Pakubuwana XII
Letnan Jenderal TNI[4] (Tit.) Sri Susuhunan Pakubuwana XII (disingkat sebagai PB XII, bahasa Jawa: ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ XII; 14 April 1925 – 11 Juni 2004) adalah susuhunan Surakarta dan sempat menjadi Gubernur Daerah Istimewa Surakarta Dari tahun 1945 - 1946. yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun 1945 hingga 2004. Awal KehidupanNama aslinya adalah Raden Mas Suryo Guritno, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri KRAy. Koespariyah (bergelar GKR. Pakubuwana) pada tanggal 14 April 1925. Ia juga memiliki seorang saudara perempuan seibu bernama GRAy. Koes Sapariyam (bergelar GKR. Kedaton). Suryo Guritno pada masa kecilnya pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta. Oleh teman-temannya, Suryo Guritno sering dipanggil dengan nama Bobby. Di sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Pakubuwana X yang sebaya dengannya menempuh pendidikan. Suryo Guritno termasuk murid yang mudah bergaul dan hubungannya dengan teman-teman berlangsung akrab, bahkan ketika di sekolah pun ia bergaul tanpa memandang status sosial yang disandangnya. Waktu kecil ia gemar mempelajari tari-tarian klasik, dan yang paling digemari adalah Tari Handaga dan Tari Garuda. Ia juga pemuda yang gemar mengaji pada Bapak Pradjawijata dan Bapak Tjandrawijata dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain adalah olahraga panahan. Mulai tahun 1938 Suryo Guritno terpaksa berhenti sekolah cukup lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang memperoleh mandat mewakili kakeknya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama raja-raja di Hindia Belanda saat itu untuk menghadiri undangan perayaan peringatan 40 tahun kenaikan takhta Ratu Wilhelmina. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung) bersama beberapa pamannya. Baru dua setengah tahun ia belajar, pecah Perang Pasifik, dan waktu itu bala tentara Jepang menang melawan sekutu dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Jepang. Pakubuwana XI memintanya pulang dari Bandung ke Surakarta. Kemudian, ia harus menerima kenyataan menyedihkan lantaran pada Sabtu, 1 Juni 1945, Pakubuwana XI wafat. Berdasarkan tradisi maka KGPH. Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang paling berhak meneruskan takhta. Namun peluang itu tertutup setelah ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah mendahului wafat pada tahun 1910 sehingga tidak berkesempatan diangkat sebagai permaisuri tatkala suaminya mewarisi takhta kerajaan. Maka terbukalah peluang untuk Suryo Guritno bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda. Teka-teki itu kian terkuak waktu jenazah Pakubuwana XI dimakamkan di Astana Imogiri, Suryo Guritno tidak terlihat hadir di pemakaman. Sebelum naik takhta sebagai raja, Suryo Guritno diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar KGPH. Puruboyo. Terlepas setuju atau tidak, keluarga keraton harus mulai bisa menerima pertanda itu, sebab berdasarkan kepercayaan adat keraton, bakal raja dipantangkan datang ke pemakaman. Namun versi lain menyebutkan, pengangkatan Suryo Guritno itu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap situasi. Meski raja baru telah disepakati, tetapi bukan berarti seluruh persoalan terselesaikan. Rencana penobatan Suryo Guritno itu sempat mendapat tentangan keras dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Jepang menyatakan tidak berani menjamin keselamatan calon raja. Menyatakan Bergabung Dengan Republik IndonesiaRaden Mas Suryo Guritno naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena masih berusia sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia sering kali didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng. Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena merupakan Susuhunan Surakarta pertama yang memerintah pada era kemerdekaan. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan ucapan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno. Masa Revolusi FisikSelama revolusi fisik Pakubuwana XII memperoleh pangkat militer kehormatan (tituler) Letnan Jenderal dari Presiden Soekarno[5]. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran. Tanggal 12-13 Oktober 1945, Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta menyerbu markas Kenpetai di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan selamat. Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman. Serangan Umum SurakartaSekitar 5 Agustus 1949 sempat terjadi perundingan antara Belanda dengan Keraton, namun sesungguhnya pertemuan itu tidak lebih merupakan taktik pendekatan sebagai bagian dari kegiatan sandi TNI guna mengetahui strategi musuh. Hal ini dapat dijelaskan dari dokumen Gubernur Militer TNI yang mengatur tentang mekanisme hubungan Kasunanan dan Mangkunegaran melalui perwira teritorial (P.T.) Mayor Achmadi selaku Komandan Daerah Teritorial Militer (Cdt.Mil) kota yang termuat dalam Surat Keputusan Gubernur Militer Istimewa II No.23/G.M./49 yang dikeluarkan pada tanggal 27 April 1949. Surat Keputusan tersebut menetapkan bahwa
