Festival Film Indonesia (FFI) adalah festival film yang dipelopori oleh dua tokoh perfilman, yaitu Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Festival ini diselenggarakan pertama kali pada tahun 1955 dan berlanjut pada tahun 1960 dan 1967, dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional. Selanjutnya pada tahun 1973, festival ini dinamakan sebagai Festival Film Indonesia dan mulai diselenggarakan setiap tahunnya. Penghargaan "Piala Vidia" untuk film televisi juga diberikan sejak tahun 1986 hingga tahun 2014.
Sejarah
Awal pembentukan
Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India, yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masing Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, mempelopori Festival Film Indonesia (FFI).[1]
Festival Film Indonesia pertama kali digelar di Jakarta pada 30 Maret—5 April 1955. Dilaksanakan pada masa pemerintahan Wali Kota JakartaSudiro dan Menteri PPKProf. Dr. Bahder Djohan, FFI 1955 mengambil tempat di Rumah Dinas Wali Kota Jakarta Raya, Jl. Taman Suropati No. 7, Menteng, Jakarta Pusat.[2] Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dibuatnya festival film untuk upaya menarik perhatian masyarakat yang cenderung agak skeptis dengan produksi perfilman lokal, dan memungkinkan untuk mengubah stereotip buruk tersebut, dengan alasan film Indonesia juga memiliki kualitas yang tidak kalah baiknya dengan film asing. Tentu hal ini niat yang gagah untuk menumbuhkan apresiasi terhadap film Indonesia. Momentum yang tepat, yaitu tahun 1955 yang baru sepuluh tahun Indonesia merdeka. Niat lain yang digulirkan Djamaluddin Malik ialah festival film itu sebagai peristiwa budaya.[3] Artinya untuk evaluasi film produksi dalam negeri selama satu tahun. Tetapi yang lebih penting festival film tahun 1955 adalah dijadikan forum pertemuan antara pembuat dan penonton film, sekaligus forum penilaian mengenai kualitas teknis penggarapan serta penyajian atas karya film.[1]
Usai menyelenggarakan festival film 1955, tahun berikutnya Djamaluddin Malik tidak mengadakan festival. Selama tiga tahun, tepatnya tahun 1956 hingga tahun 1959 tidak ada lagi festival film. Tahun 1960 baru diadakan kembali festival film, diselenggarakan di Jakarta, 21—25 Februari, film terbaiknya adalah Turang yang disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Selesai festival film 1960, tahun berikutnya tak ada lagi festival. Barulah pada bulan Agustus 1967 diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional, sebagai nama lain dari FFI ketiga setelah 1955 dan 1960. Pekan Apresiasi Film Nasional 1967 diadakan di Jakarta, 9-16 Agustus, yang tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh pada Misbach Jusa Biran (Dibalik Tjahaja Gemerlapan). Untuk pemeran utama pria ialah Soekarno M. Noor dan pemeran utama wanita yaitu Mieke Wijaya (Gadis Kerudung Putih).[4]
Beberapa kali penyelenggaraan FFI vakum. Hal ini diakibatkan kondisi politik yang tidak menentu pada saat itu.[3] Penyelenggaraan FFI baik pada tahun 1955, 1960 hingga tahun 1967 yang dinamakan Pekan Apresiasi Film Nasional, kerap disebut pemerhati film sebagai Pra-FFI. Antara tahun 1970 sampai 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film. Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Film Indonesia (YFI), dan mendapat dukungan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia, yang pada waktu itu merupakan institusi pembina perfilman nasional.[4]
YFI mengadakan festival film tahun 1973, yang seterusnya disebut Festival Film Indonesia, dengan menobatkan Perkawinan karya Wim Umboh, meraih pula piala untuk sutradara terbaik. Di satu sisi, pemilihan Aktor/Aktris Terbaik versi wartawan dihentikan pada tahun 1975 alias terintegrasi dengan YFI. Pada sisi lain, Departemen Penerangan memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasional. Maka melalui lembaga ini pelaksana FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur. Maka pada tahun 1982 penyelenggaraan FFI ini sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional.[1]
Sejak saat itu pula penyelenggaraan FFI berpindah–pindah dari satu kota ke kota lain, diadakan di Medan tahun 1983. Tahun berikutnya di Yogyakarta, di Bandung tahun 1985 dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, hanya puncak acara di Denpasar. Patut dicatat penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan diri antara artis film dengan masyarakat penontonnya.[3]
Mati suri-nya perfilman Indonesia
