Pulau Doom atau Pulau Dum adalah pulau kecil di Provinsi Papua Barat Daya, Indonesia. Letak pulau ini berhadapan langsung dengan Kota Sorong.[1]
Daya tarik wisata dari pulau ini adalah latar belakang sejarahnya dan alamnya yang indah. Dalam bahasa penduduk setempat, suku Moi, "dum" berarti pulau yang ditumbuhi oleh banyak pohon buah. Dalam kenyataannya, memang banyak sekali tanaman buah-buahan tumbuh di pulau ini, khususnya buah sukun.[2]
Geografi dan administrasi
Secara administratif, Pulau Doom merupakan bagian dari Kota Sorong, Kecamatan atau Distrik Sorong Kepulauan. Hanya membutuhkan 15 menit perjalanan dengan perahu nelayan untuk mencapainya dari pelabuhan Sorong.[3] Pulaunya sendiri tampak dari pelabuhan, karena jaraknya tiga kilometer saja.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2019,[4] Pulau Doom memiliki dua kelurahan, yaitu Kelurahan Doom Barat (terdiri dari 3 RW dan 10 RT) dan Kelurahan Doom Timur (terdiri dari 3 RW dan 18 RT). Namun, dua kelurahan tersebut tidak hanya meliputi Pulau Doom, melainkan juga terpencar-pencar di beberapa pulau lain di sekitarnya.
Pulau Doom memiliki fasilitas pendidikan berupa satu SMP Negeri, dua SMP swasta, dan satu SMA Negeri. Gedung SMA tersebut dulunya merupakan kompleks Lembaga Permasyarakatan yang dibangun oleh Belanda.[5]
Dengan luas wilayah yang hanya 5 kilometer persegi, Pulau Doom termasuk padat dan banyak ditinggali oleh para pendatang dari Jawa, Buton, Bugis, dan Toraja. Per 2018, jumlah penduduk Kecamatan Sorong Kepulauan 11.666 jiwa, terdiri dari 6.035 penduduk laki-laki dan 5.631 penduduk perempuan.[4]
Sejarah
Sejak masa pendudukan Belanda, Pulau Doom sudah berpenghuni. Saat itu, pulau ini merupakan bagian dari teritorial Kesultanan Tidore.[6]
Pada 1935, Belanda menjadikannya ibu kota pemerintahan Sorong yang disebut Onderafdeling. Sorong saat itu belum berbentuk kota. Infrastruktur dan aliran listrik lebih dulu tiba di Pulau Doom. Belanda menggunakan diesel sebagai pembangkit listrik di sana, dan saat ini masih berfungsi.[7] Lantaran terlihat lebih gemerlap dari daerah disekitarnya, masyarakat setempat kemudian menjuluki Pulau Doom sebagai "pulau bintang".[1]
Jepang pun pernah merasakan tinggal di pulau ini. Pada masa Perang Dunia II, penjajah Jepang menjadikan Pulau Doom sebagai basis pertahanan di wilayah perairan Hollandia. Tentara Jepang banyak membuat gua yang saling tersambung dengan beberapa bungker pertahanan, khas strategi perang Jepang pada masa itu. Bahkan, ada yang bungker yang langsung menghadap ke Bandar Udara Jefman, Sorong, di sekitar daerah Tanjung Lampu Jepang. Tanda bahwa selain dipakai untuk bertahan, bungker juga menjadi tempat strategis dalam rangka menggempur lawan di Pulau Papua.[2]
Bangunan-bangunan di Pulau Doom memiliki arsitektur yang sangat berbeda dengan wilayah Papua lainnya, termasuk Kota Sorong. Rumah masyarakat tradisional pada umumnya berbentuk honai, panggung, atau gubuk kayu. Sedangkan di Pulau Doom, dapat dilihat rumah-rumah khas Belanda dengan konstruksi betonnya. Berbagai fasilitas peninggalan seperti gardu listrik, gereja, dan gedung serbaguna pun masih berdiri kokoh, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.[8]
Referensi