Machmud Singgirei Rumagesan (27 Desember 1885 – 5 Juli 1964) adalah seorang pejuang asal Papua, dan merupakan seorang Raja di Kerajaan Sekar, salah satu petuanan di Semenanjung Onin yang bergelar Raja al-Alam Ugar Pik-Pik Sekar.[4] Ia juga dikenal dengan julukan "Jago Tua dari Irian Barat".[3]
Dalam rangka melawan Belanda, ia mendirikan Gerakan Tjendrawasih Revolusioner Irian Barat (GTRIB).[5] Pada tanggal 10 November 2020, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Indonesia Joko Widodo.[6]
Kehidupan awal
Machmud Singgirei Rumagesan lahir pada tanggal 28 Desember 1885 di Kokas, Fakfak, adalah anak dari rajamuda bernama Saban Pipi Rumagesan, sebetulnya secara keturunan Pipi bukan seorang berdarah biru. Namun hanya seorang anak dari Dimin, anak angkat dari Raja Komisi Kabituwar pertama yang bernama Paduri, ayah dari Pandai yang disebut juga Congan, Raja Kabituwar berikutnya. Saat Pandai meninggal, ia tidak memiliki saudara atau keturunan yang cocok untuk memimpin karena anaknya, Abdulrachim masih kecil. Karena saat itu kekosongan kekuasaan maka Pipi sementara diangkat menjadi raja muda walaupun secara hukum adat seharusnya tidak diperbolehkan. Lalu akibat intervensi Belanda, Pipi diangkat menjadi Raja Sekar tahun 1911, sedangkan Singgirei diangkat menjadi raja muda untuk membantu ayahnya. Saat Pipi meninggal tahun 1915, Singgirei diangkat menjadi raja penerusnya.[7]
Awal konflik dengan Belanda
Raja Singgirei Rumagesan terlibat konflik dengan sebuah perusahaan maskapai perminyakan asal Belanda, Maatschappij Colijn. Pada mulanya tahun 1934 saat perusahaan itu datang mereka difasilitasi oleh Raja Rumagesan dengan bantuan rakyatnya. Sehingga perusahaan tersebut menyetujui ketika pembayaran diberikan kepada Raja Rumagesan untuk didistribusikan, hal ini berlaku 2-3 bulan. Akan tetapi bestuur assistent hukum meminta agar uang pembayaran diberikan kepadanya ketika ditolak, ia mengadu ke Kontrolir G. van den Terwijk. Kemudian kontrolir tersebut marah kepada Raja Rumagesan, ia lalu terlibat adu mulut yang berlanjut menjadi pertengkaran. Mendengar peristiwa ini rakyatnya turut marah dan mencoba membunuh van den Terwijk dan bestuur hukum. Keadaan ini dilaporkan bestuur hukum dan Raja Rumbati, Abu Bakar ke pemerintah di Fakfak. Pada malam itu juga jam 8, sebuh kapal yang memuat pasukan mendarat di Kokas dan mengepung rumah Rumagesan. Raja Rumagesan lalu ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Fakfak. Selang tiga hari kemudian rakyat yang berencana membunuh kontrolir dikumpulkan berjumlah 73 orang, diantaranya ada 5 kepala kampung. Dengan mendapatkan siksaan, mereka juga dipenjarakan dengan hukuman yang berbeda-beda dari dua sampai sepuluh tahun. Sedangkan Raja Rumagesan mendapat hukuman limabelas tahun. Dia dikirim ke Pulau Saparua atas perintah Landschap Rabahan di Fakfak. Disana ia dapat mengirim surat meminta bantuan kepada Mohammad Husni Thamrin yang merupakan anggota Volksraad, untuk menuliskan rekes kepada Hoofd-Djaksa Tantua. Rumagesan menang di pengadilan karena diluar suratnya tertulis nama Abu Bakar Tan, jadi bukan namanya. Terpaksa A.R. Jansen mengirim jaksa untuk ke Ambon untuk menghitung ongkos dan gaji Raja Rumagesan selama di penjara, yang kurang lebih berjumlah 17.000 Rupiah (tahun 1957). Sebelum Jepang datang, ia sudah dibebaskan pada tahun 1941.[3][8][9]