Pada tahun 1980-an acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 1990-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.[4]
Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun.[5] Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru. Hal inilah yang membuat Festival Film Indonesia 1992 menjadi Festival Film Indonesia terakhir sebelum mengalami masa vakum.[6]
Sementara, sejak tahun 1992, Piala Vidia diberikan terpisah dengan FFI, dan diadakan dalam FSI atau Festival Sinetron Indonesia.[7] Kelesuan industri film tanah air menyebabkan industri sinetron yang berkembang pesat. FSI menjadi ajang pengganti FFI yang prestisius, dan diadakan setiap tahun dengan meriah.[8][9] Penyelenggaraan FSI terhenti pada tahun 1999.[10]
Kembalinya Festival Film Indonesia
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional.[11] Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Hal inilah yang kemudian membuat Festival Film Indonesia kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun, Namun penyelenggaraannya sempat diwarnai keluhan beberapa penerima penghargaan mengenai acara penghargaan yang tak ditayangkan di televisi.[12] Piala Vidia kembali diadakan pada tahun 2004, berbarengan dengan FFI. Kembali terhenti tahun 2007 hingga 2010, pemberian Piala Vidia kembali diadakan pada FFI tahun 2011 hingga 2014.[13]
Festival Film Indonesia 2006 mengundang kontroversinya sendiri, ketika film Ekskul dinyatakan sebagai Film Terbaik. Penobatan Ekskul sebagai Film Terbaik menuai kontroversi dari Masyarakat Film Indonesia (MFI). MFI yang terdiri dari sejumlah insan perfilman di antaranya Sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana yang meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2005 untuk film Gie dan sebanyak 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006 memprotes penyelenggaraan FFI 2006 ini karena telah memberikan penghargaan Film terbaik pada film Ekskul dan Sutradara Terbaik pada sutradaranya, Nayato Fio Nuala, yang menurut mereka sarat dengan unsur plagiat. Akibatnya kemenangan film ini dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik dan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu ditanda-tangani oleh ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Deddy Mizwar.[14]
Perbaikan Festival Film Indonesia terus dilakukan pasca kontroversi Ekskul tersebut, termasuk dalam bidang penjurian dan pelaksanaan FFI. Hal tersebut dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu dan objektivitas penjurian sehingga hasilnya bisa lebih dipertanggungjawabkan. Penyelenggara pun silih berganti, mulai dari Komite Festival Film Indonesia yang menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009 hingga berdirinya Badan Perfilman Indonesia (BPI) tahun 2014.[15]
Sistem penjurian dan penilaian
Kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan film terbaik dalam Festival Film Indonesia adalah skenario, penyuntingan, penyutradaraan dan sinematografi. Pada tahun-tahun awalnya, dewan juri disodori semua film peserta dan langsung menentukan pemenangnya. Sistem penjurian ini dirasa tidak efisien, karena dalam waktu relatif singkat juri harus melihat puluhan film dan harus selalu pada unsur-unsur film yang menonjol.[2]
Sistem penjurian seperti ini mengalami perubahan sejak tahun 1979, dengan membentuk dewan penilai awal yang terdiri atas belasan wartawan film ibu kota. Mereka mengusulkan beberapa film unggulan kepada dewan juri akhir. Tahun berikutnya, keterlibatan wartawan ini ditiadakan dan sistem penjurian sebelumnya diberlakukan kembali. Pada tahun 1978, sistem penjurian lebih mendasarkan penilaian pada sistem angka. Dalam Festival Film Indonesia 1979, dewan juri sendiri yang mengumumkan nominasi seluruh peserta festival.[2]
Oleh karena dalam beberapa festival juri tidak menentukan film terbaik, hal tersebut menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan film, sehingga akhirnya di-putuskan bahwa dalam setiap FFI harus ada film terbaik. Untuk itu dibentuklah kelompok penilai awal. Kelompok ini diberi nama Komite Pengaju Unggulan (KPU) dengan anggota 18 orang film dari semua unsur. KPU hanya berusia satu tahun, selanjutnya diganti dengan Komite Seleksi yang beranggotakan sembilan orang. Tugasnya memilih 11 sampai 19 film terbaik berkualitas.[2]
Sistem penilaian dua tahap dalam FFI meniru Academy Awards. Penilaian tahap pertama terhadap suatu film peserta yang dilakukan Komite Seleksi ditekankan pada unsur-unsur film yang lebih condong pada segi teknis. Penilaian terhadap bobot budaya dari film itu dilakukan pada tahap berikutnya oleh dewan juri.