Dibekukannya Daerah Istimewa SurakartaKarena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia[7] Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga membekukan status daerah istimewa yang disandang Surakarta.[8] Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kesunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII berubah menjadi sebagai simbol dan pemangku adat Surakarta. Usaha mempertahankan Kemerdekaan IndonesiaPakubuwana XII juga ikut berjuang bersama rakyat mempertahankan Kemerdekaan Indonesia karena ia menyadari kedudukannya sebagai tokoh masyarakat adat terlebih dirinya adalah seorang Letnan Jenderal (tituler) TKR. Maka Pakubuwana XII bertekad untuk ikut berjuang, salah satunya adalah dengan memberikan asset keraton Surakarta, untuk mendukung kebutuhan perjuangan nasional. Pakubuwana XII juga banyak memberikan asset-asset dan inventaris baik barang maupun keuangan dalam mensuplai kebutuhan logistik dan dana, serta berbagai macam persenjataan. Hampir seluruh kekayaan keraton diberikan tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional.[9] Ketika Agresi Militer Belanda II pecah, ia berulangkali mendampingi Presiden Soekarno melihat front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain mendampingi Presiden Soekarno dalam melakukan inspeksi ke berbagai garis depan pertempuran, Pakubuwana XII juga kerap bersinergi dan berkonsolidasi dengan pimpinan TKR di wilayah Surakarta seperti Kolonel Gatot Subroto pada masa masa Agresi Militer Belanda II. Ia juga salah satu tokoh penyusun strategi dan kekuatan, bersama dengan Letnan Kolonel Slamet Riyadi, dan Mayor Achmadi Hadisoemarto dalam memimpin prajurit TKR pada Serangan Umum 4 Hari Surakarta pada tahun 1949. Pakubuwana XII juga banyak membantu membebaskan sejumlah besar pegawai RI dan Tentara Pelajar (TP) yang semula menjadi tawanan politik maupun tawanan perang Belanda. Tidak berhenti di situ, Pakubuwana XII juga melibatkan dirinya menjadi salah satu pendamping delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar di Den Haag.[10] Era KemerdekaanPada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta. Sebenarnya Pakubuwana XII sudah berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada 15 Januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja sendiri tidak mempunyai alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena tak kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII sendiri memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di Jakarta. Ia menunjuk KGPH. Kusumayudha, pamannya, sebagai wakil sementara di keraton.[11] Pada masa pemerintahannya, terjadi dua kali musibah yang melanda Keraton Surakarta. Pada tanggal 19 November 1954, bangunan tertinggi di kompleks keraton, yaitu Panggung Sangga Buwana, mengalami kebakaran yang menghancurkan sebagian besar bangunan termasuk atap dan hiasan di puncak bangunan. Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 1985, di malam Jumat Wage, kompleks inti keraton terbakar pada pukul 21.00 WIB. Kebakaran terjadi di bangunan Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina, Dalem Ageng Prabasuyasa, Dayinta, dan Paningrat. Seluruh bangunan termasuk segala isi dan perabotannya tersebut musnah dilalap api.[12] Akhirnya, pada tanggal 5 Februari 1985, Pakubuwana XII melapor kepada Presiden Soeharto atas musibah yang melanda Keraton Surakarta. Presiden Soeharto pun menindaklanjuti dengan membentuk Panitia 13 guna mengemban tugas untuk melaksanakan rehabilitasi keraton. KRT. Harjanagara, budayawan nasional sekaligus sahabat Pakubuwana XII, termasuk dalam jajaran Panitia 13 ini. Keraton Surakarta berhasil pulih setelah mendapat dana 4 miliar rupiah dari pemerintah pusat, dan pembangunan kembali kompleks inti keraton dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1987. Mendapat Medali Penghargaan Angkatan 45Pada 26 September 1995, lima puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan SK No. 70/SKEP/IX/1995, Pakubuwana XII mendapat pemberian Penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari pemerintah pusat. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada Pakubuwana XII yang pada masa awal kemerdekaan merupakan raja pertama di Indonesia yang menyatakan setia dan berdiri di belakang pemerintah republik. Pakubuwana XII juga secara sukarela menyumbangkan sebagian kekayaan pribadinya maupun kekayaan Keraton Surakarta kepada pemerintah pusat saat itu.[13] Meskipun pada awal pemerintahannya Pakubuwana XII dapat dikatakan kurang berhasil secara politik, tetapi Pakubuwana XII tetap menjadi sosok figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, seperti Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.[14] MangkatPada pertengahan tahun 2004, Pakubuwana XII mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Panti Kosala Dr. Oen Surakarta. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 2004, Pakubuwana XII dinyatakan wafat.[15] Wafatnya Pakubuwana XII bersamaan dengan keramaian kampanye Pemilihan Umum Presiden di Surakarta. Sepeninggalnya sempat terjadi perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII. Kehidupan PribadiSilsilah
Galeri
Penghargaan
Kepustakaan
Pranala luar
Referensi
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Pakubuwono XII.
|} |