Pada masa transisi Jepang, Raja Rumagesan dicari dan diberikan sebuah gelar "Minanu Tokyo", yang berarti "Tokyo Selatan" dan mendapatkan surat kuasa. Gelar ini kemungkinan merupakan hinaan terhadap Raja Rumagesan dikarenakan ia dianggap tidak bisa membaca. Ia kemudian menumpang kapal yang dibeli dari Raja Asilolo Illi untuk pulang ke Kokas. Akan tetapi kemudian Jepang datang lagi dan memintanya untuk tunduk kepada pemerintah Jepang. Saat Jepang kalah pada tahun 1945, pasukan sekutu mulai mendarat san meminta Raja-raja Papua untuk mengibarkan bendera Belanda. Pada tanggal 1 Maret 1946, Raja Rumagesan meminta rakyatnya untuk menurunkan bendera Belanda. Beberapa usaha menentang Belanda ini juga dilakukan oleh Raja-raja Papua lainnya seperti di Kaimana oleh Raja Aituarauw dengan MBKIB. Atas tindakan ini terjadi pertempuran besar dimana pemerintah Belanda membawa pasukan bantuan dari Sorong. Raja Rumagesan sendiri ditangkap dan dibawa ke Pulau Doom, Sorong.[3]
Disanapun Raja Rumagesan tetap memiliki pengaruh yang besar sehingga ia berhasil melakukan pemberontakan lagi dengan dibantu Tipan dan Sangaji lokal, seperti Sangaji Malan. Mereka berhasil mengumpulkan pasukan dari mantan anggota Hei-Ho, anggota dari organisasi Perintis Kemerdekaan bentukan Sangaji Malan,[10] dan berhasil mengumpulkan hingga 40 pucuk senjata. Rencananya penyerangan akan dilakukan jam 5 pagi, dan pada saat itu Raja Rumagesan sedang sembahyang di mesjid, ia ditangkap otoritas belanda disana. Raja Rumagesan lalu dipenjara di tangsi komandan irian di Manokwari.[3]
Diperjalanan menuju Manokwari, Raja Rumagesan berhasil lagi melakukan pemberontakan kali ini dibantu pemuda-pemuda Papua seperti Hawai, S.D. Kawab, dan Nihkawi. Direncanakan mereka akan membakar tangsi Manokwari. Akan tetapi kali ini upaya itu gagal dan Rumagesan kemudian dipenjara di Hollandia. Pemuda-pemuda tersebut juga dimasukkan kedalam penjara. Disana ia sering berpidato di Kampung Baru. Dengan surat tgl 2 Mei 1949, No 125/49 oleh hakim pemerintah Hindia Belanda, beliau dijatuhi hukuman mati. Keputusan tersebut ditentang keras oleh sesama tahanan sehingga diganti menjadi hukuman seumur hidup atas pembelaan Advokat Laparan yang datang dari Surabaya, pada tanggal 5 Desember 1949. Raja Rumagesan lalu dipindahkan ke penjara di Makassar lalu penjara Nusakambangan.[9] Atas surat keputusan Pemerintah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Mei 1950, No 44/A, ia akhirnya dibebaskan.[11]
Pada tanggal 24 Juni 1950, ia diantar oleh Albert Karubuy untuk bertemu dengan Presiden Sukarno, berdasarkan pengakuan sekretarisnya bernama A. W. Rambitan, Raja Rumagesan berkenalan dengan Sukarno sebagai Raja asli Irian; ia mengucapkan terima kasih karena rakyat Indonesia bisa merdeka; tapi kecewa karena awalnya pidato Sukarno terdengar dari "Sabang sampai Merauke", tetapi sejak 1950 hanya menjadi "Sabang sampai Dobo" saja; Ia menyatakan setia dibelakang pemerintah RI, tetapi tunduk pada perjanjian Den Haag yang akan membahas masalah Irian satu tahun kemudian, akan tetapi sudah dua setengah tahun masih saja dijajah Belanda.[3]
