurupak dan di kota Nipur pra-Sargon yang berada di kawasan selatan Irak. Naskah-naskah ini diperkirakan berasal dari pertengahan milenium ke-3 pra-Masehi. Di dalam naskah-naskah berbahasa Sumer ini, Sungai Efrat dinamakan Buranuna (logograf: UD.KIB.NUN). Nama ini dapat pula ditulis KIB.NUN.(NA) maupun dKIB.NUN, diawali dengan imbuhan "d", yang menunjukkan bahwa sungai ini didewakan. Nama kota Sipar di Irak dalam bahasa Sumeria juga ditulis UD.KIB.NUN, sehingga menyiratkan adanya hubungan kesejarahan yang erat antara kota ini dan Sungai Efrat.
Aliran Sungai Efrat melewati sejumlah mintakat vegetasi yang berbeda-beda. Meskipun keberadaan manusia selama ribuan tahun di sebagian besar daerah lembah Sungai Efrat telah merusak bentang alamnya, masih ada lingkungan-lingkungan vegetasi asli. Curah hujan tahunan yang tetap dari daerah hulu Sungai Efrat sampai ke Teluk Persia sangat menentukan jenis-jenis vegetasi yang dapat ditunjang alam. Aliran udik Sungai Efrat, yang melewati daerah pegunungan di kawasan tenggara dan lereng-lereng perbukitan di kawasan selatan wilayah negara Turki, menunjang keberadaan mintakat hutan belukargersang. Spesies tumbuh-tumbuhan di daerah-daerah yang lebih lembap pada mintakat ini adalah berbagai jenis pohon ek, pistacio, dan rosaceae (mawar-mawaran). Daerah-daerah yang lebih kering pada mintakat ini hanya ditumbuhi hutan ek yang lebih renggang dan rosaceae. Di mintakat ini terdapat pula berbagai jenis serealia, antara lain gandum biji tunggal, gandum biji ganda, gandum hitam, dan haver.[5] Di selatan mintakat ini, terbentang mintakat campuran antara hutan belukar dan stepa. Di antara kota Raqqah dan perbatasan Suriah-Irak, Sungai Efrat mengalir melewati bentangan stepa yang luas. Tumbuhan khas stepa ini adalah artemisia herba-alba (sudamala putih) dan chenopodiaceae (bayam-bayaman). Sepanjang sejarah, mintakat ini digunduli oleh penduduknya yang mencari penghidupan dengan cara membiakkan serta menggembalakankambing dan biri-biri.[6] Di sebelah tenggara perbatasan Suriah-Irak, terbentang padang gurun yang sesungguhnya. Mintakat ini sama sekali tidak menunjang keberadaan vegetasi atau hanya bidang-bidang kecil yang ditumbuhi chenopodiaceae dan poa sinaica (rumput biru semusim). Kendati kini sudah musnah lantaran ulah manusia, penelitian menunjukkan bahwa daerah lembah Sungai Efrat pernah memiliki hutan tepian sungai. Spesies tumbuh-tumbuhan yang menjadi ciri khas hutan tepian sungai ini adalah platanus orientalis (pohon berangan), populus euphratica (pohon hawar efrat), tamarix (pohon tamariska), fraxinus (sejenis pohon salam), dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lahan basah.[7]
Di antara berbagai spesies ikan yang hidup di perairan Sungai Efrat dan Sungai Tigris, yang paling umum dijumpai orang adalah spesies-spesies cyprinidae (ikan mas), yakni 34 spesies dari keseluruhan 52 spesies ikan yang ada.[8] Di antara berbagai spesies cyprinidae, luciobarbus esocinus memiliki sifat-sifat yang disukai para penggemar kegiatan memancing, sampai-sampai dijuluki "ikan salem tigris" oleh orang-orang Inggris. Rafetus euphraticus adalah sejenis trionychidae (kura-kura cangkang lunak) yang hanya hidup di perairan Sungai Efrat dan Sungai Tigris.[9][10]
Relief-relief istana Kekaisaran Asyur Baru, yang dibangun pada milenium pertama pra-Masehi, menggambarkan adegan perburuan singa dan banteng di bentang alam yang subur.[11] Orang-orang Eropa, yang pernah berkelana sampai ke daerah lembah Sungai Efrat di Suriah pada kurun waktu abad ke-16 sampai abad ke-19, melaporkan tentang keberagaman margasatwa di daerah tersebut. Kini banyak yang sudah langka bahkan punah. Spesies-spesies satwa seperti kijang, equus hemionus (keledai liar), dan burung unta arab (sudah punah), hidup bebas di kawasan stepa yang memagari daerah lembah Sungai Efrat, sementara daerah lembah Sungai Efrat itu sendiri merupakan daerah yang dihuni satwa celeng. Spesies-spesies satwa pemakan daging yang hidup di daerah ini adalah serigala kelabu, canis aureus (jakal), rubah merah, macan tutul, dan singa. Beruang cokelat syam mendiami daerah pegunungan di kawasan tenggara Turki. Keberadaan castor fiber (berang-berang pengerat erasia) dibuktikan oleh sekumpulan tulang temuan dari situs prasejarah Abu Hurairah di Suriah, tetapi berang-berang pengerat ini tidak pernah dilihat orang sepanjang zaman sejarah.[12]
