Mayotte (bahasa Prancis: Mayotte, diucapkan [majɔt]; Shimaore: Maore, [maore]; Kibushi: Mahori), secara resmi Region Mayotte (Prancis: Region de Mayotte), merupakan sebuah RegionPrancis yang terdiri dari sebuah pulau utama, Grande-Terre (atau Mahoré), satu pulau kecil, Petite-Terre (atau Pamanzi), dan beberapa kepulauan kecil di sekitar dua pulau tersebut.
Pulau utama, Grande-Terre (atau Mahoré), secara geografi merupakan yang tertua dari Kepulauan Komoro, 39 kilometer (24 mil) panjangnya dan 22 kilometer (13½ mil) lebarnya, dan titik tertingginya adalah Gunung Benara (Prancis: Mont Bénara; Shimaore: Mlima Bénara) dengan 660 meter (2.165 kaki) di atas permukaan laut. Karena terdapat gunung berapi, tanahnya subur di beberapa daerah. Karang koral yang mengelilingi kebanyakan pulau menjamin perlindungan kapal dan tempat tinggal hewan laut.
Dzaoudzi adalah ibu kota Mayotte hingga 1977. Dzaoudzi terletak di Petite-Terre (atau Pamanzi) yang memiliki luas 10 kilometer persegi (3.9 mil persegi) dan merupakan pulai terbesar dari beberapa pulau kecil dekat Mahoré. Mayotte adalah anggota Komisi Samudera Hindia, dengan keanggotaan terpisah dari Kepulauan Komoro.
Sejarah
Untuk sejarah Mayotte sebelum 1974, lihat Sejarah Komoro.
Tahun 1500, kesultanan Maore atau Mawuti (berdasarkan جزيرة الموت dalam Bahasa Arab (berarti pulau para orang mati/kematian) dan berubah menjadi Mayotte dalam Bahasa Prancis) didirikan di pulau itu.
Tahun 1503, Mayotte ditemukan oleh penjelajah Portugis, tetapi tidak dijadikan koloni.
Tahun 1832, pulau ini dikuasai oleh Andriantsoly, bekas raja Iboina di Madagaskar; tahun 1833 dikuasai kesultanan tetangganya, Mwali (Mohéli dalam Bahasa Prancis); tanggal 19 November 1935 dikuasai kembali oleh kesultanan Ndzuwani (Anjouan dalam Bahasa Prancis; pemerintahan ditetapkan dalam bentuk Qadi (dari bahasa Arab قاض yang berarti hakim), sejenis 'Magistrat Penghuni' dalam sebutan Britania), tetapi tahun 1836 kemerdekaan diraih dibawah Sultan setempat terakhir.
Mayotte bersama dengan Kepulauan Komoro lainnya dibeli oleh Prancis tahun 1843. Saat Kepulauan Komoro memasuki pemilihan referendum tahun 1974 dan 1976 untuk memerdekakan diri dari Prancis, Mayotte menjadi satu-satunya bagian konstituensi yang menolak kemerdekaan dan memilih untuk tetap bergabung dengan Prancis (masing-masing 63,8% dan 99,4%). Walau begitu, Komoro tetap mengklaim Mayotte sebagai bagian dari negara mereka. Draf resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1976 yang didukung oleh 11 dari 15 anggota Dewan mengakui kedaulatan Komoro atas Mayotte, tetapi Prancis melakukan veto atas resolusi itu (sampai 2011, penolakan resolusi itu menjadi satu-satunya kejadian di mana Prancis memberikan veto tunggal atas suatu resolusi PBB). Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan berbagai resolusi mengenai masalah itu, yang diangkat dari judul: "Pertanyaan Pulau Mayotte di Komoro" tahun 1995. Sejak 1995, Mayotte tidak lagi dibicarakan oleh Majelis Umum.
Setelah 10 tahun menjadi jajahan seberang laut Prancis, Mayotte resmi menjadi departemen seberang laut Prancis pada Maret 2011 berdasarkan hasil dari referendum 29 Maret 2009.[2] Dalam hasil referendum tersebut, 95,5 persen pemilih memilih untuk mengubah status pulau tersebut dari "jajahan seberang laut" menjadi departemen ke-101 Prancis.[3] Hukum Islam tradisional tidak resmi yang diterapkan di dalam beberapa aspek dalam kehidupan masyarakat Mayotte sehari-hari akan dihapuskan secara bertahap dan digantikan oleh hukum Prancis yang menjanjikan kebebasan beragama, melarangkan poligami, dan menyetarakan hak-hak laki-laki dan perempuan.[4] Selain sistem perpajakan Prancis yang akan diterapkan di Mayotte sebagai syarat menjadi departemen, kesejahteraan sosial Mayotte akan dinaikkan secara bertahap selama 20 tahun supaya setara dengan departemen-departemen Prancis Metropolitan.[5]
Situasi Mayotte sangat tidak menentu bagi Prancis: sementara penduduk lokal tidak ingin merdeka dari Prancis dan bergabung dengan Komoro, beberapa rezim sayap kiri bekas koloni mengkritik pelanjutan hubungan Mayotte dengan Prancis. Lebih jauh, administrasi lokal Mayotte yang diatur oleh hukum Islam akan cukup sulit digabungkan dengan struktur hukum Prancis yang berbasis sekularisme (pemisahan urusan politik dan agama), belum lagi biaya yang diperlukan untuk menyamakan kesejahteraan hidup Mayotte agar sama dengan Prancis Metropolitan. Dalam hal ini, hukum yang disahkan parlemen nasional Prancis harus menyatakan bahwa hukum tersebut berlaku di Mayotte supaya dapat diberlakukan di Mayotte.