Mereka yang terpilih, diberikan penghargaan berupa "Piala Citra", "Piala Vidia" (Widya) untuk sinema elektronik, "Piala S. Tutur" untuk poster film, dan "Piala Mitra" untuk kritik film.[2]
Mulai tahun 2014, FFI dilaksanakan oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Dan sejak 2014 itu, sistem penjurian FFI diubah. Kemala Atmojo, yang membawahi bidang Festival Film Dalam negeri (Sekarang Ketua BPI), mengubah total sistem penjurian FFI. Sejak 1955, FFI selalu dinilai oleh panel Dewan Juri antara 7 sampai 9 orang. Namun, mulai 2014 diubah menjadi 100 orang. Sistem penjuriannya dilakukan dalam dua tahap dan melibatkan akuntan publik.[16][17]
Pada tahap awal (pertama), dibentuk kelompok dewan juri sesuai dengan keahlian masing-masing bidang. Dewan juri tahap I ini hanya menilai bidang tertentu saja, misalnya, editing atau musik. Hasil penilaian juri tahap awal ini dikirim langsung ke akuntan publik, yang kemudian melakukan rekapitulasi. Hasil rekapitulasi dari tiap-tiap kelompok dewan juri ini menghasilkan nominasi.[18]
Lalu, nominasi masing-masing kategori dikirim ke semua dewan juri lagi. Pada tahap ini seluruh dewan juri menilai semua kategori (namun yang sudah masuk dalam nominasi). Hasil penilaian tahap II ini juga dikirim langsung ke akuntan publik. Kemudian akuntan publik merekapitulasi kembali dan hasilnya diserahkan kepada pembaca pemenang pada saat Malam Puncak. Sistem penilaian model baru ini kemudian diteruskan dalam FFI 2015 yang juga dilaksanakan oleh BPI hingga seterusnya.[19]
Pada tahun 2022, komite Festival Film Indonesia membentuk Akademi Citra, yang beranggotakan para peraih "Piala Citra" minimal 1 (satu) kali, masih terlibat aktif dalam produksi dan kegiatan perfilman hingga saat ini, serta diutamakan yang sudah terdaftar pada salah satu asosiasi profesi perfilman. Anggota Akademi Citra FFI berperan dalam menentukan nominasi sesuai kategori yang pernah diraih.[20] Akademi Citra menarik karena mengadopsi sistem di mana tiap profesi akan menentukan atau menilai sesuai dengan divisinya masing-masing seperti aktor menilai khusus bidang akting, editor menilai khusus bidang penyuntingan, dan seterusnya. Akademi Citra adalah respons terhadap masukan dari banyak pihak agar FFI melibatkan peran asosiasi-asosiasi profesi yang terlibat dalam produksi film mengingat film adalah kerja kolektif.[21]
Piala
"Piala Citra" diberikan kepada pemenang penghargaan. Piala Citra yang dipergunakan hingga FFI 2007 ini merupakan hasil rancangan dari seniman patung Gregorius Sidharta. Ketika FFI yang semula diselenggarakan Yayasan Film Indonesia (YFI) diambil alih oleh pemerintah tahun 1979, Piala Citra pun disahkan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, Ali Murtopo. Citra sendiri yang berarti bayangan atau image awalnya adalah sebuah sajak karya Usmar Ismail. Sajak ini kemudian dijadikan sebagai karya lagu oleh Cornel Simanjuntak. Berikutnya Usmar Ismail menjadikannya sebagai sebuah film.
Dalam tradisi FFI, "Citra" kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman.[22]
Pada FFI 2008 mulai digunakan Piala Citra bentuk baru. Sejumlah seniman seni rupa dan seni patung bekerja membuat rancangan Piala Citra dengan mengubah desain Piala Citra, yaitu Heru Sudjarwo, S.Sn., M.A., (Koordinator), Prof. Drs. Yusuf Affendi MA, Drs. H. Dan Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo, dan Bambang Noorcahyo, S.Sn.[23] Rancangan menjadi simbol bagi semangat baru penyelenggaraan FFI.[24]
Namun, pada penyelenggaraan FFI 2014 piala citra kembali diubah kembali ke bentuk awalnya yakni rancangan Gregorius Sidharta dengan sedikit modifikasi ulang oleh Dolorosa Sinaga, salah satu anak didik Sidharta di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).[25] Hal ini sebagai simbol kembalinya penyelenggaraan FFI kepada semangat awal.[26]
Kategori penghargaan
Berikut ini adalah kategori nomine yang diberikan Festival Film Indonesia.