Pada tanggal 26 Januari 1951, anak perempuan ke-limanya bernama Boke Salha ikut berpidato mendukung upaya pembebasan Irian di Balikpapan dengan menceritakan usaha ayahnya melawan Belanda tahun 1936.[3]
Pada tahun 1953, Raja Rumagesan membentuk Gerakan Tjendrawasih Revolusioner Irian Barat (GTRIB) dan bersama Abbas Iha, Gerakan Organisasi Pemuda Cendrawasih Muda. Dia bersama Raja Rumbati, Ibrahim Bauw, yang mendirikan organisasi Kesatuan Islam New Guinea (KING) memproklamirkan Jihad Fisabililah di masjid-masjid Papua.[12][13] Pada tahun yang sama, terjadi pemberontakan melawan Belanda di Fakfak yang dipimpin oleh Abutalib bin Paris dari Kokas.[14]
Sejak tahun 1950, Raja Rumagesan bersama N.L. Suwages merupakan perwakilan Irian Barat di Dewan Pertimbangan Agung.[15] Pada saat inilah rumah dinasnya juga ditinggali oleh pejuang asal Papua, J.A. Dimara, ketika ia sedang pemulihan akibat tertembak saar Invasi Pulau Buru terhadap RMS.[16]
Raja Rumagesan berkolaborasi langsung dengan Pemerintah seperti Kabinet Presiden dalam usaha pembebasan Irian seperti tahun 1954, permintaannya dikabulkan mendirikan pasukan batalyon untuk Irian yang bernama Batalyon Rumagessan dibawah T&T VII/Wirabuana untuk keperluan infiltrasi ke Nugini Belanda, pembentukan Biro Irian cikal bakal Provinsi Papua dan anggota pimpinannya, walaupun usulannya ada yang ditolak.[17]
Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) dibentuk tanggal 31 December 1959 untuk menyatukan seluruh usaha nasional untuk pembebasan Irian Barat. Operasi A dipimpin oleh Kol. Magenda bertujuan untuk melatih pasukan asal Papua untuk menginfiltrasi Nugini Belanda dari Maluku Utara, Operasi B akan fokus akan edukasi untuk Orang Papua, dan Operasi C dipimpin oleh Uyeng Suwargana bertujuan untuk mendekati kelompok di Belanda untuk ikut mendukung. Pada tanggal 13-15 April 1961, pada pemuda Papua yang berhasil kabur Nugini Belanda ke Indonesia[18] melaksanakan Konferensi Cibogo, Bogor, dengan tujuan menggabungkan usaha sipil dan militer pembebasan Irian Barat dan untuk menyaingi Dewan Nugini. Beberapa partisipan terkenal termasuk Rumagesan, N.L. Suwages, Silas Papare, Soegoro Atmoprasojo, Abdul Haris Nasution, dan Adrianus Leonard Marani. Pada Desember 1961, puncak berbagai usaha ini dengan deklarasi Tri Komando Rakyat oleh Presiden Sukarno pada tanggal 19 Desember 1961.[14]
Ketika Raja Rumagesan sedang mengunjungi Sulawesi bersama Presiden Sukarno, ia disambut oleh tarian tradisional lokal. Salah satu penari tersebut adalah Janiba, Putri 17 tahun Kerajaan Gowa,[2][20] yang kemudian menikah dengan Raja Rumagesan dan memiliki anak ke-enam Raja Rumagesan bernama Rustuty Rumagesan.[2]
Raja Rumagesan dilanjutkan oleh putranya, tetapi setelah meninggal ada konflik suksesi dimana Rustuty akhirnya disetujui menjadi raja akan tetapi ia menolak menggunakan gelar Raja dan menggunakan gelar "Ratu Petuanan Tanah Rata Kokoda".[2] Rustuty menikah dengan Tjitro Soeksoro, bangsawan keturunan Mangkunegara III. Ketika Rustuty meninggal raja Sekar selanjutnya adalah PYM. Arief Rumagesan, cucu kelima Raja Machmud Singgirei Rumagesan bergelar "Raja Petuanan Pikpik Sekar".[21]
^25 tahun Trikora. Google Play Books (dalam bahasa Kinyarwanda). Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat. 1988. Diakses tanggal 2021-11-01.