Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Suku Tolaki

Suku Tolaki
Pakaian adat Suku Tolaki
Daerah dengan populasi signifikan
       Sulawesi Tenggara900.000
       DKI Jakarta100.200
       Jawa Barat40.700
       Sulawesi Tengah30.900
Bahasa
Tolaki, Indonesia, Melayu (dituturkan oleh komunitas yang berdomisili di Malaysia dan Singapura), Belanda (hanya digunakan oleh yang tinggal di Belanda dan Amerika Serikat)
Agama
Mayoritas
Islam Sunni
Minoritas
Kristen (Protestan, Katolik)
Kejawen
Hindu
Buddha
Konghucu
Kelompok etnik terkait
Moronene, Bugis, Muna, Buton, Bungku, Kaili, Wawonii, Toraja, Mori
Peta sebaran bahasa Bungku-Tolaki menurut Mead (1998).

Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Suku Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku Tolaki merupakan suku asli daerah di daratan tenggara pulau Sulawesi namun suku ini terpengaruh banyak sekali budaya Melayu yang membuatnya berbeda dari suku lain di Sulawesi.[1] Suku Tolaki tersebar di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.[2]

Sejarah

Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan, gerabah, porselin baik itu buatan China, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara.

Kerajaan pertama di Sulawesi Tenggara

Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu: Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah mokole Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti, dan kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral tradition atau tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk. Di daerah ini telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi satu konfederasi yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil membentuk satu konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini seperti halnya kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa kerajaan kecil seperti Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Adapun beberapa kerajaan kecil tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kerajaan Padangguni Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan kerajaan ini eksis dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja pertama Padangguni bernama Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau Tanggolowuta juga biasa digelar Sangia Ndudu Ipadangguni.

2. Kerajaan Wawolesea::' Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan maju disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah. Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan (molowu), akibat Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah tersebut maka penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran menuju ke daerah lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton dan pulau Wawonii. Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Rundu Langi, dan tidak mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan Konawe.

3. Kerajaan Besulutu. Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran berperang (momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya banyak berkurang, bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak ada penerus kerajaan tersebut.

4. Kerajaan Watu Mendonga Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga. Pada saat itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir bernama Mokole Lapanggili.

Peninggalan

Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.

Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya perang saudara antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, atau adanya ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti Bungku dan Ternate, yang menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu kerajaan Konawe yang merupakan hasil konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta perang antara kerajaan Wawolesea dan dengan kerajaan Banggai. Pada zaman Hindia Belanda di Kolaka terdapat distrik Watumendonga yang berkedudukan di Tongauna.

Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin yang berusaha untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat Tolaki yang sudah menetap dan berkembang, penduduknya serta menyebar di seluruh wilayah kerajaan Padangguni. Adapun nama Mokole Padangguni tersebut adalah Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua. Selanjutnya Totongano Wonua memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha, disebabkan sewaktu Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan negeri-negeri di sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-orang yang datang dari Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah penyakit yang epidemis hampir memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka bernama Puteo. Totongano Wonua ini menemukan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha. Selang berapa saat setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya di Inolobu Nggadue Unaaha. Tiba-tiba munculah seorang putri di Unaaha dengan 40 orang pengawalnya lengkap dengan persenjataannya dan berbaju sirat.

Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F. Treferrs bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria. Jadi sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik. Mereka inilah yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.

Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang Unaaha. Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha menyebut putri tersebut dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun, karena masyarakat Tolaki tidak mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan ibu putri tersebut. Kemudian mereka menemui mokole Toramalangi, mendengar laporan masyarakat tersebut maka mokole Toramalangi datang menemui Putri itu. Putri itu ditumbuhi penyakit kulit berupa panu Opano yang putih sehingga oleh Totongano Wonua memberikan nama Wekoila.

Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha. Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan nama Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak sama pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe sehingga berubah Watandiyate.

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang bernama Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam kitab sastra Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila dilantik (Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian Wekoila setelah menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan Konawe. Dan berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe, kejadian ini berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada awalnya berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah ke daerah Unaaha di Inolobu Nggadue.

Referensi

  1. ^ Manan, Fajria Novart (1986). Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 5. 
  2. ^ Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Balai Pustaka. 1977/1978. hlm. 54. 


  1. Templat:Cinta Tanah Air
Kembali kehalaman sebelumnya