Pada tahun 2021, FFI memberi empat penghargaan khusus seperti Penghargaan Tanete Pong Masak (Karya Kritik Film Terbaik), Penghargaan Chitra Dewi (Aktris Terfavorit Pilihan Penonton), Penghargaan Bambang Irawan (Aktor Terfavorit Pilihan Penonton) dan Penghargaan Djamaluddin Malik (Film Terfavorit Pilihan Penonton).[28]
Sejauh ini, belum ada satupun film yang memenangkan keenam piala utama di penghargaan ini (Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik). Rekor tertinggi masih dipegang oleh Di Balik Kelambu pada tahun 1983 dan 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta pada tahun 2010 – keduanya memenangkan 5 piala dari 6 piala utama yaitu Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik; kemudian Pacar Ketinggalan Kereta pada tahun 1989 yang memenangkan 5 piala dari 6 piala utama di kategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik; serta Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang memenangkan 5 piala dari 6 piala di kategori Film Cerita Panjang Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Kemudian disusul oleh Ibunda pada tahun 1986, Arisan! pada tahun 2004, dan Sang Penari pada tahun 2011 – masing-masing memenangkan 4 piala dari 6 piala utama. Ibunda menang di kategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik – demikian pula dengan Sang Penari. Sedangkan Arisan! menang di kategori Film Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.[29]
Pada tahun 2018, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak mencatatkan suatu sejarah baru. Dinominasikan untuk 14 kategori (rekor nominasi terbanyak), film ini berhasil memenangkan 10 di antaranya (rekor memenangkan terbanyak). Rekor ini sebelumnya dipegang selama 32 tahun oleh Ibunda pada 1986 dengan memenangkan 9 penghargaan dari 11 nominasi. Namun Marlina pun hanya memenangkan 4 dari 6 piala utama; yaitu Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik – pada kategori yang sama untuk ketiga kalinya; setelah Ibunda pada 1986 dan Sang Penari pada 2011.
Pada tahun 2019, Kucumbu Tubuh Indahku menambah daftar pemenang 4 piala dari 6 piala utama; dengan memenangkan kategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Disamping itu juga berhasil meraup 8 penghargaan dari 12 nominasi – menjadikannya film peraih nominasi terbanyak yang memenangkan penghargaan terbanyak pada tahun ini. Meskipun demikian belum bisa mematahkan rekor Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) ataupun Ibunda (1986), dan hanya menyamai rekor Pacar Ketinggalan Kereta (1989).[30]
Pada tahun 2020, Perempuan Tanah Jahanam mencatatkan rekor baru. Film ini dinominasikan untuk 17 kategori (rekor nominasi terbanyak), rekor yang sebelumnya dipegang oleh Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak pada tahun 2018.[31] Namun ia hanya berhasil memenangkan 6 di antaranya; termasuk untuk Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Sehingga masih belum bisa mematahkan rekor Marlina untuk memenangkan penghargaan terbanyak.
Pada FFI 2021, Penyalin Cahaya menyamai rekor Perempuan Tanah Jahanam (2020) dan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) dimana film ini dinominasikan untuk 17 kategori dan memecahkan rekor penghargaan terbanyak dengan 12 penghargaan dari 17 nominasi, mengalahkan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) dan Ibunda (1986).
Pada FFI 2023, Budi Pekerti juga menyamai rekor Penyalin Cahaya (2021), Perempuan Tanah Jahanam (2020) dan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dengan 17 nominasi, namun hanya mendapatkan 2 penghargaan diantaranya Pemeran Utama Perempuan Terbaik dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik.