Sejarah
Abad Kuno
Pada Zaman Jemdet Nasr (3600–3100 SM) dan Zaman Wangsa Perdana (3100–2350 SM), terjadi pertambahan jumlah maupun ukuran permukiman manusia di kawasan selatan Mesopotamia, yang menyiratkan adanya lonjakan populasi. Permukiman-permukiman ini, yang mencakup situs-situs bangsa Sumer-Akad seperti Sipar, Uruk, Adab, dan Kiš, adalah negara-negara kota yang saling bersaing.[13] Banyak dari kota-kota ini dibangun di tepi aliran Sungai Efrat dan Sungai Tigris, yang kini sudah mengering, tetapi masih dapat dilihat bekas-bekasnya dalam citra-citra pengindraan jarak jauh.[14] Perkembangan serupa juga berlangsung di kawasan udik Mesopotamia, Subartu, dan Asyur, kendati baru bermula pada pertengahan milenium ke-3 dan dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan kawasan hilir Mesopotamia. Pada kurun waktu inilah situs-situs seperti Ebla, Mari, dan Tel Leilan tumbuh menjadi kota-kota terkemuka untuk pertama kalinya.[15]
Sebagian besar daerah Lembah Sungai Efrat untuk pertama kalinya dipersatukan di bawah daulat penguasa tunggal pada zaman Kekaisaran Akad (2335–2154 SM) dan Kekaisaran Ur III, yang menguasai sebagian besar dari wilayah negara Irak dan kawasan timur laut wilayah negara Suriah sekarang ini, baik secara langsung maupun melalui jajahan-jajahannya.[16] Sesudah dua kekaisaran ini runtuh, Kekaisaran Asyur Lama (1975–1750 SM) dan Kerajaan Mari mendaulat kawasan timur laut Syam dan kawasan utara Mesopotamia, sementara kawasan selatan Mesopotamia dikuasai oleh negara-negara kota seperti Isin, Kiš, dan Larsa, sebelum dijadikan bagian dari wilayah negara Babel oleh Hamurabi mulai dari permulaan sampai dengan pertengahan abad ke-18 SM.[17]
Pada separuh akhir milenium ke-2 SM, daerah lembah Sungai Efrat terbagi menjadi wilayah Kerajaan Babel Kerajaan Babel Orang Kasi di sebelah selatan, dan wilayah Kerajaan Mitani, Kerajaan Asyur, serta Kekaisaran Orang Het di sebelah utara. Pada akhirnya, Kekaisaran Asyur Pertengahan (1365–1020 SM) berdaulat atas Kekaisaran Orang Het, Kerajaan Mitani, dan Kerajaan Babel Orang Kasi.[18] Sesudah Kekaisaran Asyur Pertengahan runtuh pada penghujung abad ke-11 SM, Kerajaan Babel dan Kerajaan Asyur bertarung memperebutkan daerah lembah Sungai Efrat yang kini termasuk wilayah negara Irak. Kekaisaran Asyur Baru (935–605 SM) pada akhirnya berjaya memenangi pertarungan ini, bahkan berhasil pula menguasai kawasan utara daerah lembah Sungai Efrat pada separuh awal milenium pertama pra-Masehi.[19]
Dari abad ke abad kemudian, daerah lembah Sungai Efrat silih berganti dikuasai oleh Kekaisaran Asyur Baru (runtuh antara tahun 612 dan 599 SM), Kekaisaran Orang Madai (612–546 SM), serta Kekaisaran Babel Baru (612–539 SM) pada tahun-tahun menjelang akhir abad ke-7 SM, dan pada akhirnya jatuh ke tangan Kekaisaran Wangsa Hakamanes (539–333 SM).[20] Kekaisaran Wangsa Hakamanes pun pada gilirannya ditaklukkan oleh Aleksander Agung, Raja Makedonia yang mengalahkan Raja Darius III dan wafat di Babel pada tahun 323 SM.[21]
Seusai Perang Dunia I, tapal-tapal batas antarnegara di kawasan barat daya Asia diperbaharui dengan Perjanjian Lausanne tahun 1923, berbarengan dengan pemecahbelahan wilayahKekaisaran Utsmaniyah. Klausa 109 dari perjanjian ini mewajibkan ketiga negara yang terletak di tepi Sungai Efrat kala itu, yakni Turki, Prancis di Wilayah Mandat Suriah, dan Inggris Raya di Wilayah Mandat Irak, untuk merumuskan kesepakatan bersama terkait pemanfaatan air Sungai Efrat dan segala macam pembangunan instalasi tenaga air.[22] Kesepakatan antara Turki dan Irak, yang ditandatangani pada tahun 1946, mewajibkan Turki untuk melaporkan kepada Irak setiap kali melakukan perubahan dalam bentuk apa pun atas pemanfaatan tenaga air Sungai Tigris dan Sungai Efrat, dan memperbolehkan Irak membangun bendungan-bendungan di wilayah Turki untuk mengatur aliran Sungai Efrat.[23]
Gambar Sungai Efrat ditampilkan dalam Lambang Negara Irak pada kurun waktu 1932-1959.