Status Mayotte berubah tahun 2001 menjadi sangat dekat dengan status departemen di Prancis Metropolitan, dengan pembentukan jajahan departemen yang khusus diberlakukan di Mayotte, meskipun pulau ini masih diklaim oleh Kepulauan Komoro. Perubahan ini disetujui 73% pada referendum di Mayotte. Setelah reformasi konstitusional tahun 2003, statusnya diubah menjadi jajahan seberang laut sementara masih memegang status sebagai jajahan departemen.
Berdasarkan referendum tahun 2009 yang disetujui oleh 95,5% pemilih dan ditetapkan tahun 2011, Mayotte diintegrasikan sebagai region dan departemen terbaru Prancis, departemen ke-101, menyusul departemen-departemen seberang laut lainnya, seperti Réunion dan Guiana Prancis. Dengan ini, Mayotte akan menggunakan sistem hukum dan sosial yang sama dengan departemen-departemen Prancis lainnya. Hal ini akan menggantikan sistem hukum tradisional dengan hukum perdata Prancis yang mengubah sistem pengadilan, pendidikan, sosial, dan keuangan. Proses ini diharapkan akan selesai dalam jangka waktu 20 tahun.
Walau status Mayotte telah berkembang dari jajahan seberang laut menjadi departemen seberang laut yang membuatnya menjadi bagian penuh Republik Prancis, selama 3 tahun setelah referendum 2009, Mayotte masih menjadi negara dan teritori seberang laut dalam hubungan dengan Uni Eropa dan bukan unsur komponen Uni Eropa seperti halnya keempat departemen seberang laut lainnya. Hal ini berubah pada tanggal 1 Januari 2014 berdasarkan instruksi Dewan Eropa pada Desember 2013 setelah persetujuan 27 anggota Uni Eropa yang mengikuti petisi Prancis yang menjadikan Mayotte menjadi region paling luar Uni Eropa. Dengan ini, Mayotte resmi menjadi unsur komponen Uni Eropa.
Pembagian administratif
Mayotte terbagi menjadi 17 komune. Terdapat juga 19 kanton yang masing-masing dimiliki oleh salah satu komune, kecuali komune Mamoudzou yang dibagi menjadi tiga kanton (tidak ditampilkan di bawah). Tidak seperti departemen Prancis lainnya, Mayotte tidak memiliki arondisemen (subdivisi departemen di atas komune).
INSEE memperkirakan bahwa jumlah GDP Mayotte mencapai 610 juta euro tahun 2001 (US$547 juta pada nilai tukar tahun 2001; US$903 juta pada nilai tukar Jan. 2008).[6] Pada tahun yang sama GDP per kapita Mayotte 3.960 euro (US$3.550 pada nilai tukar tahun 2001; US$5.859 pada nilai tukar Jan. 2008),[6] yang 9 kali lebih tinggi dari GDP per kapita Komoro tahun itu, tetapi hanya sepertiga GDP per kapita Réunion dan 16% GDP per kapita Prancis Metropolitan.[6]
Demografi
Sensus Agustus 2012 menunjukkan 212.645 orang menetap di Mayotte.[1] Pada sensus 2002 64.7% orang yang menetap di Mayotte lahir di Mayotte, 3.9% lahir di seluruh Republik Prancis (Prancis Metropolitan atau Prancis seberang laut kecuali Mayotte), 28.1% imigran dari Komoro, 2.8% imigran dari Madagaskar, dan 0.5% sisanya dari negara lain.[7]
Lebih dari 90% penduduk Mayotte adalah orang Komoro. Bangsa Komoro adalah perpaduan dari pendatang yang menetap di Kepulauan Komoro beratus tahun silam: pedagang Arab, Iran, Afrika, dan Malagasi.