Kontroversi menjerat FFI saat pertama kali diprakarsai oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada penyelenggaraan pertamanya tahun 1955. Ketika itu dewan juri mendapuk Tarmina garapan Lilik Sudjio sebagai Film Terbaik. Namun, para kritikus film menganggap keputusan itu janggal, karena film Lewat Djam Malam dari Usmar Ismail dianggap lebih layak mendapat titel Film Terbaik. Akhirnya, pada tahun tersebut FFI memiliki 2 pemenang Film Terbaik. FFI 1955 turut memunculkan pemenang kembar untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik.[32]
Munculnya tiga kategori dengan pemenang kembar pada FFI 1955 dianggap usaha menyenangkan Djamaluddin Malik, pendiri Persari yang juga penggagas FFI. Tiga pemenang (A. Hadi, Fifi Young, Awaludin) adalah bintang Persari, yang dicurigai dimenangkan untuk mendampingi pemenang sesungguhnya dari Perfini (A.N. Alcaff, Dhalia, Bambang Hermanto). Begitu pula pemberian penghargaan sutradara terbaik pada Lilik Sudjio dalam film produksi Persari, Tarmina, mengalahkan Usmar Ismail pada Lewat Djam Malam produksi Perfini. Keputusan kontroversial tersebut terulang pada tahun 1960, saat film Pedjuang karya Usmar Ismail, dikandaskan film Turang karya sutradara Bachtiar Siagian. Lantaran kecewa dengan keputusan tersebut, Usmar Ismail tak lagi berniat menyertakan karyanya dalam FFI selanjutnya.[33]
Hal yang sama terulang pada Festival Film Indonesia 1974, namun dengan pembedaan tingkat pemenang. Film, Pemeran Utama Pria, dan Pemeran Utama Wanita “dengan pujian” menerima Piala Citra, sedangkan yang disebut “dengan penghargaan” tidak menerimanya, sehingga dianggap sebagai runner-up. Pada tahun itu pula, dewan juri FFI tidak memiliki pemenang Pemeran Pembantu Pria dan Wanita Terbaik.[34]
1967, 1977 dan 1984: Tidak ada pemenang Film Terbaik
Tahun 1967, sineas tanah air pun dikejutkan dengan keputusan kontroversial panitia FFI, lantaran dinyatakan tidak ada pemenang dalam kategori Film Terbaik. Pada tahun tersebut, Misbach Yusa Biran dinobatkan sebagai sutradara terbaik, dengan film yang berjudul Dibalik Tjahaja Gemerlapan. FFI 1967 sangat bersifat politis, antara lain untuk menggairahkan kembali produksi film nasional yang lama tersendat akibat pergolakan politik nasional pasca-Gerakan 30 September. Karena itu juri bersikap sangat keras hingga tidak ada film terbaik.[33]
Kejadian pada tahun 1967 terulang kembali sepuluh tahun kemudian. Penyelenggaraan Festival Film Indonesia 1977 mendadak geger lantaran Ketua Dewan Juri saat itu, D. Djayakusumah pingsan saat membacakan pertimbangan dan keputusannya. Bukan hanya itu, Dewan Juri juga memutuskan tidak ada pemenang Film Terbaik pada edisi FFI tahun tersebut. Padahal dua film yang tengah bersaing dianggap layak dinobatkan sebagai Film Terbaik tahun itu, diantaranya Si Doel Anak Modern yang disutradarai Sjumandjaja dan Sesuatu yang Indah garapan Wim Umboh.[32] Dewan juri FFI 1977 memutuskan tidak ada film terbaik karena tidak satu film pun memenangi sekaligus empat kategori yang disyaratkan: penyutradaraan, penulisan skenario, penataan fotografi, dan penyuntingan. Persyaratan tersebut ditetapkan sendiri oleh para juri, dan bukan merupakan kriteria baku.[34]
Pada Festival Film Indonesia 1984, FFI lagi-lagi tidak menetapkan peraih Piala Citra untuk Film Terbaik. Kejadian itu diperparah lantaran saat malam penganugerahan, kategori Film Terbaik yang saat itu dibacakan oleh Menteri PeneranganHarmoko ini kenyataannya hanya membawa amplop kosong tanpa adanya nama pemenang Film Terbaik, meski dewan juri saat itu bersikukuh telah memilih pemenang kategori tersebut.[33] Alasan tidak ada film terbaik pada FFI 1984 berbeda lagi. Favorit pemenang, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer oleh juri diangap bukan film cerita, tetapi lebih merupakan doku-drama.[34] Sejak saat itu, FFI menetapkan aturan bahwa dewan juri harus memilih Film Terbaik.[32]
1980: Film Dokumenter masuk kategori Film Terbaik