Mayotte adalah satu-satunya departemen Prancis (metropolitan maupun seberang laut) yang penduduknya mayoritas beragama Islam;[8] sekitar 97% adalah Muslim, sementara sisanya beragama Kristen (sebagian besar Katolik).[9] Hal ini disebabkan karena Mayotte beserta Kepulauan Komoro lainnya pernah menjadi bagian dari kesultanan-kesultanan Afrika Timur yang berasal dari Jazirah Arab dalam kurun waktu yang cukup lama (Zanzibar adalah contoh lain kepulauan Afrika Timur yang dikuasai kesultanan). Pengaruh dari Islam dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari Mayotte bila dibandingkan dengan departemen Prancis lain: hingga sistem hukum perdata Prancis diterapkan, imam dijunjung sebagai kepala dewan hukum Mayotte (spiritual dan politik), pria dapat berpoligami, sistem pewarisan mengurangkan jumlah warisan yang diterima wanita (sesuai sistem warisan Islam), dan wanita dilegalkan untuk menikah sejak usia 15 tahun. Setelah hukum baru diterapkan pada tahun 2011, Mayotte menjadi negara sekuler dengan pelepasan agama dalam urusan sehari-hari (imam hanya diperbolehkan untuk menangani urusan spiritual), pelarangan poligami, penaikan usia legal wanita untuk menikah menjadi 18 tahun, dan penyamaan jumlah warisan yang diterima oleh wanita.
Bahasa
Bahasa resmi satu-satunya Mayotte adalah bahasa Prancis. Bahasa Prancis digunakan dalam komunikasi formal, seperti dalam pendidikan, bisnis, dan politik, serta untuk bagian komersial seperti televisi dan radio. Walau begitu, bahasa Prancis tidak digunakan seluas departemen-departemen Prancis lain; menurut sensus 2002, hanya 55% penduduk di atas 15 tahun yang menyatakan bahwa mereka dapat membaca dan menulis dalam bahasa Prancis, meskipun jumlah ini lebih banyak dari bahasa Shimaore (41%) atau Arab (33%). Kebanyakan penduduk lansia tidak dapat berbahasa Prancis karena mereka tumbuh dalam masa di mana Mayotte belum menjadi departemen seberang laut Prancis (atau jajahan seberang laut sebelum 2011).
Sementara itu, bahasa asli Mayotte yang dikenal luas oleh penduduk adalah:
Kiantalaotsi, dialek barat bahasa Malagasi juga dipengaruhi Shimaore dan Arab
Kibushi dituturkan di selatan dan barat laut Mayotte, sementara Shimaore di daerah lainnya.
Bahasa tidak asli juga dituturkan di Mayotte:
Arab, sebagai bahasa liturgi Islam, dituturkan di madrasah
berbagai dialek bahasa Komoro yang dibawa oleh imigran yang tiba di Mayotte sejak 1974: Shindzwani (dialek Anjouan), Shingazidza (dialek Grande Comore), dan Shimwali (dialek Mohéli).
Shingazidza dan Shimwali pada satu sisi dan Shimaore di sisi lainnya sangat sulit dipahami satu sama lain. Shindzwani dan Shimaore mudah dipahami.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Prancis tahun 2006 di antara murid CM2 (sama dengan kelas lima di AS dan Tahun 6 di Inggris dan Wales). Pertanyaan yang diajukan mengenai bahasa yang dituturkan murid dan orang tua mereka. Menurut survei, peringkat bahasa ibu adalah (menurut jumlah penutur bahasa pertama dalam jumlah penduduk seluruhnya; persentase mencapai lebih dari 100% karena beberapa orang menuturkan dua bahasa):[10]
Shimaore: 55.1%
Shindzwani: 22.3%
Kibushi: 13.6%
Shingazidza: 7.9%
Prancis: 1.4%
Shimwali: 0.8%
Arab: 0.4%
Kiantalaotsi: 0.2%
Lainnya: 0.4%
Tetapi, ketika penghitungan termasuk penutur bahasa kedua (contohnya seseorang yang bahasa ibunya Shimaore tetapi juga menuturkan Prancis sebagai bahasa kedua) peringkatnya menjadi:
Shimaore: 88.3%
Prancis: 56.9%
Shindzwani: 35.2%
Kibushi: 28.8%
Shingazidza: 13.9%
Arab: 10.8%
Shimwali: 2.6%
Kiantalaotsi: 0.9%
Creole: 0.1%
Lainnya: 1.1%
Dengan keharusan sekolah untuk mengajarkan anak-anak dalam bahasa Prancis serta dan pembangunan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat Prancis setelah pengangkatan status Mayotte, bahasa Prancis telah berkembang cepat di Mayotte beberapa tahun belakangan ini. Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional memperlihatkan bahwa penutur bahasa Prancis sebagai bahasa pertama dan kedua 56.9% dari seluruh populasi, figur ini hanya 37.7% bagi orang tua murid CM2, tetapi mencapai 97.0% bagi murid CM2 itu sendiri (berusia antara 10 dan 14 tahun).
Telah terdapat beberapa keluarga yang hanya berbicara bahasa Prancis kepada anaknya untuk membantu kemajuan sosialnya. Dengan sekolah Prancis dan televisi berbahasa Prancis, banyak remaja menggunakan bahasa Prancis atau beberapa kata Prancis ketika berbicara bahasa Shimaore dan Kibushi, sementara terdapat kekhawatiran bahasa asli Mayotte dapat punah atau menjadi bahasa kreol berbasis Prancis.[11]