Pada tahun 1980, kontroversi pun berlanjut, lantaran film karya sutradara Arifin C. Noer yang berjudul Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa dimasukkan dalam kategori Film Cerita Panjang Terbaik. Sejumlah wartawan film memprotes keputusan tersebut karena diketahui, film tersebut diproduksi dengan izin film dokumenter.[33]
2006: Ekskul sebagai Film Terbaik
Pada tahun 2006 FFI menyatakan Ekskul sebagai film terbaik dengan menyabet tiga piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia 2006. Hal ini menimbulkan protes dari seluruh sineas film yang pernah menerima penghargaan Piala Citra sebelumnya. Sebagai bentuk protes mereka mengembalikan seluruh penghargaan mereka, karena menganggap bahwa film Ekskul tidak layak sebagai film terbaik, di antaranya karena adanya unsur plagiat, dan melanggar hak cipta sebab menggunakan ilustrasi musik dari film-film luar negeri yakni Taegukgi, Gladiator, dan Munich. Mereka secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006.[35]
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik yang ditandatangani oleh ketua BP2N, Deddy Mizwar, Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu secara resmi dibatalkan.[36]
2010: Pemberhentian dewan juri oleh panitia
Komite Festival Film Indonesia (KFFI), panitia yang menaungi FFI saat itu, memberhentikan dengan hormat dewan juri Festival Film Indonesia 2010 yang diketuai Jujur Prananto dan mengangkat dewan juri baru pada 1 Desember 2010 malam.[37] KFFI akhirnya memutuskan, dewan juri FFI 2010 terdiri atas lima anggota Komite Seleksi yang lama ditambah dua orang baru, yaitu musisi Areng Widodo dan aktor Alex Komang.[38] Menurut Pengarah Komite Festival Film Indonesia (KFFI), Deddy Mizwar, ikhwal kemelut FFI 2010 itu bersumber dari Buku Pedoman FFI karena tidak ada pasal yang secara jelas mengatur hubungan antara Komite Seleksi dan dewan juri. Komite Seleksi awalnya keliru menetapkan hanya delapan film yang lolos seleksi, padahal seharusnya sepuluh. Adapun dewan juri menilai adanya film lain, selain yang sudah ditetapkan oleh Komite Seleksi.
Sampai menjelang pengumuman nominasi di Batam, dewan juri FFI 2010 tetap pada pendirian walau KFFI telah meminta mereka hanya menilai sepuluh judul film. Hal ini membuahkan jalan buntu sehingga nominasi batal diumumkan dan ditunda hingga 3 Januari 2010. Sepanjang sejarah FFI yang dimulai pada tahun 1955, baru kali ini dewan juri dipecat oleh panitia.[39]
2017: Posesif sebagai peserta FFI 2017
Penyelenggaraan FFI tahun 2017 turut diwarnai kontroversi. Pasalnya, film Posesif garapan sutradara Edwin dianggap tidak sah oleh beberapa kalangan mengikuti ajang FFI tahun itu karena belum dirilis di bioskop sampai hari pengumuman nominasi tanggal 5 Oktober 2017. Sutradara Riri Riza selaku Ketua Bidang Penjurian menjelaskan bahwa meski Posesif belum dirilis secara komersial, sebenarnya pada bulan September Posesif sudah ditayangkan dalam beberapa bioskop kecil di Jakarta dan Bandung, dan bersama perubahan aturan lain, membuat film itu lolos seleksi FFI 2017. Sebelumnya film Siti yang memenangkan Film Terbaik di FFI 2015 juga belum dirilis secara komersial sebelum pembacaan nominasi tapi sudah dirilis di beberapa bioskop terpilih, meloloskan Siti untuk FFI tahun itu.[40]
^"History of FFI". KFFI. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 3, 2010. Diakses tanggal 7 Desember 2010.
^"Festival Sinetron Indonesia (FSI) Belum Bergema". Pikiran Rakyat. 10 Juli 1994.
^"Besok, Acara Puncak Festival Sinetron Indonesia: "Keris" Arifin C Noer Cukup Kuat, Piala Khusus untuk Benyamin S". Merdeka. 6 Desember 1995. hlm. 5.
^"Pengumuman Nominasi FSI 1995, Disiarkan Langsung Seluruh Stasiun TV". Kompas. 22 November 1995.
^"Festival Sinetron Indonesia Perlu Dilanjutkan". Kompas. 16 Desember 1999.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan)
^Sen, Krishna (2006). Giecko, Anne Tereska, ed. Contemporary Asian Cinema, Indonesia: Screening a Nation in the Post-New Order (dalam bahasa Inggris). Oxford/New York: Berg. hlm. 96–107. ISBN978-1-84520-237-8.
^Siregar, Basfin; Luhukay, Edward (6 Desember 2010). "Beda Juri Lain Pemenang". Gatra. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-31. Diakses tanggal 8 Desember 2010.